25 Februari 2016

Hari Ini Aku Kembali Melihatmu

Ilustrasi dari: rubik.okezone.com

Hari ini aku melihatmu. Dan engkau memandangku dari kejauhan. Pandangan itu begitu dalam, hingga diri ini seperti dikuasai oleh rasa tidak berdaya. Aku malu. Aku malu jika dipandang wanita cantik seperti engkau, sedang diri ini adalah manusia yang penuh dengan ke-tidakjelasan.
Dari jauh aku menatapmu. Aku mencoba menerangkan mata ini seperti sinar rembulan, apakah disana benar-benar engkau! Aku mencoba mendekat dan mendekat lagi demi memastikan bahwa itu adalah engkau. Dan sungguh engkau, yang ku kagumi dari jauh selama ini.
Dari dekat aku menatapmu. Apakah engkau mengerti dengan tatapan itu! Tatapan itu mengisyaratkan tentang ketidakberdayaan hati. Aku ingin sesegera menyerahkan hati itu dengan sukarela. Aku ingin memberikan sesuatu yang berharga dalam hidupku yaitu memberikan penyatuan antara aku dan kamu, menghilangkan ke-egoan dan menyatu menjadi kita. Kita hilangkan semua yang menjadi belenggu wahai wanita cantik.
Wahai wanita cantik. Jika engkau mendengar ungkapan cinta, itu adalah kebohongan. Bagaimana mereka mengungkapkan cinta, sementara cinta bagi mereka hanyalah kendaraan nafsu yang bergejolak dalam birahi sesaat. Arti cinta bagi mereka adalah seks; seks karena cinta dan cinta karena seks. Inilah sebuah paradoks. Dan cinta seperti itu tak punya arti apa-apa.
Wahai wanita cantik hari ini engkau menatapku. Mata kita bertemu ditengah belantara perasaan. Kita sama-sama terdiam. Sementara disana hanya aku dan kamu. Seharusnya kita bebas menikmati belantara itu dengan sesuka hati kita. Memilih pohon-pohon hijau yang mempunyai kelopak bunga yang mekar yang selalu menebarkan wewangiannya sejagad raya. Kita akan selalu berjalan beriringan. Tanganmu kugenggam sekuat tenaga. Tak ada yang menghardik disana, seperti kebanyakan orang mengatakan saya tak cocok bersamamu karena saya tak punya kekayaan dan kemewahan.
Wahai wanita cantik hari ini kita saling memandang. Tatapanmu begitu dalam. Namun aku memalingkan mata ini karena diri ini bukanlah siapa-siapa. Kadang aku sekejab menatapmu, dan engkau pun seperti itu, memalingkan wajahmu yang polos. Ketika aku bercerita dengan anak Papua, matamu tertujuh kepadaku. Engkau sedang memandangku dari kejauhan, melihatku yang sedang menjelaskan kepada anak Papua itu. Apakah pertanda bahwa itu adalah…….
Hari ini aku melihatmu. Aku ingin melihatmu lagi untuk kesekian kali. Saling memandang dan saling mengunci pandangan. Biarkanlah itu berlanjut sampai sang waktu akan berbicara kemudian...

                                                                                                            Laode Halaidin

0 komentar:

Posting Komentar