Ilsutrasi dari: celahkotanews.com
|
Saya menuliskan catatan ini penuh dengan
pertimbangan, dan tangan ini sangat berat untuk menuliskannya. Yang saya
pertimbangkan, karena pada saat ini zaman suda berubah yang seharusnya harus menggunakan
serba teknologi dan tak perlu menancapkan pena ini pada secarik kertas. Dan
tangan ini berat karena saya bukan siapa-siapa untuk menuliskan catatan
sederhana ini. Namun dengan keputusan dan kebesaran hati saya, saya mencoba
memberanikan diri untuk menyusun kata-kata ini, meskipun mungkin itu sangat
beresiko buatku.
Terima kasih, telah menghadirkan senyum
di hari Kamis itu di BPS. Senyuman menandakan suatu penerimaan, kepada setiap
insan bersama dengan orang-orang yang ada di sekitar kita. Senyuman menandakan
ke-ramah-tamahan seseoarang bersama dengan orang-orang dilingkungannya, tak ada
pembeda disitu, semua sama dan semua satu, sebagai manusia yang hidup dibawah
matahari. Orang yang memberikan senyum pertanda bahwa mereka mengakui serta
menghargai akan keberadaan seseorang. Itulah yang ku maknai
atas dirimu, wahai sang pujaan. Ketulusan dan keikhlasan yang terpampang di
raut muka polosmu.
Saya ingin mengatakan sepata-kata ini; bagimu,
mungkin senyuman itu tak berarti atau hanya bentuk penghargaanmu atas
senioritas. Namun, ia bagiku lain. Ia adalah lentera hidup dan jika bisa saya
sebut sebagai suatu cahaya yang hidup—yang dapat mengantarkan jejak langka kaki ini pada
kehidupan yang lebih optimis. Hidupku tak menentu sang pujaan, hidupku
terombang-ambing oleh keadaan yang tak menentu, yang sering kali hadir
menaburkan sianida dalam benak ini. Saya butuh penawar untuk itu, yang dapat
menyembuhkan goresan sayatan hidup yang tak menentu ini. Dan pilihan itu jatuh
kepada engaku wahai sang pujaan.
Saya menuliskan catatan sederhana ini
sebagai bentuk penghargaanku. Karena dalam hidupku yang hitam, penuh abu-abu
atau boleh dibilang saya mengarungi hidup yang penuh dengan ke-tidak-jelasan,
masih mendapatkan seonggok senyum dari wanita seperti engkau, meskipun kita belum
begitu saling mengenal. Mungkin engkau tak butuh perkenalan itu. Saya pun
demikian. Biarlah sang waktu yang akan memperkenalkan kita, dan saya tidak akan
berkeberatan. Di ufuk barat mauapun di ufuk timur, jika sang waktu telah
menentukan, saya akan menyambutnya dengan sesuka hati ini.
Dengan ini, saya ingin memberikan hadiah
yang sederhana, namun akan terus hidup. Saya memberikan sebuah buku fiksi
sebagai ucapan terima kasihku, yang penulisnya saya kagumi karena kepiawaianya
dalam berimajinasi untuk menulis. Buku tersebut adalah Intelejensi Embun Pagi
karya Dee Lestari. Saya sangat senang membaca buku-buku fiksi. Karena bagiku, buku
fiksi itu merupakan sebuah karya yang hidup—yang terus mengalirkan dirinya tanpa ada kepenatan
didalamnya. Buku fiksi mengajak kita untuk terus menjelajah, bercengkrama dalam
dunia yang tidak nyata namun sesungguhnya ia hidup dan ada pada kenyataan.
Seperti halnya juga senyuman, sesungguhnya
ia tidak hidup namun ia nyata dan ada pada kehidupan. Sesuatu hal yang jauh berbeda,
namun pada dasarnya persamaanya itu ada—sama-sama berada dalam
lingkungan sosial kita.
Itulah
yang membawah ke-optimisan saya dalam mengarungi hidup. Betapa pun kita
kehilangan, betapa pun kesulitan itu ada, namun disekeliling kita hari ini ada
yang peduli untuk menghadirkan senyum seperti halnya bunga-bunga yang
menebarkan wewangian semerbaknya di alam semesta. Bunga-bunga itu tak perlu
menunggu instruksi dari manusia, jika kelopak bunga mereka suda mulai mekar
dengan kucupnya yang begitu menggoda, bunga-bunga itu akan segera menebarkan
senyumannya kepada setiap insan yang melihatnya. Begitulah halnya seperti
engkau. Terima kasih atas senyum itu.
Senyum
itu adalah harapan. Harapan bahwa disana ada penerimaan. Bukan selamanya sebagai
kekasih, namun penerimaan sebagai manusia.
Catatan
ini tidak sempat, kusampaikan pada seseorang karena semangat itu telah
terpatahkan. Entah apa, saya tidak tau. Namun saya selalu punya keraguan diri,
keraguan karena diri ini bukan apa dan siapa-siapa.
Semoga
saja dia dapat membacanya di blog ini.
Laode
Halaidin
0 komentar:
Posting Komentar