Ilustrasi Gambar: kompasiana.com
Hari
Senin 15 Desember 2014, saya dikagetkan dengan berita dari teman-teman bahwa La
Fedumu yang merupakan tetangga kampung, sudah dirutan dan akan ditahan selama
dua puluh hari ke depan untuk proses persidangan. Jarak antara rumah kira-kira
kurang lebih dua ratus meter dan saya kenal baik dengan beliau. Bagaimana
tidak, semenjak saya sekolah di SD dan SLTP saya sering mengikuti La Fedumu
dengan mobil truk yang dibawanya. Bahkan waktu sekolah SMA terkadang saya di
numpangin dengan motor yang dipakainya dan pada saat itu La Fedumu bukan lagi
menjadi sopir atau tukang ojek tetapi sebagai pegawai pertanian di Kota Raha.
Lalu pertanyaanya apa motifnya sehingga La Fedumu ditahan?. Dari informasi teman-teman banyak yang berspekulasi bahwa ada indikasi korupsi tentang percetakan sawah yang tidak rampung dan kemudian di terlantarkan begitu saja karena ke-tidak-adanya anggaran. Lalu pertanyaanya kemudian, berapa sih bantuan anggaran yang diberikan oleh pemerintah pusat untuk sebuah proyek percetakan sawah seluas 50 hektar?. Saya sendiri tidak mengetahui persis bantuan anggarannya berapa, namun pada tahun 2012 Kabupaten Muna mendapatkan proyek percetakan sawah seluas 80 hektar, dimana setiap hektar sawah mendapatkan biaya percetakan sebesar Rp.10 juta yang bersumber dari APBN (Baca : Sultra Peroleh Bantuan Cetak Sawah 4.850 Hektare).
Lalu pertanyaanya apa motifnya sehingga La Fedumu ditahan?. Dari informasi teman-teman banyak yang berspekulasi bahwa ada indikasi korupsi tentang percetakan sawah yang tidak rampung dan kemudian di terlantarkan begitu saja karena ke-tidak-adanya anggaran. Lalu pertanyaanya kemudian, berapa sih bantuan anggaran yang diberikan oleh pemerintah pusat untuk sebuah proyek percetakan sawah seluas 50 hektar?. Saya sendiri tidak mengetahui persis bantuan anggarannya berapa, namun pada tahun 2012 Kabupaten Muna mendapatkan proyek percetakan sawah seluas 80 hektar, dimana setiap hektar sawah mendapatkan biaya percetakan sebesar Rp.10 juta yang bersumber dari APBN (Baca : Sultra Peroleh Bantuan Cetak Sawah 4.850 Hektare).
Desa
Wantiworo. Desa inilah tempat kelahiran saya yang mendapat porsi proyek percetakan
sawah seluas 50 hektar yang tidak selesai itu. Sebelumnya memang banyak dugaan
dan isu-siu dari sahabat-sahabat saya bahwa ketidak-rampungan proyek percetakan
sawah tersebut karena dananya telah habis alias telah di korupsi. Isu-isu ini
sempat saya selidiki, berinteraksi dengan masyarakat setempat, dan melihat
langsung proyek percetakan sawah tersebut.
Hasil dari interaksi dengan masyarakat setempat memang sangat memprihatinkan dan miris, apalagi pada hari itu setelah saya selesai melihat langsung proyek percetakan sawah tersebut. Jantung saya ketika itu berdetak kian kencang, lalu dalam hati saya sempat berkata, sepertinya korupsi akan mulai merebak di dalam desa-desa ini, dan sebelumnya memang di desa ini suda ada yang ditahan karena adanya korupsi dana pembangunan mesjid.
Banyak informasi yang saya dapatkan dari masyarakat setempat, diantaranya yaitu sebagian besar masyarakat tidak-kebagian pupuk dan benih padi. Ketika mereka pergi untuk mmengambil pupuk dan benih, nada yang muncul adalah habis. Masyarakat di suruh menunggu, namun sempat beberapa bulan masyarakat tidak mendapatkan panggilan dari kelompok tani tersebut. Dan pada akhirnya yang mereka alami adalah kerugian. Masyarakat membeli benih padi, menanam tanpa pupuk dan suda tentu masyarakat tidak mendapatkan apa-apa alias padi mereka tidak subur dan tidak menguning. Tetangga saya sempat bercerita kepada saya bahwa dia sudah mengeluarkan uang sekitar hampir 5 jutaan karena proyek tersebut, mulai dari membeli benih padi, dan juga menyewa sebuah alat untuk menggeruk tanah sawahnya tetapi tidak menghasilkan apa-apa.
Saya sempat tunduk dan sejenak berpikir, dikampung ini kurang sekali para sarjana, bahkan ada sarjana yang hanya sibuk mengurus dan mementingkan diri mereka sendiri. Lalu di manakah tanggungjawab intelektual mereka pada masyarakat?. Saya membayangkan uang 5 juta tersebut buat tetangga saya merupakan uang yang banyak, apalagi si tetangga saya ini tidak mempunyai pendapatan setiap hari. Hidup mereka hanya bergantung pada tanah untuk bercocok tanam, hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka tiap harinya.
Para sarjana atau intelektual seharusnya mempunyai tanggungjawab besar untuk memajukan desanya bahkan untuk bangsanya yang besar ini. Bagaimana tidak, sebagai orang yang telah melewati proses pendidikan atau humanisasi (proses memanusiakan manuisa) tentu mereka banyak mempunyai pengetahuan dan dapat membedakan mana yang benar dan mana yang buruk. Namun yang terjadi bukanlah seperti yang saya bayangkan, justru yang banyak tersangkut korupsi seperti yang ada di televisi-televisi swasta adalah orang-orang yang mempunyai gelar yang tinggi seperti seorang Magister, dan juga Doktor.
Ketika itu, saya mengatakan kepada teman pada saat diskusi bahwa orang-orang yang memiliki gelar yang tinggi itu seharusnya memberikan pemikiran terhadap proses kemajuan desa bahkan untuk bangsanya yang besar ini bukan untuk mementingkan kepentingan pribadi dengan mengorbankan masyarakat banyak.
Hasil dari interaksi dengan masyarakat setempat memang sangat memprihatinkan dan miris, apalagi pada hari itu setelah saya selesai melihat langsung proyek percetakan sawah tersebut. Jantung saya ketika itu berdetak kian kencang, lalu dalam hati saya sempat berkata, sepertinya korupsi akan mulai merebak di dalam desa-desa ini, dan sebelumnya memang di desa ini suda ada yang ditahan karena adanya korupsi dana pembangunan mesjid.
Banyak informasi yang saya dapatkan dari masyarakat setempat, diantaranya yaitu sebagian besar masyarakat tidak-kebagian pupuk dan benih padi. Ketika mereka pergi untuk mmengambil pupuk dan benih, nada yang muncul adalah habis. Masyarakat di suruh menunggu, namun sempat beberapa bulan masyarakat tidak mendapatkan panggilan dari kelompok tani tersebut. Dan pada akhirnya yang mereka alami adalah kerugian. Masyarakat membeli benih padi, menanam tanpa pupuk dan suda tentu masyarakat tidak mendapatkan apa-apa alias padi mereka tidak subur dan tidak menguning. Tetangga saya sempat bercerita kepada saya bahwa dia sudah mengeluarkan uang sekitar hampir 5 jutaan karena proyek tersebut, mulai dari membeli benih padi, dan juga menyewa sebuah alat untuk menggeruk tanah sawahnya tetapi tidak menghasilkan apa-apa.
Saya sempat tunduk dan sejenak berpikir, dikampung ini kurang sekali para sarjana, bahkan ada sarjana yang hanya sibuk mengurus dan mementingkan diri mereka sendiri. Lalu di manakah tanggungjawab intelektual mereka pada masyarakat?. Saya membayangkan uang 5 juta tersebut buat tetangga saya merupakan uang yang banyak, apalagi si tetangga saya ini tidak mempunyai pendapatan setiap hari. Hidup mereka hanya bergantung pada tanah untuk bercocok tanam, hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka tiap harinya.
Para sarjana atau intelektual seharusnya mempunyai tanggungjawab besar untuk memajukan desanya bahkan untuk bangsanya yang besar ini. Bagaimana tidak, sebagai orang yang telah melewati proses pendidikan atau humanisasi (proses memanusiakan manuisa) tentu mereka banyak mempunyai pengetahuan dan dapat membedakan mana yang benar dan mana yang buruk. Namun yang terjadi bukanlah seperti yang saya bayangkan, justru yang banyak tersangkut korupsi seperti yang ada di televisi-televisi swasta adalah orang-orang yang mempunyai gelar yang tinggi seperti seorang Magister, dan juga Doktor.
Ketika itu, saya mengatakan kepada teman pada saat diskusi bahwa orang-orang yang memiliki gelar yang tinggi itu seharusnya memberikan pemikiran terhadap proses kemajuan desa bahkan untuk bangsanya yang besar ini bukan untuk mementingkan kepentingan pribadi dengan mengorbankan masyarakat banyak.
Korupsi.
Kata inilah yang paling banyak di perbincangkan diseluruh pelosok negeri ini.
Mulai dari mahasiswa/i, para pengamat baik ekonomi, politik, hukum dll maupun
juga termasuk masyarakat awam yang ada di kampung saya. Mereka suda mengenal
apa itu korupsi. Mereka mengatakan bahwa korupsi itu adalah mencuri uang, entah
uang orang lain atau uang Negara yang tentu bukan haknya. Bukan saja itu,
tetapi masyarakat juga mengatakan bahwa orang-orang korup tidak mempunyai
mental yang sehat, etika dan juga moral.
Ketika
proyek percetakan sawah di desa saya diduga ada indikasi korupsi, masyarakat
sudah tau bahwa hak mereka telah dirampas dan diambil oleh orang lain. Fenomena
korupsi seperti ini hanyalah puncak gunung es dari permasalan yang mendera
bangsa ini. Saya mengira para koruptor hanya akan melakukan aksinya di
daerah-daerah yang cukup maju, yang mempunyai bantuan investasi besar dari
pemerintah pusat. Namun ternyata anggapan saya salah, justru para koruptor
sudah mulai mengintai di desa-desa, gentayangan dengan tujuan untuk memburu
rente.
Seperti
yang di katakan oleh Kwik Kian Gie bahwa rusaknya mental di mulai dari mencuri
uang yang bukan miliknya. Pelaku korup tidak memikirkan tindakan dengan
mengedepankan nilai yang rasional yakni menggunakan kemampuan dengan pemikiran
yang jernih dalam hidupnya sebagai individu dan juga sebagai anggota
masyarakat. Tetapi dengan menghegemoni dan memanfaatkan kekuasaan besarnya
untuk melampiaskan nafsu kebesarannya terhadap uang. Iya, uang dimana yang oleh
kaum kapitalis dianggap sebagai ukuran yang segala-galanya dalam ukuran dari
sisi mentalnya.
Sehingga kebanyakan masyarakat selalu salah mem-presepsi-kan bahwa setiap orang dalam hal ini dianggap sudah berhasil menjadi orang apabila dia dalam hidupnya telah berhasil mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya melalui berbagai cara sehingga oleh karenanya kemudian dia menyandang status sosial sebagai orang kaya. Dengan kekayaannya tersebut, maka si korup beranggapan bahwa dia dapat di hormati, disegani, dilayani bagaikan sang Raja Eropa Louis XIV yang mempunyai kekuasaan tak terbatas seperti Negara, harta, dan rakyat.
Kesalahan motivasi seseorang, berakibat fatal terhadap arah kehidupannya. Seperti pada zaman yang makin menggilanya kapitalisme ini, terkadang orang diarahkan untuk memiliki kesadaran yang palsu bahwa manuisa hidup hanya untuk mencari uang, bukan untuk mengapdi atau bekerja pada desanya atau pada bangsanya. Inilah akibat dari prinsip hidup yang salah. Seperti yang di kutib oleh Ismantoro Dwi Yuwono bahwa Prinsip hidup mencari uang ini telah meracuni manusia dari generasi ke generasi sehingga hal ini telah membawa manusia untuk saling menindas terhadap sesamanya. Hubungannya dengan masyarakat, sahabat, bahkan saudaranya dimaknai sebagai hubungan sebagai pelampiasan hanya untuk memperoleh uang. Semoga kita semua mempunyai prinsip hidup yang baik………
Sehingga kebanyakan masyarakat selalu salah mem-presepsi-kan bahwa setiap orang dalam hal ini dianggap sudah berhasil menjadi orang apabila dia dalam hidupnya telah berhasil mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya melalui berbagai cara sehingga oleh karenanya kemudian dia menyandang status sosial sebagai orang kaya. Dengan kekayaannya tersebut, maka si korup beranggapan bahwa dia dapat di hormati, disegani, dilayani bagaikan sang Raja Eropa Louis XIV yang mempunyai kekuasaan tak terbatas seperti Negara, harta, dan rakyat.
Kesalahan motivasi seseorang, berakibat fatal terhadap arah kehidupannya. Seperti pada zaman yang makin menggilanya kapitalisme ini, terkadang orang diarahkan untuk memiliki kesadaran yang palsu bahwa manuisa hidup hanya untuk mencari uang, bukan untuk mengapdi atau bekerja pada desanya atau pada bangsanya. Inilah akibat dari prinsip hidup yang salah. Seperti yang di kutib oleh Ismantoro Dwi Yuwono bahwa Prinsip hidup mencari uang ini telah meracuni manusia dari generasi ke generasi sehingga hal ini telah membawa manusia untuk saling menindas terhadap sesamanya. Hubungannya dengan masyarakat, sahabat, bahkan saudaranya dimaknai sebagai hubungan sebagai pelampiasan hanya untuk memperoleh uang. Semoga kita semua mempunyai prinsip hidup yang baik………
0 komentar:
Posting Komentar