10 Maret 2016

Catatan Sederhana, Untuk Dia Yang Selalu Tersenyum

Ilsutrasi dari: celahkotanews.com
Saya menuliskan catatan ini penuh dengan pertimbangan, dan tangan ini sangat berat untuk menuliskannya. Yang saya pertimbangkan, karena pada saat ini zaman suda berubah yang seharusnya harus menggunakan serba teknologi dan tak perlu menancapkan pena ini pada secarik kertas. Dan tangan ini berat karena saya bukan siapa-siapa untuk menuliskan catatan sederhana ini. Namun dengan keputusan dan kebesaran hati saya, saya mencoba memberanikan diri untuk menyusun kata-kata ini, meskipun mungkin itu sangat beresiko buatku.
Terima kasih, telah menghadirkan senyum di hari Kamis itu di BPS. Senyuman menandakan suatu penerimaan, kepada setiap insan bersama dengan orang-orang yang ada di sekitar kita. Senyuman menandakan ke-ramah-tamahan seseoarang bersama dengan orang-orang dilingkungannya, tak ada pembeda disitu, semua sama dan semua satu, sebagai manusia yang hidup dibawah matahari. Orang yang memberikan senyum pertanda bahwa mereka mengakui serta menghargai akan keberadaan seseorang. Itulah yang ku maknai atas dirimu, wahai sang pujaan. Ketulusan dan keikhlasan yang terpampang di raut muka polosmu.
Saya ingin mengatakan sepata-kata ini; bagimu, mungkin senyuman itu tak berarti atau hanya bentuk penghargaanmu atas senioritas. Namun, ia bagiku lain. Ia adalah lentera hidup dan jika bisa saya sebut sebagai suatu cahaya yang hidupyang dapat mengantarkan jejak langka kaki ini pada kehidupan yang lebih optimis. Hidupku tak menentu sang pujaan, hidupku terombang-ambing oleh keadaan yang tak menentu, yang sering kali hadir menaburkan sianida dalam benak ini. Saya butuh penawar untuk itu, yang dapat menyembuhkan goresan sayatan hidup yang tak menentu ini. Dan pilihan itu jatuh kepada engaku wahai sang pujaan.
Saya menuliskan catatan sederhana ini sebagai bentuk penghargaanku. Karena dalam hidupku yang hitam, penuh abu-abu atau boleh dibilang saya mengarungi hidup yang penuh dengan ke-tidak-jelasan, masih mendapatkan seonggok senyum dari wanita seperti engkau, meskipun kita belum begitu saling mengenal. Mungkin engkau tak butuh perkenalan itu. Saya pun demikian. Biarlah sang waktu yang akan memperkenalkan kita, dan saya tidak akan berkeberatan. Di ufuk barat mauapun di ufuk timur, jika sang waktu telah menentukan, saya akan menyambutnya dengan sesuka hati ini.
Dengan ini, saya ingin memberikan hadiah yang sederhana, namun akan terus hidup. Saya memberikan sebuah buku fiksi sebagai ucapan terima kasihku, yang penulisnya saya kagumi karena kepiawaianya dalam berimajinasi untuk menulis. Buku tersebut adalah Intelejensi Embun Pagi karya Dee Lestari. Saya sangat senang membaca buku-buku fiksi. Karena bagiku, buku fiksi itu merupakan sebuah karya yang hidup—yang terus mengalirkan dirinya tanpa ada kepenatan didalamnya. Buku fiksi mengajak kita untuk terus menjelajah, bercengkrama dalam dunia yang tidak nyata namun sesungguhnya ia hidup dan ada pada kenyataan.
Seperti halnya juga senyuman, sesungguhnya ia tidak hidup namun ia nyata dan ada pada kehidupan. Sesuatu hal yang jauh berbeda, namun pada dasarnya persamaanya itu ada—sama-sama berada dalam lingkungan sosial kita.
Itulah yang membawah ke-optimisan saya dalam mengarungi hidup. Betapa pun kita kehilangan, betapa pun kesulitan itu ada, namun disekeliling kita hari ini ada yang peduli untuk menghadirkan senyum seperti halnya bunga-bunga yang menebarkan wewangian semerbaknya di alam semesta. Bunga-bunga itu tak perlu menunggu instruksi dari manusia, jika kelopak bunga mereka suda mulai mekar dengan kucupnya yang begitu menggoda, bunga-bunga itu akan segera menebarkan senyumannya kepada setiap insan yang melihatnya. Begitulah halnya seperti engkau. Terima kasih atas senyum itu.
Senyum itu adalah harapan. Harapan bahwa disana ada penerimaan. Bukan selamanya sebagai kekasih, namun penerimaan sebagai manusia.
Catatan ini tidak sempat, kusampaikan pada seseorang karena semangat itu telah terpatahkan. Entah apa, saya tidak tau. Namun saya selalu punya keraguan diri, keraguan karena diri ini bukan apa dan siapa-siapa.
Semoga saja dia dapat membacanya di blog ini.

                                                                                                Laode Halaidin

0 komentar:

Posting Komentar