16 Februari 2016

Ibu Hebat, Itulah Ibu Saya

Ibu ku tersayang
JIKA kebanyakan orang tua yang terus memikirkan dan mendorong anaknya untuk sekolah atau masuk perguruan tinggi adalah dari kalangan pegawai negeri (untuk dikampung yang saya tinggali) atau dari kalangan orang-orang yang mempunyai kekayaan (untuk di kota-kota), Ibu saya adalah sesuatu yang lain. Ibu saya selalu menyeruhkan kepada kami untuk selalu berpendidikan. Ibu saya tidak pernah gerah dengan kemiskinan yang kami miliki. Bahkan dengan keterbatasan itu, Ibu saya selalu memberikan nasehat atau sebuah pesan bahwa saya mempunyai hak untuk memperoleh nasib yang baik dimasa depan dengan berpendidikan. Pendidikan adalah sesuatu yang penting untuk masa depan kalian dan nasib kalian anak-anakku, harus lebih baik daripada kami. Seperti itulah nasehat Ibu, yang selalu tertanam dalam benak ini, dan sampai malam ini saya tak bisa melupakan kata-kata itu.
Bahkan jika saya pikir-pikir, ini melampaui pemikiran orang tua yang umurnya di bawah Ibu, yang membiarkan anak mereka keliaran di jalan-jalan dan tak menghiraukan pendidikannya. Sungguh Ibu adalah Ibu yang terhebat yang saya miliki. Aku bangga punya Ibu, seperti Ibu hari ini, lusa dan Ibu selamanya.
***
Cerita tentang Ibu, memang benar adanya, Ibu tidak berpendidikan. Bahkan dari cerita-cerita Ibu dulu, waktu sekolah Dasar saja susahnya bukan main. Sebagai Ibu yang lahir pada masa penjajahan, zaman orde baru dan berada dikampung yang terpencil, memang akan sangat susah untuk memperoleh pendidikan. Ditambah lagi dengan keterbatasan ekonomi waktu itu, yang memaksa Ibu harus bertani pada umur yang seharusnya menikmati bagaimana seruhnya pendidikan Sekolah Dasar. Disana, ditempat yang seharusnya Ibu dapat bermain bersama teman-teman, menikmati masa kecil di dunia pendidikan dan bisa mengenal diri sendiri serta lingkungan. Namun nasib Ibu berkehendak lain, dan tidak menamatkan Sekolah Dasarnya.
Banyak yang ku serap dari cerita-cerita Ibu waktu dulu, terutama bagaimana Ibu sehingga tidak bisa berpendidikan. Mulai takutnya kepada penjajah kolonialis yang masih berkuasa sesudah kemerdekaan, teror kekuasaan otoriter pada orde baru yang anti komunis, membunuh dan menculik yang sepaham dengan komunis (meskipun Ibu dan orang tua Ibu bukan komunis) sampai dengan adanya keterbatasan ekonomi/kemiskinan, akibat pecahnya perang dalam negeri yakni munculnya berbagai pemberontak di berbagai daerah. Bahkan Ibu pernah menceritakan kepada saya bahwa waktu umur yang masih belasan tahun, Ibu sudah disibukan dengan menjaga adik-adik Ibu yang seharusnya Ibu dapat menikmati yang namanya sekolah waktu itu. Karena kemiskinan yang menderah bahkan ada warga yang mati karena kelaparan, ini memaksa orang tua Ibu harus mencari uang di seberang sana dengan berjalan kaki dan berlayar berhari-hari untuk berdagang dan membeli makanan. Dan adik-adik Ibu, menjadi tanggung jawab Ibu untuk mengurusi dan menjaga sebagai anak yang pertama.
Dari situlah sekolah Ibu terkesampingkan, sementara adik-adik Ibu suda mulai tumbuh besar dan sudah bisa menikmati pendidikan. Adik-adik Ibu suda bisa melihat Indonesia dengan mata terang, meskipun teror anti komunis belum redah. Dan dikampung, Ibu terbilang sangat aman. Distulah adik-adik Ibu mulai menikmati pendidikan dan bahkan sampai ada yang sarjana, sementara Ibu suda tidak tertarik lagi dengan pendidikan waktu itu karena suda tumbuh dewasa. Ibu lebih memilih menjadi bagian dari tulang punggung dari adik-adiknya, lalu kemudian Ibu menikah bersama Ayah dan melahirkan anak-anak seperti kami yang sangat di cintainya.
***
Munkgin kita akan bertanya, apakah saya menyesal atau ini bentuk penyesalan dari seorang anak karena Ibu tidak berpendidikan? Saya katakan tidak. Justru malam ini saya bersyukur dan berbangga hati kepada Ibu, merenungi sejengkal demi sejengkal kisah perjalanan hidup saya yang penuh dengan doa dan dukungan seorang Ibu yang sama sekali tidak berpendidikan. Keterbatasan Ibu, bukanlah bentuk rintangan dan halangan yang akan memotong dan merobek-robek masa depan anaknya. Kemiskinan Ibu, bukanlah tembok besar penghalang untuk terus berjuang mewujudkan masa depan anak-anaknya agar lebih baik. Ibu melihat, nasib yang tidak berpihak baik, ketika dulu masih berumur belasan tahun, tidak boleh terjadi kepada anak-anaknya. Itulah yang aku baca sikap Ibu hari ini. Sikap yang dingin dan penuh dengan bimbingan yang akan mengantarkanku pada surga masa depan. Kata Ibu, yang kita cari hari ini bukanlah kekayaan yang bergelimang harta, tapi karya—berkaryalah untuk bangsamu agar engkau mempunyai manfaat serta berguna bagi banyak orang.
Ibu memang pemerhati, pendukung serta mempunyai keterkesanan dengan orang-orang yang berhasil. Tak jarang, jika ada orang yang sukses pulang kampung, Ibu akan memberikan pujian dan apresiasi karena keberhasilan mereka dalam pendidikan. Ibu akan memberikan pujian seperti ini; lihatlah mereka berhasil karena mereka sekolah dengan baik dan selalu belajar, maka kalian juga harus seperti mereka meskipun jalur kesuksesan kalian akan berbeda. Luar biasa kan…..
Itulah Ibu saya, yang selalu mementingkan pendidikan kepada anak-anaknya. Meskipun sebagian kakakku tidak menamatkan diri mereka ke Sekolah Menengah dan perguruan tinggi karena persoalan kemauan diri mereka dan keuangan. Tapi saya adalah sesuatu yang harus bisa menempuh perguruan tinggi itu, meskipun Ayahku sudah tidak peduli lagi dengan pendidikanku. Saya dan Ibu sama-sama berjalan diatas duri, penuh onak dan duripenuh dengan ketajaman yang sewaktu-waktu akan menjatuhkan dan melemahkan semangat yang mengebuh-ngebuh ini.
Namun, Ibu tak pernah berpisah dengan malaikat sucinyakebersihan hatinya yang selalu melumpuhkan setiap roh gelap dengan doa-doa sucinya, setiap waktu menggemah dalam kesunyian malamnya. Ibu selalu berdoa yang terbaik kepada anak-anaknya, dalam kesenyapan dengan melantunkan ayat-ayat suci yang saya tak mengerti. Namun kuyakini doa itulah yang akan membawa aku kelak kepelataran yang megah, yang bernama sebuah karya—karya untuk sebuah nama yang tercantum dalam sampul buku, namun bukan skripsi atau sesuatu yang lain. Hehehe……..
Hari ini, saya tengah berjuang untuk menyelesaikan S1 ku. Dari tahun kemarin sebenarnya saya mempunyai niat untuk menyelesaikan yang bernama skripsi itu, namun saya keterbatasan uang dan memaksa saya untuk mencari sedikit rejeki diluar sana. Dengan keterbatasan uang yang Ibu miliki, membuat saya merenungi setiap jengkal perjalan saya di sebuah Universitas. Sudah sampai dimanakah saya berada hari ini dan apa yang aku miliki, dan ternyata saya telah menjadi mahasiswa semester akhir yang siap bertempur dengan hasil skripsi. Sedangkan untuk ilmu, saya masih perlu banyak belajar dan membaca buku-buku.
Saya memang terlambat masuk ke perguruan tinggi selama dua tahun untuk belajar. Setelah tes TNI tidak lulus dan menjadi penganggur adalah suda menjadi pilihanku waktu itu, lalu secara perlahan-lahan saya memilih untuk bangkit. Namun keterlambatan itu bukanlah sesuatu hal yang membuat kita terhenti untuk terus belajar dan selalu rendah hati kepada orang-orang meskipun itu di bawah umur. Bagiku, semua orang adalah guru dan semua lingkungan adalah tempat untuk belajar, menyemai, meresapi setiap kejadian lalu kemudian menimbulkan kepekaan akan realitas sosial untuk bisa memberikan sedikit perubahan. Itulah harapanku, menjadi peneliti yang suka berpetualang kemanapun di dunia ini.
Tentu ini hanya mimpi dan cita-cita dan mungkin juga lelucon atau hanya sebuah dongeng bagi anda. Namun biarlah langka ini yang akan menentukan seberapa cepat, dan seberapa kuat kaki ini akan melangkah. Biarlah mimpi-mimpi itu terbang menerawang lapisan-lapisan langit bersama harapannya yang lebih besar. Dan suatu saat nanti sejarah yang akan menguji dan berbicara dihadpanku. Peran Ibu akan terus ku bawah dan hingga terus menemaniku bersama doanya untuk membukakan jalan itu. Ibu selama ini terus mendukungku dengan apa yang menjadi impianku itu. Semoga saja terwujud……..
Ia, itulah Ibu saya, Ibu terhebat yang saya miliki. Ibu yang berhati suci seperti malaikat kiriman Tuhan untuk sebuah kemaslahatan yang lebih besar. Itulah Ibu saya, Ibu yang dengan ridhonya berkorban mempertarukan seluruh jiwa dan raganya tanpa Ayah. Membimbing jalanku, berdoa, menafkahi dengan setulus hati serta mengajarkanku untuk selalu bersyukur dan menghargai seluruh kehidupan di alam ini. Itulah Ibu saya, Ibu yang terhebat di dunia.
Apakah Ibu anda seperti Ibu aku! Semoga saja setiap Ibu, berhati suci seperti sang malaikat kiriman Tuhan. Dan itulah Ibu anda sekalian…...

                                                                                                Kendari, 16 Februari 2016
                                                                                                Laode Halaidin

0 komentar:

Posting Komentar