Ilustrasi dari: news.lewatmana.com |
Dalam tulisan ini, mungkin kita pantas
mengutip perkataan St. Agustinus 1700 tahun yang lalu dalam buku; Menerjang
Badai Kekuasaan karya Daniel Dhakidae “nos habemus luxuriam atque avaritim,
publice egestatem, privatim opulentim”, yang kita miliki adalah kemewahan dan
kerakusan, untuk kepentingan umum kita miskin, tapi untuk kepentingan pribadi
berlimpah-ruah kekayaan.
Ia, beginilah kondisi bangsa kita diberbagai
daerah hari ini. Di beberapa daerah kita dapat menyaksikan betapa menganganya
ketimpangan antara masyarakat kota dan desa. Di kota laporan dibuat dalam
berbagai ragam rupa dan semua terkesan baik-baik saja. Sementara kehidupan
masyarakat semakin terhimpit oleh nestapa yang berkepanjangan dan tak kunjung membaik
karena tak tersentu program-program pemerintah daerahnya.
Kita terkadang selalu dibawah dengan romantisme
keberhasilan yang dipamerkan dalam kegiatan-kegiatan formal bahwa kondisi hidup
masyarakat suda ber-kebaikan, ber-kesejahteraan. Kita selalu terlena dengan
penghargaan yang diterima oleh seoarang kepala daerah, namun penghargaan itu
tak jelas apakah berkaitan dan menyentuh langsung yang kemudian dapat merubah
kondisi ekonomi masyarakat atau memang penghargaan karena taraf hidup
birokrasinya meningkat.
Dengan kondisi seperti ini, selalu membawa
kita berada dalam sikap yang pesimis. Kita selalu mempertanyakan itu, apakah
birokrasi pemerintah daerah baik kota maupun provinsi memang bekerja untuk
kemaslahatan masyarakatnya, merubah kondisi hidup masyarakat dengan sentuhan
program-programnya atau hanya mengejar jabatan yang kemudian akan berpengaruh
terhadap kekayaannya lalu mempertontonkan kemewahannya kepada banyak orang.
Entahlah……
Namun kondisi dan gambaran dengan apa
yang saya lihat hari ini mungkin akan berkesesuaian.
***
Jika kita menyusuri Kota Kendari, terlihat
sangat biasa-biasa saja. Tak ada hal yang luar biasa seperti di Jakarta yang
mempunyai banyak hotel berbintang lima dengan gedung berpuluh-puluh tingkat,
jalan tol, perusahaan-perusahaan dengan gedung-gedungnya yang megah, bandara
yang berskala internasional atau pelabuhan besar sebagai tempat persinggahan
kapal luar negeri yang memuat barang ekspor-impor dan lain sebagainya. Kota
Kendari hanyalah kota ruko yang berjejer disepanjang jalan. Dan hingar-bingar
terlihat dan terdengar ketika pagi pergi ke kantor dan sore pulang dari kantor.
Hal itupun tak menimbulkan kemacetan yang besar seperti di kota-kota
metropolit.
Keadaan masyarakatnya juga di bagian
wilayah Kota Kendari memang sangat relatif dan memperlihatkan bahwa keadaannya
menampakan seperti tak ada apa-apa disini. Tak banyak kita menyaksikan para
pengemis dijalanan sana, meskipun itu ada namun tidak membludak seperti halnya
di Kota-kota besar. Sama halnya jika kita menyusuri seluruh daerah Sulawesi
Tenggara, semua memperlihatkan hal yang sama, tak ada permasalahan dengan
keadaan ekonomi masyarakatnya. Data-data juga mengatakan hal seperti itu bahwa
kesejahteraan masyarakatnya meningkat setiap tahun.
Saya selalu skeptis dengan data-data
yang dilaporkan, termasuk laporan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam baru-baru
ini, ketika pejabat pusat ketua Majelis Permusyawaran Rakyat (MPR) Zulkifli
Hasan berkunjung di Kendari. Dia hanya melaporkan angka-angka itu dengan
takjubnya bahwa Sulawesi Tenggara suda ber-keadaan lebih baik, infrastruktur
baik, ekonomi baik dan tidak menjelaskan secara lebih detail.
Publik lalu terkesan dan terhipnotis
dengan laporan itu. Namun di realitas kehidupan masyarakat fakta berbicara
lain.
Saya punya pengalaman (namun ini hanya
di sebagian kecil wilayah yang saya kunjungi), di wilayah Kota Kendari tahun
2015 lalu. Pada saat itu saya bergabung dengan Gerakan Kendari Mengajar (GKM),
melakukan kegiatan sosial seperti pengajaran kepada anak-anak. Awalnya saya
tidak mengetahui kondisi tempatnya
seperti apa karena daerah tersebut belum pernah saya kunjungi, namun
teman-teman suda diperkenalkan bahwa tempat mengajarnya di Pulonggida. Pulonggida
terletak di pinggiran Kota Kendari, kelurahan Watulondo, Puuwatu. Hari pertama
berkunjung untuk melakukan pengajaran, saya tersenyum miris ketika melihat
jalananya yang begitu rusak dan hanya pengerasan.
Pada saat yang sama, seorang teman
bercerita bahwa listrik di Pulonggida belum masuk. Kedua kalinya saya tersenyum
miris bahwa dibalik penghargaan yang dibangga-banggakan, ada nestapa yang
tersembunyi disemak-semak belukar penderitaan masyarakat. Di depan publik
kemiskinan itu tidak berani dibuka, namun yang dipamerkan hanyalah
keberhasilan. Namun tidak jelas keberhasilan seperti apa. Saya hanya mendengarkan
celoteh teman itu dan saya ingin melihatnya langsung. Dan yang ada memang hanya
tiang dan kabel-kabel yang memanjang dari ujung-keujung. Kata sahabat itu, sudah
berpuluh-puluh tahun masyarakat Pulonggida belum menikmati penerangan listrik.
Dalam pengajaran itu, bersama
sahabat-sahabat kami menikmatinya dan pada malam minggunya kami bersama-sama
melakukan kegiatan nonton bersama, dengan masyarakat Pulonggida dengan memakai
genset. Film yang kami nonton adalah laskar pelangi yang diangkat dari kisah novel
Andrea Hirata.
Di Kabupaten Muna juga mengalami hal
yang sama. Salah satu desa di Kabupaten Muna, Desa Latampu dan Kampung Baru
masyarakatnya juga belum menikmati penerangan listrik bahkan suda
berpuluh-puluh tahun. Yang ada hanyalah tiang listrik dan kabel telanjang yang
memanjang dari ujung ke ujung. Infrastruktur jalan juga masih pengerasan dan
belum teraspal suda berpuluh-puluh tahun lamanya.
Apa yang ingin saya katakan disini, bahwa
ketimpangan antara kota sebagai pusat pemerintahan dan desa begitu kental. Kisah
diatas dapat menjelaskan itu, di desa kemiskinan begitu menyelimuti dalam
setiap detak nadir kehidupan mereka. Masyarakat desa seperti terasing dari
hingar-bingar akan perubahan zaman. Masyarakat desa seperti tetap berpijak pada
bumi yang sama, tetap berdasar pada tanah, sementara masyarakat kota terutama
para birokrasi yang bekerja di pemerintahan daerah kota dan provinsi, dasar
berpijaknya adalah suda berada di langit.
***
Ada yang membuat naluriku tergetar,
ketika di kantor-kantor seperti Walikota atau Gubernur berjejer mobil-mobil
mewah. Waktu berkunjung di kantor Gubernur Sulawesi Tenggara saya
terheran-heran, bukan berarti baru pertama kali melihat mobil-mobil mewah namun
betapa banyaknya mobil-mobil mewah yang berjejer. Saya menduga bahwa semua itu
adalah milik birokrasinya. Semua bermacam-macam mobil bercampur disana. Ada
yang ber-plat nomor pribadi dan ada juga mobil milik dinas yang ber-plat merah.
Sama halnya ketika hari ini saya berkesempatan berkunjung di kantor Walikota
Kendari, yang dipenuhi mobil-mobil mewah. Seperti halnya pameran-pameran mobil,
disana ada mobil Avansa, Agya, Aytec, Freed, Flash dan berbagai mobil mewah
lainnya.
Yang ingin saya katakan disini bahwa
budaya pamer-memamerkan kemewahan dan kekayaan begitu kental di lingkungan
birokrasi pemerintahan, termasuk di Kantor Walikota Kendari dan Kantor Gubernur
Sulawesi Tenggara. Sebagai tempat pusat pemerintahan daerah provinsi Sulawesi
Tenggara, memang kita tak bisa memungkiri bahwa semua kegiatan pembahasan
kebijakan, termasuk kekuasaan ekonomi-politik bersarang di Ibu kota daerah. Proyek-proyek
besar, semua berada pada genggaman di pusat kota, sehingga akumulasi kekayaan
menimbulkan suatu distorsi yang dengan sangat memilukan. Masyarakat desa hanya
menungguh ampas dari kota, bahkan ada juga yang tidak mendapatakan apa-apa.
***
Di Kota Kendari kita dapat menyaksikan kelas
menengah dan kelas atas tumbuh bak jamur dimusim hujan. Dan semua itu, berada disamping
atau berdekatan atau juga masuk dalam lingkungan kekuasaan. Inilah bentuk dari sistem
kapitalisme awal moderen dari kota, bahwa akibat dari masuknya negara dalam
kepengurusan kota sehingga seluruh keuntungan masuk ke dalam kota dan menjadikan
kota sebagai pusat kehidupan dan pusat kekuasaan ekonomi-politik. Dan sampai
pada akhirnya mereka yang menjadi birokrasi di pemerintahan daerah baik kota
maupun provinsi berleha-leha dengan menikmati kemewahan dan kekayaan yang
datangnya dari berbagai macam proyek. Sementara masyarakat desa, linglung
akibat proyek-proyek tersebut yang tak kunjung tiba dan boleh jadi proyek yang
bukan bersentuhan langsung untuk kemudian bisa merubah kondisi ekonomi
masyarakat.
Kepentingan publik selalu terabaikan,
namun untuk kepentingan pribadi dan kelompok ter-perhatikan. Inilah yang saya
saksikan hari ini di Kota Kendari Sulawesi Tenggara. Pamer-memamer kemewahan
dan kekayaan itu ada, tak terkecuali di tubuh birokrasi.
Kendari,
25 Februari 2016
Laode
Halaidin
0 komentar:
Posting Komentar