25 Maret 2016

Inikah Kehidupan…

Foto Laode Halaidin
Beginikah kehidupan. Rasanya saya merasa frustasi dengan kehidupan ini. Saya tidak mengalami masaalah apa-apa atau tidak bermasaalah dengan siapa. Saya pun tidak merasa ada kegagalan dalam kehidupanku. Yang saya rasa adalah perih. Ada sesuatu yang memasuki kehidupanku sehingga  merasa perih, yang seringkali seperti menusuk-nusuk jantung ini.
Di abad ke 21 ini, kata orang-orang banyak peluang yang tersedia, tinggal bagaimana kita memanfaatkannya. Masih kata orang-orang juga, zaman sekarang ini banyak pekerjaan yang dapat kita masuki, tinggal seberapa besar kemauan kita untuk itu.
Kata-kata orang ini, memang tidak salah. Banyak pekerjaan yang tersedia, namun kita sebagai manusia mempunyai pilihan-pilihan yang berbeda. Ada orang-orang yang memilih bekerja demi kenyamanannya, dengan memilih PNS. Ada yang memilih bekerja di sebuah PT dan ingin bergaji besar dan ada juga yang memilih bekerja dengan membangun bisnisnya sendiri. Tentu semua ini adalah pilihan dari individualitas kolektif seseorang. Lalu di manakah pilihanku……
***
Saya adalah orang yang memilih untuk sibuk bekerja. Namun bukan bekerja yang orientasinya demi kekayaan tapi sebuah karya. Saya ingin bekerja untuk menemukan kebebasan. Yaitu kebebasan untuk melahirkan sebuah pemikiran yang kemudian ikut menggerakan sebuah perubahan sosial di masyarakat. Itulah cita-cita dan harapan terbesarku. Ketika menjadi seseorang yang berguna bagi masyarakat bangsa di negara ini.
Namun, apakah semua itu akan muda tercapai? Saya selalu optimis disetiap langkah dan lengkungan kehidupanku. Saya selalu optimis dengan kepribadianku yang selalu ingin banyak belajar, bahwa semua itu akan membawa suatu keberhasilan. Namun ada saja yang menjalari sel-sel kehidupan ini, yang seringkali membuat saya terhenti tentang sesuatu cita-cita yang besar itu. Yaitu sesuatu yang materialistik, finansial, dukungan uang atau modal untuk bisa melanjutkan pendidikan ke-jenjang yang lebih tinggi. Saya tak mempunyai itu semua.
Dalam benak ini, selalu saja memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang menghujam, tentang detak-detik kemana nasib ini akan berlabuh. Apakah saya akan berhenti saja tentang harapan dan mimpi-mimpi tersebut dan memilih kehidupan yang kebanyakan orang-orang yang ingin memiliki hidup dengan nyaman seperti PNS atau bekerja di sebuah PT. Inilah yang membuat dilemah tentang kehidupanku. Pikiran itu seolah-olah seperti menggerogoti motivasi hidup yang suda ke-sekian lama ku rawat. Kemanakah saya akan melayarkan hidupku?
***
Masa depan memang abu-abu. Kita tak bisa menembusinya dengan logika dan pemikiran yang rasional. Masa depan memang sebuah kehidupan yang tak terjalankan, namun di depan ia akan nyata dan akan terjalani. Waktulah yang akan menuntun kita ke sana. Sebuah peradaban yang akan teramat sulit, penuh dengan persaingan dan mungkin juga pengasingan.
Namun, satu hal yang kadang membuatku kini selalu optimis. Yaitu sebuah pekerjaan yang ku sukai seperti tulis menulis. Saya sangat menyukai pekerjaan ini, meskipun tidak berorientasi kekayaan yang besar. Karena memang arah dan tujuan hidup saya bukan demikian. Saya hanya ingin mengabdikan hidup ini untuk sebuah perubahan sosial, mengukungkan diri pada peradaban pemikiran, bekerja dengan dunia dalam tulis menulis. Hanya pikiran inilah yang ku tuntun saat ini. Dan pilihan saya saat ini, ingin bekerja sebagai jurnalistik atau menjadi wartawan di salah satu media. Semoga saja dengan pekerjaan ini kedepannya bisa memenuhi sebuah cita-cita yang besar itu.
Hal yang mengherankan abad yang ke 21 ini adalah ketika mereka punya kemampuan dengan dukungan finansial untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, namun mereka tidak mempunyai kemauan untuk itu. Sementara banyak orang yang mengebuh-ngebuh kemauannya untuk melanjtukan pendidikan itu, tapi tak ada akomodasi modal untuk menuntunnya kesana. Inilah fakta dan realitas hari ini. Inilah kehidupan hari ini, bagi orang-orang yang tak mampu, merupakan suatu kepahitan hidup.
***
Saya tak menyesali hidup pada zaman ini. Saya merasa bangga karena banyaknya tantangan hidup. Namun jika diberi pilihan, untuk memilih kehidupan zaman ini dengan kehidupan di zaman Soe Hok Gie, berangkali saya akan memilih hidup di zaman Soe Hok Gie.
Jika saja Soe Hok Gie hidup pada abad ke 21 ini, mungkin dia tidak akan pernah geram dan akan selalu kritis dengan kehidupan sekarang. Gie akan menertawakan politisi-politisi, pejabat-pejabat dan para birokrat sekarang yang korup, yang seringkali mempermainkan uang-uang negara. Gie akan mengejek para akademisi yang sibuk dengan proyek, mencari resume hanya untuk menaikan pangkat dan jabatan mereka di universitas. Namun, Gie juga bisa melakukan sesuatu yang dia inginkan, melawan kekuasaan dengan pemikiran dan tulisan-tulisan kritisnya.
Satu alasan mengapa saya ingin memilih hidup di zaman Soe Hok Gie, meskipun pada saat itu kehidupan serba sulit dan banyaknya derita yang dialami oleh masyarakat yaitu banyaknya pergulatan pemikiran-pemikiran dalam menuntun bangsa ini untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dan saat ini tak banyak pemikir-pemikir yang progresif, untuk memikirkan nasib anak-anak bangsa yang melarat. Kehidupan saat ini suda dipenuhi oleh materialistik. Hampir semua manusia Indonesia seperti politisi, pejabat pusat dan daerah, birokrasi dan para akademisi berlomba-lomba hanya untuk mencari kemewahan dan mengabaikan status mereka sebagai insan perubahan bagi masayarakat bangsa di negeri ini.
***
Inikah kehidupan di abad ke 21 ini. Hidup yang penuh dengan luka-liku dan hanya manusia-manusia yang orang tuanya mempunyai jabatanlah yang bisa berbaik nasib. Mereka bisa melakukan apapun, membeli jabatan dan pangkat di birokrasi. Atau bermain politik dan kongkalingkong proyek dengan menggunakan kendaraan ke-menterengan dan kemashyuran orang tuanya.
Inikah kehidupan. Yang semakin berganti hari, bulan, tahun dan abad, semakin melumat nasib-nasib masyarakat kecil di negeri ini. Inikah kehidupan yang penuh dengan kongkalingkong, ketidakadilan yang diciptakan oleh para pemegang atau juru kunci negeri ini.
Dan orang-orang yang tanpa itu, kemanakah akan membawa kehidupannya. Melabuhkan pada nasib yang baik kah atau yang buruk. Saya yakin mereka lagi menatap mimpi dan cita-cita itu untuk merebutnya dalam genggamannya. Saya yakin mereka saat ini tengah berusaha, meskipun mereka mengakui tak ada kehadiran pemerintah dan juga Tuhan di dalamnya. Bagi mereka Tuhan dan juga pemerintah mungkin suda mati. Mereka ingin berjalan dengan keheningan dan kesenyapan itu.
Ohhh….Inikah kehidupan……….
                                                                                                            Laode Halaidin
                                                                                                            Kendari 25 Maret 2016

0 komentar:

Posting Komentar