Kisah Seorang Nelayan di Purirano

Ini adalah cerita saat saya bertemu dengan nelayan di purirano. Keadaan mereka penuh dengan ketidakadilan.

Kenangan di Puncak Terindah Buton Selatan

Ini adalah bentuk penghayatan, akan indahnya alam. Olehnya itu, alam harus dijaga dengan baik agar kita hidup dalam penuh damai dan tentram.

Menggeluti Ilmu di Perguruan Tinggi

Bersama dengan ilmu pengetahuan kita dapat maju, bergerak dan bersaing dengan pihak-pihak lain. Mari, kita dahulukan pendidikan kita.

Sebuah Perjalanan di Muna Barat

Kami mencari keadilan atas masyarakat yang selama ini teralienasi. Lahan-lahan mereka dipermainkan oleh elit-elit desa, mengeruk keuntungan dengan membodohi masyarakat. Kami menolak dan melawan.

Mencari Keindahan di Danau Maleura

Di danau ini, ada panorama keindahan, yang membuat pengunjung sangat menikmati suasana. Hawa dingin dan air yang jernih dan terdapat banyaknya gua-gua. Ini keren kan. Adanya hanya di Muna.

24 Desember 2014

Suara Khalil Gibran (Sang Pujangga) Untuk Nur Alam


Hari minggu tanggal 21 Desember saya sempatkan untuk membuka facebook, dengan ketergesa-gesahan dan kecapean karena perjalanan dari kamar ke Fakultas Ekonomi dan Bisnis, setibaku ditempat, saya langsung menyapa teman-teman. Selamat pagi teman-teman….mereka menjawab, baik Din.  Dengan lancar saya langsung membuka facebook saya dan biasanya facebook saya langsung muncul tulisan Yusran Darmawan untuk kemudian dengan cepat saya lahap untuk membacannya. Tetapi pada hari itu tidak demikian.

Ada hal yang berbeda ketika saya membuka facebookku hari itu, teman facebook Ady Setiawan langsung membagikan tautannya dari Metro TV, sebuah Video yang menelisik “Rekening Gendut” para pejabat. Ada dua pejabat yang di wawancari dalam Primetime News Metro TV tersebut, yaitu Gubernur Sumatra Selatan, Alex Nurdin dan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam yang diduga memiliki rekening gendut (Baca : http://video.metrotvnews.com/play/2014/12/18/333853/rekening-gendut-gubernur-sultra-nur-alam-itu-uang-milik-teman-saya). Sebelum diwawancarai, dua Gubernur ini menghadiri Musyawara Perencanaan Pembangunan Nasional di Jakarta.

Dalam wawancara dengan media Metro TV tersebut, mereka membantah memiliki rekening gendut, seperti inilah bantahan Gubernur Sumatra Selatan, Alex Nurdin bahwa seluruh rekening dan seluruh kekayaannya itu sudah diperiksa. Namun berbeda dengan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam yang mengatakan bahwa, uang itu merupakan milik teman yang dititip ke rekeningnya. Selain itu Nur Alam juga mengatakan bahwa penitipan uang tersebut, semata karena hubungan pertemanan dan tidak ada kewenangan atau bisnisnya yang terkait dengan uang tersebut. Uang tersebut disimpan di rekening Nur Alam karena merasa paling aman dan kemudian tidak ada kaitannya sama sekali dengan APBD, APBN dan kewenangannya lainnya.

Melihat hal ini, sebagian masyarakat Sultra banyak berkomentar, seperti dalam facebook Ady Setiawan misalnya mengatakan seperti ini, saya juga mau kalau di titipkan....... tidak ada jawaban yang lebih cerdas????? Selain itu, Ady Setiawan juga mengomentari satusnya seperti ini hahhahahahah............bingung aja lihat bapak ini memberikan jawaban....hari gini dititipin duit......TV nasional lho ini, bukan TV lokal. apa nggak mikir yang nonton itu siapa aja. Seterusnya, jawaban Yusran Darmawan, cocokmi itu Ady Setiawan. itu uangnya temannya yang dititipkan. Selanjutnya dibalas lagi Syamsul Anam Ilahi ,Yusran Darmawan: uang hadiah lomba ...di titp wkwkwkw (lihat di facebook Ady Setiawan).
 
Dari pernyataan Gubernur Sultra, Nur Alam tersebut banyak spekulasi dari masyarakat serta mahasiswa bahwa mereka tidak percaya dengan pernyataan tersebut dan merupakan omong kosong belaka. Sebab, sebelumnya Nur Alam diduga terkena kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebesar Rp 4,5 juta dolar AS pada tahun 2010. Pemberian uang tersebut terkait dengan konsesi pertambangan di salah satu perusahaan yang beroperasi di Sulawesi Tenggara, dan ada indikasi salah satu pengusaha tambang asal Taiwan yang bernama Mr. Cheng terlibat dalam konsesi pertambangan (baca : http://www.sayangi.com/hukum1/read/18820/dituduh-janggal-usut-korupsi-gubernur-nur-alam-kejagung-didemo). Kasus ini tiba-tiba menciut begitu saja dan tidak ada proses kelanjutannya alias mandek.

Saya mungkin agak terlambat menonton video Metrotvnews.com tersebut, dan bahkan saya tidak menontonnya di Metro TV dan ketika saya menulis tulisan ini dan sesekali saya ulangi menonton videonya saya teringat dengan buku bacaan saya karya Kahlil Gibran judul bukunya Cermin Jiwa. Pada halaman 130 kita menemukan tentang judul Wanita-Wanita Dalam Kehidupan Gibran. Wanita itu adalah May Ziadeh, kasih Gibran diatas kertas, yang tidak pernah menemuinya karena berbeda tempat tinggal yakni May Ziadeh di Mesir sedangkan Kahlil Gibran di AS.

Karena tempat tinggal Negara berbeda, maka mereka hanya bisa surat menyurati. Suatu kali May Ziadeh menulis seperti ini:

“Gubernur Turki yang baru telah tiba di Libanon, dan seperti biasanya, ia mulai mencopot orang-orang dari jabatannya. Rakyat Libanon rebah di hadapan kakinya. Kapankah kita akan memiliki diantara kita, orang-orang yang berani? Kapankah rakyat Libanon akan mengibaskan debu penghinaan ini”.(cut).
Surat May Ziadeh tersebut, menggambarkan kediktatoran sang Gubernur Turki, yang membuat masyarakatnya lengah dan menyusutnya keberanian mereka untuk melawan. Sehingga pada saat itulah, May Ziadeh menyurati Kahlil Gibran. Seperti inilah balasan Sang Pujangga itu..

“Celakalah bangsa yang menyambut para penjajahnya dengan menabuh genderang. Celakalah bangsa yang membenci penindasan dalam tidurnya tetapi menerimanya dalam keterjagaannya. Celakalah bangsa yang meninggikan suaranya hanya di balik peti mati dan membanggakan dirinya hanya di pemakaman. Celakalah bangsa yang tidak memberontak hingga lehernya diletakan di atas tempat pemancungan” . Inti dari balasan surat ini, Gibran menyuarakan bahwa rakyat harus reaksioner melawan kediktatoran Gubernur Turki, tapi bukan hanya bersuara atau berupa kritikan semata, tetapi harus ada sebuah gerakan dan tindakan yang nyata dan konkrit.

Tentu ini bukan kultur atau sesuatu yang sama dengan kejadian di Sulawesi Tenggara, dan di bangsa ini dan disini saya hanya mengutip seperti yang dikatakan oleh Fukuzawa Yukichi bahwa ketika kita mengiginkan sebuah restorasi atau perubahan yang besar, maju dan modernis berarti kita harus berani membuka wawasan dan siap menerima ide-ide baru. Mungkin seperti ungkapan itulah yang diinginkan oleh pemuda-pemuda Indonesia termasuk di Sultra, merespon dan bereaksi ketika masaalah-masaalah sedang menyeret daerah dan bangsa ini.

Mungkin seperti inilah, suara sang pujangga itu (Kahlil Gibran) untuk Nur Alam:

“Engkau adalah saudaraku, tetapi mengapakah engkau bertengkar denganku? Mengapa engkau menyerbu negaraku dan berusaha menaklukan aku demi menyenangkan mereka-mereka mencari kemuliaan dan kekuasaan?
Mengapakah engkau tinggalkan istrimu dan anak-anakmu dan mengikuti maut ke negeri yang jauh demi mereka-mereka yang membeli kemuliaan dengan darahmu, dan kehormatan dengan air mata ibumu?
Apakah suatu kehormatan, kalau seseorang membunuh saudaranya sendiri? Kalau engkau menganggapnya kehormatan, biarlah itu menjadi ibadah, dan dirikanlah sebuah bait bagi kain yang membunuh adiknya, Habel.
Apakah memelihara diri sendiri hukum pertama dari alam? kalau begitu, mengapa ketamakan mendesakmu untuk mengorbankan diri hanya demi mencapai sasarannya demi melukai saudara-saudaranu? Hati-hatilah, saudaraku, akan pemimpin yang mengatakan, “Kecintaan akan keberadaan  mewajibkan kita untuk merampas hak-hak orang lain!” aku berkata kepadamu: melindungi hak-hak orang lain adalah perbuatan manusia yang paling mulia dan paling indah; kalau keberadaanku mengharuskan aku membunuh orang lain, maka maut adalah lebih terhormat bagiku, dan kalau aku tak dapat menemukan seseorang untuk membunuhku demi melindungi kehormatanku, aku takkan ragu-ragu mengambil nyawaku dengan tanganku sendiri demi kekekalan sebelum kekekalan datang.
Keegoisan, saudaraku adalah penyebab superioritas yang buta, dan menciptakan kesukuan, dan kesukuan menciptakan kekuasaan yang menuntun kepada ketidak-selarasan serta penaklukan.
Jiwa percaya kepada kuasa pengetahuan dan keadilan atas ketidak-tahuan yang gelap; ia menyangkal kekuasaan yang menyediakan pedang untuk membelah serta menguatkan ketidak-tahuan dan penindasan kekuasaan yang menghancurkan Babel dan mengguncang landasan Yerusalem dan meruntuhkan Roma. Dialah yang membuat manuisa menyebut para kriminal orang besar; menjadikan para penulis menghormati nama mereka; menjadikan para sejarawan menceritakan kisah tentang ketidak-manusiawian mereka dengan pujian.
Satu-satunya kekuasaan yang kutaati adalah pengetahuan menjaga serta menerima di dalam hukum alam tentang keadilan.
Keadilan apakah yang diperlihatkan oleh kekuasaan kalau ia membunuh sang pembunuh? Kalau ia memenjarakan perampok? Kalau ia turun kenegara tetangga dan membunuh rakyatnya? Bagaimanakah menurut keadilan, kekuasaan di mana seorang pembunuh menghukum yang membunuh, dan seorang pencuri menghukum yang mencuri?
Engkau adalah saudaraku, dan aku mengasihimu; dan kasih adalah keadilan dengan segala intensitas serta martabatnya. Seandainya keadilan tidak mendukung kasihku kepadamu, terlepas dari sukumu dan komunitasmu, aku sama saja dengan penipu yang menutupi keburukan dari keegoisan di balik pakayan sebelah luar berupa kasih yang murni”.

19 Desember 2014

Rusaknya Mental Dan Salahnya Motivasi Hidup

                                                              Ilustrasi Gambar: kompasiana.com
Hari Senin 15 Desember 2014, saya dikagetkan dengan berita dari teman-teman bahwa La Fedumu yang merupakan tetangga kampung, sudah dirutan dan akan ditahan selama dua puluh hari ke depan untuk proses persidangan. Jarak antara rumah kira-kira kurang lebih dua ratus meter dan saya kenal baik dengan beliau. Bagaimana tidak, semenjak saya sekolah di SD dan SLTP saya sering mengikuti La Fedumu dengan mobil truk yang dibawanya. Bahkan waktu sekolah SMA terkadang saya di numpangin dengan motor yang dipakainya dan pada saat itu La Fedumu bukan lagi menjadi sopir atau tukang ojek tetapi sebagai pegawai pertanian di Kota Raha.

Lalu pertanyaanya apa motifnya sehingga La Fedumu ditahan?. Dari informasi teman-teman banyak yang berspekulasi bahwa ada indikasi korupsi tentang percetakan sawah yang tidak rampung dan kemudian di terlantarkan begitu saja karena ke-tidak-adanya anggaran. Lalu pertanyaanya kemudian, berapa sih bantuan anggaran yang diberikan oleh pemerintah pusat untuk sebuah proyek percetakan sawah seluas 50 hektar?. Saya sendiri tidak mengetahui persis bantuan anggarannya berapa, namun pada tahun 2012 Kabupaten Muna mendapatkan proyek percetakan sawah seluas 80 hektar, dimana setiap hektar sawah mendapatkan biaya percetakan sebesar Rp.10 juta yang bersumber dari APBN (Baca : Sultra Peroleh Bantuan Cetak Sawah 4.850 Hektare). 
Desa Wantiworo. Desa inilah tempat kelahiran saya yang mendapat porsi proyek percetakan sawah seluas 50 hektar yang tidak selesai itu. Sebelumnya memang banyak dugaan dan isu-siu dari sahabat-sahabat saya bahwa ketidak-rampungan proyek percetakan sawah tersebut karena dananya telah habis alias telah di korupsi. Isu-isu ini sempat saya selidiki, berinteraksi dengan masyarakat setempat, dan melihat langsung proyek percetakan sawah tersebut. 

Hasil dari interaksi dengan masyarakat setempat memang sangat memprihatinkan dan miris, apalagi pada hari itu setelah saya selesai melihat langsung proyek percetakan sawah tersebut. Jantung saya ketika itu berdetak kian kencang, lalu dalam hati saya sempat berkata, sepertinya korupsi akan mulai merebak di dalam desa-desa ini, dan sebelumnya memang di desa ini suda ada yang ditahan karena adanya korupsi dana pembangunan mesjid. 

Banyak informasi yang saya dapatkan dari masyarakat setempat, diantaranya yaitu sebagian besar masyarakat tidak-kebagian pupuk dan benih padi. Ketika mereka pergi untuk mmengambil pupuk dan benih, nada yang muncul adalah habis. Masyarakat di suruh menunggu, namun sempat beberapa bulan masyarakat tidak mendapatkan panggilan dari kelompok tani tersebut. Dan pada akhirnya yang mereka alami adalah kerugian. Masyarakat membeli benih padi, menanam tanpa pupuk dan suda tentu masyarakat tidak mendapatkan apa-apa alias padi mereka tidak subur dan tidak menguning. Tetangga saya sempat bercerita kepada saya bahwa dia sudah mengeluarkan uang sekitar hampir 5 jutaan karena proyek tersebut, mulai dari membeli benih padi, dan juga menyewa sebuah alat untuk menggeruk tanah sawahnya tetapi tidak menghasilkan apa-apa. 

Saya sempat tunduk dan sejenak berpikir, dikampung ini kurang sekali para sarjana, bahkan ada sarjana yang hanya sibuk mengurus dan mementingkan diri mereka sendiri. Lalu di manakah tanggungjawab intelektual mereka pada masyarakat?. Saya membayangkan uang 5 juta tersebut buat tetangga saya merupakan uang yang banyak, apalagi si tetangga saya ini tidak mempunyai pendapatan setiap hari. Hidup mereka hanya bergantung pada tanah untuk bercocok tanam, hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka tiap harinya. 

Para sarjana atau intelektual seharusnya mempunyai tanggungjawab besar untuk memajukan desanya bahkan untuk bangsanya yang besar ini. Bagaimana tidak, sebagai orang yang telah melewati proses pendidikan atau humanisasi (proses memanusiakan manuisa) tentu mereka banyak mempunyai pengetahuan dan dapat membedakan mana yang benar dan mana yang buruk. Namun yang terjadi bukanlah seperti yang saya bayangkan, justru yang banyak tersangkut korupsi seperti yang ada di televisi-televisi swasta adalah orang-orang yang mempunyai gelar yang tinggi seperti seorang Magister, dan juga Doktor. 

Ketika itu, saya mengatakan kepada teman pada saat diskusi bahwa orang-orang yang memiliki gelar yang tinggi itu seharusnya memberikan pemikiran terhadap proses kemajuan desa bahkan untuk bangsanya yang besar ini bukan untuk mementingkan kepentingan pribadi dengan mengorbankan masyarakat banyak.

Korupsi. Kata inilah yang paling banyak di perbincangkan diseluruh pelosok negeri ini. Mulai dari mahasiswa/i, para pengamat baik ekonomi, politik, hukum dll maupun juga termasuk masyarakat awam yang ada di kampung saya. Mereka suda mengenal apa itu korupsi. Mereka mengatakan bahwa korupsi itu adalah mencuri uang, entah uang orang lain atau uang Negara yang tentu bukan haknya. Bukan saja itu, tetapi masyarakat juga mengatakan bahwa orang-orang korup tidak mempunyai mental yang sehat, etika dan juga moral.
Ketika proyek percetakan sawah di desa saya diduga ada indikasi korupsi, masyarakat sudah tau bahwa hak mereka telah dirampas dan diambil oleh orang lain. Fenomena korupsi seperti ini hanyalah puncak gunung es dari permasalan yang mendera bangsa ini. Saya mengira para koruptor hanya akan melakukan aksinya di daerah-daerah yang cukup maju, yang mempunyai bantuan investasi besar dari pemerintah pusat. Namun ternyata anggapan saya salah, justru para koruptor sudah mulai mengintai di desa-desa, gentayangan dengan tujuan untuk memburu rente. 

Seperti yang di katakan oleh Kwik Kian Gie bahwa rusaknya mental di mulai dari mencuri uang yang bukan miliknya. Pelaku korup tidak memikirkan tindakan dengan mengedepankan nilai yang rasional yakni menggunakan kemampuan dengan pemikiran yang jernih dalam hidupnya sebagai individu dan juga sebagai anggota masyarakat. Tetapi dengan menghegemoni dan memanfaatkan kekuasaan besarnya untuk melampiaskan nafsu kebesarannya terhadap uang. Iya, uang dimana yang oleh kaum kapitalis dianggap sebagai ukuran yang segala-galanya dalam ukuran dari sisi mentalnya.

Sehingga kebanyakan masyarakat selalu salah mem-presepsi-kan bahwa setiap orang dalam hal ini dianggap sudah berhasil menjadi orang apabila dia dalam hidupnya telah berhasil mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya melalui berbagai cara sehingga oleh karenanya kemudian dia menyandang status sosial sebagai orang kaya. Dengan kekayaannya tersebut, maka si korup beranggapan bahwa dia dapat di hormati, disegani, dilayani bagaikan sang Raja Eropa Louis XIV yang mempunyai kekuasaan tak terbatas seperti Negara, harta, dan rakyat.

Kesalahan motivasi seseorang, berakibat fatal terhadap arah kehidupannya. Seperti pada zaman yang makin menggilanya kapitalisme ini, terkadang orang diarahkan untuk memiliki kesadaran yang palsu bahwa manuisa hidup hanya untuk mencari uang, bukan untuk mengapdi atau bekerja pada desanya atau pada bangsanya. Inilah akibat dari prinsip hidup yang salah. Seperti yang di kutib oleh Ismantoro Dwi Yuwono bahwa Prinsip hidup mencari uang ini telah meracuni manusia dari generasi ke generasi sehingga hal ini telah membawa manusia untuk saling menindas terhadap sesamanya. Hubungannya dengan masyarakat, sahabat, bahkan saudaranya dimaknai sebagai hubungan sebagai pelampiasan hanya untuk memperoleh uang. Semoga kita semua mempunyai prinsip hidup yang baik………