23 April 2015

Antara Bentuk Pemberdayaan dan Pengrusakan

                                                                Gambar Lokasi Perkebunan Tebuh

Beberapa hari yang lalu, saya dikagetkan dengan masuknya sebuah perusahaan perkebunan tebuh di desa saya tinggal yaitu desa wantiworo. Perusahaan itu bernama PT. Wahana Surya Agro yang kini beroperasi di Gorontalo. Awalnya saya tidak percaya perusahaan tersebut akan masuk di desa itu, meskipun suda lama mendengar isu-isu itu. Namun hari ini, telah mematahkan semua dugaanku karena perusahaan tersebut telah memiliki izin dan suda ada persetujuan dari pemerintah daerah dan juga desa.

Saya bukanlah anti-perusahaan begitupun seluruh masyarakat di desa sya tinggal. Mereka menyambut dengan hangat, tetapi dengan syarat perusahaan dapat memberikan suatu permberdayaan atas kehadirannya. Saya bukanlah anti-kemajuan, untuk melihat masyarakat dapat terpenuhi segala kebutuhan hidup mereka. Betapa senangnya dengan hadirnya perusahaan dan dapat meningkatkan segala kesejahteraan masyarakat di desa ini. Tentu bukan hanya kesejahteraan yang dapat di ukur dengan standar hidup material (pendapatan, konsumsi dan kekayaan) tetapi juga ketidakamanan, baik yang bersifat ekonomi maupun fisik.

Masyarakat di desa ini setiap hari hanya bergelut dengan pertanian mereka. Masyarakatnya bertani hanya untuk menghidupi keluarga, mencari sesuap nasi yang kemudian dapat menyediakan makan siang dan malam. Tak lebih dari itu karena mereka tak punya pengetahuan dan juga peralatan canggih yang modern untuk membungkus hasil pertanian mereka semenarik mungkin agar terjual di pasaran.

Masyarakat ini bertani secara tradisional dan nomaden (berpindah-pindah tempat). Misalnya bulan ini bertani ke suatu tempat, dan enam bulan kedepan akan bertani ke tempat yang lainnya. Seperti itulah kehidupan masyarakat disini dalam bertani, mengandalkan kekuatan fisik mereka dan apapun tak menjadi halangan karena banyak hal yang akan mereka penuhi. Seperti menghidupi keluarga, menyekolahkan anak-anaknya, menabung untuk persiapan hari-hari kedepan dan lain sebagainya.

Hadirnya perusahaan tersebut tentu banyak menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat. Meskipun perusahaan membawa visi dan misi yang baik, masyarakat tidak sepenuhnya mempercayai itu. Banyak pelajaran yang mereka jadikan acuan seperti kebanyakan perusahaan perkebunan lainnya di Indonesia. Bukan menghadirkan kehidupan yang lebih baik dan tentram bagi masyarakat tetapi malah sebaliknya kemelaratan karena tenaga mereka dieksploitasi dengan dijadikannya buruh, dan juga menimbulkan konflik.

Yang dapat menimbulkan pertanyaan adalah seberapa besar perusahaan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di desa ini. Setelah beberapa hari saya berdiskusi dengan pihak perusahaan, inilah yang dapat menimbulkan pertanyaan dibenak saya. Pihak perusahaan seakan-akan menyamakan antara Gorontalo dengan Kab. Muna. Jika masyarakat Gorontalo menganggap perusahaan tersebut dapat memberikan suatu kemajuan, dengan memiliki pendapatan yang tinggi, lalu bagaimana dengan masyarakat di desa ini. Dapatkah mereka seperti masyarakat Gorontalo? Tentu masih menimbulkan pertanyaan lagi, karena semua tergantung bagaimana ketersediaan SDM di desa ini.

Saya melihat pemerintah daerah dan juga desa terlalu terburu-buru menyepakati hal ini. Ada nuansa politik dengan masuknya perusahaan ini, pemaksaan kehendak tanpa melibatkan secara langsung yang disertai dengan persetujuan kolektif dari masyarakat. Banyak kepentingan-kepentingan yang dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu hanya sekedar meraih keuntungan. Sehingga saya berasumsi, bukan kesejahteraanlah yang akan menemani masyarakat ini, namun kedepannya yang akan terjadi adalah konflik mengenai lahan, kemelaratan atau kemiskinan.

Ketika saya mendiskusikan ini dengan masyarakat setempat, mereka tidak menyepakati hal ini. Masyarakat ini menganggap bahwa perusahaan hanya akan mempersempit lahan-lahan mereka untuk berkebun padi ladang. Salahsatu masyarakat mengatakan kepada saya bahwa tidak ada lagi lahan untuk berkebun padi ladang karena perusahaan telah mengambil alih lahan-lahan ini dengan persetujuan pemerintah desa dan juga camat. Masyarakat ini mengatakan bahwa selama ini kami telah berhasil menyekolahkan anak-anak kami dan banyak menjadi sarjana, mungkin kedepannya tidak akan lagi seperti itu karena lahan-lahan kami kini sudah terbatas.

Pada hari Sabtu minggu kemarin tangal 18 saya bersama dengan teman-teman memutuskan untuk mengunjungi lokasi. Setelah melakukan perjalanan yang melelahkan dengan jarak sekitar 7 sampai 8 kiloan, tibalah kami dilokasi tersebut. Ternyata memang benar, hutan yang indah dengan suara nyanyian burung-burung dengan kesejukannya menarik diriku sejenak untuk menikmati hawa dinginnya.

Ditengah hutan ini sangat terjaga, tak ada satu orang pun yang menjarahnya untuk dijadikan kebun padi ladang atau jagung. Saya sangat menikmati kesejukannya dengan pohon-pohonnya yang rindang, dedaunan yang hijau serta nyanyian burung-burung dengan suara yang merdu. Masyarakat hanya boleh berkebun disamping-samping hutan tersebut, sedangkan lahan-lahan yang lainnya tidak ada untuk dijadikan kebun padi ladang.

Kini masyarakat di desa ini tak akan lagi manyaksikan hutan dengan hamparan yang indah itu. Masyarakat ini hanya akan menyaksikan batang-batang pohon yang besar tersebut tergeletak ditanah, dedauan yang hijau jatuh berguguran bukan karena musim panas yang akan menyambut musim hujan tetapi karena penggusuran dengan menggunakan skapator besar yang dapat mengangkat akar-akarnya. Dan yang ada adalah bentuk dari pengrusakan hutan yang tidak memikirkan bagaimana hidupnya suatu ekosistem kedepannya.

Entahlah. Apakah masuknya perusahaan perkebunan ini suatu bentuk dari pemberdayaan masyarakat ataukah hanya bagian dari akal bulus pemerintah daerah dengan men-teken izin kontraknya hanya untuk menambah kas pendapatan daerahnya. Saya juga tak tahu. Mungkin mencoba bertanya pada rumput yang bergoyang….

                                                                                   
                                                                                          Kendari, 23 April 2015
                                                                                           Di Asrama Tersanjug

0 komentar:

Posting Komentar