SEBUAH kegelisahan dalam pikiran datang menderah. Dikala
orang-orang dengan hiruk-pikuk merayakan tahun baru dengan keceriaan yang hingar-bingar
serta musik yang berdentuman disana-sini, diriku tengah dirundung kegelisahan.
Gelisah dengan diri ini yang ingin hendak menggantung dimana, bersama siapa
untuk kemudian melakukan apa
Saya butuh sesuatu yang hendak mendorong
keingintahuanku banyak hal. Saya ingin belajar banyak hal dengan orang-orang
yang punya banyak ilmu pengetahuan, agar diri ini kelak bisa melakukan sesuatu yang berguna bagi
banyak orang. Saya butuh tantangan yang kemudian bisa menambah wawasan
keilmuanku. Saya butuh perkumpulan/perserikatan, organisasi atau lembaga
penelitian yang progresif. Meskipun memasuki arena lembaga penelitian atau
menjadi asisten Profesor butuh sesuatu kemampuan—Saya sering mengatakan kepada sahabat, jika hal
demikian dibutuhkan saya siap untuk menjadi juru ketik, membuat kopi,
menyapukan halaman rumahnya atau mencucikan piring serta gelas-gelasnya.
Ini akan terlihat sebagai lelucon dan rendah diri,
namun di depan orang-orang yang berilmu pengetahuan saya siap bersimpuh di depan
altar gunung keilmuannya untuk kemudian ikut menyelam menyusuri seluk-beluk
pahitnya membuahkan pemikiran. Bukan kemudian bersimpuh pada harta kekayaan
yang di agung-agungkan dengan baju emas serta kendaraan mewah yang dipamerkannya
seperti kehidupan moderen yang serba materialistik ini.
***
Kegelisahan datang karena pikiran ini tengah
membuncah dan sering bertanya-tanya; hendak kemana diri ini kelak dan akan
melakukan apa. Kita semua tentu ingin berkontribusi terhadap nusa dan bangsa. Kegelisahan
bukan berarti rasa bersalah namun pergumulan pemikiran akan keadaan diri
sendiri, lingkungan dan juga bangsa. Kegelisahan bukan berarti derita, bukan
juga onak dan duri namun sebuah ketegangan untuk melakukan apa, yang kemudian tidak
disertai dengan adanya ruang yang bisa menempa kita. Ruang yang bisa
memberikan harapan banyak orang ditengah-tengah kehidupan masyarakat.
Ruang itu penting sebagai tempat untuk
mengekspresikan berbagai dialektik yang melingkupi pikiran. Dari berbagai
buku-buku yang kita baca, majalah atau informasi yang kita konsumsi setiap hari
jika tidak disertai dengan ruang, semua itu tentu akan mubazir. Banyak orang
yang ingin melakukan perubahan sosial namun semua itu kadang tak kesampaian
karena keterbatasan ruang yang bersifat progresif itu. Meskipun Negara kita
adalah sebuah Negara demokrasi, dimana semua orang di kehendaki untuk bebas
berekspresi, namun kadang-kadang ruang-ruang itu seperti organisasi,
perkumpulan/perserikatan, lembaga penelitian atau lembaga non pemerintah dibentuk
hanya untuk mengejar berbagai proyek-proyek basah—untuk peruntungan
kelompok atau individu-individu mereka.
Yang
memprihantinkan adalah jika sama-sekali tak melakukan perubahan sosial apapun.
Ini sungguh disayangkan. Banyak organisasi, perkumpulan/perserikatan,
lembaga penelitian atau lembaga non pemerintah sekarang di bentuk hanya karena
mengambil peruntungan demi proyek-proyek basah, bukan di bentuk untuk sebuah
kemakmuran sosial di masyarakat. Tentu hal ini karena kurangnya kesadaran
manusia Indonesia tentang berbangsa dan bernegara.
Hal inilah yang mengundang korupsi disana-sini di berbagai
pelosok negeri kita dan semakin berkembang biak. Kata Bung Hatta, perjuangan
kita akan lebih berat karena melawan anak kandung bangsa Indonesia sendiri.
Melawan bangsa sendiri memang akan berat karena orang-orang yang korup itu
sesungguhnya lahir dari rahim kolonialisme penjajah yang tertular dengan
penjajahannya yang bengis dan kemudian menelurkannya kepada generasi-generasi
muda sekarang dengan melakukan cara-cara yang berbeda. Dan pada akhirnya akan
susah di basmi, di berantas, jika tidak di sertai dengan kesadaran berbangsa dan
bernegara serta idealisme-idealisme yang ingin mensejahterakan sosial. Manusia
Indonesia harus ditanamkan sebuah kesadaran sosialis-nasionalisme.
***
DI KENDARI atau pada umumnya di Sulawesi Tenggara
ruang-ruang itu ada. Namun tak jarang, ruang itu digunakan hanya sebatas
demonstarsi. Meskipun itu penting, banyak hal yang perlu di gali lewat
ruang-ruang itu, bukan hanya melakukan ritual-ritual demonstrasi yang
panas-panas taik ayam yang kemudian mengharapkan amplop sebagai penutup mulut.
Salah satunya adalah dengan melakukan kegiatan berbagai dialog, penelitian atau
hal-hal semacamnya untuk perubahan sosial. Namun hal ini tentu tidak gampang,
ini butuh dukungan berupah dana dari pemerintah setempat.
Saya punya pengalaman tentang hal ini. Pada saat itu
ada lembaga atau organisasi seorang sahabat akan melakukan dialog akhir tahun
2015. Saya ikut terlibat membantu untuk mencarikan dana. Dari instansi ke
instansi pemerintah Kota Kendari tak jarang saat memasukan proposal kegiatan,
saya selalu mendapatkan penolakan. Saya tak tahu apakah proposal yang kami
masukan layak atau tidak, yang jelas proposal itu realistis dan itu hanya
sebatas kegiatan dialog. Hingga berhari-hari dengan panas teriknya matahari
sampai-sampai keringat kering di badan ini, tak kunjung mendapat bantuan dana.
Pikirku, sungguh aneh daerah ini, jika sifat antipati mereka terus di kembangbiakan.
Mengapa mereka-mereka ini, tak punya respon akan hal-hal seperti ini, dalam
hati saya membatin.
Perubahan sosial butuh sebuah dialog untuk kemudian
mengetahui dan menampung apa yang menjadi masaalah yang dialami oleh
masyarakat. Orang-orang yang melakukan perubahan sosial adalah orang-orang yang
mempunyai kepekaan terhadap masaalah masyarakat untuk kemudian memberikan
sebuah solusi yang progresif untuk kemakmuran masyarakatnya. Salah satunya
adalah lewat dialog-dialog yang intensif bersama organisasi-organisasi
kepemudaan dan birokrasi pemerintah setempat.
Pada akhirnya kegelisahan ini terus menghantui. Di
Kota Kendari keterbatasan ruang-ruang yang progresif, yang dapat menempah kita untuk
bermetamorfosisnya sebuah ilmu-ilmu pengetahuan. Sebagai mahasiswa tentu kita
masih berada di belantara ilmu-ilmu pengetahuan dan di sanalah kita di ajak untuk
memilih ilmu-ilmu yang menjadi peta kita dalam menyelesaikan kehidupan bangsa
yang demikian sulit. Universitasnya juga mengalami hal yang sama, tertular oleh
sebuah paradigma lama pada masa kerajaan yaitu hanya membangun gedung-gedung
yang tinggi berlantai lima, enam atau tujuh untuk para birokrasi kampus dan
mengesampingkan hal-hal yang substansif untuk kecerdasan mahasiswanya seperti
gedung perpustakaan yang bisa menarik banyak orang untuk bergumul dengan
bacaan-bacaan mereka.
Sekali lagi, pada
akhirnya, kita tentu menyadari bahwa di alam ini tak bisa menyediakan semua apa
yang kita butuhkan. Kehidupan memang tak seindah kereta api yang melaju diatas
relnya dengan mulus. Kehidupan tak seindah seperti mereka-mereka yang terlanjur
berkehidupan yang mentereng dan termasyur. Jika di Kota ini tak bisa
menyediakan banyak ruang yang bisa menempaku, mungkin di kota-kota lain akan
ada. Namun di sini dengan keterbatasan ini, ada ruang yang sederhana untuk mengembangkan
dan mengumpulkan ide-ide dan catatanku yang sederhana yaitu di blogku ini. Kita
hanya butuh menyesuaikan seperti hidup bunglon yang pandai menyesuaikan di
setiap lingkungan yang dia kunjungi dengan berubah-ubah warnah.
Saya teringat tulisan Pramoedya Ananta Toer dalam Buku Jejak Langka yang mengambarkan tentang nenek moyang Jepang yang tangguh. Kata pepatah nenek moyang Jepang: “Tak ada satria lahir, tumbuh perkasa tanpa ujian”.
Saya teringat tulisan Pramoedya Ananta Toer dalam Buku Jejak Langka yang mengambarkan tentang nenek moyang Jepang yang tangguh. Kata pepatah nenek moyang Jepang: “Tak ada satria lahir, tumbuh perkasa tanpa ujian”.
Jika kita ingin menjadi satria, kita harus tahan segala bentuk ujian apapun. Buatku semua ini mungkin hanya ujian—ujian
di Kota yang kosmopolit….
Laode
Halaidin
Kendari,
1 Januari 2016
0 komentar:
Posting Komentar