08 Desember 2014

Globalisasi Dan Perdagangan Bebas: Antara Keberuntungan Dan Kebuntungan Kita


“Ditengah arus deras globalisasi banyak penduduk yang terpenjarah oleh “The Prison Of Poverty” (Penjarah Kemiskinan) Nelson Mandela.

Beberapa tahun terakhir ini, para pengamat ekonomi banyak berbicara dengan mengangkat isu-isu mengenai kesiapan Ekonomi Indonesia dalam menghadapi globalisasi dan perdagangan bebas, dimana perdagangan bebas  ini atau masyarakat ekonomi ASEAN akan berlaku pada tahun 2015 mendatang. Para pengajar ilmu-ilmu ekonomi dan juga mahasiswa sering mendiskusikan mengenai hal ini di ruang-ruang kelas, seminar, maupun di ruang kuliah umum.

Isu-isu ini memang sangat menarik perhatian untuk diperbincangkan dikalangan para ekonom maupun mahasiswa karena dianggap paling strategis selain dapat mengancam produk-produk nasional kita yang kemudian tidak mampu bersaing dengan produk-produk luar negeri, juga tenaga kerja yang kemungkinan besar kualitas sumber daya manusianya lebih berpihak kepada para tenaga kerja Asing dari pada masyarakat Indonesia sendiri. Hal ini tentunya dapat menggeser tenaga kerja kita sendiri yang sekian tahun menganggur dalam menantikan sebuah pekerjaan yang layak. Sangat menarik untuk menyimak pendapat Kristiadi (1997: 75-76) mengenai pergeseran basis perekonomian dari komparatif menjadi kompetitif suatu negara sebagai berikut: 

“Dalam menghadapi era liberalisasi ekonomi Asia Pasifik (APEC) dan dunia (WTO) yang tidak mungkin dihindari, pergeseran basis kompetitif dari sumber daya alam kepada sumber daya manusia, sudah menjadi tuntutan mutlak. Sebab, hanya negara-negara yang memiliki sumber daya manusia yang berkualitas sajalah yang akan mampu meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya dengan cepat. Negara-negara yang hanya mengandalkan kekayaan SDA tetapi mengabaikan kualitas SDM, tidak akan mampu bersaing dalam dunia internasional dibandingkan dengan negara yang mempunyai SDA terbatas namun memiliki SDM yang unggul”. 

Dengan sistem perekonomian terbuka yang telah dianut Indonesia, maka tentu saja membutuhkan suatu kewaspadaan, ketelitian serta kehati-hatian dalam merumuskan suatu kebijakan. Kebijakan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh negara, sejujurnya harus tidak terlepas, bagaimanan kemudian negara dapat menjaga dan menguasai setiap sumber daya alam yang ada, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Penguatan regulasi pada setiap kebijakan yang terfokus pada kesejahteraan rakyat akan merepresentasekan pada hidup masyarakat yang jauh dari rentan kemiskinan.

Dari dua hal pokok diatas, yang mengenai penguasaan setiap sumber daya alam oleh negara dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebenarnya sudah tertuang dalam hak-hak masyarakat dan hak social ekonomi dalam UUD 1945 Bahwa: 

Penguasaan oleh negara atas cabang produksi strategis dan kekayaan alam, yang dipergunakan untuk kepentingan rakyat (pasal 33 ayat 2 dan 3). Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar, dan pemerintah wajib mendanai ini (pasal 31 ayat 2). Setiap orang berhak untuk mengembangkan dirinya melalui pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasarnya, berhak atas pendidikan dan untuk memetik manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk meningkatkan mutu kehidupan dan kebaikan seluruh umat manusia. (pasal 28 c ayat 1). 

Dalam UUD 1945 ini tentunya tidak ada pengecualian bahwa SDA dan SDM Negara Indonesia harus dikuasai dan di dikte oleh oleh bangsa-bangsa Asing. Seperti yang saya ungkapkan diatas bahwa, penguatan terhadap regulasi di setiap kebijakan harus tetap di optimalkan guna untuk melindungi di setiap kepentingan dalam negeri kita sendiri. Sebaiknya kita menyimak apa yang di katakana oleh Arif Budiman, 1996:29; dan Wahyudi Kumorotomo, 1992:62 bahwa Secara umum, fungsi negara dan pemerintahannya adalah untuk melayani dan melindungi kepentingan masyarakat, membebaskan penduduk dari rasa takut, sekaligus meningkatkan kesejahteraannya. Kemakmuran dan kesejahteraan rakyat ini merupakan hukum tertinggi dalam suatu negara (salus populi suprema lex).

Jika kita melihat berbagai macam buku, artikel-artikel dan media online mengenai pengertian globalisasi tentu itu sangat beragam dan bervariasi tertgantung pemahaman masing-masing negara di dunia. Menurut Callinicos globalisasi adalah rencana ekonomi dan politik yang dihasilkan oleh kebijakan Neoliberal dalam Konsensus Washington. Menurut sebagian para pemikir beropini bahwa, globalisasi merupakan suatu mitos, dimana di setiap actor dalam suatu negara melakukan eksploitasi. Tentu saja yang melakukan eksploitasi ini adalah negara-negara yang telah memiliki kemajuan dengan industry dan teknologi informasi dan komunikasi yang canggih.

Globalisasi merupakan wujud dari perdagangan bebas. Globalisasi berdasar perdagangan bebas dan pasar bebasnya memang tetap akan terperangai dengan kapitalisme dengan memunculkan wujud barunya. Banyak perdebatan yang memunculkan pro dan kontra tentang globalisasi dengan perdagangan bebas. Globalisasi dan perdagangan bebas di imajinasikan untuk meningkatkan efisiensi ekonomi global ternyata tidak terbukti justru yang terjadi adalah si lemah harus membiayai efisiensi kesejahteraan yang kuat.

Para ekonom berpendapat bahwa, selain perdagangan bebas dapat meningkatkan standar hidup melalu teori keuntungan komparatif dalam ekonomi skala besar, perdagangan bebas juga memungkinkan negara-negara maju mengeksploitasi negara-negara yang berkembang. Namun sebaliknya, perdagangan bebas dianggap dapat merugikan negara maju karena pekerjaan dari negara maju berpindah ke negara lain dan menimbulkan perlombaan serendah mungkin. Selain pandangan diatas, ada juga para ekonom yang tetap mengahambakan atau memuji perdagangan bebas dan pasar bebas sebagai system baru yang akan menguntungkan semua negara seperti para ekonom ortodoks.

Hal ini tentu sangat bertentangan dengan pendapat Maurice Allais (dalam Ormerod, 1997: 23) – ekonom Perancis peraih Nobel ilmu ekonomi tahun 1988 yang mengeluarkan pernyataan pada bulan Maret 1993 sebagai berikut: 

“Tidak betul bahwa perdagangan bebas pasti menguntungkan semua pihak. Perdagangan bebas hanya akan menguntungkan dalam keadaan yang sangat khusus, yakni jika tingkat perekonomian pihak yang terlibat kurang lebih sama“. 

Inilah yang perlu diwaspadai negara kita sebagai negara yang sedang berkembang, kita diwajibkan untuk reaksioner bukan menghindar dari kenyataan dengan masuknya globalisasi dengan perdagangan bebasnya tetapi menyusun strategi serta proaktif untuk menangkal serbuan kapitalisme global.  Permasalahan yang masih berkecamuk dalam tubuh birokrasi, harus menjadi perhatian serius oleh pemerintah. Negara dan pemerintahnnya harus sering-sering mengajak duduk birokrasinya dalam setiap institusi, mengajak dengan menanamkan budaya kerja dengan nilai-nilai kejujuran sehingga mereka mau melakukan suatu restorasi atau perubahan.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka negara berkembang seperti Indonesia yang telah bergabung dengan bekerjasama ekonomi internasional seperti WTO, APEC, ASEAN Economic Community (AEC) atau ASEAN  Free Trade Area, (AFTA) dll  harus memiliki keunggulan absolute, bukan hanya keunggulan nisbi (comparative advantage) yang seperti di idamkan oleh Ricardo dimana pada era sekarang teori ini tidak berlaku lagi.

Sebab kondisi ekonomi dunia saat ini tidak mungkin lagi melakukan pembatasan atau proteksi, yang merupakan akibat dari konsekuensi logis dari era globalisasi. Sebagaimana comparative advantage yang di ajarkan Ricardo bahwa meskipun suatu negara mampu menghasilkan berbagai produk yang biayanya lebih murah dari pada negara lain, tetap masih lebih menguntungkan baginya jika negara tersebut mengkhususkan diri hanya pada produk-produk yang paling murah biayanya dibanding negara lain. Suatu negara hendaknya membiarkan negara lain menghasilkan produk yang perbedaan biayanya sedikit, sebab dengan demikian akan lebih banyak dana dan tenaga yang dapat dipusatkan pada produk yang paling efisien. Teori ini yang berdasar globalisais menimbulkan banyak ketidaadilan seperti yang saya ungkapan diatas, si lemah di eksploitasi oleh si kuat.

Sebagai anggota masyarakat dunia, tentu negara Indonesia tidak dapat mengalienasikan diri dari pergulatan ekonomi internasional tersebut terutama pada perdagangan bebas. Hal ini kembali lagi karena masing-masing negara memiliki saling ketergantungan antara negara yang satu dengan negara yang lain. Di sinilah pergesekan kepentingan terjadi, yang menyangkut masaalah yang sangat kompleks. Sehingga batas-batas teritorial pun tidak lagi menjadi pembatas.

Untuk mengantisipasi hal ini, perlu kiranya negara ini membahas strategi-strategi untuk menghadapi perdagangan bebas ekonomi ASEAN Free Trade Area, (AFTA), APEC dan WTO. Pembahasan strategi ini sangat penting selain kita mengharapkan suatu keberuntungan bukan kebuntungan juga untuk menyesuaikan strategi seperti apa yang akan menguntungkan ekonomi nasional kita, mengingat banyak sekali masaalah di bangsa ini mulai dari infrastruktur, sumber daya manusianya, iklim bisnis dan lingkungan.

Bangsa ini harus mempunyai kesiapan disegala aspek, sebab tinggal beberapa tahun lagi dimana pada tahun 2016 mendatang masyarakat ekonomi ASEAN akan diresmikan. Ketika ini diresmikan maka orang-orang Asing akan muda masuk ke negara Indonesia, berbaur dan berkompetensi dengan masyarakat local di bangsa ini. Globalisasi dan perdagangan bebas sejatinya dipandang sebagai suatu penjara dalam kehidupan moderen yang membelenggu. Ketika kita mempunyai kesiapan dengan keunggulan-keunggulan yang absolute maka globalisasi dan perdagangan bebas ini akan menjadikan suatu keberuntungan untuk bangsa ini, sebaliknya jika tidak, maka hanya kebuntunganlah yang akan kita dapat. Semoga tidak…

0 komentar:

Posting Komentar