Ibu ku tersayang |
JIKA kebanyakan orang tua yang terus
memikirkan dan mendorong anaknya untuk sekolah atau masuk perguruan tinggi
adalah dari kalangan pegawai negeri (untuk dikampung yang saya tinggali) atau
dari kalangan orang-orang yang mempunyai kekayaan (untuk di kota-kota), Ibu
saya adalah sesuatu yang lain. Ibu saya selalu menyeruhkan kepada kami untuk selalu
berpendidikan. Ibu saya tidak pernah gerah dengan kemiskinan yang kami miliki.
Bahkan dengan keterbatasan itu, Ibu saya selalu memberikan nasehat atau sebuah
pesan bahwa saya mempunyai hak untuk memperoleh nasib yang baik dimasa depan dengan
berpendidikan. Pendidikan adalah sesuatu yang penting untuk masa depan kalian dan
nasib kalian anak-anakku, harus lebih baik daripada kami. Seperti itulah
nasehat Ibu, yang selalu tertanam dalam benak ini, dan sampai malam ini saya
tak bisa melupakan kata-kata itu.
Bahkan jika saya pikir-pikir, ini
melampaui pemikiran orang tua yang umurnya di bawah Ibu, yang membiarkan anak
mereka keliaran di jalan-jalan dan tak menghiraukan pendidikannya. Sungguh Ibu
adalah Ibu yang terhebat yang saya miliki. Aku bangga punya Ibu, seperti Ibu
hari ini, lusa dan Ibu selamanya.
***
Cerita tentang Ibu, memang benar adanya,
Ibu tidak berpendidikan. Bahkan dari cerita-cerita Ibu dulu, waktu sekolah
Dasar saja susahnya bukan main. Sebagai Ibu yang lahir pada masa penjajahan, zaman
orde baru dan berada dikampung yang terpencil, memang akan sangat susah untuk
memperoleh pendidikan. Ditambah lagi dengan keterbatasan ekonomi waktu itu,
yang memaksa Ibu harus bertani pada umur yang seharusnya menikmati bagaimana
seruhnya pendidikan Sekolah Dasar. Disana, ditempat yang seharusnya Ibu dapat
bermain bersama teman-teman, menikmati masa kecil di dunia pendidikan dan bisa mengenal
diri sendiri serta lingkungan. Namun nasib Ibu berkehendak lain, dan tidak
menamatkan Sekolah Dasarnya.
Banyak yang ku serap dari cerita-cerita
Ibu waktu dulu, terutama bagaimana Ibu sehingga tidak bisa berpendidikan. Mulai
takutnya kepada penjajah kolonialis yang masih berkuasa sesudah kemerdekaan,
teror kekuasaan otoriter pada orde baru yang anti komunis, membunuh dan
menculik yang sepaham dengan komunis (meskipun Ibu dan orang tua Ibu bukan
komunis) sampai dengan adanya keterbatasan ekonomi/kemiskinan, akibat pecahnya
perang dalam negeri yakni munculnya berbagai pemberontak di berbagai daerah.
Bahkan Ibu pernah menceritakan kepada saya bahwa waktu umur yang masih belasan
tahun, Ibu sudah disibukan dengan menjaga adik-adik Ibu yang seharusnya Ibu dapat
menikmati yang namanya sekolah waktu itu. Karena kemiskinan yang menderah
bahkan ada warga yang mati karena kelaparan, ini memaksa orang tua Ibu harus
mencari uang di seberang sana dengan berjalan kaki dan berlayar berhari-hari
untuk berdagang dan membeli makanan. Dan adik-adik Ibu, menjadi tanggung jawab
Ibu untuk mengurusi dan menjaga sebagai anak yang pertama.
Dari situlah sekolah Ibu
terkesampingkan, sementara adik-adik Ibu suda mulai tumbuh besar dan sudah bisa
menikmati pendidikan. Adik-adik Ibu suda bisa melihat Indonesia dengan mata
terang, meskipun teror anti komunis belum redah. Dan dikampung, Ibu terbilang
sangat aman. Distulah adik-adik Ibu mulai menikmati pendidikan dan bahkan
sampai ada yang sarjana, sementara Ibu suda tidak tertarik lagi dengan pendidikan
waktu itu karena suda tumbuh dewasa. Ibu lebih memilih menjadi bagian dari tulang
punggung dari adik-adiknya, lalu kemudian Ibu menikah bersama Ayah dan
melahirkan anak-anak seperti kami yang sangat di cintainya.
***
Munkgin kita akan bertanya, apakah saya
menyesal atau ini bentuk penyesalan dari seorang anak karena Ibu tidak berpendidikan?
Saya katakan tidak. Justru malam ini saya bersyukur dan berbangga hati kepada
Ibu, merenungi sejengkal demi sejengkal kisah perjalanan hidup saya yang penuh
dengan doa dan dukungan seorang Ibu yang sama sekali tidak berpendidikan. Keterbatasan
Ibu, bukanlah bentuk rintangan dan halangan yang akan memotong dan
merobek-robek masa depan anaknya. Kemiskinan Ibu, bukanlah tembok besar
penghalang untuk terus berjuang mewujudkan masa depan anak-anaknya agar lebih
baik. Ibu melihat, nasib yang tidak berpihak baik, ketika dulu masih berumur belasan
tahun, tidak boleh terjadi kepada anak-anaknya. Itulah yang aku baca sikap Ibu
hari ini. Sikap yang dingin dan penuh dengan bimbingan yang akan mengantarkanku
pada surga masa depan. Kata Ibu, yang kita cari hari ini bukanlah kekayaan yang
bergelimang harta, tapi karya—berkaryalah untuk bangsamu agar engkau mempunyai manfaat serta
berguna bagi banyak orang.
Ibu memang pemerhati, pendukung serta
mempunyai keterkesanan dengan orang-orang yang berhasil. Tak jarang, jika ada
orang yang sukses pulang kampung, Ibu akan memberikan pujian dan apresiasi
karena keberhasilan mereka dalam pendidikan. Ibu akan memberikan pujian seperti
ini; lihatlah mereka berhasil karena mereka sekolah dengan baik dan selalu
belajar, maka kalian juga harus seperti mereka meskipun jalur kesuksesan kalian
akan berbeda. Luar biasa kan…..
Itulah Ibu saya, yang selalu
mementingkan pendidikan kepada anak-anaknya. Meskipun sebagian kakakku tidak
menamatkan diri mereka ke Sekolah Menengah dan perguruan tinggi karena
persoalan kemauan diri mereka dan keuangan. Tapi saya adalah sesuatu yang harus
bisa menempuh perguruan tinggi itu, meskipun Ayahku sudah tidak peduli lagi
dengan pendidikanku. Saya dan Ibu sama-sama berjalan diatas duri, penuh onak
dan duri—penuh dengan ketajaman yang sewaktu-waktu akan
menjatuhkan dan melemahkan semangat yang mengebuh-ngebuh ini.
Namun, Ibu tak pernah berpisah dengan
malaikat sucinya—kebersihan
hatinya yang selalu melumpuhkan setiap roh gelap dengan doa-doa sucinya,
setiap waktu menggemah dalam
kesunyian malamnya. Ibu selalu berdoa yang terbaik kepada anak-anaknya, dalam
kesenyapan dengan melantunkan ayat-ayat suci yang saya tak mengerti. Namun
kuyakini doa itulah yang akan membawa aku kelak kepelataran yang megah, yang bernama
sebuah karya—karya untuk sebuah nama yang tercantum dalam sampul
buku, namun bukan skripsi atau sesuatu yang lain. Hehehe……..
Hari
ini, saya tengah berjuang untuk menyelesaikan S1 ku. Dari tahun kemarin
sebenarnya saya mempunyai niat untuk menyelesaikan yang bernama skripsi itu,
namun saya keterbatasan uang dan memaksa saya untuk mencari sedikit rejeki
diluar sana. Dengan keterbatasan uang yang Ibu miliki, membuat saya merenungi setiap
jengkal perjalan saya di sebuah Universitas. Sudah sampai dimanakah saya berada
hari ini dan apa yang aku miliki, dan ternyata saya telah menjadi mahasiswa
semester akhir yang siap bertempur dengan hasil skripsi. Sedangkan untuk ilmu,
saya masih perlu banyak belajar dan membaca buku-buku.
Saya
memang terlambat masuk ke perguruan tinggi selama dua tahun untuk belajar. Setelah
tes TNI tidak lulus dan menjadi penganggur adalah suda menjadi pilihanku waktu
itu, lalu secara perlahan-lahan saya memilih untuk bangkit. Namun keterlambatan
itu bukanlah sesuatu hal yang membuat kita terhenti untuk terus belajar dan
selalu rendah hati kepada orang-orang meskipun itu di bawah umur. Bagiku, semua
orang adalah guru dan semua lingkungan adalah tempat untuk belajar, menyemai, meresapi
setiap kejadian lalu kemudian menimbulkan kepekaan akan realitas sosial untuk bisa
memberikan sedikit perubahan. Itulah harapanku, menjadi peneliti yang suka
berpetualang kemanapun di dunia ini.
Tentu
ini hanya mimpi dan cita-cita dan mungkin juga lelucon atau hanya sebuah
dongeng bagi anda. Namun biarlah langka ini yang akan menentukan seberapa
cepat, dan seberapa kuat kaki ini akan melangkah. Biarlah mimpi-mimpi itu
terbang menerawang lapisan-lapisan langit bersama harapannya yang lebih besar. Dan
suatu saat nanti sejarah yang akan menguji dan berbicara dihadpanku. Peran Ibu
akan terus ku bawah dan hingga terus menemaniku bersama doanya untuk membukakan
jalan itu. Ibu selama ini terus mendukungku dengan apa yang menjadi impianku
itu. Semoga saja terwujud……..
Ia,
itulah Ibu saya, Ibu terhebat yang saya miliki. Ibu yang berhati suci seperti
malaikat kiriman Tuhan untuk sebuah kemaslahatan yang lebih besar. Itulah Ibu
saya, Ibu yang dengan ridhonya berkorban mempertarukan seluruh jiwa dan raganya
tanpa Ayah. Membimbing jalanku, berdoa, menafkahi dengan setulus hati serta
mengajarkanku untuk selalu bersyukur dan menghargai seluruh kehidupan di alam
ini. Itulah Ibu saya, Ibu yang terhebat di dunia.
Apakah
Ibu anda seperti Ibu aku! Semoga saja setiap Ibu, berhati suci seperti sang
malaikat kiriman Tuhan. Dan itulah Ibu anda sekalian…...
Kendari,
16 Februari 2016
Laode
Halaidin
0 komentar:
Posting Komentar