Hari minggu tanggal 21
Desember saya sempatkan untuk membuka facebook, dengan ketergesa-gesahan dan
kecapean karena perjalanan dari kamar ke Fakultas Ekonomi dan Bisnis, setibaku
ditempat, saya langsung menyapa teman-teman. Selamat pagi teman-teman….mereka
menjawab, baik Din. Dengan lancar saya langsung
membuka facebook saya dan biasanya facebook saya langsung muncul tulisan Yusran
Darmawan untuk kemudian dengan cepat saya lahap untuk membacannya. Tetapi pada
hari itu tidak demikian.
Ada hal yang berbeda
ketika saya membuka facebookku hari itu, teman facebook Ady Setiawan langsung
membagikan tautannya dari Metro TV, sebuah Video yang menelisik “Rekening
Gendut” para pejabat. Ada dua pejabat yang di wawancari dalam Primetime News
Metro TV tersebut, yaitu Gubernur Sumatra Selatan, Alex Nurdin dan Gubernur Sulawesi
Tenggara, Nur Alam yang diduga memiliki rekening gendut (Baca :
http://video.metrotvnews.com/play/2014/12/18/333853/rekening-gendut-gubernur-sultra-nur-alam-itu-uang-milik-teman-saya). Sebelum diwawancarai, dua Gubernur ini menghadiri
Musyawara Perencanaan Pembangunan Nasional di Jakarta.
Dalam wawancara dengan
media Metro TV tersebut, mereka membantah memiliki rekening gendut, seperti
inilah bantahan Gubernur Sumatra Selatan, Alex Nurdin bahwa seluruh rekening dan
seluruh kekayaannya itu sudah diperiksa. Namun berbeda dengan Gubernur Sulawesi
Tenggara, Nur Alam yang mengatakan bahwa, uang itu merupakan milik teman yang
dititip ke rekeningnya. Selain itu Nur Alam juga mengatakan bahwa penitipan uang
tersebut, semata karena hubungan pertemanan dan tidak ada kewenangan atau
bisnisnya yang terkait dengan uang tersebut. Uang tersebut disimpan di rekening
Nur Alam karena merasa paling aman dan kemudian tidak ada kaitannya sama sekali
dengan APBD, APBN dan kewenangannya lainnya.
Melihat hal ini,
sebagian masyarakat Sultra banyak berkomentar, seperti dalam facebook Ady Setiawan misalnya mengatakan seperti ini, saya
juga mau kalau di titipkan....... tidak ada jawaban yang lebih cerdas????? Selain itu, Ady
Setiawan juga mengomentari satusnya seperti ini hahhahahahah............bingung aja lihat bapak ini
memberikan jawaban....hari gini dititipin duit......TV nasional lho ini, bukan
TV lokal. apa nggak mikir yang nonton itu siapa aja. Seterusnya, jawaban
Yusran
Darmawan, cocokmi itu Ady
Setiawan. itu uangnya temannya
yang dititipkan. Selanjutnya dibalas lagi Syamsul
Anam Ilahi ,Yusran
Darmawan: uang hadiah lomba
...di titp wkwkwkw (lihat di facebook Ady Setiawan).
Dari pernyataan
Gubernur Sultra, Nur Alam tersebut banyak spekulasi dari masyarakat serta mahasiswa
bahwa mereka tidak percaya dengan pernyataan tersebut dan merupakan omong
kosong belaka. Sebab, sebelumnya Nur Alam diduga terkena kasus tindak pidana
pencucian uang (TPPU) sebesar Rp 4,5 juta dolar AS pada tahun 2010. Pemberian uang
tersebut terkait dengan konsesi pertambangan di salah satu perusahaan yang
beroperasi di Sulawesi Tenggara, dan ada indikasi salah satu pengusaha tambang
asal Taiwan yang bernama Mr. Cheng terlibat dalam konsesi pertambangan (baca : http://www.sayangi.com/hukum1/read/18820/dituduh-janggal-usut-korupsi-gubernur-nur-alam-kejagung-didemo). Kasus ini tiba-tiba menciut begitu saja
dan tidak ada proses kelanjutannya alias mandek.
Saya mungkin agak
terlambat menonton video Metrotvnews.com tersebut, dan bahkan saya tidak
menontonnya di Metro TV dan ketika saya menulis tulisan ini dan sesekali saya
ulangi menonton videonya saya teringat dengan buku bacaan saya karya Kahlil
Gibran judul bukunya Cermin Jiwa. Pada halaman 130 kita menemukan tentang judul
Wanita-Wanita Dalam Kehidupan Gibran. Wanita itu adalah May Ziadeh, kasih Gibran
diatas kertas, yang tidak pernah menemuinya karena berbeda tempat tinggal yakni
May Ziadeh di Mesir sedangkan Kahlil Gibran di AS.
Karena tempat tinggal
Negara berbeda, maka mereka hanya bisa surat menyurati. Suatu kali May Ziadeh
menulis seperti ini:
“Gubernur Turki yang baru
telah tiba di Libanon, dan seperti biasanya, ia mulai mencopot orang-orang dari
jabatannya. Rakyat Libanon rebah di hadapan kakinya. Kapankah kita akan
memiliki diantara kita, orang-orang yang berani? Kapankah rakyat Libanon akan
mengibaskan debu penghinaan ini”.(cut).
Surat May Ziadeh
tersebut, menggambarkan kediktatoran sang Gubernur Turki, yang membuat masyarakatnya
lengah dan menyusutnya keberanian mereka untuk melawan. Sehingga pada saat itulah,
May Ziadeh menyurati Kahlil Gibran. Seperti inilah balasan Sang Pujangga itu..
“Celakalah bangsa yang menyambut para penjajahnya
dengan menabuh genderang. Celakalah bangsa yang membenci penindasan dalam
tidurnya tetapi menerimanya dalam keterjagaannya. Celakalah bangsa yang
meninggikan suaranya hanya di balik peti mati dan membanggakan dirinya hanya di
pemakaman. Celakalah bangsa yang tidak memberontak hingga lehernya diletakan di
atas tempat pemancungan” . Inti dari balasan surat ini, Gibran menyuarakan bahwa
rakyat harus reaksioner melawan kediktatoran Gubernur Turki, tapi bukan hanya
bersuara atau berupa kritikan semata, tetapi harus ada sebuah gerakan dan tindakan
yang nyata dan konkrit.
Tentu ini bukan kultur atau
sesuatu yang sama dengan kejadian di Sulawesi Tenggara, dan di bangsa ini dan disini
saya hanya mengutip seperti yang dikatakan oleh Fukuzawa Yukichi bahwa ketika
kita mengiginkan sebuah restorasi atau perubahan yang besar, maju dan modernis
berarti kita harus berani membuka wawasan dan siap menerima ide-ide baru.
Mungkin seperti ungkapan itulah yang diinginkan oleh pemuda-pemuda Indonesia
termasuk di Sultra, merespon dan bereaksi ketika masaalah-masaalah sedang
menyeret daerah dan bangsa ini.
Mungkin seperti inilah,
suara sang pujangga itu (Kahlil Gibran) untuk Nur Alam:
“Engkau adalah saudaraku,
tetapi mengapakah engkau bertengkar denganku? Mengapa engkau menyerbu negaraku
dan berusaha menaklukan aku demi menyenangkan mereka-mereka mencari kemuliaan dan
kekuasaan?
Mengapakah engkau
tinggalkan istrimu dan anak-anakmu dan mengikuti maut ke negeri yang jauh demi
mereka-mereka yang membeli kemuliaan dengan darahmu, dan kehormatan dengan air
mata ibumu?
Apakah suatu
kehormatan, kalau seseorang membunuh saudaranya sendiri? Kalau engkau menganggapnya
kehormatan, biarlah itu menjadi ibadah, dan dirikanlah sebuah bait bagi kain yang
membunuh adiknya, Habel.
Apakah memelihara
diri sendiri hukum pertama dari alam? kalau begitu, mengapa ketamakan mendesakmu
untuk mengorbankan diri hanya demi mencapai sasarannya demi melukai saudara-saudaranu?
Hati-hatilah, saudaraku, akan pemimpin yang mengatakan, “Kecintaan akan keberadaan mewajibkan kita untuk merampas hak-hak orang
lain!” aku berkata kepadamu: melindungi hak-hak orang lain adalah perbuatan manusia
yang paling mulia dan paling indah; kalau keberadaanku mengharuskan aku
membunuh orang lain, maka maut adalah lebih terhormat bagiku, dan kalau aku tak
dapat menemukan seseorang untuk membunuhku demi melindungi kehormatanku, aku takkan
ragu-ragu mengambil nyawaku dengan tanganku sendiri demi kekekalan sebelum
kekekalan datang.
Keegoisan, saudaraku
adalah penyebab superioritas yang buta, dan menciptakan kesukuan, dan kesukuan
menciptakan kekuasaan yang menuntun kepada ketidak-selarasan serta penaklukan.
Jiwa percaya kepada
kuasa pengetahuan dan keadilan atas ketidak-tahuan yang gelap; ia menyangkal
kekuasaan yang menyediakan pedang untuk membelah serta menguatkan ketidak-tahuan
dan penindasan kekuasaan yang menghancurkan Babel dan mengguncang landasan
Yerusalem dan meruntuhkan Roma. Dialah yang membuat manuisa menyebut para kriminal
orang besar; menjadikan para penulis menghormati nama mereka; menjadikan para
sejarawan menceritakan kisah tentang ketidak-manusiawian mereka dengan pujian.
Satu-satunya
kekuasaan yang kutaati adalah pengetahuan menjaga serta menerima di dalam hukum
alam tentang keadilan.
Keadilan apakah
yang diperlihatkan oleh kekuasaan kalau ia membunuh sang pembunuh? Kalau ia
memenjarakan perampok? Kalau ia turun kenegara tetangga dan membunuh rakyatnya?
Bagaimanakah menurut keadilan, kekuasaan di mana seorang pembunuh menghukum yang
membunuh, dan seorang pencuri menghukum yang mencuri?
Engkau adalah saudaraku,
dan aku mengasihimu; dan kasih adalah keadilan dengan segala intensitas serta martabatnya.
Seandainya keadilan tidak mendukung kasihku kepadamu, terlepas dari sukumu dan
komunitasmu, aku sama saja dengan penipu yang menutupi keburukan dari keegoisan
di balik pakayan sebelah luar berupa kasih yang murni”.