01 Maret 2016

Mahasiswi Ekonomi, Cantik dan Idealis

Ilustrasi dari: rimaauliaalkhonsa.blogspot.com


BEBERAPA hari ini saya sering nongkrong di kantin Fakultas Ekonomi dan Bisnis Univeristas Halu Oleo. Tempatnya lumayan rapi, namun sering juga kepanasan di dalamnya. Pengunjungnya juga cukup lumayan banyak. Yang selalu mendominasi pengunjung dari pengamatan saya jurusan Manajemen dan Akuntansi. Anak-anak mahasiswa ilmu ekonomi jurusan saya, sangat jarang sekali masuk ke kantin ekonomi, mungkin karena punya kantin kecil juga, namanya kantin pembangunan.
Setiap saya memasuki kantin ekonomi, saya merasakan ke-tidaknyamanan dalam diri. Banyak orang-orang yang berpakayan rapi dan sepertinya anak-anak pejabat atau pengusaha di kota Kendari. Sedangkan penampilan saya sangat urakan dan sama sekali tak memperhatikan penampilan. Wanita-wanita cantik juga sering wara-wiri di dekat saya. Bau parfumnya dari dekat tercium bukan parfum yang biasa, mungkin itu berharga ratusan ribu rupiah. Itulah yang menandakan bahwa mereka anak-anak orang kaya, anak-anak pejabat. Sungguh tidak nyamannya diri ini, jika terus berdekatan. Saya memilih tempat duduk paling ujung sambil mengeluarkan buku dan menikmati makanan di depanku.
Fakultas ekonomi memang menjadi idaman kaum pria untuk berkelana atau bahasa kasarnya yang mereka pakai berburu untuk mencari wanita-wanita cantik. Kata sahabat itu, mahasiswi di ekonomi sangat cantik-cantik, mungkin sengaja di kumpulkan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Mendengar celoteh sahabat itu saya hanya mengiyakan. Namun saya mengatakan, mahasiswi Kedokteran juga tidak kalah, mereka juga cantik-cantik kok. Sahabat itu kembali memotong bahasa saya, iya tapi mereka kaya-kaya, gak akan mau sama orang-orang seperti kita. Saya tertawa terkekeh-kekeh, lalu mengatakan bro pake mantra, puisi Sapardi Joko Damono pasti bisa. Kemudian sahabat itu hanya tersenyum.
***
Kemarin saya memasuki kembali kantin ekonomi. Capek cari pembimbing untuk menanyakan hasil penelitianku, saya memutuskan untuk duduk nyantai di kantin ekonomi sambil menikmati minuman dinginku. Di kantin itu saya hanya bercengkrama dengan notebookku membuka perkembangan-perkembangan internasional, sambil melihat sekelilingku. Saya melihat hiruk-pikuknya suda lain lagi. Ribut karena perempuan-perempuan dari Manajemen dan Akuntasi suda keluar ruangan dan langsung memenuhi kantin yang agak kecil itu. Pengap alias panas karena banyaknya pengunjung, ditambah lagi kipas angin tidak berputar karena mati lampu.
Namun saya cukup menikmatinya. Ribut dan pengap itu saya mengisinya dengan membuat catatan-catatan di notebookku. Sesekali saya menoleh ke wanita-wanita cantik yang baru semester-semesteran baru itu.
Di tempat duduk itu saya sendirian. Sambil menyibukan mata melihat mobil dosen pembimbing apakah suda datang atau belum. Ditengah dua kegiatan itu, tiba-tiba seorang wanita cantik duduk didepanku. Saya hanya diam dan lebih fokus dengan notebookku. Begitulah saya yang pendiam, saya tidak akan menegur jika tidak ditegur. Apalagi orang tersebut belum saya kenal. Namun ketika orang-orang suda mulai berdatangan kembali, wanita cantik itu kemudian menegur. Kita anak ekstensi? Tegurnya dengan penuh keragu-raguan. Saya anak regular, jawabku. Kemudian wanita cantik itu kembali bertanya, anak Magister di sini? Bukan, saya anak S1. Kemudian kita bercerita panjang lebar mengenai perkuliahan, kampung halaman dan kesukaan atau hobi. Disitulah kedekatan terjalin.
Perempuan itu namanya Nindi, asli Toraja. Orangnya ramah dan sangat sopan santun. Ketika memperkenakkan dirinya, katanya sekarang suda beragama islam. Pikirku, mungkin dulu namanya bukan Nindi dan setelah pindah agama baru namanya diganti. Dia juga pencinta buku-buku dan paling suka kopi asli, terutama kopi yang ada dikampungnya kopi toraja. Menurut saya itulah kriteria wanita cantik. Ketika kami bercerita dia selalu menceritakan keadaan kampungnya yang juga sangat miskin. Katanya dikampung toraja ada perkebunan kopi milik Soeharto ber-hektar-hektar yang sampai hari ini masih dikelolah. Masyarakat tak bisa memiliki lahan itu karena sejak zaman orde baru berkuasa, Soeharto sebagai pemilik lahan-lahan tersebut.
Dugaan saya, mungkin perkebunan tersebut sejak orde lama milik perusahaan Belanda, yang kemudian di nasionalisasi setelah orde baru berkuasa. Disitulah perpindahan tangan terjadi, yang kemudian menjadi milik atas nama Soeharto. Ketika wanita cantik itu bercerita saya hanya menganggup dan tidak banyak mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan karena memang saya belum mendengar cerita-cerita itu. Saya hanya menanyakan apa-apa kegiatan pertanian mereka.
Saya cukup terkesan dengan idealismenya. Meskipun mahasiswi ekonomi dia tidak pernah bercerita tentang bisnis sebagaimana yang dipelajari di ruangan kuliah. Atau sebagaimana teman-temannya bercerita tentang bisnis, kemewahan dan kekayaan. Dia punya kepedulian dan juga kepekaan akan perubahan sosial. Baginya kuliah dan semua mata kuliah yang kita pelajari di kampus hanya proses kita dan yang menentukan adalah kehidupan diluar. Seberapa besar sih kita bisa menjalani medan kehidupan yang begitu sulit dan selalu bisa menghadirkan tawa dan senyum di lingkungan masyarakat sosial kita, katanya. Saya hanya terdiam dan menjadi pendengar yang baik, mendengarkan penjelasannya yang ber-api-api itu.
Ketika saya menanyakan bagaimana dengan perkebunan kopi tersebut. Perempuan itu mengatakan bahwa dia akan memperjuangkannya agar perkebunan itu menjadi hak milik masyarakat di Toraja. Karena dia meyakini bahwa tanah tersebut milik masyarakat adat yang kemudian dirampas oleh Belanda untuk dijadikan perkebunan kopi. Ia, semangatnya memang semakin menyalah bagai bara api yang terus dipancing dengan minyak tanah, apinya makin membubul tinggi.
Baginya keadilan harus ditegakan. Bagaimana akan tercipta suatu kesejahteraan jika masyarakat jelata terus terkungkung dalam kehidupan yang penuh dengan ketidakadilan. Hak-hak mereka dirampas sejak orde baru dan sampai sekarang masih milik penguasa orde baru itu. Di saat sekarang ini seharusnya perkebunan kopi tersebut dikembalikan untuk kemudian dikelola oleh masyarakat setempat. Ini yang harus saya perjuangkan, katanya.
Tak terasa percakapan itu hampir dua jam dan waktu menunjukan pukul 15.30. Dia ingin pamit pulang. Ketika mau berdiri dia melihat keluar dan melihat wanita cantik seperti orang Korea. Lalu sejenak ia mengatakan, wwaaahhh…..itu perempuan cantik, kulitnya sangat bersih pasti menjadi dambaan pria-pria, katanya. Saya hanya tersenyum lalu mengatakan cantik itu relatif. Bagi saya cantik itu bukan hanya diukur dari penampilan, berkulit putih bersih tapi kecerdasan dan keleluasan pengetahuan, kataku. Dia mengeluarkan senyum manisnya bagai kembang bunga yang menantikan sinar rembulan pada kegelapan malamnya. Pikirku, kamulah wanita yang ter-cantik disini bukan mereka-mereka yang hanya mengandalkan gaya dengan kemewahannya.
Lalu dia mengangkat tasnya dan pamit pulang. Saya balik duluan ya, saya senang berkenalan denganmu. Semoga kita bertemu kembali. Saya hanya menganggup dan mengatakan ia, terimah kasih karena kamu telah menemani saya di sini. Saya juga senang berkenalan denganmu.
Setelah dia menghilang dari pandanganku, saya memikirkan ucapannya, semoga kita bertemu kembali. Pikirku, mungkinkah kita akan bertemu kembali atau hanya hari ini. Entalah….
Nanti sang waktu yang akan mempertemukan kita dan berdiskusi banyak tentang persoalan di bangsa ini.

                                                                                                Laode Halaidin
                                                                                                Kendari, 1 Maret 2016

0 komentar:

Posting Komentar