La Aco Sedang Memperhatikan Perahunya |
Di Jazirah Sulawesi Tenggara, Kota Kendari terdapat kisah yang menginspirasi dari kehidupan seorang nelayan. Keseharian hidupnya hanya bergantung di laut dengan perahu rapuh yang ia miliki. Ia berlayar dari satu pulau ke pulau yang lain. Ia tak punya kemampuan finansial untuk membeli sebuah kapal nelayan modern penangkap ikan.
Ia berusaha membuat kapal nelayan sendiri, lalu ia belikan mesin. Setiap bantuan dari pemerintah setempat datang, ia tak kebagian. Justru orang-orang yang dekat dengan pemerintah setempatlah yang mendapatkan bantuan itu. Namun dibalik ketidakadilan itu, ia tetap berusaha untuk mengarungi hidup dilautan sana.
Memasuki masa reformasi yang suda berusia 18 tahun, harapan untuk kehidupan yang lebih baik itu masih ada. Ia tetap percaya pada pemerintah. Seorang pemimpin kepala daerah yang terpilih dalam pemilu hasil pilihan rakyat, akan memberikan perubahan besar jika tidak masuk dalam perang politik uang.
Tetapi jika tidak dan tetap memilih terlibat dalam perang pragmatisme-transaksional, perubahan itu akan pupus. Rakyatlah yang akan menelan kepahitan itu. Katanya, mereka yang berkuasa seperti itu hanya mementingkan kelompoknya saja, sementara kesejahteraan rakyat miskin tidak akan pernah dihiraukan.
Saya membayangkan betapa sulitnya kehidupan mereka. Ia kemudian menuturkan bahwa sebenarnya ia tidak ingin selamanya bergantung dengan pemerintah. Namun dibalik ketidakinginan itu, ia berharap dapat mendapatkan hak dan keadilan sebagai masyarakat miskin.
La Aco Yang Sedang Istrahat |
Katanya, saya melihat sendiri, pemerintah kita jika ada bantuan justru pilih kasih. Mengapa justru mereka yang mampu mendapatkan bantuan itu, sedangkan kami tidak. Ia curiga adanya nepotisme karena setiap bantuan ada seperti kapal penangkap ikan dan listrik yang mendapatkannya justru kebanyakan dari keluarga yang dianggap mampu. Ini tidak adil, tuturnya.
***
Saya bertemu seorang nelayan itu di Purirano, sebuah kampung kecil di pinggiran kota Kendari. Setelah ia hendak menyandarkan perahunya dipinggir laut, ia menerima ajakan saya untuk bercerita banyak hal. Ia masuk kedalam rumahnya untuk membersihkan diri dan mengganti pakayannya, setelah itu ia berbagi informasi. Ia menuturkan bahwa di setiap pemilu ia selalu pergi ke bilik suara untuk memilih calon pilihannya. Ia memaknai pemilu sebagai momentum untuk memilih pemimpin yang baik.
Dengan itu, ia tidak pernah berhalangan untuk memilih. Entah pilihannya itu menang atau kalah. Yang terpenting baginya tidak melakukan golput. Ia memilih sesuai dengan hati nuraninya, tidak dengan diberi imbalan apapun seperti sembako atau uang. Baginya, politik kian buruk jika disusupi dengan uang atau yang lainnya lalu memilihnya. Politisi seperti itu akan mencari cara bagaimana uangnya kembali jika ia akan terpilih dan ujung-ujungnya ia akan korupsi, katanya.
Nama lelaki itu adalah La Aco. Ia berumur sekitar 56 tahun. Sehari-hari ia bekerja sebagai nelayan. Dengan perahunya yang kelihatan rapuh, ia bergerak menantang hidup dengan mengarungi gelombang lautan dan hembusan angin. Ia memaknai hidupnya seperti perahu, harus bergerak, melaju meskipun betapa derasnya ombak menghantam dan angin menerjang. Ia mempunyai tanggungjawab untuk memberi makan keluarganya.
Bukan saja anak dan istrinya tetapi kedua orang tuanya yang suda tua. Dengan pertimbangan itu, ia tak pernah takut dengan derasnya ombak dan kerasnya badai. Lagian kami tidak akan jadi apa-apa. Kami juga tidak akan mendapatkan apa-apa kalau kami tidak berusaha dengan sendiri, katanya.
Setelah itu, ia juga menceritakan, bagaimana para politisi berlagak sok perhatian saat dekat-dekat dengan pemilu. Saat politisi berkepentingan untuk mendulang suara, kampungnya yang kecil itu didatangi, menyapa dan berjabat tangan dengan masyarakat. Terkadang juga politisi memberi sembako dan uang agar masyarakat dapat memilihnya. Politisi seperti ini saat mereka terpilih, tentunya mencari berbagai macam cara untuk mengembalikan uang yang mereka keluarkan dan meraup keuntungan. Politik kemudian diturunkan martabatnya dan dijadikan sebagai pasar dengan pertukaran minus ideologi. Politik hanya dijadikan sebagai kehendak untuk mendapatkan kuasa.
Makna politik kian kosong dan tak berarah, jika politik hanya dimaknai sebagai kekuasaan semata. Politik yang merupakan ciri peradaban untuk mempertinggi peradaban manusia, akan menemui momentum kehilangan arah. Entah ia akan disapuh badai atau digulung ombak dilautan lepas. Namun, hilangnya tujuan politik yang sebenarnya karena sikap pragmatis politisi kita. Politisi yang pragmatis, jauh dari kata manusia politik yang kemudian bertindak dan bertanggungjawab terhadap masaalah publik.
Politisi seperti ini merupakan manusia pedagang politik yang berlogika-kan untung-rugi. Ia berusaha masuk dalam politik hanya untuk mencari kerja bukan sebaliknya memperjuangkan kemaslahatan umat.
***
Menghadapi momentum pemilihan walikota, ia bercerita bagaimana kemudian para calon yang terpilih tergerak hatinya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di akar rumput. Meskipun ia hanya sebagai nelayan, ia tetap mengikuti perkembangan politik di daerah Kendari. Ia banyak mendengarkan perkembangan politik di Kendari bersama masyarakat setempat. Bersama para nelayan, kadang ia menjadi pendengar yang baik lalu menyimpulkan sendiri cerita-cerita itu setelah pulang ke rumahnya yang reyot.
Ia berkisah kepada saya, bagaimana partai politik seharusnya tidak hanya memberikan dukungan asal-asalan saja pada calon walikota. Selain itu, partai politik juga tidak hanya punya nafsu untuk menang-menangan saja lalu berkuasa. Harusnya ada pertimbangan, seleksi yang seketat-ketatnya.
Jangan karena terkenal lewat baliho-balihonya yang besar, lalu diberi dukungan. Intinya supaya daerah kita menghasilkan kepala daerah yang punya pikiran, yang memikirkan kebaikan masyarakat banyak terutama masyarakat petani dan nelayan, katanya.
Pada intinya tujuan politik yang sebenarnya adalah tentang kemaslahatan umat. Politik juga adalah tentang pemikiran, gagasan, argumentasi dan kebijakan. Nelayan dan para petani tidak dapat dibiarkan bergerak atau berusaha sendiri dalam mengarungi hidup.
Dengan demikian, perlu ada campur tangan politik untuk kemudian menggerakan gairah hidup mereka. Campur tangan disini adalah yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang memihak untuk kesejahteraan para nelayan dan petani. Dan yang mempunyai peranan paling penting untuk mewujudkan itu adalah partai politik beserta politisinya.
Disinilah partai politik seharusnya dijadikan sebagai mercusuar perubahan ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang serba sulit. Partai politik yang merupakan pilar demokrasi tidak memiliki tugas yang sederhana. Perubahan kehidupan bangsa ada dipundak partai politik beserta politisi-politisinya. Tugas inilah yang seharusnya diemban, mengawal kehidupan bangsa menuju masyarakat makmur yang berkeadilan.
Salah satu Masyarakat Purirano |
Namun beberapa tahun terakhir ini kita selalu disugukan dengan berita-berita tak sedap. Kader-kader partai politik banyak yang berurusan dengan anti rasua, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kepala daerah seperti Gubernur, walikota, Bupati serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah yang berasal dari partai politik, banyak yang ditangkap karena menerima suap dan menilap uang negara.
Ideologi partai dikesampingkan dan mengedepankan kepentingan pragmatis mereka. Pada akhirnya partai politik kehilangan kepercayaan di mata rakyat. Partai politik bukan lagi pilar demokrasi tetapi salah satu pilar korupsi, begitu kira-kira anggapan rakyat selama ini.
Disamping itu, cerita La Aco memang benar bahwa partai politik seharusnya tidak asal usung-mengusung saja atau dukung-mendukung saja. Perlu ada evaluasi serta didikan dari setiap kader-kader partai politik sebelum diterjunkan dalam arena pertarungan. Bisa kita tebak bahwa korupsi yang terjadi pada partai politik karena kurangnya perhatian dalam mendidik, mengawal dan mengevaluasi kader-kadernya.
Untuk itu, dalam hal memberi dukungan atau mengusung, seharusnya ada penyeleksian yang ketat, apakah ia punya gagasan atau tidak. Bukan diukur dari segi popularitasnya saja karena calon yang populer belum tentu punya gagasan dalam memimpin daerah.
Politik sejatinya seperti itu selalu mengedepankan pemikiran, argument, gagasan, rasionalitas dan bukan pendangkalan pemikiran. Jika tidak mengedepankan hal tersebut, maka seperti yang di catat Rocky, sama sekali tidak akan menghasilkan politik. Memang politik jika dimaknai seperti La Aco akan menghasilkan suatu kemaslahatan bersama, bukan kelompok, golongan, keluarga atau partai. Tetapi jika politik hanya dimaknai sebagai perjuangan untuk memperoleh kekuasaan semata, bisa-bisa hanya akan menjadi seperti yang di ucapkan oleh Peter Merkl, a selfish grab of power, glory and riches.
Bersama nelayan ini, saya lalu berpikir bahwa di negeri ini, ada sosok-sosok yang luar biasa yang selalu mengharapkan perbaikan dengan kondisi sosial-ekonomi-politik yang ada. La Aco memang orang biasa yang hanya memberi tanggapan, kritik dan melihat perkembangan politik dari luar.
Namun dibalik orang-orang biasa itu, seharusnya suara mereka justru harus didengarkan untuk dijadikan sebagai pembelajaran dan kebijakan. Ia berharap bahwa partai politik dan kader-kadernya dapat memberikan yang terbaik untuk bangsa. Memberikan suatu pemikiran, gagasan untuk memutus mata rantai kemiskinan seperti yang mereka alami selama ini. Semoga harapan itu bisa di dengar.
La Ode Halaidin
Tulisan ini diikut sertakan dalam lomba esai politik di Qureta.com
0 komentar:
Posting Komentar