24 Desember 2014

Suara Khalil Gibran (Sang Pujangga) Untuk Nur Alam


Hari minggu tanggal 21 Desember saya sempatkan untuk membuka facebook, dengan ketergesa-gesahan dan kecapean karena perjalanan dari kamar ke Fakultas Ekonomi dan Bisnis, setibaku ditempat, saya langsung menyapa teman-teman. Selamat pagi teman-teman….mereka menjawab, baik Din.  Dengan lancar saya langsung membuka facebook saya dan biasanya facebook saya langsung muncul tulisan Yusran Darmawan untuk kemudian dengan cepat saya lahap untuk membacannya. Tetapi pada hari itu tidak demikian.

Ada hal yang berbeda ketika saya membuka facebookku hari itu, teman facebook Ady Setiawan langsung membagikan tautannya dari Metro TV, sebuah Video yang menelisik “Rekening Gendut” para pejabat. Ada dua pejabat yang di wawancari dalam Primetime News Metro TV tersebut, yaitu Gubernur Sumatra Selatan, Alex Nurdin dan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam yang diduga memiliki rekening gendut (Baca : http://video.metrotvnews.com/play/2014/12/18/333853/rekening-gendut-gubernur-sultra-nur-alam-itu-uang-milik-teman-saya). Sebelum diwawancarai, dua Gubernur ini menghadiri Musyawara Perencanaan Pembangunan Nasional di Jakarta.

Dalam wawancara dengan media Metro TV tersebut, mereka membantah memiliki rekening gendut, seperti inilah bantahan Gubernur Sumatra Selatan, Alex Nurdin bahwa seluruh rekening dan seluruh kekayaannya itu sudah diperiksa. Namun berbeda dengan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam yang mengatakan bahwa, uang itu merupakan milik teman yang dititip ke rekeningnya. Selain itu Nur Alam juga mengatakan bahwa penitipan uang tersebut, semata karena hubungan pertemanan dan tidak ada kewenangan atau bisnisnya yang terkait dengan uang tersebut. Uang tersebut disimpan di rekening Nur Alam karena merasa paling aman dan kemudian tidak ada kaitannya sama sekali dengan APBD, APBN dan kewenangannya lainnya.

Melihat hal ini, sebagian masyarakat Sultra banyak berkomentar, seperti dalam facebook Ady Setiawan misalnya mengatakan seperti ini, saya juga mau kalau di titipkan....... tidak ada jawaban yang lebih cerdas????? Selain itu, Ady Setiawan juga mengomentari satusnya seperti ini hahhahahahah............bingung aja lihat bapak ini memberikan jawaban....hari gini dititipin duit......TV nasional lho ini, bukan TV lokal. apa nggak mikir yang nonton itu siapa aja. Seterusnya, jawaban Yusran Darmawan, cocokmi itu Ady Setiawan. itu uangnya temannya yang dititipkan. Selanjutnya dibalas lagi Syamsul Anam Ilahi ,Yusran Darmawan: uang hadiah lomba ...di titp wkwkwkw (lihat di facebook Ady Setiawan).
 
Dari pernyataan Gubernur Sultra, Nur Alam tersebut banyak spekulasi dari masyarakat serta mahasiswa bahwa mereka tidak percaya dengan pernyataan tersebut dan merupakan omong kosong belaka. Sebab, sebelumnya Nur Alam diduga terkena kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebesar Rp 4,5 juta dolar AS pada tahun 2010. Pemberian uang tersebut terkait dengan konsesi pertambangan di salah satu perusahaan yang beroperasi di Sulawesi Tenggara, dan ada indikasi salah satu pengusaha tambang asal Taiwan yang bernama Mr. Cheng terlibat dalam konsesi pertambangan (baca : http://www.sayangi.com/hukum1/read/18820/dituduh-janggal-usut-korupsi-gubernur-nur-alam-kejagung-didemo). Kasus ini tiba-tiba menciut begitu saja dan tidak ada proses kelanjutannya alias mandek.

Saya mungkin agak terlambat menonton video Metrotvnews.com tersebut, dan bahkan saya tidak menontonnya di Metro TV dan ketika saya menulis tulisan ini dan sesekali saya ulangi menonton videonya saya teringat dengan buku bacaan saya karya Kahlil Gibran judul bukunya Cermin Jiwa. Pada halaman 130 kita menemukan tentang judul Wanita-Wanita Dalam Kehidupan Gibran. Wanita itu adalah May Ziadeh, kasih Gibran diatas kertas, yang tidak pernah menemuinya karena berbeda tempat tinggal yakni May Ziadeh di Mesir sedangkan Kahlil Gibran di AS.

Karena tempat tinggal Negara berbeda, maka mereka hanya bisa surat menyurati. Suatu kali May Ziadeh menulis seperti ini:

“Gubernur Turki yang baru telah tiba di Libanon, dan seperti biasanya, ia mulai mencopot orang-orang dari jabatannya. Rakyat Libanon rebah di hadapan kakinya. Kapankah kita akan memiliki diantara kita, orang-orang yang berani? Kapankah rakyat Libanon akan mengibaskan debu penghinaan ini”.(cut).
Surat May Ziadeh tersebut, menggambarkan kediktatoran sang Gubernur Turki, yang membuat masyarakatnya lengah dan menyusutnya keberanian mereka untuk melawan. Sehingga pada saat itulah, May Ziadeh menyurati Kahlil Gibran. Seperti inilah balasan Sang Pujangga itu..

“Celakalah bangsa yang menyambut para penjajahnya dengan menabuh genderang. Celakalah bangsa yang membenci penindasan dalam tidurnya tetapi menerimanya dalam keterjagaannya. Celakalah bangsa yang meninggikan suaranya hanya di balik peti mati dan membanggakan dirinya hanya di pemakaman. Celakalah bangsa yang tidak memberontak hingga lehernya diletakan di atas tempat pemancungan” . Inti dari balasan surat ini, Gibran menyuarakan bahwa rakyat harus reaksioner melawan kediktatoran Gubernur Turki, tapi bukan hanya bersuara atau berupa kritikan semata, tetapi harus ada sebuah gerakan dan tindakan yang nyata dan konkrit.

Tentu ini bukan kultur atau sesuatu yang sama dengan kejadian di Sulawesi Tenggara, dan di bangsa ini dan disini saya hanya mengutip seperti yang dikatakan oleh Fukuzawa Yukichi bahwa ketika kita mengiginkan sebuah restorasi atau perubahan yang besar, maju dan modernis berarti kita harus berani membuka wawasan dan siap menerima ide-ide baru. Mungkin seperti ungkapan itulah yang diinginkan oleh pemuda-pemuda Indonesia termasuk di Sultra, merespon dan bereaksi ketika masaalah-masaalah sedang menyeret daerah dan bangsa ini.

Mungkin seperti inilah, suara sang pujangga itu (Kahlil Gibran) untuk Nur Alam:

“Engkau adalah saudaraku, tetapi mengapakah engkau bertengkar denganku? Mengapa engkau menyerbu negaraku dan berusaha menaklukan aku demi menyenangkan mereka-mereka mencari kemuliaan dan kekuasaan?
Mengapakah engkau tinggalkan istrimu dan anak-anakmu dan mengikuti maut ke negeri yang jauh demi mereka-mereka yang membeli kemuliaan dengan darahmu, dan kehormatan dengan air mata ibumu?
Apakah suatu kehormatan, kalau seseorang membunuh saudaranya sendiri? Kalau engkau menganggapnya kehormatan, biarlah itu menjadi ibadah, dan dirikanlah sebuah bait bagi kain yang membunuh adiknya, Habel.
Apakah memelihara diri sendiri hukum pertama dari alam? kalau begitu, mengapa ketamakan mendesakmu untuk mengorbankan diri hanya demi mencapai sasarannya demi melukai saudara-saudaranu? Hati-hatilah, saudaraku, akan pemimpin yang mengatakan, “Kecintaan akan keberadaan  mewajibkan kita untuk merampas hak-hak orang lain!” aku berkata kepadamu: melindungi hak-hak orang lain adalah perbuatan manusia yang paling mulia dan paling indah; kalau keberadaanku mengharuskan aku membunuh orang lain, maka maut adalah lebih terhormat bagiku, dan kalau aku tak dapat menemukan seseorang untuk membunuhku demi melindungi kehormatanku, aku takkan ragu-ragu mengambil nyawaku dengan tanganku sendiri demi kekekalan sebelum kekekalan datang.
Keegoisan, saudaraku adalah penyebab superioritas yang buta, dan menciptakan kesukuan, dan kesukuan menciptakan kekuasaan yang menuntun kepada ketidak-selarasan serta penaklukan.
Jiwa percaya kepada kuasa pengetahuan dan keadilan atas ketidak-tahuan yang gelap; ia menyangkal kekuasaan yang menyediakan pedang untuk membelah serta menguatkan ketidak-tahuan dan penindasan kekuasaan yang menghancurkan Babel dan mengguncang landasan Yerusalem dan meruntuhkan Roma. Dialah yang membuat manuisa menyebut para kriminal orang besar; menjadikan para penulis menghormati nama mereka; menjadikan para sejarawan menceritakan kisah tentang ketidak-manusiawian mereka dengan pujian.
Satu-satunya kekuasaan yang kutaati adalah pengetahuan menjaga serta menerima di dalam hukum alam tentang keadilan.
Keadilan apakah yang diperlihatkan oleh kekuasaan kalau ia membunuh sang pembunuh? Kalau ia memenjarakan perampok? Kalau ia turun kenegara tetangga dan membunuh rakyatnya? Bagaimanakah menurut keadilan, kekuasaan di mana seorang pembunuh menghukum yang membunuh, dan seorang pencuri menghukum yang mencuri?
Engkau adalah saudaraku, dan aku mengasihimu; dan kasih adalah keadilan dengan segala intensitas serta martabatnya. Seandainya keadilan tidak mendukung kasihku kepadamu, terlepas dari sukumu dan komunitasmu, aku sama saja dengan penipu yang menutupi keburukan dari keegoisan di balik pakayan sebelah luar berupa kasih yang murni”.

0 komentar:

Posting Komentar