Mengarungi hidup di
Indonesia terutama petani saat ini memang membutuhkan perjuangan, ketangkasan,
kesabaran, dan kewarasan yang cukup tinggi. Mengapa saya mengatakan hal
demikian? Itu karena, setiap detik petani kita seakan-akan dibombardir dengan
informasi, perlakuan atau hal-hal yang akan membuat hidup mereka semakin
teralienasikan di negeri ini. Teralienasi dari negeri dan tanah kelahirannya
sendiri—hingga pada akhirnya para petani kita menjadi ter-proletarkan ditanah
airnya. Selain itu para petani juga tak kunjung henti-hentinya mendapatkan
bentuk intimidasi, penindasan, pembodohan yang membuat petani kita
mengernyitkan dahi, menghela nafas panjang lalu mengepalkan tangan sebagai
bentuk penyesalan lalu kemudian membentuk perlawanan atas perlakuan yang mereka
alami.
Dari sinilah kita bisa
menilai bahwa hidup para petani kita seakan-akan adalah rentetan penderitaan,
yang kemudian diperlakukan dengan kesewenang-wenangan yang tak ada
habis-habisnya. Seakan-akan hidup para petani kita adalah keniscayaan yang
selama ini telah mengakarkan dirinya pada rentetan penderitaan kemiskinan, hingga
tak bisa lagi terangkat pada kehidupan yang labih baik. Hidup mereka seperti pengambing
hitam-an atas nama doktrin pembangunan, lapangan pekerjaan, pendapatan yang
layak atau kesejahteraan secara umum, namun dibalik topeng-topeng itu terdapat
hasrat membabi-buta untuk merampas, mengusir, mengeksploitasi atau bahkan memarjinalkan
hak-hak dasar petani kita.
Terkadang modal-modal finansial
yang di invstasikan oleh para korporasi bukan lagi atas dasar untuk
kesejahteraan masyarakat lokal/desa seperti mengurangi pengangguran dan
menciptakan lapangan pekerjaan yang berjumlah ribuan orang—seperti yang
disampaikan oleh pihak-pihak investor agraria di sektor perkebunan tebu pada
saat sosialisasi di desa-desa. Namun dibalik
itu ada kecenderungan untuk menciptakan gap/ketimpangan berupa; buruh upah
murah, adanya eksploitasi tenaga kerja dan eksploitasi sumber daya ekonomi yang
justru mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan dan ekologi. Inilah kesembronoan
(atau bentuk akal-akalan) yang sering digencarkkan oleh pihak-pihak korporasi
kapitalistik dan birokrasi-birokrasi borjuis negeri ini—merusak dan mengeluarkan
biaya yang sedikit untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya kepada
rakyat jelata.
Kita dapat mencatatnya
dalam berbagai ragam rupa seperti penerapan ‘kebijakan gula-gula’ oleh Negara dalam
hal ini pemerintah pusat dan daerah melalu beragam investasi; pertambangan,
pertanian, perkebunan, kehutanan dll, perampasan tanah rakyat oleh korporasi
kapitalistik, intimidasi oleh aparat keamanan beserta preman-preman dan elit-elit
desa hingga penistaan-penistaan lainnya yang tiada habisnya. Hingga petani
bangsa ini kian terpojok/termarjinalkan, terkhianat, bukan lagi tanah air
kelahirannya yang dapat memberikan penghidupan, kenyamanan dengan senyum tawa
yang bahagia, hubungan antar masyarakat yang terpelihara dengan baik sebagai
bentuk kearifan lokal dari masyarakat desa tetapi air mata, sekali lagi air mata di tanah airnya sendiri.
Gencarnya investasi
yang disodorkan oleh para investor kepada daerah—yang kemudian dipermuda dengan
regulasi pemerintah mengenai izin investasi—dimana dulu delapan hari sekarang
hanya memakan waktu tiga jam—mengambarkan adanya peran pemerintah yang doyan memberikan
‘kebijakan gula-gula’. Dengan ‘kebijakan gula-gula’ ini tentu investor di
sektor agraria semakin bergeliat melebarkan sayapnya untuk menjamah setiap
daerah hingga kepelosok-pelosok desa di negeri ini. Dengan regulasi-regulasi
yang tidak pro-rakyat; perampasan tanah, eksploitasi tenaga kerja dan segala
sumber daya ekonomi semakin tak terelakan dan mengemuka dipermukaan.
Hal ini tentunya korporasi
di sektor agraria mendapatkan pengawalan serta dukungan dari birokrasi borjuis,
baik di pusat, daerah maupun desa yang doyan memburuh rente serta elit-elit
lokal/desa hingga aparat keamanan. Bahkan bisa dibilang ini merupakan bagian
dari bentuk kerjasama untuk kemudian mengeksploitasi sumber daya di setiap desa
untuk mendapatkan keuntungan. Tentu dengan hal tersebut, dengan cepat akan
memancing bara api konflik agraria sebagai bentuk perlawanan atas ketidakadilan
dan kesewenag-wenangan yang diperlakukan kepada para petani kita.
***
Terjadinya konflik
agraria di Indonesia ibarat seperti ranjau yang bertebaran dimana-mana—yang
akan meledak satu per satu kapan dan dimana saja. Kenyataanya memang sudah
demikian dan setiap ledakan tentu akan meminta korban—yang lebih pahit dan
memprihatinkan lagi para korban merupakan para petani dan rakyat jelata.
Seperti kejadian di Desa Selo Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten
Lumajang, Jawa Timur baru-baru ini—yang menjadi korban adalah Salim Kancil dan
Tosan akibat dari kebiadaban dan persekutuan antara pengusaha tambang, para
elit, birokrasi desa, aparat keamanan dan para preman yang bengis. Kejadian ini
hanyalah puncak gunung es yang ada di Indonesia dan akan terus berkelanjutan
selama regulasi tidak direformasi dengan baik dan memihak kepada rakyat petani
bukan regulasi agraria yang pro-kapital.
Konsorsium Pembaruan
Agraria (KPA) mencatat, sepanjang tahun 2013 yang lalu ada 369 kasus konflik
agraria. Angka itu ternyata sangat rendah dan selama tahun 2014 konflik agraria
meningkat sangat tajam sekitar 472 kasus. Selain itu jumlah korban juga tak
sedikit—selama tahun 2014 jumlah korban akibat konf;ik agraria tercatat 19
orang yang tewas, 110 orang yang luka karena teraniaya dan 156 orang ditahan.
Selama 10 tahun terkahir jumlah korban yang tewas tercatat 85 orang, 110 orang
tertembak, 633 orang teraniaya dan 1.395 orang ditangkap. Selain itu, kebijakan
pemerintah di sektor agraria suda jelas sangat mengapdi pada korporasi
kapitalis. Kita bisa mencatatnya, sejak orde baru hingga sekarang ini banyak
korporasi swasta mengambil peran untuk mendominasi dan menguasai banyaknya
manfaat serta mengambil keuntungan dari sumber daya-sumber daya agraria.
Hal ini tentu adanya
dukungan dari produk legislatif yang semakin melapangkan jalan bagi swasta baik
domestik maupun asing—untuk kemudian membangun kerajaan bisnisnya di sektor
agraria. Seperti diantaranya yaitu : UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 7/2004
tentang Sumber Daya Air, UU No 18/2004 tentang Perkebunan, UU No 25/2007
tentang Penanaman Modal, dan UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah. Sehingga ada korelasi antara liberalisasi produk legislatif di sektor
agraria dan intensitas konflik agraria. Liberalisasi produk legislatif sektor
agraria tersebut memungkinkan investasi swasta mendapat kemudahan izin usaha yang
dipayungi dengan regulasi pemerintah sehingga pihak investor berduyung-duyung
untuk menginvestasikan modalnya di sektor agraria. Hingga perampasan tanah tak
bisa terbendung karena sektor agraria sangat membutuhkan luas lahan yang beribu-ribu
bahkan berjuta-juta hektar.
Perampasan tanah yang
dilakukan oleh korporasi yang bergerak di sektor agraria baik korporasi swasta
maupun asing semakin marak terjadi bak jamur yang tumbuh dimusim hujan. Catatan
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan kasus konflik agraria paling
banyak terjadi di sektor perkebunan sebanyak 185 kasus (39,19%), sektor
kehutanan sebanyak 27 kasus (5,27%), pertanian 20 kasus (4,24%), pertambangan
12 kasus (2,97%) serta perairan dan kelautan 4 kasus (0,85%). Selain itu, ada
ketidakadilan yang membawa dampak struktural bagi sektor agraria dimana indeks
gini kepemilikan tanah di Indonesia sudah mencapai 0,72 (Khudori, 2013). Dampak
korupsi juga tak terhindarkan dalam investasi sektor agraria. Ada banyak
izin usaha ilegal bisa keluar dengan
mulus karena suap dan gratifikasi misalnya di sektor kehutanan. Dari catatan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ada 120 juta hektar kawasan hutan yang izin
ahli fungsinya tidak jelas. Di sektor pertambangan KPK mencatat 4.563 Izin
Usaha Pertambangan (IUP) yang belum memenuhi klasifikasi Clear and Clean (CnC).
Berangkat dari itu, di
Sulawesi Tenggara bukan berarti akan terlepas dari jerat-jerat suap dan
gratifikasi serta konflik di sektor agraria. Apalagi sejak tahun 2012 lalu
korporasi perkebunan tebuh; seperti PT Marketindo Selaras dan PT Kilau Indah
Cemerlang di Kabupaten Konawe Selatan, PT Asia Sweet Plantation di Kabupaten
Kolaka, PT Wahana Suryo Agro di Kabupaten Muna serta Kabupaten Muna Barat dan PT
Sumagro Sawitara di Kabupaten Buton Utara suda mulai menjamah daerah Sulawesi
Tenggara. Gelagat para elit-elit lokal/desa serta pihak-pihak yang
berkepentingan dalam pembagian kue lezat proyek perkebunan tebuh ini suda mulai
tercium. Banyak pihak-pihak yang ingin mendapatkan keuntungan dari kue lezat proyek
ini seperti di Kabupaten Muna dan khususnya di Desa Wantiworo.
Proyek perkebunan tebuh
ini mereka jadikan sebagai pengakumulasian keuntungan ekonomi bagi pihak-pihak
tertentu. Bukan di jadikan sebagai pijakan awal untuk mengangkat kesejahteraan
masyarakat. Contohnya seperti pada masyarakat Desa Wantiworo yang pembayaran
ganti rugi lahannya terkesan ada pembodohan yang dilakukan pada masyarakat oleh
sekelompok elit desa pemburu rente. Pembayaran ganti rugi lahan per-hektar yang
berkisar Rp. 4.000.000,00-5.000.000,00, kini yang diterimah masyarakat hanya
Rp. 1.000.000,00-3.000.000,00. Ada alasan-alasan tertentu yang mereka buat
misalnya pembayaran ganti rugi lahan dipotong karena untuk biaya pembuatan Surat
Keterangan Tanah (SKT), atau keluar Surat Keterangan Tanah (SKT) setelah itu
pembayarannya baru di tambah kembali. Sementara itu pihak perusahaan Wahana
Surya Agro mengatakan Bahwa Surat Keterangan Tanah (SKT) suda menjadi kewajiban
mereka untuk membuat dan tidak memotong uang ganti rugi lahan masyarakat
sepersen pun. Tentu ini mengindikasikan adanya korupsi uang ganti rugi lahan
mulai menguap dipermukaan dan tercium ditengah-tengan masyarakat.
Bentuk intimidasi dan
pengambilan keputusan sepihak biasanya banyak dilakukan, agar masyarakat dapat meng-iyakan
lahan mereka untuk dijadikan lokasi perkebunan. Inilah konspirasi, sehingga
masyarakat tak punya daya apa-apa untuk menolak karena tidak adanya kuasa dan kekuatan.
Gayatri Spivak suda menjelaskan tentang hal ini, bahwa kaum yang dipinggirkan
oleh kekuasaan tak akan mampu berbicara, sebagaimana kiasannya “can subaltern
speak?”. Inilah peran kekuasaan dan politik yang sulit dipisahkan—antara
kekuasaan logika dan wacana—sebagaimana Derrida mengatakan bahwa “we need to
intrepret interpretation than a interpret thing”. Dengan hal ini, maka kita
akan semakin tergelitik—membongkar dibalik motivasi kekuasaan wacana yang
sering didengungkan oleh elit-elit yang berkepentingan dan perusahaan
multinasional.
Pertanyaanya, apakah ketidakadilan yang dilakukan pada masyarakat tidak akan memancing bari api konflik perkebunan tebu? Di sinilah seharusnya peran pemerintah untuk masuk menyelesaikan problem diatas agar tidak menimbulkan korban jiwa seperti kejadian di Desa Selo Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur itu.
Dari berbagai ragam masaalah diatas, Pemerintah Kabupaten Muna juga harus segera mengambil beberapa langkah tegas untuk meredam bara api konflik agraria terutama pada perkebunan tebuh di Desa Wantiworo. Pertama, Pemerintah Kabupaten Muna harus meninjau ulang dan melakukan sosialisasi, memediasi masyarakat dengan melibatkan perusahaan PT. Wahana Surya Agro dan instansi-instansi terkait untuk mengetahui fakta-fakta dilapangan. Karena dari Pemerintah Desa ada kesan ketertutupan dan pemanipulasian informasi-informasi sehingga setiap pelaporan kejadian dilapangan selalu terkesan baik. Kedua, melaporkan kepada pihak kepolisian dan kejaksaan jika terjadi adanya unsur korupsi uang ganti rugi lahan. Ketiga, segera mempertimbangkan kembali masuknya perusahaan tebuh PT. Wahana Surya Agro. Karena pada dasarnya perusahaan perkebunan hanya akan menimbulkan kemelaratan dan tereksploitasinya tenaga kerja petani dalam jangka panjang dengan gaji upah yang murah.
Pemerintah Kabupaten Muna harus mengkaji ulang lalu mempertanyakan kembali, apakah pertanian dalam skala kecil rumah tangga di desa relevan dan masuk akal jika digiring menjadi pertanian dalam skala unit perusahaan besar, sebagaimana yang dikehendaki oleh kapitalisme? Pertanian dalam skala besar tentu akan menghadirkan efektifitas dan efisiensi untuk akumulasi dan reakumulasi profit, tetapi hanya akan menempatkan petani dan warga desa lainnya sebagai pekerja dengan upah yang murah dan pada gilirannya hadir sebagai proletar yang tereksploitasi oleh borjuis (Darmawan Salman, 2015). Para petani bahkan tidak menjadi pelaku utama dan mereka akan teralienasi dengan seutuhnya karena menjadi buruh upah murah dengan kerja paruh waktu. Keempat, mengembalikan hak-hak petani sebagai pemilik lahan dengan mengganti rugi lahan yang telah digundulkan oleh pihak perusahaan karena hamparan tanah-tanah suda terokupansi, tergali dan tentu memberikan dampak akan adanya kerentanan bagi penghidupan warga.
Itulah, mengapa korporasi borjuis sangat berbahaya dalam kehidupan masyarakat desa. Korporasi borjuis bekerja ibarat seorang penjahat, bahkan dapat memporak-mporandakan kehidupan para petani bangsa, jika setiap produk regulasi dan kebijakan legislatif serta pemerintah tidak memihak dan mengapdi pada kepentingan petani dan rakyat jelata bangsa ini. Apa yang dikatakan oleh Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno dalam bukunya yang berjudul Dialectic Of Enlightenment memang benar bahwa penjahat selalu dari kalangan borjuasi—seperti retribusi yang telah merampoknya dari kebebasannya.
Laode Halaidin
Sumber gambar 1. zalilifakhrisya.blogspot.com
2. sajogyo-institute.or.id
0 komentar:
Posting Komentar