Ilustrasi dari: rimaauliaalkhonsa.blogspot.com |
BEBERAPA hari ini saya sering nongkrong
di kantin Fakultas Ekonomi dan Bisnis Univeristas Halu Oleo. Tempatnya lumayan
rapi, namun sering juga kepanasan di dalamnya. Pengunjungnya juga cukup lumayan
banyak. Yang selalu mendominasi pengunjung dari pengamatan saya jurusan
Manajemen dan Akuntansi. Anak-anak mahasiswa ilmu ekonomi jurusan saya, sangat
jarang sekali masuk ke kantin ekonomi, mungkin karena punya kantin kecil juga,
namanya kantin pembangunan.
Setiap saya memasuki kantin ekonomi,
saya merasakan ke-tidaknyamanan dalam diri. Banyak orang-orang yang berpakayan rapi
dan sepertinya anak-anak pejabat atau pengusaha di kota Kendari. Sedangkan penampilan
saya sangat urakan dan sama sekali tak memperhatikan penampilan. Wanita-wanita
cantik juga sering wara-wiri di dekat saya. Bau parfumnya dari dekat tercium
bukan parfum yang biasa, mungkin itu berharga ratusan ribu rupiah. Itulah yang
menandakan bahwa mereka anak-anak orang kaya, anak-anak pejabat. Sungguh tidak
nyamannya diri ini, jika terus berdekatan. Saya memilih tempat duduk paling
ujung sambil mengeluarkan buku dan menikmati makanan di depanku.
Fakultas ekonomi memang menjadi idaman kaum
pria untuk berkelana atau bahasa kasarnya yang mereka pakai berburu untuk mencari
wanita-wanita cantik. Kata sahabat itu, mahasiswi di ekonomi sangat
cantik-cantik, mungkin sengaja di kumpulkan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Mendengar
celoteh sahabat itu saya hanya mengiyakan. Namun saya mengatakan, mahasiswi
Kedokteran juga tidak kalah, mereka juga cantik-cantik kok. Sahabat itu kembali
memotong bahasa saya, iya tapi mereka kaya-kaya, gak akan mau sama orang-orang
seperti kita. Saya tertawa terkekeh-kekeh, lalu mengatakan bro pake mantra, puisi
Sapardi Joko Damono pasti bisa. Kemudian sahabat itu hanya tersenyum.
***
Kemarin saya memasuki kembali kantin
ekonomi. Capek cari pembimbing untuk menanyakan hasil penelitianku, saya
memutuskan untuk duduk nyantai di kantin ekonomi sambil menikmati minuman dinginku.
Di kantin itu saya hanya bercengkrama dengan notebookku membuka
perkembangan-perkembangan internasional, sambil melihat sekelilingku. Saya melihat
hiruk-pikuknya suda lain lagi. Ribut karena perempuan-perempuan dari Manajemen
dan Akuntasi suda keluar ruangan dan langsung memenuhi kantin yang agak kecil
itu. Pengap alias panas karena banyaknya pengunjung, ditambah lagi kipas angin
tidak berputar karena mati lampu.
Namun saya cukup menikmatinya. Ribut dan
pengap itu saya mengisinya dengan membuat catatan-catatan di notebookku. Sesekali
saya menoleh ke wanita-wanita cantik yang baru semester-semesteran baru itu.
Di tempat duduk itu saya sendirian. Sambil
menyibukan mata melihat mobil dosen pembimbing apakah suda datang atau belum. Ditengah
dua kegiatan itu, tiba-tiba seorang wanita cantik duduk didepanku. Saya hanya
diam dan lebih fokus dengan notebookku. Begitulah saya yang pendiam, saya tidak
akan menegur jika tidak ditegur. Apalagi orang tersebut belum saya kenal. Namun
ketika orang-orang suda mulai berdatangan kembali, wanita cantik itu kemudian
menegur. Kita anak ekstensi? Tegurnya dengan penuh keragu-raguan. Saya anak regular,
jawabku. Kemudian wanita cantik itu kembali bertanya, anak Magister di sini? Bukan,
saya anak S1. Kemudian kita bercerita panjang lebar mengenai perkuliahan,
kampung halaman dan kesukaan atau hobi. Disitulah kedekatan terjalin.
Perempuan itu namanya Nindi, asli Toraja.
Orangnya ramah dan sangat sopan santun. Ketika memperkenakkan dirinya, katanya sekarang
suda beragama islam. Pikirku, mungkin dulu namanya bukan Nindi dan setelah
pindah agama baru namanya diganti. Dia juga pencinta buku-buku dan paling suka
kopi asli, terutama kopi yang ada dikampungnya kopi toraja. Menurut saya itulah
kriteria wanita cantik. Ketika kami bercerita dia selalu menceritakan keadaan
kampungnya yang juga sangat miskin. Katanya dikampung toraja ada perkebunan
kopi milik Soeharto ber-hektar-hektar yang sampai hari ini masih dikelolah. Masyarakat
tak bisa memiliki lahan itu karena sejak zaman orde baru berkuasa, Soeharto
sebagai pemilik lahan-lahan tersebut.
Dugaan saya, mungkin perkebunan tersebut
sejak orde lama milik perusahaan Belanda, yang kemudian di nasionalisasi setelah
orde baru berkuasa. Disitulah perpindahan tangan terjadi, yang kemudian menjadi
milik atas nama Soeharto. Ketika wanita cantik itu bercerita saya hanya menganggup
dan tidak banyak mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan karena memang saya belum
mendengar cerita-cerita itu. Saya hanya menanyakan apa-apa kegiatan pertanian
mereka.
Saya cukup terkesan dengan idealismenya.
Meskipun mahasiswi ekonomi dia tidak pernah bercerita tentang bisnis
sebagaimana yang dipelajari di ruangan kuliah. Atau sebagaimana teman-temannya
bercerita tentang bisnis, kemewahan dan kekayaan. Dia punya kepedulian dan juga
kepekaan akan perubahan sosial. Baginya kuliah dan semua mata kuliah yang kita
pelajari di kampus hanya proses kita dan yang menentukan adalah kehidupan
diluar. Seberapa besar sih kita bisa menjalani medan kehidupan yang begitu
sulit dan selalu bisa menghadirkan tawa dan senyum di lingkungan masyarakat
sosial kita, katanya. Saya hanya terdiam dan menjadi pendengar yang baik,
mendengarkan penjelasannya yang ber-api-api itu.
Ketika saya menanyakan bagaimana dengan
perkebunan kopi tersebut. Perempuan itu mengatakan bahwa dia akan
memperjuangkannya agar perkebunan itu menjadi hak milik masyarakat di Toraja. Karena
dia meyakini bahwa tanah tersebut milik masyarakat adat yang kemudian dirampas
oleh Belanda untuk dijadikan perkebunan kopi. Ia, semangatnya memang semakin
menyalah bagai bara api yang terus dipancing dengan minyak tanah, apinya makin
membubul tinggi.
Baginya keadilan harus ditegakan. Bagaimana
akan tercipta suatu kesejahteraan jika masyarakat jelata terus terkungkung
dalam kehidupan yang penuh dengan ketidakadilan. Hak-hak mereka dirampas sejak
orde baru dan sampai sekarang masih milik penguasa orde baru itu. Di saat
sekarang ini seharusnya perkebunan kopi tersebut dikembalikan untuk kemudian
dikelola oleh masyarakat setempat. Ini yang harus saya perjuangkan, katanya.
Tak terasa percakapan itu hampir dua jam
dan waktu menunjukan pukul 15.30. Dia ingin pamit pulang. Ketika mau berdiri dia
melihat keluar dan melihat wanita cantik seperti orang Korea. Lalu sejenak ia mengatakan,
wwaaahhh…..itu perempuan cantik, kulitnya sangat bersih pasti menjadi dambaan
pria-pria, katanya. Saya hanya tersenyum lalu mengatakan cantik itu relatif. Bagi
saya cantik itu bukan hanya diukur dari penampilan, berkulit putih bersih tapi
kecerdasan dan keleluasan pengetahuan, kataku. Dia mengeluarkan senyum manisnya
bagai kembang bunga yang menantikan sinar rembulan pada kegelapan malamnya. Pikirku,
kamulah wanita yang ter-cantik disini bukan mereka-mereka yang hanya mengandalkan
gaya dengan kemewahannya.
Lalu dia mengangkat tasnya dan pamit
pulang. Saya balik duluan ya, saya senang berkenalan denganmu. Semoga kita
bertemu kembali. Saya hanya menganggup dan mengatakan ia, terimah kasih karena
kamu telah menemani saya di sini. Saya juga senang berkenalan denganmu.
Setelah dia menghilang dari pandanganku,
saya memikirkan ucapannya, semoga kita bertemu kembali. Pikirku, mungkinkah kita
akan bertemu kembali atau hanya hari ini. Entalah….
Nanti sang waktu yang akan mempertemukan
kita dan berdiskusi banyak tentang persoalan di bangsa ini.
Laode
Halaidin
Kendari,
1 Maret 2016
0 komentar:
Posting Komentar