24 Februari 2016

Birokrasi Kemewahan, Rakyat di Desa Kemiskinan

Ilustrasi dari: news.lewatmana.com

Dalam tulisan ini, mungkin kita pantas mengutip perkataan St. Agustinus 1700 tahun yang lalu dalam buku; Menerjang Badai Kekuasaan karya Daniel Dhakidae “nos habemus luxuriam atque avaritim, publice egestatem, privatim opulentim”, yang kita miliki adalah kemewahan dan kerakusan, untuk kepentingan umum kita miskin, tapi untuk kepentingan pribadi berlimpah-ruah kekayaan.
Ia, beginilah kondisi bangsa kita diberbagai daerah hari ini. Di beberapa daerah kita dapat menyaksikan betapa menganganya ketimpangan antara masyarakat kota dan desa. Di kota laporan dibuat dalam berbagai ragam rupa dan semua terkesan baik-baik saja. Sementara kehidupan masyarakat semakin terhimpit oleh nestapa yang berkepanjangan dan tak kunjung membaik karena tak tersentu program-program pemerintah daerahnya.
Kita terkadang selalu dibawah dengan romantisme keberhasilan yang dipamerkan dalam kegiatan-kegiatan formal bahwa kondisi hidup masyarakat suda ber-kebaikan, ber-kesejahteraan. Kita selalu terlena dengan penghargaan yang diterima oleh seoarang kepala daerah, namun penghargaan itu tak jelas apakah berkaitan dan menyentuh langsung yang kemudian dapat merubah kondisi ekonomi masyarakat atau memang penghargaan karena taraf hidup birokrasinya meningkat.
Dengan kondisi seperti ini, selalu membawa kita berada dalam sikap yang pesimis. Kita selalu mempertanyakan itu, apakah birokrasi pemerintah daerah baik kota maupun provinsi memang bekerja untuk kemaslahatan masyarakatnya, merubah kondisi hidup masyarakat dengan sentuhan program-programnya atau hanya mengejar jabatan yang kemudian akan berpengaruh terhadap kekayaannya lalu mempertontonkan kemewahannya kepada banyak orang.
Entahlah……
Namun kondisi dan gambaran dengan apa yang saya lihat hari ini mungkin akan berkesesuaian.
***
Jika kita menyusuri Kota Kendari, terlihat sangat biasa-biasa saja. Tak ada hal yang luar biasa seperti di Jakarta yang mempunyai banyak hotel berbintang lima dengan gedung berpuluh-puluh tingkat, jalan tol, perusahaan-perusahaan dengan gedung-gedungnya yang megah, bandara yang berskala internasional atau pelabuhan besar sebagai tempat persinggahan kapal luar negeri yang memuat barang ekspor-impor dan lain sebagainya. Kota Kendari hanyalah kota ruko yang berjejer disepanjang jalan. Dan hingar-bingar terlihat dan terdengar ketika pagi pergi ke kantor dan sore pulang dari kantor. Hal itupun tak menimbulkan kemacetan yang besar seperti di kota-kota metropolit.
Keadaan masyarakatnya juga di bagian wilayah Kota Kendari memang sangat relatif dan memperlihatkan bahwa keadaannya menampakan seperti tak ada apa-apa disini. Tak banyak kita menyaksikan para pengemis dijalanan sana, meskipun itu ada namun tidak membludak seperti halnya di Kota-kota besar. Sama halnya jika kita menyusuri seluruh daerah Sulawesi Tenggara, semua memperlihatkan hal yang sama, tak ada permasalahan dengan keadaan ekonomi masyarakatnya. Data-data juga mengatakan hal seperti itu bahwa kesejahteraan masyarakatnya meningkat setiap tahun.
Saya selalu skeptis dengan data-data yang dilaporkan, termasuk laporan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam baru-baru ini, ketika pejabat pusat ketua Majelis Permusyawaran Rakyat (MPR) Zulkifli Hasan berkunjung di Kendari. Dia hanya melaporkan angka-angka itu dengan takjubnya bahwa Sulawesi Tenggara suda ber-keadaan lebih baik, infrastruktur baik, ekonomi baik dan tidak menjelaskan secara lebih detail.
Publik lalu terkesan dan terhipnotis dengan laporan itu. Namun di realitas kehidupan masyarakat fakta berbicara lain.
Saya punya pengalaman (namun ini hanya di sebagian kecil wilayah yang saya kunjungi), di wilayah Kota Kendari tahun 2015 lalu. Pada saat itu saya bergabung dengan Gerakan Kendari Mengajar (GKM), melakukan kegiatan sosial seperti pengajaran kepada anak-anak. Awalnya saya tidak mengetahui  kondisi tempatnya seperti apa karena daerah tersebut belum pernah saya kunjungi, namun teman-teman suda diperkenalkan bahwa tempat mengajarnya di Pulonggida. Pulonggida terletak di pinggiran Kota Kendari, kelurahan Watulondo, Puuwatu. Hari pertama berkunjung untuk melakukan pengajaran, saya tersenyum miris ketika melihat jalananya yang begitu rusak dan hanya pengerasan.
Pada saat yang sama, seorang teman bercerita bahwa listrik di Pulonggida belum masuk. Kedua kalinya saya tersenyum miris bahwa dibalik penghargaan yang dibangga-banggakan, ada nestapa yang tersembunyi disemak-semak belukar penderitaan masyarakat. Di depan publik kemiskinan itu tidak berani dibuka, namun yang dipamerkan hanyalah keberhasilan. Namun tidak jelas keberhasilan seperti apa. Saya hanya mendengarkan celoteh teman itu dan saya ingin melihatnya langsung. Dan yang ada memang hanya tiang dan kabel-kabel yang memanjang dari ujung-keujung. Kata sahabat itu, sudah berpuluh-puluh tahun masyarakat Pulonggida belum menikmati penerangan listrik.
Dalam pengajaran itu, bersama sahabat-sahabat kami menikmatinya dan pada malam minggunya kami bersama-sama melakukan kegiatan nonton bersama, dengan masyarakat Pulonggida dengan memakai genset. Film yang kami nonton adalah laskar pelangi yang diangkat dari kisah novel Andrea Hirata.
Di Kabupaten Muna juga mengalami hal yang sama. Salah satu desa di Kabupaten Muna, Desa Latampu dan Kampung Baru masyarakatnya juga belum menikmati penerangan listrik bahkan suda berpuluh-puluh tahun. Yang ada hanyalah tiang listrik dan kabel telanjang yang memanjang dari ujung ke ujung. Infrastruktur jalan juga masih pengerasan dan belum teraspal suda berpuluh-puluh tahun lamanya.
Apa yang ingin saya katakan disini, bahwa ketimpangan antara kota sebagai pusat pemerintahan dan desa begitu kental. Kisah diatas dapat menjelaskan itu, di desa kemiskinan begitu menyelimuti dalam setiap detak nadir kehidupan mereka. Masyarakat desa seperti terasing dari hingar-bingar akan perubahan zaman. Masyarakat desa seperti tetap berpijak pada bumi yang sama, tetap berdasar pada tanah, sementara masyarakat kota terutama para birokrasi yang bekerja di pemerintahan daerah kota dan provinsi, dasar berpijaknya adalah suda berada di langit.
***
Ada yang membuat naluriku tergetar, ketika di kantor-kantor seperti Walikota atau Gubernur berjejer mobil-mobil mewah. Waktu berkunjung di kantor Gubernur Sulawesi Tenggara saya terheran-heran, bukan berarti baru pertama kali melihat mobil-mobil mewah namun betapa banyaknya mobil-mobil mewah yang berjejer. Saya menduga bahwa semua itu adalah milik birokrasinya. Semua bermacam-macam mobil bercampur disana. Ada yang ber-plat nomor pribadi dan ada juga mobil milik dinas yang ber-plat merah. Sama halnya ketika hari ini saya berkesempatan berkunjung di kantor Walikota Kendari, yang dipenuhi mobil-mobil mewah. Seperti halnya pameran-pameran mobil, disana ada mobil Avansa, Agya, Aytec, Freed, Flash dan berbagai mobil mewah lainnya.
Yang ingin saya katakan disini bahwa budaya pamer-memamerkan kemewahan dan kekayaan begitu kental di lingkungan birokrasi pemerintahan, termasuk di Kantor Walikota Kendari dan Kantor Gubernur Sulawesi Tenggara. Sebagai tempat pusat pemerintahan daerah provinsi Sulawesi Tenggara, memang kita tak bisa memungkiri bahwa semua kegiatan pembahasan kebijakan, termasuk kekuasaan ekonomi-politik bersarang di Ibu kota daerah. Proyek-proyek besar, semua berada pada genggaman di pusat kota, sehingga akumulasi kekayaan menimbulkan suatu distorsi yang dengan sangat memilukan. Masyarakat desa hanya menungguh ampas dari kota, bahkan ada juga yang tidak mendapatakan apa-apa.
***
Di Kota Kendari kita dapat menyaksikan kelas menengah dan kelas atas tumbuh bak jamur dimusim hujan. Dan semua itu, berada disamping atau berdekatan atau juga masuk dalam lingkungan kekuasaan. Inilah bentuk dari sistem kapitalisme awal moderen dari kota, bahwa akibat dari masuknya negara dalam kepengurusan kota sehingga seluruh keuntungan masuk ke dalam kota dan menjadikan kota sebagai pusat kehidupan dan pusat kekuasaan ekonomi-politik. Dan sampai pada akhirnya mereka yang menjadi birokrasi di pemerintahan daerah baik kota maupun provinsi berleha-leha dengan menikmati kemewahan dan kekayaan yang datangnya dari berbagai macam proyek. Sementara masyarakat desa, linglung akibat proyek-proyek tersebut yang tak kunjung tiba dan boleh jadi proyek yang bukan bersentuhan langsung untuk kemudian bisa merubah kondisi ekonomi masyarakat.
Kepentingan publik selalu terabaikan, namun untuk kepentingan pribadi dan kelompok ter-perhatikan. Inilah yang saya saksikan hari ini di Kota Kendari Sulawesi Tenggara. Pamer-memamer kemewahan dan kekayaan itu ada, tak terkecuali di tubuh birokrasi.

                                                                                                Kendari, 25 Februari 2016
                                                                                                Laode Halaidin

0 komentar:

Posting Komentar