Adin, Ketua Aliansi Pemerhati Masyarakat Wantiworo (APMW) |
Minggu 31 Januari 2021 pukul
10.14 WITA, handphone saya berdering. Saya dihubungi oleh kawan saya La Ode
Muliadi atau sering disapa Adin. Ia mengabari, sedang berada di Balai Desa
Wantiworo. Rupanya ia telah tiba di kampung. Ia memanggil saya untuk mengikuti
Musrenbang Desa. Saya bertemu dia sekitar beberapa menit. Setelah itu, saya
mengajaknya untuk bertemu di rumah.
Pukul 14.23-25-an,
dia pamit untuk pulang ke rumahnya. Ia hendak akan mengikuti rombongan untuk berkunjung
ke desa tetangga. Untuk itu, ia meminta izin terlebih dahulu pada orang tuanya.
Karena tak kunjung datang, kami bersama kawan-kawan lainnya melanjutkan
perjalanan.
Sekitar
pukul 16.55, handphone kawan saya berdering. Ia mengabarkan telah mendapat
perlakuan buruk dari PLT Kepala Desa Wantiworo. Sontak, saya begitu kaget. Saat
itu juga, saya bersama kawan memutuskan untuk melihat keadaannya.
Seperti
yang diberitakan media lokaltelisik.id,
ada dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh PLT Kepala Desa Wantiworo. Adin
yang saat itu membeli disebuah kios, hendak mendapat pukulan. Namun, ia bisa
menghindari pukulan itu lalu mencoba menenangkan PLT Kepala Desa tapi tak
mempedulikannya. Dalam waktu yang bersamaan, ia dilempar dengan memakai batu.
Nasibnya
masih sedikit beruntung. Kepalanya selamat karena ia melindunginya dengan siku.
Dalam posisi kehilangan kendali, ia terjatuh di aspal. Ia berdiri dan
menghindar, lalu kembali menuju ke rumahnya. Namun, ia terus di ikuti sampai dipekarangan
rumah. Dengan kejadian yang dialaminya, ia kemudian melaporkan PLT Kepala Desa
Wantiworo ke Polda Sulawesi Tenggara dengan laporan polisi No: LP/67 / II 2021/
SPKT POLDA SULTRA, tanggal 1 Februari 2021.
Adin adalah seorang aktivis desa yang sangat vokal dan
berani. Kejadian yang menimpahnya, diduga kuat merupakan rentetan peristiwa
atas protes-protes yang dilakukan bersama kawan-kawannya enam tahun belakangan.
Ia terus mengkritik kebijakan pemerintah desa, dimulai dari masuknya perusahaan
perkebunan tebu yang merusak hutan, ganti rugi lahan, dan pengelolaan Dana Desa
yang tidak transparan.
Bukan
saja itu, ketakukan warga untuk menuntut hak-haknya pada pemerintah desa menyadarkannya
bahwa warga harus didampingi. Ia terus berada pada jalur idealismenya, berada
digarda terdepan dalam memperotes kebijakan pemerintah desa. Sore itu, diduga adalah
puncak yang dialaminya.
Sekitar
bulan April 2015, Adin bersama kawan-kawannya mendampingi sebagian para petani yang
menolak lahannya dipakai untuk perkebunan tebu, PT. Wahana Surya Agro. Ia juga
ikut mendampingi para petani untuk menuntut hak ganti rugi lahan kepada
perusahaan perkebunan tebu dan Pemdes. Baginya, ada berbagai kejanggalan saat
ganti rugi lahan para petani yang dilakukan oleh pemerintah desa. Pemdes diduga,
telah menyalahi kesepakatan dalam musyawarah yang dilakukan pada tanggal 27 Mei
2015 lalu.
Merespon
keresahan warga, maka bulan Juni, ia dan beberapa warga membentuk Jaringan
Pemerhati Petani (JPP) Desa Wantiworo. Anggotanya terdiri dari 15 orang. Ada beberapa
mahasiswa dan warga, sementara koordinatornya dia sendiri.
Jaringan
kemudian mulai bergerak dan melakukan konsolidasi dengan beberapa warga. Selain
untuk mengetahui dan mencatat warga-warga yang memiliki lahan, jaringan juga
bekerja melakukan advokasi pada warga untuk menuntut hak ganti rugi lahan. Pada
akhir bulan Oktober misalnya, jaringan mengirim surat kepada DPRD Kab. Muna
untuk meminta audiensi. Tanggal 02 November ada respon dari DPRD, yang diwakili
oleh komisi IV.
Dalam surat
pengaduan itu, jaringan menuntut agar hak-hak warga diberikan sepenuhnya.
Pembagian ganti rugi lahan harus trasnparan, tak boleh ada yang ditutup-tutupi.
Sebagaimana hasil dalam musyawarah, sebelum lahan warga dilakukan penggusuran,
perlu adanya penerbitan kepemilikan hak atas tanah (SKT) terlebih dahulu. Surat
Keterangan Tanah (SKT) itu diperlukan agar masyarakat mengetahui luas tanah
beserta batas-batasnya. Setelah itu, warga diberikan hak ganti rugi lahan,
dimana per hektarnya (ha) sekitar Rp. 4.000.000,00-5.000.000,00.
Temuan Jaringan mengungkapkan, yang
terjadi justru sebaliknya. Kesepakatan itu tidak ditindaklanjuti. Pemerintah
desa memberikan ganti rugi lahan tanpa SKT warga. Yang membuat miris, setiap
warga mendapat ganti rugi lahan yang berbeda-beda setiap per hektarnya dibawa
harga, tidak sesuai kesepakatan awal antara perusahaan perkebunan tebu dan
masyarakat.
Pertengahan
November, setelah audiensi dengan komisi IV DPRD, jaringan kembali mempertanyakan
hasil rapat tersebut. Tak ada tindaklanjut. Jaringan merasa, DPRD telah mengabaikan
tuntutan dan aspirasi warga.
Protes-protes
terhadap kebijakan pemerintah desa terus
berlanjut, yakni terkait dengan transpransi pengelolaan Dana Desa. Pada Juni
2018, Komunitas Mahasiswa dan Pemuda serta Jaringan Pemerhati Petani (JPP) Desa Wantiworo memprotes kebijakan
Pemdes terkait pembangunan sarana dan prasarana olahraga atau lapangan futsal pada
lapangan yang memiliki nilai sejarah bagi masyarakat. Menurut koordinator jaringan,
La Ode Muliadi waktu itu, lapangan yang dijadikan sebagai lapangan futsal
sangat memiliki nilai sejarah bagi masyarakat setempat, karena mantan Presiden
B. J. Habibie pernah berkunjung pada tahun 1987.
Jaringan
berpendapat, pembangunan lapangan futsal sangat dipaksakan. Lapangan yang
menjadi ikon desa, yang dijadikan sebagai pembangunan sarana dan prasarana
olahraga sangat tidak tepat sasaran. Pasalnya, sejak awal, pembuatan lapangan
futsal disepakati bukan didirikan pada lapangan yang sudah jadi, tetapi mencari
lahan atau tanah kosong yang menjadi kewenangan Pemdes. Hasil temuan Jaringan mengungkapkan, Pemdes
tak menemukan lahan kosong sehingga
memaksakan menggaraap proyek pembangunan sarana dan prasarana olahraga tersebut
pada lapangan yang telah menjadi ikon desa.
Masih
pada bulan Juni, Forum dan JPP kemudian mencoba bersurat pada Pemdes untuk
melakukan audiensi. Anggota Forum dan JPP kemudian bergerak di Balai Pertemuan
Desa untuk melakukan dialog. Hasilnya nihil. Anak buah Kepala Desa, mencoba
membubarkan teman-teman mahasiswa dan pemuda. Pemdes menuduh Forum dan JPP
sebagai provokator, yang memicu keributan di desa.
Selama
beberapa bulan, anggota Forum dan JPP banyak mendapat tekanan. Mereka juga
mendengar isu akan hendak dilaporkan ke polisi. Jaringan menganggap, hal itu
dilakukan untuk melunakan nyali beberapa
anggota. Ada yang benar-benar takut dan memilih diam. Bagi Adin, menyuarakan
protes untuk hak-hak warga desa adalah perkara yang tak bisa ditawar-tawar
lagi. Ia tetap menjaga dan menyemangati anggota Forum dan Jaringan untuk tetap
berani memberikan kritik pada Pemdes.
Bulan Oktober
2020, sebagian anggota Forum dan Jaringan kemudian mulai membentuk Aliansi
Pemerhati Masyarakat Wantiworo (APMW). Aliansi adalah organisasi yang menjadi
wadah para mahasiswa, pemuda dan masyarakat untuk merespon permasalahan di desa.
Sebagai
koordinator aliansi, Adin menganggap, pembentukan Aliansi di desa sangat
penting, mengingat desa saat ini posisinya sangat seksi, menjadi rebutan para
pejabat ditingkat lokal dan pemodal. Bukan saja ada kucuran dana dari Negara,
tetapi kejadian-kejadian pengrusakan lingkungan juga banyak terjadi di desa. Untuk
itu, ia bersama kawan-kawannya berniat
untuk terus melakukan advokasi terhadap masyarakat desa.
Sepanjang
tahun 2018-2020, Adin beserta kawan-kawan
terus menyuarakan kritik terhadap Pemdes. Harapannya,
agar Pemdes Wantiworo dapat mengelola Dana Desa secara transparan dan
akuntabel. Pengawasan yang dilakukan oleh Aliansi bertujuan agar pengelolaan
Dana Desa oleh Pemdes benar-benar tepat sasaran. Hal itu, tentu sejalan dengan
arahan Presiden Jokowi pada Rabu, 11/12/2019, agar penggunaan Dana Desa perlu
diawasi oleh masyarakat.
November
2020, Aliansi mulai melakukan pengawasan terhadap penyaluran Bantuan Langsung
Tunai (BLT) Dana Desa. BLT DD adalah bantuan yang diberikan oleh pemerintah
guna membantu menyangga kehidupan ekonomi warga desa, terutama bagi mereka yang
terdampak Covid-19. Khusus Desa Wantiworo, anggaran BLT DD mencapai sebesar Rp.
837,900,000,00.
Bagi Aliansi,
anggaran BLT DD ini cukup besar. Tanpa pengawasan, anggaran ini dengan gampang
akan disalahgunakan. Desember 2020, Aliansi menemukan, penyaluran BLT DD yang
dilakukan oleh pemerintah desa dianggap bolong, tidak dilakukan penyaluran pada
tahap 9 bulan 12. Ada dugaan, BLT tahap akhir ini telah diselewengkan. Aliansi
lalu bergerak, mulai mencatat dan menelusuri warga-warga yang belum menerima
BLT. Dari hasil penelusuran itu, warga mengakui, Pemdes Wantiworo belum atau
tidak pernah menyalurkan BLT.
Menanggapi
pengakuan warga, Aliansi tidak tinggal diam. Mereka menuntut Pemdes untuk
segera menyalurkan hak-hak warga. Di grup Facebook Pemuda Wantiworo misalnya, Adin
mengkritik Pemdes terkait keterlambatan penyaluran BLT DD. Bukan saja Adin,terdapat
beberapa akun palsu turut serta mengritik Pemdes. Akibat dari kritikan tersebut,
lalu muncul reaksi dari Pemdes Wantiworo. Adin dituduh memakai akun palsu untuk
menyerang Pemdes. Ia membantah dan meminta Pemdes untuk membuktikan tuduhan
tersebut.
Tak
bisa membuktikan, Pemdes tetap bersikeras dengan tuduhannya. Bahkan ada isu
ancaman, memenjarakan orang-orang yang memakai akun palsu bagi yang menyerang
Pemdes. Karena tak merasa memakai akun palsu, anggota Aliansi tetap berani,
tegak pada jalurnya, menuntut Pemdes untuk transparan mengelola BLT DD. Tak
lama setelah polemik itu bergulir, Adin diduga mengalami penganiayaan dari PLT
Kepala Desa Wantiworo.
Dari
desakan-desakan yang aliansi suarakan, Pemdes Wantiworo kemudian mulai terlihat
ketakutan. Keterlambatan penyaluran BLT terus menuai polemik ditengah
masyarakat. Aliansi lalu mengadukan temuan ini di Polres Muna tanggal 24
Februari 2021. Dari laporan tersebut, tanggal 9 Maret 2021, sehari sebelum Tipikor
Polres Muna turun ke desa, Pemdes Wantiworo menyalurkan BLT DD tahap akhir
bulan Desember 2020. Penyaluran ini, jelas sudah dianggap terlambat karena
menyebrang tahun. Aliansi berpendapat, meskipun BLT sudah disalurkan ke
masyarakat, proses hukum harusnya tetap berlanjut. Pemdes dinilai sudah
menyalahi aturan. Tak menutup kemungkinan, ada dugaan-dugaan penyelewengan
anggaran Dana Desa lain, dari program pembangunan di Desa Wantiworo.
Para Aktivis Bertaruh Nyawa
Dugaan kasus penganiayaan yang dialami Adin harus dilihat
secara serius. Dari kritik-kritikannya bersama anggota Aliansi dan laporannya
di Polres Muna, kini dia tengah berada dalam posisi berbahaya dan bahaya.
Berbahaya karena ia dianggap sebagai ancaman. Ia tetap
dalam komitmennya, tak akan berhenti untuk terus mengusut dugaan korupsi di
desanya. Namun, ia tak pernah lupa bahwa posisinya saat ini juga tengah berada
dalam bahaya. Nyawanya, kini dalam posisi terancam.
Ia mengingat kejadian pada Rabu dini hari, 13 April 2021,
orang tuanya mendapat teror dari orang yang tak dikenal. Dari keterangan ayahnya,
para preman itu datang langsung mematikan sekring listrik dirumahnya. Setelah itu,
mereka mencoba membuka jendela dan mendobrak pintu rumah bagian depan dan belakang
sambil menanyakan nama Adin. Dalam ketakutan, ayahnya tak menyahuti para preman
itu. Tak berselang lama mereka bergegas pergi.
Gempuran berupa ancaman, teror dan penganiayaan sudah menjadi
hari-hari yang dilalui oleh para aktivis. Bukan saja itu, nyawa
mereka seringkali menjadi taruhannya.
Salim Kancil misalnya, aktivis desa di Desa Selok Awar-Awar, Lumajang, Jawa
Timur, yang memperjuangkan tanahnya akibat pertambangan pasir, tewas dibunuh oleh
tim preman yang ditugaskan Kepala Desa. Ia tewas dikeroyok, dipukuli, dan
dianiaya tanpa ampun.
Sebagaimana
yang dilaporkan oleh media Tirto.id, yang dilansir dari laman
Selamatkan Bumi menyebutkan, Salim Kancil
mendapat penyiksaan berat dengan kondisi tangan terikat tali. Tubuhnya, bukan
saja mendapat hantaman pukulan tangan kosong, tapi berupa kayu dan terjangan
batu. Dengan kepala yang berdarah, ia dibawa dijalan yang sepi ke arah makam.
Para preman itu, menyiksa Salim dengan lebih kejam lagi. Tubuhnya disetrum.
Kepalanya digorok. Seonggok batu besar dihajarkan dikepalanya hingga merenggang
nyawa.
Kawannya
bernama Tosan juga mengalami nasib yang serupa dengan Salim. Tapi, ia masih
bernasib lebih baik. Saat preman komplotan Desir menganiaya Tosan, ia
berpura-pura meninggal. Tosan selamat setelah dibawa ke rumah sakit.
Kasus-kasus
yang dialami para aktivis di desa tidak hanya berhenti pada Salim dan Tosan. Apa
yang dialami Adin hanyalah puncak gunung es atas dugaan
kasus yang menimpanya. Bukan saja pembunuhan dan
penganiayaan, tapi ada upaya kriminalisasi para aktivis desa. Posisi mereka
makin berbahaya, selain taruhan nyawa, juga ada upaya agar para aktivis dipenjara.
Mereka yang punya pengaruh karena jabatan dan modal besar, dengan gampang
melakukan kongsi, baik sesama pejabat, preman juga aparat negara. Seperti
itulah cara mereka untuk meredam aktivisme warga, membungkam bagi yang melawan.
Ario
Bayu Prakoso, seorang warga di Desa Ngemplak, Kecamatan Gebang, Kab. Purworejo,
Jawa Tengah, juga mengalami penganiayaan yang dilakukan oleh Kepala Desa
bersama anak buahnya. Bayu, bukan hanya mengalami pemukulan, namun muka dan
kepalanya juga ditendang. Ia mengalami penganiayaan karena mendorong
transparansi penggunaan Dana Desa.
Laporan
Kompas.com menyebutkan, Bayu yang saat itu sedang berada dirumahnya, didatangi
oleh Kepala Desa dengan menggedor-gedor pintu dan marah-marah. Tak berselang
lama, anak buah Kepala Desa datang dan langsung memukulnya dengan alat plester
bangunan yang terbuat dari kayu.
Kepala
Desa memulai obrolan dengan nada tinggi dan ekspresi yang sangat emosional,
yang pada intinya menuduh Bayu bersama warga lainnya berusaha menjatuhkan
Kepala Desa. Tidak hanya itu, salah seorang yang diketahui sebagai perangkat
desa ikut melakukan penganiayaan dengan cara menendang kepala bagian kiri,
demikian keterangan Direktur LBH Semarang Zainal Arifin dalam keterangan
tertulisnya, Senin (27/8/2020), seperti dikutip Kompas.co.
Upaya-upaya
pembungkaman baik ancaman, penganiayaan, pembunuhan maupun kriminalisasi
terhadap para aktivis seolah memberi pesan terselubung bahwa “semua aktivitasmu
tak boleh menganggu kami.” Kejadian-kejadian tersebut dilakukan bukan tanpa alasan.
Secara tidak langsung, ada pesan yang hendak disampaikan, yakni jangan
menganggu dan macam-macam jika tak ingin dihabisi. Pesan ini menunjukan bahwa
para pelaku takut terhadap sikap kritis masyarakat. Kedok mereka tak ingin
terbongkar dan diketahui publik.
Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat (ELSAM) mencatat, dalam kurun Januari-April 2020, ada 22
peristiwa pelanggaran dan kekerasan terhadap pembela HAM. Pada tahun sebelumnya
ELSAM mencatat, sepanjang tahun 2019 terdapat 27 kasus kekerasan yang menimpa
pembela HAM atas lingkungan. Sementara catatan LBH
Pers mengungkapkan, kasus-kasus kekerasan tersebut bukan
hanya menimpa para aktivis lingkungan, namun masyarakat dan jurnalis juga
mengalami hal serupa. Hal ini mengindikasikan bahwa maraknya kasus kekerasan
terhadap pembela HAM menjadi gambaran lemahnya perlindungan negara terhadap
para aktivis.
Temuan Global Witness,
sebuah lembaga swadaya yang bergerak di bidang anti-eksploitasi lingkungan
lebih menarik lagi. Lembaga ini menjelaskan, kasus pembunuhan terhadap aktivis
kerap terjadi di daerah terpencil.
Sudah bukan rahasia
lagi, pemerintah lokal baik ditingkat Bupati maupun Kepala Desa kerap berkongsi
dengan pemilik modal untuk saling menjaga dan menyelamatkan satu sama lain agar
tak terjerat hukum. Untuk itu, mereka memiliki keberanian sebab biasanya
kasus-kasus ditingkat lokal kurang mendapat perhatian ditingkat nasional. Di
tambah lagi tidak adanya tindakan yang jelas dan tegas dari negara. Dari situ,
penyingkiran terhadap para aktivis juga bagian dari kontribusi mereka.
Mereka
yang bersuara kritis, seperti Aji Kusumo di Yogyakarta, Salim Kancil di
Lumajang, Abdul Jamil di Demak, Yanes Balubun, Ketua Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN) untuk wilayah Maluku dan Ambon, Budi Pego di Yogyakarta, dan Effendi
Buhing ketua komunitas adat Laman Kinipan di Lamandau merupakan aktivis yang
sangat vokal yang
menjadi korban pembunuhan, penganiayaan dan kriminalisasi. Mereka disingkirkan
dengan cara sadis maupun halus. Di balik penyingkiran itu, ada bekingan yang
sangat kuat dibelakang mereka, yakni pejabat dan pemodal.
Saat uang besar mengalir, disitulah nasib para aktivis ditentukan, yakni tersingkir atau kalah.
0 komentar:
Posting Komentar