02 Januari 2016

Sebuah Kegelisahan




SEBUAH kegelisahan dalam pikiran datang menderah. Dikala orang-orang dengan hiruk-pikuk merayakan tahun baru dengan keceriaan yang hingar-bingar serta musik yang berdentuman disana-sini, diriku tengah dirundung kegelisahan. Gelisah dengan diri ini yang ingin hendak menggantung dimana, bersama siapa untuk kemudian melakukan apa

Saya butuh sesuatu yang hendak mendorong keingintahuanku banyak hal. Saya ingin belajar banyak hal dengan orang-orang yang punya banyak ilmu pengetahuan, agar diri ini kelak  bisa melakukan sesuatu yang berguna bagi banyak orang. Saya butuh tantangan yang kemudian bisa menambah wawasan keilmuanku. Saya butuh perkumpulan/perserikatan, organisasi atau lembaga penelitian yang progresif. Meskipun memasuki arena lembaga penelitian atau menjadi asisten Profesor butuh sesuatu kemampuanSaya sering mengatakan kepada sahabat, jika hal demikian dibutuhkan saya siap untuk menjadi juru ketik, membuat kopi, menyapukan halaman rumahnya atau mencucikan piring serta gelas-gelasnya.

Ini akan terlihat sebagai lelucon dan rendah diri, namun di depan orang-orang yang berilmu pengetahuan saya siap bersimpuh di depan altar gunung keilmuannya untuk kemudian ikut menyelam menyusuri seluk-beluk pahitnya membuahkan pemikiran. Bukan kemudian bersimpuh pada harta kekayaan yang di agung-agungkan dengan baju emas serta kendaraan mewah yang dipamerkannya seperti kehidupan moderen yang serba materialistik ini.
***
Kegelisahan datang karena pikiran ini tengah membuncah dan sering bertanya-tanya; hendak kemana diri ini kelak dan akan melakukan apa. Kita semua tentu ingin berkontribusi terhadap nusa dan bangsa. Kegelisahan bukan berarti rasa bersalah namun pergumulan pemikiran akan keadaan diri sendiri, lingkungan dan juga bangsa. Kegelisahan bukan berarti derita, bukan juga onak dan duri namun sebuah ketegangan untuk melakukan apa, yang kemudian tidak disertai dengan adanya ruang yang bisa menempa kita. Ruang yang bisa memberikan harapan banyak orang ditengah-tengah kehidupan masyarakat.

Ruang itu penting sebagai tempat untuk mengekspresikan berbagai dialektik yang melingkupi pikiran. Dari berbagai buku-buku yang kita baca, majalah atau informasi yang kita konsumsi setiap hari jika tidak disertai dengan ruang, semua itu tentu akan mubazir. Banyak orang yang ingin melakukan perubahan sosial namun semua itu kadang tak kesampaian karena keterbatasan ruang yang bersifat progresif itu. Meskipun Negara kita adalah sebuah Negara demokrasi, dimana semua orang di kehendaki untuk bebas berekspresi, namun kadang-kadang ruang-ruang itu seperti organisasi, perkumpulan/perserikatan, lembaga penelitian atau lembaga non pemerintah dibentuk hanya untuk mengejar berbagai proyek-proyek basah—untuk peruntungan kelompok atau individu-individu mereka.

Yang memprihantinkan adalah jika sama-sekali tak melakukan perubahan sosial apapun. Ini sungguh disayangkan. Banyak organisasi, perkumpulan/perserikatan, lembaga penelitian atau lembaga non pemerintah sekarang di bentuk hanya karena mengambil peruntungan demi proyek-proyek basah, bukan di bentuk untuk sebuah kemakmuran sosial di masyarakat. Tentu hal ini karena kurangnya kesadaran manusia Indonesia tentang berbangsa dan bernegara. 

Hal inilah yang mengundang korupsi disana-sini di berbagai pelosok negeri kita dan semakin berkembang biak. Kata Bung Hatta, perjuangan kita akan lebih berat karena melawan anak kandung bangsa Indonesia sendiri. Melawan bangsa sendiri memang akan berat karena orang-orang yang korup itu sesungguhnya lahir dari rahim kolonialisme penjajah yang tertular dengan penjajahannya yang bengis dan kemudian menelurkannya kepada generasi-generasi muda sekarang dengan melakukan cara-cara yang berbeda. Dan pada akhirnya akan susah di basmi, di berantas, jika tidak di sertai dengan kesadaran berbangsa dan bernegara serta idealisme-idealisme yang ingin mensejahterakan sosial. Manusia Indonesia harus ditanamkan sebuah kesadaran sosialis-nasionalisme.

***
DI KENDARI atau pada umumnya di Sulawesi Tenggara ruang-ruang itu ada. Namun tak jarang, ruang itu digunakan hanya sebatas demonstarsi. Meskipun itu penting, banyak hal yang perlu di gali lewat ruang-ruang itu, bukan hanya melakukan ritual-ritual demonstrasi yang panas-panas taik ayam yang kemudian mengharapkan amplop sebagai penutup mulut. Salah satunya adalah dengan melakukan kegiatan berbagai dialog, penelitian atau hal-hal semacamnya untuk perubahan sosial. Namun hal ini tentu tidak gampang, ini butuh dukungan berupah dana dari pemerintah setempat.

Saya punya pengalaman tentang hal ini. Pada saat itu ada lembaga atau organisasi seorang sahabat akan melakukan dialog akhir tahun 2015. Saya ikut terlibat membantu untuk mencarikan dana. Dari instansi ke instansi pemerintah Kota Kendari tak jarang saat memasukan proposal kegiatan, saya selalu mendapatkan penolakan. Saya tak tahu apakah proposal yang kami masukan layak atau tidak, yang jelas proposal itu realistis dan itu hanya sebatas kegiatan dialog. Hingga berhari-hari dengan panas teriknya matahari sampai-sampai keringat kering di badan ini, tak kunjung mendapat bantuan dana. Pikirku, sungguh aneh daerah ini, jika sifat antipati mereka terus di kembangbiakan. Mengapa mereka-mereka ini, tak punya respon akan hal-hal seperti ini, dalam hati saya membatin.

Perubahan sosial butuh sebuah dialog untuk kemudian mengetahui dan menampung apa yang menjadi masaalah yang dialami oleh masyarakat. Orang-orang yang melakukan perubahan sosial adalah orang-orang yang mempunyai kepekaan terhadap masaalah masyarakat untuk kemudian memberikan sebuah solusi yang progresif untuk kemakmuran masyarakatnya. Salah satunya adalah lewat dialog-dialog yang intensif bersama organisasi-organisasi kepemudaan dan birokrasi pemerintah setempat.

Pada akhirnya kegelisahan ini terus menghantui. Di Kota Kendari keterbatasan ruang-ruang yang progresif, yang dapat menempah kita untuk bermetamorfosisnya sebuah ilmu-ilmu pengetahuan. Sebagai mahasiswa tentu kita masih berada di belantara ilmu-ilmu pengetahuan dan di sanalah kita di ajak untuk memilih ilmu-ilmu yang menjadi peta kita dalam menyelesaikan kehidupan bangsa yang demikian sulit. Universitasnya juga mengalami hal yang sama, tertular oleh sebuah paradigma lama pada masa kerajaan yaitu hanya membangun gedung-gedung yang tinggi berlantai lima, enam atau tujuh untuk para birokrasi kampus dan mengesampingkan hal-hal yang substansif untuk kecerdasan mahasiswanya seperti gedung perpustakaan yang bisa menarik banyak orang untuk bergumul dengan bacaan-bacaan mereka. 

Sekali lagi, pada akhirnya, kita tentu menyadari bahwa di alam ini tak bisa menyediakan semua apa yang kita butuhkan. Kehidupan memang tak seindah kereta api yang melaju diatas relnya dengan mulus. Kehidupan tak seindah seperti mereka-mereka yang terlanjur berkehidupan yang mentereng dan termasyur. Jika di Kota ini tak bisa menyediakan banyak ruang yang bisa menempaku, mungkin di kota-kota lain akan ada. Namun di sini dengan keterbatasan ini, ada ruang yang sederhana untuk mengembangkan dan mengumpulkan ide-ide dan catatanku yang sederhana yaitu di blogku ini. Kita hanya butuh menyesuaikan seperti hidup bunglon yang pandai menyesuaikan di setiap lingkungan yang dia kunjungi dengan berubah-ubah warnah. 

Saya teringat tulisan Pramoedya Ananta Toer dalam Buku Jejak Langka yang mengambarkan tentang nenek moyang Jepang yang tangguh. Kata pepatah nenek moyang Jepang: “Tak ada satria lahir, tumbuh perkasa tanpa ujian”.

Jika kita ingin menjadi satria, kita harus tahan segala bentuk ujian apapun. Buatku semua ini mungkin hanya ujianujian di Kota yang kosmopolit….

                                                                        Laode Halaidin
                                                                        Kendari, 1 Januari 2016

0 komentar:

Posting Komentar