04 Desember 2015

Rakyat Jelata Dalam Keterpinggiran


Mengarungi hidup di Indonesia terutama petani saat ini memang membutuhkan perjuangan, ketangkasan, kesabaran, dan kewarasan yang cukup tinggi. Mengapa saya mengatakan hal demikian? Itu karena, setiap detik petani kita seakan-akan dibombardir dengan informasi, perlakuan atau hal-hal yang akan membuat hidup mereka semakin teralienasikan di negeri ini. Teralienasi dari negeri dan tanah kelahirannya sendiri—hingga pada akhirnya para petani kita menjadi ter-proletarkan ditanah airnya. Selain itu para petani juga tak kunjung henti-hentinya mendapatkan bentuk intimidasi, penindasan, pembodohan yang membuat petani kita mengernyitkan dahi, menghela nafas panjang lalu mengepalkan tangan sebagai bentuk penyesalan lalu kemudian membentuk perlawanan atas perlakuan yang mereka alami.

Dari sinilah kita bisa menilai bahwa hidup para petani kita seakan-akan adalah rentetan penderitaan, yang kemudian diperlakukan dengan kesewenang-wenangan yang tak ada habis-habisnya. Seakan-akan hidup para petani kita adalah keniscayaan yang selama ini telah mengakarkan dirinya pada rentetan penderitaan kemiskinan, hingga tak bisa lagi terangkat pada kehidupan yang labih baik. Hidup mereka seperti pengambing hitam-an atas nama doktrin pembangunan, lapangan pekerjaan, pendapatan yang layak atau kesejahteraan secara umum, namun dibalik topeng-topeng itu terdapat hasrat membabi-buta untuk merampas, mengusir, mengeksploitasi atau bahkan memarjinalkan hak-hak dasar petani kita.

Terkadang modal-modal finansial yang di invstasikan oleh para korporasi bukan lagi atas dasar untuk kesejahteraan masyarakat lokal/desa seperti mengurangi pengangguran dan menciptakan lapangan pekerjaan yang berjumlah ribuan orang—seperti yang disampaikan oleh pihak-pihak investor agraria di sektor perkebunan tebu pada saat sosialisasi di desa-desa. Namun dibalik  itu ada kecenderungan untuk menciptakan gap/ketimpangan berupa; buruh upah murah, adanya eksploitasi tenaga kerja dan eksploitasi sumber daya ekonomi yang justru mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan dan ekologi. Inilah kesembronoan (atau bentuk akal-akalan) yang sering digencarkkan oleh pihak-pihak korporasi kapitalistik dan birokrasi-birokrasi borjuis negeri ini—merusak dan mengeluarkan biaya yang sedikit untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya kepada rakyat jelata.

Kita dapat mencatatnya dalam berbagai ragam rupa seperti penerapan ‘kebijakan gula-gula’ oleh Negara dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah melalu beragam investasi; pertambangan, pertanian, perkebunan, kehutanan dll, perampasan tanah rakyat oleh korporasi kapitalistik, intimidasi oleh aparat keamanan beserta preman-preman dan elit-elit desa hingga penistaan-penistaan lainnya yang tiada habisnya. Hingga petani bangsa ini kian terpojok/termarjinalkan, terkhianat, bukan lagi tanah air kelahirannya yang dapat memberikan penghidupan, kenyamanan dengan senyum tawa yang bahagia, hubungan antar masyarakat yang terpelihara dengan baik sebagai bentuk kearifan lokal dari masyarakat desa tetapi air mata, sekali  lagi air mata di tanah airnya sendiri.

Gencarnya investasi yang disodorkan oleh para investor kepada daerah—yang kemudian dipermuda dengan regulasi pemerintah mengenai izin investasi—dimana dulu delapan hari sekarang hanya memakan waktu tiga jam—mengambarkan adanya peran pemerintah yang doyan memberikan ‘kebijakan gula-gula’. Dengan ‘kebijakan gula-gula’ ini tentu investor di sektor agraria semakin bergeliat melebarkan sayapnya untuk menjamah setiap daerah hingga kepelosok-pelosok desa di negeri ini. Dengan regulasi-regulasi yang tidak pro-rakyat; perampasan tanah, eksploitasi tenaga kerja dan segala sumber daya ekonomi semakin tak terelakan dan mengemuka dipermukaan.

Hal ini tentunya korporasi di sektor agraria mendapatkan pengawalan serta dukungan dari birokrasi borjuis, baik di pusat, daerah maupun desa yang doyan memburuh rente serta elit-elit lokal/desa hingga aparat keamanan. Bahkan bisa dibilang ini merupakan bagian dari bentuk kerjasama untuk kemudian mengeksploitasi sumber daya di setiap desa untuk mendapatkan keuntungan. Tentu dengan hal tersebut, dengan cepat akan memancing bara api konflik agraria sebagai bentuk perlawanan atas ketidakadilan dan kesewenag-wenangan yang diperlakukan kepada para petani kita.



*** 
Terjadinya konflik agraria di Indonesia ibarat seperti ranjau yang bertebaran dimana-mana—yang akan meledak satu per satu kapan dan dimana saja. Kenyataanya memang sudah demikian dan setiap ledakan tentu akan meminta korban—yang lebih pahit dan memprihatinkan lagi para korban merupakan para petani dan rakyat jelata. Seperti kejadian di Desa Selo Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur baru-baru ini—yang menjadi korban adalah Salim Kancil dan Tosan akibat dari kebiadaban dan persekutuan antara pengusaha tambang, para elit, birokrasi desa, aparat keamanan dan para preman yang bengis. Kejadian ini hanyalah puncak gunung es yang ada di Indonesia dan akan terus berkelanjutan selama regulasi tidak direformasi dengan baik dan memihak kepada rakyat petani bukan regulasi agraria yang pro-kapital.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sepanjang tahun 2013 yang lalu ada 369 kasus konflik agraria. Angka itu ternyata sangat rendah dan selama tahun 2014 konflik agraria meningkat sangat tajam sekitar 472 kasus. Selain itu jumlah korban juga tak sedikit—selama tahun 2014 jumlah korban akibat konf;ik agraria tercatat 19 orang yang tewas, 110 orang yang luka karena teraniaya dan 156 orang ditahan. Selama 10 tahun terkahir jumlah korban yang tewas tercatat 85 orang, 110 orang tertembak, 633 orang teraniaya dan 1.395 orang ditangkap. Selain itu, kebijakan pemerintah di sektor agraria suda jelas sangat mengapdi pada korporasi kapitalis. Kita bisa mencatatnya, sejak orde baru hingga sekarang ini banyak korporasi swasta mengambil peran untuk mendominasi dan menguasai banyaknya manfaat serta mengambil keuntungan dari sumber daya-sumber daya agraria.

Hal ini tentu adanya dukungan dari produk legislatif yang semakin melapangkan jalan bagi swasta baik domestik maupun asing—untuk kemudian membangun kerajaan bisnisnya di sektor agraria. Seperti diantaranya yaitu : UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air, UU No 18/2004 tentang Perkebunan, UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal, dan UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah. Sehingga ada korelasi antara liberalisasi produk legislatif di sektor agraria dan intensitas konflik agraria. Liberalisasi produk legislatif sektor agraria tersebut memungkinkan investasi swasta mendapat kemudahan izin usaha yang dipayungi dengan regulasi pemerintah sehingga pihak investor berduyung-duyung untuk menginvestasikan modalnya di sektor agraria. Hingga perampasan tanah tak bisa terbendung karena sektor agraria sangat membutuhkan luas lahan yang beribu-ribu bahkan berjuta-juta hektar.

Perampasan tanah yang dilakukan oleh korporasi yang bergerak di sektor agraria baik korporasi swasta maupun asing semakin marak terjadi bak jamur yang tumbuh dimusim hujan. Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan kasus konflik agraria paling banyak terjadi di sektor perkebunan sebanyak 185 kasus (39,19%), sektor kehutanan sebanyak 27 kasus (5,27%), pertanian 20 kasus (4,24%), pertambangan 12 kasus (2,97%) serta perairan dan kelautan 4 kasus (0,85%). Selain itu, ada ketidakadilan yang membawa dampak struktural bagi sektor agraria dimana indeks gini kepemilikan tanah di Indonesia sudah mencapai 0,72 (Khudori, 2013). Dampak korupsi juga tak terhindarkan dalam investasi sektor agraria. Ada banyak izin  usaha ilegal bisa keluar dengan mulus karena suap dan gratifikasi misalnya di sektor kehutanan. Dari catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ada 120 juta hektar kawasan hutan yang izin ahli fungsinya tidak jelas. Di sektor pertambangan KPK mencatat 4.563 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang belum memenuhi klasifikasi Clear and Clean (CnC).

Berangkat dari itu, di Sulawesi Tenggara bukan berarti akan terlepas dari jerat-jerat suap dan gratifikasi serta konflik di sektor agraria. Apalagi sejak tahun 2012 lalu korporasi perkebunan tebuh; seperti PT Marketindo Selaras dan PT Kilau Indah Cemerlang di Kabupaten Konawe Selatan, PT Asia Sweet Plantation di Kabupaten Kolaka, PT Wahana Suryo Agro di Kabupaten Muna serta Kabupaten Muna Barat dan PT Sumagro Sawitara di Kabupaten Buton Utara suda mulai menjamah daerah Sulawesi Tenggara. Gelagat para elit-elit lokal/desa serta pihak-pihak yang berkepentingan dalam pembagian kue lezat proyek perkebunan tebuh ini suda mulai tercium. Banyak pihak-pihak yang ingin mendapatkan keuntungan dari kue lezat proyek ini seperti di Kabupaten Muna dan khususnya di Desa Wantiworo.
 
Proyek perkebunan tebuh ini mereka jadikan sebagai pengakumulasian keuntungan ekonomi bagi pihak-pihak tertentu. Bukan di jadikan sebagai pijakan awal untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat. Contohnya seperti pada masyarakat Desa Wantiworo yang pembayaran ganti rugi lahannya terkesan ada pembodohan yang dilakukan pada masyarakat oleh sekelompok elit desa pemburu rente. Pembayaran ganti rugi lahan per-hektar yang berkisar Rp. 4.000.000,00-5.000.000,00, kini yang diterimah masyarakat hanya Rp. 1.000.000,00-3.000.000,00. Ada alasan-alasan tertentu yang mereka buat misalnya pembayaran ganti rugi lahan dipotong karena untuk biaya pembuatan Surat Keterangan Tanah (SKT), atau keluar Surat Keterangan Tanah (SKT) setelah itu pembayarannya baru di tambah kembali. Sementara itu pihak perusahaan Wahana Surya Agro mengatakan Bahwa Surat Keterangan Tanah (SKT) suda menjadi kewajiban mereka untuk membuat dan tidak memotong uang ganti rugi lahan masyarakat sepersen pun. Tentu ini mengindikasikan adanya korupsi uang ganti rugi lahan mulai menguap dipermukaan dan tercium ditengah-tengan masyarakat.

Bentuk intimidasi dan pengambilan keputusan sepihak biasanya banyak dilakukan, agar masyarakat dapat meng-iyakan lahan mereka untuk dijadikan lokasi perkebunan. Inilah konspirasi, sehingga masyarakat tak punya daya apa-apa untuk menolak karena tidak adanya kuasa dan kekuatan. Gayatri Spivak suda menjelaskan tentang hal ini, bahwa kaum yang dipinggirkan oleh kekuasaan tak akan mampu berbicara, sebagaimana kiasannya “can subaltern speak?”. Inilah peran kekuasaan dan politik yang sulit dipisahkan—antara kekuasaan logika dan wacana—sebagaimana Derrida mengatakan bahwa “we need to intrepret interpretation than a interpret thing”. Dengan hal ini, maka kita akan semakin tergelitik—membongkar dibalik motivasi kekuasaan wacana yang sering didengungkan oleh elit-elit yang berkepentingan dan perusahaan multinasional.
 
Pertanyaanya, apakah ketidakadilan yang dilakukan pada masyarakat tidak akan memancing bari api konflik perkebunan tebu? Di sinilah seharusnya peran pemerintah untuk masuk menyelesaikan problem diatas agar tidak menimbulkan korban jiwa seperti kejadian di Desa Selo Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur itu.
 
Dari berbagai ragam masaalah diatas, Pemerintah Kabupaten Muna juga harus segera mengambil beberapa langkah tegas untuk meredam bara api konflik agraria terutama pada perkebunan tebuh di Desa Wantiworo. Pertama, Pemerintah Kabupaten Muna harus meninjau ulang dan melakukan sosialisasi, memediasi masyarakat dengan melibatkan perusahaan PT. Wahana Surya Agro dan instansi-instansi terkait untuk mengetahui fakta-fakta dilapangan. Karena dari Pemerintah Desa ada kesan ketertutupan dan pemanipulasian informasi-informasi sehingga setiap pelaporan kejadian dilapangan selalu terkesan baik. Kedua, melaporkan kepada pihak kepolisian dan kejaksaan jika terjadi adanya unsur korupsi uang ganti rugi lahan. Ketiga, segera mempertimbangkan kembali masuknya perusahaan tebuh PT. Wahana Surya Agro. Karena pada dasarnya perusahaan perkebunan hanya akan menimbulkan kemelaratan dan tereksploitasinya tenaga kerja petani dalam jangka panjang dengan gaji upah yang murah. 
 
Pemerintah Kabupaten Muna harus mengkaji ulang lalu mempertanyakan kembali, apakah pertanian dalam skala kecil rumah tangga di desa relevan dan masuk akal jika digiring menjadi pertanian dalam skala unit perusahaan besar, sebagaimana yang dikehendaki oleh kapitalisme? Pertanian dalam skala besar tentu akan menghadirkan efektifitas dan efisiensi untuk akumulasi dan reakumulasi profit, tetapi hanya akan menempatkan petani dan warga desa lainnya sebagai pekerja dengan upah yang murah dan pada gilirannya hadir sebagai proletar yang tereksploitasi oleh borjuis (Darmawan Salman, 2015). Para petani bahkan tidak menjadi pelaku utama dan mereka akan teralienasi dengan seutuhnya karena menjadi buruh upah murah dengan kerja paruh waktu. Keempat, mengembalikan hak-hak petani sebagai pemilik lahan dengan mengganti rugi lahan yang telah digundulkan oleh pihak perusahaan karena hamparan tanah-tanah suda terokupansi, tergali dan tentu memberikan dampak akan adanya kerentanan bagi penghidupan warga. 
 
Itulah, mengapa korporasi borjuis sangat berbahaya dalam kehidupan masyarakat desa. Korporasi borjuis bekerja ibarat seorang penjahat, bahkan dapat memporak-mporandakan kehidupan para petani bangsa, jika setiap produk regulasi dan kebijakan legislatif serta pemerintah tidak memihak dan mengapdi pada kepentingan petani dan rakyat jelata bangsa ini. Apa yang dikatakan oleh Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno dalam bukunya yang berjudul Dialectic Of Enlightenment memang benar bahwa penjahat selalu dari kalangan borjuasi—seperti retribusi yang telah merampoknya dari kebebasannya.



                                                                                                   Laode Halaidin


Sumber gambar 1. zalilifakhrisya.blogspot.com
                         2. sajogyo-institute.or.id


0 komentar:

Posting Komentar