RASANYA sudah terlalu lama saya menyimpan dan tidak menuliskan kisah ini. Namun malam
ini saya akan mencoba menuliskan kisah itu dengan menyusunnya yang kemudian
membingkainya dengan kata-kata untuk hanya sekedar menginspirasi banyak orang. Inilah
yang akan kulakukan sekarang dan kedepannya mengasah tantangan ini sekaligus
menutupi kejenuhan dan kebosanan yang menyelimuti batin ini.
Kisah itu, yang terjadi sekitar bulan Januari yang lalu,
dimana kami dari Universitas Halu Oleo melakukan Kuliah Kerja Nyata Nusantara
II dan kami saat itu ditempatkan di sebuah kampung terpencil yakni Desa Sandang
Pangan.
Desa Sandang Pangan merupakan desa yang terletak di Kec.
Sampolawa, Kab. Buton Selatan yang merupakan hasil dari pemekaran dari Kab.
Buton yang dimekarkan beberapa tahun lalu. Desa Sandang Pangan dulu dikenal
dengan sebuah dusun atau kampung yang dinamakan dengan kampung Rongi. Setelah pada tahun sekitar ±1980-an kampung tersebut berubah nama
menjadi Desa Sandang Pangan.
Dari beberapa masyarakat setempat mengatakan bahwa nama Desa
tersebut dirubah karena dulu Kampung Rongi merupakan lumbung padi ladang/gunung
dan jagung terbesar di Kab. Buton yang kemudian nama kampung tersebut diganti
dengan desa Sandang Pangan.
Dulu nama Rongi melejit kesantero Buton bukan saja terkenal
dengan penghasil sandang dan pangannya tetapi juga terkenal dengan pawang
hujannya sampai sekarang. Ketika itu saya berkunjung dari desa tetangga dan sempat ditanya, anda mahasiswa KKN ya, poskonya dimana? Saya jawab, Sandan Pangan, Pak. Lalu Bapak itu menjawab, Oww…itu kampung Rongi yang terkenal dengan pawang
hujannya di Buton ini. Apa!!!
Bagi saya dikampung, kepintaran menjadi pawang hujan bukan
sesuatu hal yang luar biasa dan sama sekali tidak membuat desa terkenal. Bagi
masyarakat Sandang Pangan, pawang hujan di ibaratkan sebagai nahkoda kapal yang
memiliki peran penting untuk mengendalikan kapal ketika akan tenggelam untuk
kemudian menyelamatkan banyak orang.
Inilah yang membuat saya terkesimah, menjelang tiga hari
sebelum pesta masyarakat ini akan bekerja keras dan saling bantu membantu. Bagi
masyarakat ini pesta merupakan hal yang sakral di adakan dan tidak bisa
diganggu gugat, termasuk hujan. Ketika langit mulai menghitam, dengan membawah
percikan kilatnya yang bergemuruh maka seorang pawang hujan akan memulai
tugasnya dengan meniupkan berbagai mantra-mantra ke langit. Dan seketika itu
pun awan-awan hitam tersebut menghindar dan bertebrangan larih entah kemana.
Percaya atau tidak. Langit yang hitam tadi kemudian kelihatan mulai cerah dan
masyarakat akan mulai beraktifitas kembali.
Seorang sahabat mengatakan kepada saya, bahwa mereka adalah
para tokoh-tokoh adat yang dipercaya dan diangkat di desa ini. Merekalah yang
memegang kendali desa Sandang Pangan agar tetap tentram dan aman dari bahaya
ilmu-ilmu ghaib. Merekalah nahkoda tersebut yang bisa menafsirkan segala
sesuatu kemana desa akan diarahkan ketika berada dalam gejolak pertikaian dan
ancaman.
Salah satu tokoh adat yang paling dipercaya tersebut adalah Parabela. Parabela merupakan ketua tokoh adat, yang diangkat oleh masyarakat
dan pemerintah desa berdasarkan keturunan Sultan. Saya tidak menemukan banyak
cerita tentang Parabela dan seingat
saya ketika melakukan musyawara dengan masyarakat bahwa Parabela juga merupakan penafsir bintang dan juga hari-hari yang
baik.
Ketika itu kami mengusulkan untuk melakukan penghijauan desa
(Reboisasi) dan pengecetan sebuah Baruga atau Rumah adat. Seorang sahabat
mengatakan kepada kami bahwa kami harus meminta izin sebelum melakukan
pengecetan Baruga tersebut dan menanyakan hari penanaman yang baik. Jika tidak,
maka tanaman akan mati dan ketika melangkahi Parabela maka bencanalah yang akan melanda desa ini. Hari itu detak
jantungku bergemuruh kian cepat, dan terlintas dalam benaku, sepertinya saya
harus menjaga langka yang tepat agar saya tidak memasuki jurang dalam ini yang
penuh keghaiban.
Di desa ini memang terdapat banyak hal yang perlu
dieksplorasi, mulai dari potensi pariwisata, pertanian juga budaya dan lembaga
adat yang mesti harus dipertahankan. Desa Sandang Pangan berupa dataran tinggi
sehingga diberbagai sisi wilaya di kelilingi oleh pegunungan atau puncak-puncak
yang sangat tinggi nan-indah.
Inilah yang saya anggap sebagai potensi pariwisata. Seorang
sahabat menceritakan kepada saya bahwa dulu puncak Teletubies (yang biasa
disebut anak-anak Sandang Pangan) atau puncak Lamando pernah ingin dijadikan
tempat pariwisata oleh pemerintah daerah. Namun kemudian niat tersebut
terbengkalai yang disebabkan oleh tidak adanya kesepakatan antara pemerintah
daerah dan tokoh-tokoh adat.
Dengan adannya hak otonom setiap Desa, sebagaimana yang
telah diamatkan Undang-Undang Desa No 6 Tahun 2014 maka setiap Desa mempunyai
wewenang untuk mengembangkan basis sumber daya yang ada di desanya. Sebagaimana yang kita ketahui dalam Undang-Undang Desa
tersebut dapat mengamanatkan empat hal. Yang
pertama adalah membangun desa berarti membangun kawasan pedesaan. Hal ini
menegaskan bahwa Desa dibangun berdasarkan basis sumber daya yang dimiliki
yakni termasuk hasil-hasil kekayaan alam yang ada didesa tersebut. Yang kedua, bahwa pengembangan ekonomi
desa yang melalui BUM-Desa. Ketiga,
desa melakukan pelaksanaan, pemantauan dan pengawasan dana desa. Dan yang keempat adalah system informasi
Desa untuk kemudian dapat memudahkan desa dalam melakukan pembangunan dan
memetahkan kawasan pedesaan.
Selain itu, lembaga adat juga memiliki peran penting dalam
menjaga kearifan local desa Sandang Pangan. Desa ini begitu sangat kental
dengan hukum adat yang diterapkannya. Salah satu masyarakat mengatakan kepada
saya bahwa hukum yang berlaku di desa ini, adalah hukum adat. Masyarakat itu
memberikan contoh, beliau mengatakan ketika anak laki-lakinya membuat
kekacaunan atau berbuat onar di desa, maka dia tidak berhak untuk menginjakan
kakinya diatas rumah. Hukum ini merupakan suatu kesepakatan kami antara
masyarakat dan pemerintah desa dan ini tetap berlaku sampai sekarang. Tandasnya.”
Bagi masyarakat sandang pangan lembaga adat di ibaratkan
sebuah benteng yang kokoh yang kemudian dapat meleburkan masyarakat pada satu
kesatuan yang urgen, menciptakan keharmonisan dan kedamayan antar sesama.
Setiap masaalah dapat diselesaikan melalui lembaga adat agar tidak
berkepanjangan dan tidak menciptakan permusuhan antar sesama. Keputusan seorang
Parabelah (tokoh adat) adalah
keputusan yang fainal yang tidak dapat diganggu gugat dan sangat sakral.
Saya menemukan banyak hal di Sandang Pangan ini,
keramah-tamahan masyarakatnya, ke-gotong-royongannya yang sangat kuat,
keharmonisan antar sesama dan penghargaan terhadap seseorang meskipun itu
buatnya orang yang masih asing, dan anak-anaknya yang siap dan setia
mendengarkan setiap materi yang saya berikan.
Saya masih tetap rinduh dan mesti akan terus mengunjungi
desa ini. Masih ada informasi yang perlu saya gali untuk kemudian belajar
banyak dengan masyarakatnya. Masih banyak hal yang perlu saya pelajari tentang
kearifan local dari desa ini.
Saya sempat mendengarkan cerita dari masyarakat setempat
bahwa desa Sandang Pangan ini pernah dikunjungi oleh para artis-artis di
Jakarta dalam pembuatan sebuah film dan stasiun televisi swasta Trans 7 yang
menayangkan sibolang di kali Tinawabako. Dan tentunya mereka sudah punya konsep
mengapa desa Sandang Pangan yang harus mereka kunjungi. Dan tentunya juga sudah
pasti banyak meniympan sejara dan kisah klasik yang masih tersembunyi di desa
ini.
Pada saat saya menggali informasih tersebut, seorang sahabat
menceritakan kepada saya bahwa pembuatan film tersebut diadakan di baruga atau
rumah adat yang diperankan oleh Reza Rahardian. Dan sebenarnya tidak disetujui
oleh Parabela, namun mereka tetap
memaksa dan tidak mempercayai ucapan dari Parabela.
Namun setelah pembuatan film tersebut, yang terjadi adalah
malapetaka. Banyak masyarakat yang menjadi korban dan dalam sehari
masyarakatnya meninggal sekitar 3-4 orang. Seorang sahabat tersebut mengatakan
total masyarakat yang meninggal setelah pembuatan film tersebut sekitar 97
orang. Sahabat ini menceritakan bahwa kejadian itu berhenti ketika para
tokoh-tokoh adat lalu bersemedi dengan membacakan mantra-mantra di Baruga
tersebut.
Parabela atau ketua adat ini adalah orang
yang mempunyai kekuatan mistis. Dia dapat menafsirkan segala sesuatunya yang
ada di desa tersebut. Dan ketika dia mengatakan itu tidak boleh maka setiap
orang tidak bisa melakuka pemaksaan sesuai kehendaknya karena seorang Parabela sudah mengetahui semua
konsekuensi yang akan terjadi.
Anehnya, Parabela juga
mempunyai sebuah naga. Naga tersebut adalah sebuah senjata Meriam yang
digunakan pada zaman kerajaan di Buton. Ketika saya menanyakan sejak kapan
meriam itu ada, Parabela mengatakan
bahwa Naga itu ada sejak 10 Masehi. Dan beratnya Masya Allah…. saya hampir
tidak bisa mengangkatnya. Naga tersebut terus dalam posisi berdiri dan tidak
dapat dibaringkan, seorang sahabat mengatakan kalau naga tersebut jatuh dari
tempatnya berarti pertanda bahwa akan bencana yang akan melanda desa ini. Aahhh…Apa….!!!!
Setiap pergantian Parabela,
naga tersebut akan dimiliki Parabela yang baru. Pernah seorang sahabat
bercerita bahwa naga tersebut dulu hendak mau di bawah di Kendari untuk di
simpan di Museum, namun hal tersebut tidak bisa. Katanya teman ini, Mobil yang dipake tidak bisa jalan,
kemudian Parabela langsung turu tangan untuk berbicara dengan naga tersebut
baru kemudian bisa jalan.
Setelah itu, lalu naga tersebut dibawah dengan kapal Very,
namun hal tersebut juga tidak dapat dibawah. Pada saat itu katanya very akan
tenggelam dan tidak bisa jalan sampai akhirnya dipulangkan di desa Sandang
Pangan seperti semula.
Inilah yang membuat saya terus bertanya-tanya, cerita
seperti ini saya dapatkan hanya dalam sebuah cerita legendah atau film-film.
Rasanya inilah yang menggetarkan jiwa saya, membuat saya terus
bertanya-bertanya dalam hati. Kokk… bisa
yaa… pasti anda penasaran juga khan...!!!!
0 komentar:
Posting Komentar