HARI KAMIS itu, saya
mempunyai keinginan untuk memasuki perpustakaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis
(FEB) Universitas Halu Oleo (UHO) untuk melihat buku-buku yang saya sukai
kemudian dengan senang hati saya akan membacanya. Seperti biasanya saya selalu
meluangkan waktu untuk membaca diperpustakaan FEB-UHO dalam tiga kali seminggu
tetapi terkadang juga lebih dan juga kurang tergantung kepadatan kuliah.
Perpustakaan
FEB sangat terbilang sederhana, dan buku-bukunya juga lumayan banyak untuk ukuran
jumlah Mahasiswa FEB-UHO, yang mungkin jika dibandingkan dengan perpustakaan di
Universitas-Universitas ternama di Indonesia seperti Universitas Indonesia
(UI), Universitas Gaja Mada (UGM), Universitas Hasanudin (UNHAS) sangat
tergolong maju, mempunyai buku-buku koleksi berbagai model/variasi dan juga bangunan
perpustakaannya sangat bagus nan Indah ala Istana. Saya pun mempunyai keinginan
untuk memasuki perpustakaan di Universitas-Universitas ternama ini walaupun tidak
mengetahui jelas kapan waktunya.
Minat membaca mahasiswanya
pun, sangat biasa-biasa saja seperti yang saya lihat ketika memasuki perpustakaan
ini, hanya sebagian kecil dari mahasiswa yang membaca bahkan bisa dihitung dengan
jari tangan sedangkan presentase mahasiswa berjumlah ratusan orang. Perpustakaan
FEB ini hanya dijadikan mahasiswa sebagai alat untuk menyelesaikan tugas dan
mencari refrensi-refrensi dan literature-literatur pustaka dalam penyelesaian Skripsi.
Saya bukan tidak setuju dengan hal tersebut, namun bukankah sebaiknya perpustakaan
dijadikan sebagai Istana yang megah, yang mempunyai berbagai macam hiasan-hiasan
dan berbagai bentuk-bentuk yang bersejarah sehingga menarik perhatian kita
untuk menelusuri dan menjelajahinya.
Perpustakaan menyimpan
berbagai senjata, ruang-ruang, serta gudang-gudang tulisan untuk memasuki dan
menjelajahi sesuatu yang belum kita sentuh dan kita ketahui, yang salahsatunya adalah
sebuah buku. Seperti yang diungkapkan dalam buku “Mengenggam Dunia” catatan sang
advonturir Gola Gong bahwa “buku adalah pintu menuju hal-hal baru, yang akan
membelit tubuh dan jiwa begitu kita memasukinya, buku juga merupakan jendela,
dimana dari keempat sisinya kita bisa menjelajah ke negeri impian, menjadikan
kita berfikir cerdas, kritis, dan membangun rasa percaya diri. Jadi, sangatlah
jelas bahwa perpustakaan sangat penting untuk hadir ditengah kehidupan manusia
saat ini. Tujuannya bukan hanya menarik simpati dari kalangan akademik tetapi
juga kalangan nonakademik yang luas.
Kembali pada topic diatas,
bahwasannya perpustakaan FEB ini dipenuhi buku-buku yang berbaur mata kuliah/pelajaran
misalnya buku Ekonomi Mikro, Makro dan lain-lain dan kurang sekali buku yang berbaur
tulisan-tulisan nonfiksi seperti Opini, resensi buku, atau tulisan-tulisan yang
berisi pengalaman pribadi seseorang. Saya bukan tidak menyukai tulisan nonfiksi
yang berbaur mata kuliah/pelajaran tetapi memang kesukaan saya lebih condong
kepada buku-buku nonfiksi seperti opini atau tulisan-tulisan yang berisi pengalaman
pribadi, resensi buku dan juga tulisan-tulisan fiksi seperti novel dan lain sebagainya.
Pada saat memasuki
perpustakaan FEB ini, saya tidak sengaja menemukan buku yang berjudul Ekspose
Ekonomika, Mewaspadai Globalisasi dan Pasar-Bebas Edisi Baru 2010 karya Sri-Edi
Swasono. Setelah saya baca lembar per lembar dan bab per bab, maka sampailah saya
menemuka bab ke X yang judulnya Kompetensi Sarjana Ekonomi Kita. Dalam hati saya
sempat bertanya-bertanya apa isi yang ditulis dalam judul ini. Apakah akan
menceritakan betapa gagalnya sarjana ekonomi kita yang duduk di pemerintahan dalam
menangani perekonomian nasional. Atau apakah akan mengangkat isu-isu mengenai
ilmu sarjana ekonomi kita yang mengajar di kampus-kampus di seluruh Indonesia.
Memang menarik untuk
mengamati pengajaran yang dilakukan oleh
dosen-dosen ilmu ekonomi di negeri kita ini. Dimana, untuk mengetahui apakah
pengajaran mereka lebih dominan pada pengajaran ilmu ekonomi yang sesuai dengan
konstitusional kita yang berideologikan Pancasila dan UUD 1945 atau malah pengajaran
yang condong pada ilmu ekonomi klasikal dan neoklasikal yang mengagungkan pasar-bebas
sehingga dapat membentuk system ekonomi yang kita kenal sebagai liberalisme dan
neoliberalisme.
Perang ide dan gagasan
di dunia ini memang sudah lama terjadi, sebagai penyebab berbagai komplikasi problem
yang dihadapi oleh sebagian negara belahan di dunia. Persoalan besarnya yang
dihadapi adalah ada pada persoalan ekonomi, yang kemudian disusul oleh persoalan
ideology, politik, social budaya, agama dan lain-lain atau biasa di sebut dengan
persoalan nonekonomi. Persoalan ekonomi dan non ekonomi ini tentu saling berkaitan
satu sama lain.
Perang ide atau gagasan
ini kita dapat mencatat, mulai dari para pemikiran-pemikiran ekonomi pra-klasik,
seperti Plato, Aristoteles pada masa Yunani Kuno, pemikir Klasik Adam Smith dan
neo-klasik yang mengemban paham liberal dan neoliberal, dan pemikir Sosialis-Komunis
oleh Karl Marx. Selain hal diatas, ada juga para aliran pandangan pemikir
ekonomi non-mainstream seperti aliran historis yang tokohnya a.l. Fredrich List
dll, selanjutnya aliran Institusional ekonomi yang tokohnya a.l. Thorstein Vablen,
pemikir ekonomi modern a.l. John Maynard Keynes dan masih banyak lagi aliran dan
pemikir lainnya.
Yang ingin saya sampaikan
disini adalah problem ekonomi yang terjadi di berbagai negara tentu sangat
berbeda-beda. Kultur ekonomi pada abad ke-30-an, 80-an dan pada era sekarang
juga sangat berbeda a.l. bisa berbeda Ideologi, social budaya, politik, kelembagaan,
dan lain sebagainya sehingga secara keseluruhan tidak dapat lagi memenuhi sesuai
dengan institusioanal ekonominya. Menerapkan pemikiran-pemikiran seperti yang saya
tulis didepan dalam konteks negara Indonesia, merupakan hal yang sangat absurditas
tanpa menelaah lebih dalam teori-teori tersebut.
Mempelajari perkembangan
pemikiran ekonomi bukan sesuatu yang salah, ketika kita mengkajinya sesuai dengan
keadaan serta permasalahan yang ada di tanah air. Hal ini, kita dapat mengambil
keputusan teori-teori, konsep-konsep serta system ekonomi yang lebih baik, dan
yang lebih cocok untuk diterapkan di negara kita. Sesuatu yang salah, menurut
Sri-Edi Swasono jika pengajaran ilmu ekonomi hanya didasarkan pada perangkap
teoritikal-parsial dan menerima begitu saja asumsi-asumsi dasar pemikiran-pemikiran
barat seperti asumsi dasar pemikiran klasik dan neoklasikal yang mengandung berbagai
ortodoksi dan sempit.
Sri-Edi Swasono menegaskan
bahwa pengajaran ilmu ekonomi di kampus-kampus memang telah keliru. Penjajahan
kurikulum dan pengajaran ilmu ekonomi di kampus-kampus yang berdasar pada klasik
dan neoklasik yang mengemban paham liberalisme/neoliberalisme dengan pasar bebasnya
merupakan mekanisme penjajahan ekonomi baru. Di sisi lain, sarjana ekonomi kita
tidak dapat untuk menutupi dan menambal serta melengkapinya dengan tuntutan-tuntutan
moral-kultural dan motif-motif etikal dalam kehidupan keekonomian.
Salah satu ungkapan Galbraith
yang di kutibkan oleh Mubyarto, kemudian dikutib Sri-Edi Swasono dalam buku
Ekspose Ekonomika ini bahwa “inilah doktrin yang ada. Mahasiswa berdatangan:
sesuatu harus diajarkan; (dan) yang ada adalah model-model ekonomi neoklasikal”.
Paham neoliberalisme yang merupakan kepanjangan tangan paham liberalisme harus
ditentang sebagaimana bapak proklamator kita Soekarno-Hatta. Karena paham
liberalisme ini merupakan sukma kapitalisme dan paham neoliberalisme merupakan
sukma neokapitalisme atau turbo-kapitalisme imperialistik.
Lewat buku Ekspose
Ekonomika ini kita dapat menemukan pencerahan baru bahwa setiap aktivitas
ekonomi harus mengedepankan kepentingan nasional kita. Kita dapat menemukan uraian
penting pada Bab XII dengan judul, Kembali Ke Ekonomi Konstitusi bahwa Indonesia
merdeka berdasar pada doktrin kebangsaan (Nasionalisme) dan doktrin kerakyatan
(kedaulatan rakyat) sehingga memunculkan konsepsi politik ekonomi berdasar
Demokrasi Ekonomi. Daulat rakya lebih
penting dari pada daulat pasar. Neoliberalisme dengan pasar-bebasnya yang merupakan
topeng globalisasi predatorik sangat membahayakan kedaulatan rakyat.
Demokrasi ekonomi kita
berdasar pada paham kebersamaan dalam asas kekeluargaan bukan berdasar pada individualisme
liberal dan neoliberal. Untuk itu, kita perlu menegaskan kembali seperti yang
dikutibkan Sri-Edi Swasono bahwa kita boleh berutang atau mengundang investasi asing
namun dengan tujuan tunggal: untuk mempercepat tercapainya kemandirian dan
kedigdayaan nasional kita.
Kembali lagi bahwa pengajaran
ilmu ekonomi di kampus-kampus harus lebih kritis, perlu adanya formulasi dan
tidak langsung menerima pemikiran-pemikiran ekonomi barat yang belum tentu sesuai
dengan paham ekonomi konstitusi kita, yakni Ideologi pancasila dan UUD 1945.
Beberapa ulasan dalam
buku Ekspose Ekonomika karya Sri-Edi Swasono Edisi Baru 2010 yang menurut
penulisnya sendiri dianggap sebagai kelemahan pengajaran ilmu ekonomi kita sekaligus
sebagai upaya memberikan ringkasan bahwa, pertama,
pengajaran ilmu ekonomi saat ini belum mampu melepaskan diri dari pemikiran
neoklasikal, yang tidak saja bertitik-tolak dari paham self-interest, tetapi juga masih terus menerus mengabaikan implikasi
asumtif mono-utilitas terhadap kenyataan bi-utilitas yang mengandung
unsur-unsur moralitas yang lebih kompleks.
Kedua,
pengajaran
ilmu ekonomi, sebagai kelanjutan pemikiran neoklasikal menyandarkan diri pada paham
kompetitivisme. Ketiga, pengajaran
ilmu ekonomi di kampus-kampus sejak semula telah diawali dengan paham market fundamentalisme. Keempat, telah diakui adanya apa yang
disebut micro-macro ills dimana ilmu
ekonomi mikro dan makro tidak selalu mudah saling bersambung, sehingga terjadi
ketidakcocokan dalam mentransformasikan kepentingan orang seorang pada kepentingan
public. Kelima, pengajaran ilmu
ekonomi kurang memberikan perhatian cukup tentang system ekonomi komparatif di
luar ortodoksi kapitaslime vs sosialisme.
Keenam,
pengajaran
ilmu ekonomi sejak awal telah diberikan kepada mahasiswa tanpa membedakan antara
prinsip-prinsip ekonomi dan hukum-hukum ekonomi (yang lebih bersifat teknis dan
bebas nilai) dengan pemikiran dan paham (yang tidak bebas nilai). Ketujuh, pelajaran ilmu ekonomi di sekolah-sekolah
menengah, yang tidak saja sepenuhnya menjiplak kekeliruan yang terjadi di kampus-kampus
tanpa memperkenalkan moralitas ekonomi Indonesia. Kedelapan, pengajaran ilmu ekonomi banyak mengabaikan metode
induktif dan lebih menekankan pada metode deduktif, kurang memahami mengenai realita
dan kenyataan empiric, akibatnya hanya akan berkemampuan canggung dalam menghasilkan
penyelesaian masaalah.
Kesembilan,
di
ruang-ruang kelas globalisasi ekonomi banyak diungkapkan sebagai suatu cita-cita
untuk mencapai efisiensi ekonomi dunia, mengatasi berbagai barriers transaksi-transaksi ekonomi dan membuka isolasi atau
ekslusivisme kegiatan ekonomi. Kesepuluh,
pengajaran ilmu ekonomi di kampus-kampus perlu diamati dengan teliti sebagai antisipasi
ataupun sebagai harapan yang memberikan sebagai pencerahan baru.
Dari kesepuluh uraian
tersebut, saya beranggapan bahwa uraian tersebut merupakan sebuah pesan dan nasehat
kepada para sarjana ilmu ekonomi kita untuk lebih memperhatikan lagi substansi-substansi
pengajaran ilmu ekonomi, lebih berhati-hati memasukan silabus materi dalam buku
pengajaran ilmu ekonomi, agar tidak terkungkung dalam kapsul-kapsul paham liberal
dan neoliberal dengan pasar-bebasnya yang tidak sesuai dengan cita-cita
konstitusional kita. Lewat buku Ekspose Ekonomika inilah, dapat membuka pemikiran
saya bahwa ilmu ekonomi yang saya dapat selama ini ternyata masih dilingkupi
oleh ruang kegelapan. Tidak mengetahui apa yang salah dengan ekonomi kita atau
pembangunan ekonomi kita ataupun ekonom kita sehingga ekonomi kita terlihat
seperti itu-itu saja.
Buku inilah yang membuat
pikiran-pikiran saya lebih terang, lebih jernih membuka mata dan wawasan saya dan
lebih tau ke mana sebenarnya arah ilmu ekonomi itu untuk di tujuhkan. Dengan
buku ini jugalah kita mengetahui betapa rakusnya peran liberalisme dan neoliberalisme
yang menyandera perekonomian nasional kita. liberalisme dan neoliberalisme globalisasi
dengan kekuatan pasar-bebasnya yang predatori sehingga dapat menggusur kedaulatan
rakyat dengan daulat pasar.
0 komentar:
Posting Komentar