Ilustrasi dari: rubik.okezone.com |
Hari
ini aku melihatmu. Dan engkau memandangku dari kejauhan. Pandangan itu begitu
dalam, hingga diri ini seperti dikuasai oleh rasa tidak berdaya. Aku malu. Aku malu
jika dipandang wanita cantik seperti engkau, sedang diri ini adalah manusia yang
penuh dengan ke-tidakjelasan.
Dari
jauh aku menatapmu. Aku mencoba menerangkan mata ini seperti sinar rembulan,
apakah disana benar-benar engkau! Aku mencoba mendekat dan mendekat lagi demi memastikan
bahwa itu adalah engkau. Dan sungguh engkau, yang ku kagumi dari jauh selama
ini.
Dari
dekat aku menatapmu. Apakah engkau mengerti dengan tatapan itu! Tatapan itu
mengisyaratkan tentang ketidakberdayaan hati. Aku ingin sesegera menyerahkan
hati itu dengan sukarela. Aku ingin memberikan sesuatu yang berharga dalam
hidupku yaitu memberikan penyatuan antara aku dan kamu, menghilangkan ke-egoan
dan menyatu menjadi kita. Kita hilangkan semua yang menjadi belenggu wahai
wanita cantik.
Wahai
wanita cantik. Jika engkau mendengar ungkapan cinta, itu adalah kebohongan. Bagaimana
mereka mengungkapkan cinta, sementara cinta bagi mereka hanyalah kendaraan
nafsu yang bergejolak dalam birahi sesaat. Arti cinta bagi mereka adalah seks;
seks karena cinta dan cinta karena seks. Inilah sebuah paradoks. Dan cinta
seperti itu tak punya arti apa-apa.
Wahai
wanita cantik hari ini engkau menatapku. Mata kita bertemu ditengah belantara
perasaan. Kita sama-sama terdiam. Sementara disana hanya aku dan kamu. Seharusnya
kita bebas menikmati belantara itu dengan sesuka hati kita. Memilih pohon-pohon
hijau yang mempunyai kelopak bunga yang mekar yang selalu menebarkan
wewangiannya sejagad raya. Kita akan selalu berjalan beriringan. Tanganmu kugenggam
sekuat tenaga. Tak ada yang menghardik disana, seperti kebanyakan orang
mengatakan saya tak cocok bersamamu karena saya tak punya kekayaan dan
kemewahan.
Wahai
wanita cantik hari ini kita saling memandang. Tatapanmu begitu dalam. Namun aku
memalingkan mata ini karena diri ini bukanlah siapa-siapa. Kadang aku sekejab
menatapmu, dan engkau pun seperti itu, memalingkan wajahmu yang polos. Ketika aku
bercerita dengan anak Papua, matamu tertujuh kepadaku. Engkau sedang
memandangku dari kejauhan, melihatku yang sedang menjelaskan kepada anak Papua
itu. Apakah pertanda bahwa itu adalah…….
Hari
ini aku melihatmu. Aku ingin melihatmu lagi untuk kesekian kali. Saling
memandang dan saling mengunci pandangan. Biarkanlah itu berlanjut sampai sang
waktu akan berbicara kemudian...
Laode
Halaidin
0 komentar:
Posting Komentar