16 April 2021

Terancamnya Aktivis Desa

Adin, Ketua Aliansi Pemerhati Masyarakat Wantiworo (APMW)

Minggu 31 Januari 2021 pukul 10.14 WITA, handphone saya berdering. Saya dihubungi oleh kawan saya La Ode Muliadi atau sering disapa Adin. Ia mengabari, sedang berada di Balai Desa Wantiworo. Rupanya ia telah tiba di kampung. Ia memanggil saya untuk mengikuti Musrenbang Desa. Saya bertemu dia sekitar beberapa menit. Setelah itu, saya mengajaknya untuk bertemu di rumah.

Pukul 14.23-25-an, dia pamit untuk pulang ke rumahnya. Ia hendak akan mengikuti rombongan untuk berkunjung ke desa tetangga. Untuk itu, ia meminta izin terlebih dahulu pada orang tuanya. Karena tak kunjung datang, kami bersama kawan-kawan lainnya melanjutkan perjalanan.

Sekitar pukul 16.55, handphone kawan saya berdering. Ia mengabarkan telah mendapat perlakuan buruk dari PLT Kepala Desa Wantiworo. Sontak, saya begitu kaget. Saat itu juga, saya bersama kawan memutuskan untuk melihat keadaannya.

Seperti yang diberitakan media lokaltelisik.id, ada dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh PLT Kepala Desa Wantiworo. Adin yang saat itu membeli disebuah kios, hendak mendapat pukulan. Namun, ia bisa menghindari pukulan itu lalu mencoba menenangkan PLT Kepala Desa tapi tak mempedulikannya. Dalam waktu yang bersamaan, ia dilempar dengan memakai batu.

Nasibnya masih sedikit beruntung. Kepalanya selamat karena ia melindunginya dengan siku. Dalam posisi kehilangan kendali, ia terjatuh di aspal. Ia berdiri dan menghindar, lalu kembali menuju ke rumahnya. Namun, ia terus di ikuti sampai dipekarangan rumah. Dengan kejadian yang dialaminya, ia kemudian melaporkan PLT Kepala Desa Wantiworo ke Polda Sulawesi Tenggara dengan laporan polisi No: LP/67 / II 2021/ SPKT POLDA SULTRA, tanggal 1 Februari 2021.

Adin adalah seorang aktivis desa yang sangat vokal dan berani. Kejadian yang menimpahnya, diduga kuat merupakan rentetan peristiwa atas protes-protes yang dilakukan bersama kawan-kawannya enam tahun belakangan. Ia terus mengkritik kebijakan pemerintah desa, dimulai dari masuknya perusahaan perkebunan tebu yang merusak hutan, ganti rugi lahan, dan pengelolaan Dana Desa yang tidak transparan.

Bukan saja itu, ketakukan warga untuk menuntut hak-haknya pada pemerintah desa menyadarkannya bahwa warga harus didampingi. Ia terus berada pada jalur idealismenya, berada digarda terdepan dalam memperotes kebijakan pemerintah desa. Sore itu, diduga adalah puncak yang dialaminya.

Sekitar bulan April 2015, Adin bersama kawan-kawannya mendampingi sebagian para petani yang menolak lahannya dipakai untuk perkebunan tebu, PT. Wahana Surya Agro. Ia juga ikut mendampingi para petani untuk menuntut hak ganti rugi lahan kepada perusahaan perkebunan tebu dan Pemdes. Baginya, ada berbagai kejanggalan saat ganti rugi lahan para petani yang dilakukan oleh pemerintah desa. Pemdes diduga, telah menyalahi kesepakatan dalam musyawarah yang dilakukan pada tanggal 27 Mei 2015 lalu.

Merespon keresahan warga, maka bulan Juni, ia dan beberapa warga membentuk Jaringan Pemerhati Petani (JPP) Desa Wantiworo. Anggotanya terdiri dari 15 orang. Ada beberapa mahasiswa dan warga, sementara koordinatornya dia sendiri.

Jaringan kemudian mulai bergerak dan melakukan konsolidasi dengan beberapa warga. Selain untuk mengetahui dan mencatat warga-warga yang memiliki lahan, jaringan juga bekerja melakukan advokasi pada warga untuk menuntut hak ganti rugi lahan. Pada akhir bulan Oktober misalnya, jaringan mengirim surat kepada DPRD Kab. Muna untuk meminta audiensi. Tanggal 02 November ada respon dari DPRD, yang diwakili oleh komisi IV.

Dalam surat pengaduan itu, jaringan menuntut agar hak-hak warga diberikan sepenuhnya. Pembagian ganti rugi lahan harus trasnparan, tak boleh ada yang ditutup-tutupi. Sebagaimana hasil dalam musyawarah, sebelum lahan warga dilakukan penggusuran, perlu adanya penerbitan kepemilikan hak atas tanah (SKT) terlebih dahulu. Surat Keterangan Tanah (SKT) itu diperlukan agar masyarakat mengetahui luas tanah beserta batas-batasnya. Setelah itu, warga diberikan hak ganti rugi lahan, dimana per hektarnya (ha) sekitar Rp. 4.000.000,00-5.000.000,00.

Temuan Jaringan mengungkapkan, yang terjadi justru sebaliknya. Kesepakatan itu tidak ditindaklanjuti. Pemerintah desa memberikan ganti rugi lahan tanpa SKT warga. Yang membuat miris, setiap warga mendapat ganti rugi lahan yang berbeda-beda setiap per hektarnya dibawa harga, tidak sesuai kesepakatan awal antara perusahaan perkebunan tebu dan masyarakat.

Pertengahan November, setelah audiensi dengan komisi IV DPRD, jaringan kembali mempertanyakan hasil rapat tersebut. Tak ada tindaklanjut. Jaringan merasa, DPRD telah mengabaikan tuntutan dan aspirasi warga.

Protes-protes terhadap kebijakan  pemerintah desa terus berlanjut, yakni terkait dengan transpransi pengelolaan Dana Desa. Pada Juni 2018, Komunitas Mahasiswa dan Pemuda serta Jaringan Pemerhati Petani  (JPP) Desa Wantiworo memprotes kebijakan Pemdes terkait pembangunan sarana dan prasarana olahraga atau lapangan futsal pada lapangan yang memiliki nilai sejarah bagi masyarakat. Menurut koordinator jaringan, La Ode Muliadi waktu itu, lapangan yang dijadikan sebagai lapangan futsal sangat memiliki nilai sejarah bagi masyarakat setempat, karena mantan Presiden B. J. Habibie pernah berkunjung pada tahun 1987.

Jaringan berpendapat, pembangunan lapangan futsal sangat dipaksakan. Lapangan yang menjadi ikon desa, yang dijadikan sebagai pembangunan sarana dan prasarana olahraga sangat tidak tepat sasaran. Pasalnya, sejak awal, pembuatan lapangan futsal disepakati bukan didirikan pada lapangan yang sudah jadi, tetapi mencari lahan atau tanah kosong yang menjadi kewenangan Pemdes. Hasil temuan Jaringan mengungkapkan, Pemdes tak menemukan lahan kosong sehingga memaksakan menggaraap proyek pembangunan sarana dan prasarana olahraga tersebut pada lapangan yang telah menjadi ikon desa.

Masih pada bulan Juni, Forum dan JPP kemudian mencoba bersurat pada Pemdes untuk melakukan audiensi. Anggota Forum dan JPP kemudian bergerak di Balai Pertemuan Desa untuk melakukan dialog. Hasilnya nihil. Anak buah Kepala Desa, mencoba membubarkan teman-teman mahasiswa dan pemuda. Pemdes menuduh Forum dan JPP sebagai provokator, yang memicu keributan di desa.

Selama beberapa bulan, anggota Forum dan JPP banyak mendapat tekanan. Mereka juga mendengar isu akan hendak dilaporkan ke polisi. Jaringan menganggap, hal itu dilakukan  untuk melunakan nyali beberapa anggota. Ada yang benar-benar takut dan memilih diam. Bagi Adin, menyuarakan protes untuk hak-hak warga desa adalah perkara yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Ia tetap menjaga dan menyemangati anggota Forum dan Jaringan untuk tetap berani memberikan kritik pada Pemdes.

Bulan Oktober 2020, sebagian anggota Forum dan Jaringan kemudian mulai membentuk Aliansi Pemerhati Masyarakat Wantiworo (APMW). Aliansi adalah organisasi yang menjadi wadah para mahasiswa, pemuda dan masyarakat untuk merespon permasalahan di desa.

Sebagai koordinator aliansi, Adin menganggap, pembentukan Aliansi di desa sangat penting, mengingat desa saat ini posisinya sangat seksi, menjadi rebutan para pejabat ditingkat lokal dan pemodal. Bukan saja ada kucuran dana dari Negara, tetapi kejadian-kejadian pengrusakan lingkungan juga banyak terjadi di desa. Untuk itu, ia bersama kawan-kawannya berniat untuk terus melakukan advokasi terhadap masyarakat desa.

Sepanjang tahun 2018-2020, Adin beserta kawan-kawan terus menyuarakan kritik terhadap Pemdes. Harapannya, agar Pemdes Wantiworo dapat mengelola Dana Desa secara transparan dan akuntabel. Pengawasan yang dilakukan oleh Aliansi bertujuan agar pengelolaan Dana Desa oleh Pemdes benar-benar tepat sasaran. Hal itu, tentu sejalan dengan arahan Presiden Jokowi pada Rabu, 11/12/2019, agar penggunaan Dana Desa perlu diawasi oleh masyarakat.

November 2020, Aliansi mulai melakukan pengawasan terhadap penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa. BLT DD adalah bantuan yang diberikan oleh pemerintah guna membantu menyangga kehidupan ekonomi warga desa, terutama bagi mereka yang terdampak Covid-19. Khusus Desa Wantiworo, anggaran BLT DD mencapai sebesar Rp. 837,900,000,00.

Bagi Aliansi, anggaran BLT DD ini cukup besar. Tanpa pengawasan, anggaran ini dengan gampang akan disalahgunakan. Desember 2020, Aliansi menemukan, penyaluran BLT DD yang dilakukan oleh pemerintah desa dianggap bolong, tidak dilakukan penyaluran pada tahap 9 bulan 12. Ada dugaan, BLT tahap akhir ini telah diselewengkan. Aliansi lalu bergerak, mulai mencatat dan menelusuri warga-warga yang belum menerima BLT. Dari hasil penelusuran itu, warga mengakui, Pemdes Wantiworo belum atau tidak pernah menyalurkan BLT.

Menanggapi pengakuan warga, Aliansi tidak tinggal diam. Mereka menuntut Pemdes untuk segera menyalurkan hak-hak warga. Di grup Facebook Pemuda Wantiworo misalnya, Adin mengkritik Pemdes terkait keterlambatan penyaluran BLT DD. Bukan saja Adin,terdapat beberapa akun palsu turut serta mengritik Pemdes. Akibat dari kritikan tersebut, lalu muncul reaksi dari Pemdes Wantiworo. Adin dituduh memakai akun palsu untuk menyerang Pemdes. Ia membantah dan meminta Pemdes untuk membuktikan tuduhan tersebut.

Tak bisa membuktikan, Pemdes tetap bersikeras dengan tuduhannya. Bahkan ada isu ancaman, memenjarakan orang-orang yang memakai akun palsu bagi yang menyerang Pemdes. Karena tak merasa memakai akun palsu, anggota Aliansi tetap berani, tegak pada jalurnya, menuntut Pemdes untuk transparan mengelola BLT DD. Tak lama setelah polemik itu bergulir, Adin diduga mengalami penganiayaan dari PLT Kepala Desa Wantiworo.

Dari desakan-desakan yang aliansi suarakan, Pemdes Wantiworo kemudian mulai terlihat ketakutan. Keterlambatan penyaluran BLT terus menuai polemik ditengah masyarakat. Aliansi lalu mengadukan temuan ini di Polres Muna tanggal 24 Februari 2021. Dari laporan tersebut, tanggal 9 Maret 2021, sehari sebelum Tipikor Polres Muna turun ke desa, Pemdes Wantiworo menyalurkan BLT DD tahap akhir bulan Desember 2020. Penyaluran ini, jelas sudah dianggap terlambat karena menyebrang tahun. Aliansi berpendapat, meskipun BLT sudah disalurkan ke masyarakat, proses hukum harusnya tetap berlanjut. Pemdes dinilai sudah menyalahi aturan. Tak menutup kemungkinan, ada dugaan-dugaan penyelewengan anggaran Dana Desa lain, dari program pembangunan di Desa Wantiworo.

Para Aktivis Bertaruh Nyawa

Dugaan kasus penganiayaan yang dialami Adin harus dilihat secara serius. Dari kritik-kritikannya bersama anggota Aliansi dan laporannya di Polres Muna, kini dia tengah berada dalam posisi berbahaya dan bahaya.

Berbahaya karena ia dianggap sebagai ancaman. Ia tetap dalam komitmennya, tak akan berhenti untuk terus mengusut dugaan korupsi di desanya. Namun, ia tak pernah lupa bahwa posisinya saat ini juga tengah berada dalam bahaya. Nyawanya, kini dalam posisi terancam.

Ia mengingat kejadian pada Rabu dini hari, 13 April 2021, orang tuanya mendapat teror dari orang yang tak dikenal. Dari keterangan ayahnya, para preman itu datang langsung mematikan sekring listrik dirumahnya. Setelah itu, mereka mencoba membuka jendela dan mendobrak pintu rumah bagian depan dan belakang sambil menanyakan nama Adin. Dalam ketakutan, ayahnya tak menyahuti para preman itu. Tak berselang lama mereka bergegas pergi.

Gempuran berupa ancaman, teror dan penganiayaan sudah menjadi hari-hari yang dilalui oleh para aktivis. Bukan saja itu, nyawa mereka seringkali menjadi taruhannya. Salim Kancil misalnya, aktivis desa di Desa Selok Awar-Awar, Lumajang, Jawa Timur, yang memperjuangkan tanahnya akibat pertambangan pasir, tewas dibunuh oleh tim preman yang ditugaskan Kepala Desa. Ia tewas dikeroyok, dipukuli, dan dianiaya tanpa ampun.

Sebagaimana yang dilaporkan oleh media Tirto.id, yang dilansir dari laman Selamatkan Bumi menyebutkan, Salim Kancil mendapat penyiksaan berat dengan kondisi tangan terikat tali. Tubuhnya, bukan saja mendapat hantaman pukulan tangan kosong, tapi berupa kayu dan terjangan batu. Dengan kepala yang berdarah, ia dibawa dijalan yang sepi ke arah makam. Para preman itu, menyiksa Salim dengan lebih kejam lagi. Tubuhnya disetrum. Kepalanya digorok. Seonggok batu besar dihajarkan dikepalanya hingga merenggang nyawa.

Kawannya bernama Tosan juga mengalami nasib yang serupa dengan Salim. Tapi, ia masih bernasib lebih baik. Saat preman komplotan Desir menganiaya Tosan, ia berpura-pura meninggal. Tosan selamat setelah dibawa ke rumah sakit.

Kasus-kasus yang dialami para aktivis di desa tidak hanya berhenti pada Salim dan Tosan. Apa yang dialami Adin hanyalah puncak gunung es atas dugaan kasus yang menimpanya. Bukan saja pembunuhan dan penganiayaan, tapi ada upaya kriminalisasi para aktivis desa. Posisi mereka makin berbahaya, selain taruhan nyawa, juga ada upaya agar para aktivis dipenjara. Mereka yang punya pengaruh karena jabatan dan modal besar, dengan gampang melakukan kongsi, baik sesama pejabat, preman juga aparat negara. Seperti itulah cara mereka untuk meredam aktivisme warga, membungkam bagi yang melawan.

Ario Bayu Prakoso, seorang warga di Desa Ngemplak, Kecamatan Gebang, Kab. Purworejo, Jawa Tengah, juga mengalami penganiayaan yang dilakukan oleh Kepala Desa bersama anak buahnya. Bayu, bukan hanya mengalami pemukulan, namun muka dan kepalanya juga ditendang. Ia mengalami penganiayaan karena mendorong transparansi penggunaan Dana Desa.

Laporan Kompas.com menyebutkan, Bayu yang saat itu sedang berada dirumahnya, didatangi oleh Kepala Desa dengan menggedor-gedor pintu dan marah-marah. Tak berselang lama, anak buah Kepala Desa datang dan langsung memukulnya dengan alat plester bangunan yang terbuat dari kayu.

Kepala Desa memulai obrolan dengan nada tinggi dan ekspresi yang sangat emosional, yang pada intinya menuduh Bayu bersama warga lainnya berusaha menjatuhkan Kepala Desa. Tidak hanya itu, salah seorang yang diketahui sebagai perangkat desa ikut melakukan penganiayaan dengan cara menendang kepala bagian kiri, demikian keterangan Direktur LBH Semarang Zainal Arifin dalam keterangan tertulisnya, Senin (27/8/2020), seperti dikutip Kompas.co.

Upaya-upaya pembungkaman baik ancaman, penganiayaan, pembunuhan maupun kriminalisasi terhadap para aktivis seolah memberi pesan terselubung bahwa “semua aktivitasmu tak boleh menganggu kami.” Kejadian-kejadian tersebut dilakukan bukan tanpa alasan. Secara tidak langsung, ada pesan yang hendak disampaikan, yakni jangan menganggu dan macam-macam jika tak ingin dihabisi. Pesan ini menunjukan bahwa para pelaku takut terhadap sikap kritis masyarakat. Kedok mereka tak ingin terbongkar dan diketahui publik.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mencatat, dalam kurun Januari-April 2020, ada 22 peristiwa pelanggaran dan kekerasan terhadap pembela HAM. Pada tahun sebelumnya ELSAM mencatat, sepanjang tahun 2019 terdapat 27 kasus kekerasan yang menimpa pembela HAM atas lingkungan. Sementara catatan LBH Pers mengungkapkan, kasus-kasus kekerasan tersebut bukan hanya menimpa para aktivis lingkungan, namun masyarakat dan jurnalis juga mengalami hal serupa. Hal ini mengindikasikan bahwa maraknya kasus kekerasan terhadap pembela HAM menjadi gambaran lemahnya perlindungan negara terhadap para aktivis.

Temuan Global Witness, sebuah lembaga swadaya yang bergerak di bidang anti-eksploitasi lingkungan lebih menarik lagi. Lembaga ini menjelaskan, kasus pembunuhan terhadap aktivis kerap terjadi di daerah terpencil.

Sudah bukan rahasia lagi, pemerintah lokal baik ditingkat Bupati maupun Kepala Desa kerap berkongsi dengan pemilik modal untuk saling menjaga dan menyelamatkan satu sama lain agar tak terjerat hukum. Untuk itu, mereka memiliki keberanian sebab biasanya kasus-kasus ditingkat lokal kurang mendapat perhatian ditingkat nasional. Di tambah lagi tidak adanya tindakan yang jelas dan tegas dari negara. Dari situ, penyingkiran terhadap para aktivis juga bagian dari kontribusi mereka.

Mereka yang bersuara kritis, seperti Aji Kusumo di Yogyakarta, Salim Kancil di Lumajang, Abdul Jamil di Demak, Yanes Balubun, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk wilayah Maluku dan Ambon, Budi Pego di Yogyakarta, dan Effendi Buhing ketua komunitas adat Laman Kinipan di Lamandau merupakan aktivis yang sangat vokal yang menjadi korban pembunuhan, penganiayaan dan kriminalisasi. Mereka disingkirkan dengan cara sadis maupun halus. Di balik penyingkiran itu, ada bekingan yang sangat kuat dibelakang mereka, yakni pejabat dan pemodal.

Saat uang besar mengalir, disitulah nasib para aktivis ditentukan, yakni tersingkir atau kalah.

0 komentar:

Posting Komentar