06 Desember 2014

Kemerdekaan Dan Ekonomi Kita



                                                       Sumber Gambar: merdeka.com

HARI INI kita memperingati Hari kemerdekaan Republik Indonesia yang Ganjil ke 69 tahun dengan perayaan yang lebih semangat dan optimisme yang lebih besar. Perjuangan para pendahulu kita yang tidak pernah kenal lelah, yang mengorbankan tenaga, waktu dan pikiran mereka sehingga menghasikan kemerdekaan yang secara subtansial terbebas dari penjajahan dari bangsa-bangsa barat. Segala tumpa darah para pahlawan kita terbayar ketika Indonesia berhasil memproklamirkan kemerdekaan sebagai negara yang merdeka. 

Pada pernyataan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, ini merupakan langka awal kemerdekaan dan menjadi titik balik kehidupan bangsa Indonesia untuk membangun negeri dibumi pertiwi Indonesia tercinta ini. Makna proklamasi merupakan lahirnya sebuah bangsa baru yang bernama Indonesia, berhak menentukan nasibnya sendiri tanpa ada intervensi jajahan dari bangsa asing. Melalui proklamasi yang singkat, sederhana dan bersejarah itulah, para pendiri bangsa ini mengobarkan suatu revolusi kemerdekaan yang mampu menginspirasi bangsa-bangsa lain di seluruh dunia, melahirkan Republik besar di Asia dan membuka sejarah Indonesia yang lebih moderat. 

Sudah 69 Tahun Indonesia merdeka, berarti selama 69 tahun juga Indonesia melakukan berbagai penetrase perubahan dan pembangunan yang dimulai dari nol serta mampu melahirkan berbagai gagasan yang agresif efensif yang secara riil. Berbagai program pemerintah telah diterapkan dan direalisasikan meskipun semua implementasinya tidak berhasil secara subtantif. 

Hari ini, sebagian masyarakat bangsa Indonesia suda menikmati berbagai perubahan dan pembangunan tersebut, misalnya dari pendidikan dimana yang awalnya sebagian besar penduduknya buta huruf kini kita mempunyai system pendidikan yang baik, dapat berpendidikan gratis yang kemungkinan Tahun 2015  akan diterapkan selama 12 Tahun. Kita harus mengapresiasi usaha-usaha yang telah dilakukan oleh pemimpin kita, dengan asumsi pemerintah tidak selalu berpuas diri dan menepuk dada karena masih banyak “PR” yang perlu dilakukan pemimpin kita kedepan. 

Dalam mencapai hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan dan keadilan social tentu membutuhkan suatu konsistensi dan kognisi yang tidak bersifat utopis. Berbagai rangkaian kisah sukses, sering dikampanyekan baik di media cetak maupun di media massa (social) meskipun dengan sejumlah catatan sering tampak masih mewarnai suasana hati masyarakat luas. Para pakar dan para ahli-ahli ilmu tertentu sering mempertanyakan progress tersebut. Tentu pertanyaan masyarakat adalah apakah kesuksesan yang dicapai pemerintah tersebut secara substansial dapat memberikan pengaruh terhadap masyarakat?. Apakah data-data pertumbuhan Ekonomi dan PDB yang sering didengung-dengunkan selama ini merupakan bagian dari ukuran bahwa masyarakat sudah berkehidupan yang sejahtera?

Kisah sukses ini, kita akan catat misalnya pemilihan umum yang berlangsung secara aman dan tertib, kisah perburuan para teroris seperti kelompok Radikal ISIS yang secara tegas pemerintah dan para Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta BNPT sepakat untuk menolak masuk di Indonesia. Pada saat yang bersamaan, laporan kondisi Ekonomi juga terlihat penuh harapan, misalnya inflasi dan suku bunga sampai saat ini menurun, indeks harga saham gabungan dan kurs rupiah beberapa bulan ini sedikit menguat meskipun terjadi degradasi serta pertumbuhan ekonomi dalam beberapa periode ini 2009-2013 secara rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 5,9 persen dan pada semester pertama tahun 2014 ekonomi kita mengalami perlambatan sebesar 5,2 persen. 

Setiap tahun Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang secara konsisten dapat menjadi rujukan dengan menghasilkan data-data dalam bentuk angka-angka kemiskinan dan pengangguran, PDB dan PDB perkapita, yang terlepas dari kemungkinan adanya perubahan meteodologis  yang terjadi semakin memperkuat keyakinan bahwa itu semua berada pada jalur yang benar. 

Perayaan hari kemerdekaan merupakan saat yang paling tepat untuk selalu menyegarkan komitmen dan cita-cita kita bersama sebagai bangsa, yang selalu dituangkan dalam pembukaan UUD 1945. Kemerdekaan yang sesungguhnya adalah kebebasan untuk pengembangan peningkatan kualitas manusia berbagai bentuk seperti kemampuan berpikir, untuk merasa dan untuk memilih bagi dirinya sendiri dan tentu bukan kebebasan yang berkonotasi negative atau identik dengan keliaran misalnya kebebasan seks dan lain sebagainya.
Bila kebebasan yang berkonotasi positif tergadai maka yang lahir adalah tirani atau paksaan (coercion). Dalam versi yang populer, cita-cita kemerdekaan dinyatakan sebagai “Trisakti” oleh Bung Karno, yaitu berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan.

Ekonomi kita atau ekonomi kerakyatan sesunggunya terhimpun dalam satu wadah yaitu rakyat. Bukan milik negara, dan juga bukan milik swasta tetapi kalau boleh saya meminjam istilah Prof. Rhenald Kasali, milik “kita” bukan “kami” dan juga bukan “Gue”. Konsep dari ekonomi kerakyatan yaitu berbasis pada kekuatan ekonomi yang ada pada rakyat. Dalam buku politik ekonomi kerakyatan oleh Sarbini Sumawinata (2004:161) mengatakan, ekonomi kerakyatan adalah gagasan tentang cara, sifat, dan tujuan pembangunan dengan sasaran utama perbaikan nasib rakyat yang pada umumnya bermukim dipedesaan. 

Ekonomi kerakyatan bukanlah suatu ideology atau gagasan baru tentang perekonomian, namun tetapi sekedar percobaan perumusan interpretasi serta cita-cita pembangunan masyarakat yang adil dan makmur. Dengan adanya hal ini, maka diperlukan penerjemahan dalam suatu strategi dan program yang lebih berfungsi dan lebih menjamin untuk mencapai cita-cita tersebut. Singkat kata, dengan melihat realitas saat ini maka kita dapat menyatakan bahwa keadaan ekonomi kita sekarang terjadi adanya ketimpangan yakni adanya ketidakmerataan dan ketidakadilan dimana masyarakat yang ada dipedesaan masih tetap terbelakang dan tetap miskin.

Berkaitan dengan hal diatas, maka dapat kita katakan bahwasannya poin tersebut suda melanggar hak konstitusi kita yang terdapat dalam UUD 1945. Di mana UUD 45 kita telah menjujung tinggi asas pemerataan dalam bidang ekonomi, dan asas kesejahteraan social yang dapat dinyatakan sebagai berikut “ Perekonomian berasaskan kekeluargaan (pasal 33, ayat 2), Penguasaan oleh negara atas cabang produksi strategis dan kekayaan alam, yang dipergunakan untuk kepentingan rakyat (pasal 33 ayat 2 dan 3. 

Perekonomian nasional berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara (pasal 34, ayat 1), Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah (pasal 34, ayat 2), Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas kesehatan dan pelayanan umum yang layak (pasal 34 ayat 3). 

Menurut Didik Rachbini, kendatipun Pancasila dan UUD 45 menekankan pentingnya konsep kebersamaan, termasuk dalam pembangunan ekonomi, tetapi dalam kenyataannya arah pembangunan cenderung liberal dan kapitalistik. Semakin melebarnya ketimpangan antara kelompok kaya dan miskin, masih lebarnya perbedaan kesejahteraan antara wilayah barat dan wilayah timur Indonesia, semakin terpuruknya masyarakat di daerah perbatasan, dan masih banyaknya masyarakat miskin yang belum terpenuhi syarat minimal mereka untuk memanusiakan dirinya adalah bukti ada sesuatu yang salah dalam konsep pembangunan kita. Itu semua terjadi, terlepas dari begitu pemurahnya Tuhan kepada rakyat Indonesia; Ia mengkaruniakan negeri keindahan, dengan sederet kemudahan dan segudang kekayaan.

Lalu, apa kegunaan data-data statistik yang selama ini selalu menarik perhatian seluruh masyarakat Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, inflasi yang rendah, pengangguran yang menurun, PDB/PDB perkapita yang meningkat, kini hanya dianggap sebagai formalitas yang selalu dibanggakan sebagai tolak ukur kinerja pemerintah. Pada kenyataanya, masyarakat diperhadapkan dengan kemiskinan dengan intentitas yang semakin mengenaskan. Bisa kita lihat, bahwa problem pokoknya bersumber dari kesenjangan yang luar biasa antara besaran angka-angka dengan realitas kehidupan sehari-hari yang dialami langsung oleh masyarakat.

Saat ini data-data statistik kerap digunakan sebagai tolak ukur kesejahteraan. Satuan-satuan ukur yang tidak sejalan dengan presepsi individu menjadi sangat bias dan hanya melahirkan problematis. Bila PDB naik, maka pemerintah akan puas, tetapi sebagian besar orang merasa semakin dihimpit oleh berbagai kesusahan, mereka bisa menganggap bahwa pemerintah melakukan kebohongan dengan memanipulasi data-data statistic dengan harapan bahwa dengan memberitahu rakyat bahwa keadaan membaik, mereka akan merasa baik dan senang.

Pemerintah mungkin tidak berbohong dengan angka-angka tersebut, juga tidak memanipulasinya, tetapi angka-angka itulah yang mengandung persoalan. Dalam masyarakat yang kian berorientasi kinerja, satuan ukur merupakan salah satu poin yang terpenting. Apa yang kita ukur akan mempengaruhi apa yang telah kita perbuat, apabila ukuran yang selama ini kita pakai salah, maka kita akan memperjuangkan sesuatu yang juga salah. 

Inilah yang menjadi kekhawatiran presiden Perancis Nicholas Sarkozi pada awal 2008, sehingga merespon makin banyaknya keprihatinan mengenai tidak memadainya ukuran-ukuran kinerja ekonomi, terutama yang didasarkan pada angka-angka PDB serta kekhawatiran yang lebih luas tentang relevansi angka-angka sebagai ukuran kesejahteraan social, sekaligus ukuran keberlanjutan lingkungan dan social.Tujuan keberadaan negara kesatuan Republik Indonesia bukan sekedar untuk memperbesar kue ekonomi, tetapi untuk meningkatkan kualitas hidup setiap warganegara.

Jika tujuan utama pembangunan adalah untuk mewujudkan masyarakat yang bahagia, menurut Bentham (1789/2008), maka pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan untuk mendorong kesetaraan, keadilan dan kepercayaan. Kesetaraan diwujudkan dengan memeratakan kemakmuran, bukan memeratakan kemiskinan; sehingga kebijakan pemerintah dibuat untuk mendorong kelompok miskin menjadi makmur, bukan sebaliknya dengan menghambat laju kelompok makmur. Dirgahayu RI. Selamat Datang Indonesia Yang Hebat…

0 komentar:

Posting Komentar