19 Maret 2016

Diskusi Ekonomi Bersama Abdul Rahman Farisi

Sumber Gambar dari: Yuliana Ana

Ketika setiap daerah ingin mendaki sebuah tebing yang tinggi, masaalah yang paling menantang untuk membutuhkan penyelesaian adalah masaalah ekonomi. Ini dikarenakan, masaalah ekonomi selalu berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup komunitas di dalam suatu daerah tertentu. Masaalah ekonomi memang membutuhkan suatu perhatian yang lebih serius. Karena ibarat tubuh, ekonomi adalah denyut nadi dalam suatu peradaban masyarakat. Jika masaalah ekonomi tak bisa teratasi dengan baik, pembangunan tak bisa jalan, pengangguran akan memenuhi sudut-sudut daerah dan kota, kejahatan akan terstruktur dan masif, maka daerah pun bisa angkat kaki dan terancam bubar, bahkan negara yang besar ini pun, juga akan terancam bubar.
Dengan hal itu, masaalah-masaalah ekonomi selalu membutuhkan perhatian dan pemikiran yang solutif, yang selalu memihak pada kesejahteraan masyarakat bangsa, bukan pemikiran dengan paradigma kapitalis-liberalistik yang selalu memihak pada investoris untuk membangun kerajaan bisnisnya di setiap daerah. Bisa saja daerah mengizinkan para investor masuk, namun dengan satu hal yaitu demi terwujudnya kemandirian dan kesejahteraan masyarakat bangsa di daerah ini.
***
Diruangan kecil kedai, Kopkit (Kopi Kita) itu terlihat sangat biasa-biasa saja. Peserta diskusi kebanyakan dari para mahasiswa, akademisi, dari pihak Kendari kreatif, para jurnalis lokal dan lain sebagainya. Pertama mendapat panggilan sahabat, saya suda sangat tertarik, ngopi bareng dan diskusi, begitulah kata sahabat itu. Saya selalu mengambil pelajaran dari setiap diskusi yang saya ikuti. Ini juga mungkin karena saya sangat menyukai ilmu pengetahuan sosial ekonomi-politik. Inilah yang menaruh minat saya, sehingga membuat saya terus mengikuti setiap perkembangan sosial ekonomi-politik di suatu daerah.
Pemateri itu adalah Abdul Rahman Farisi. Saya sering mengikuti diskusi-diskusi yang diselenggarakan Abdul Rahman Farisi, terutama Fokus Diskusion Group (FGD), mari ke Sultra 1 sampai dengan 3, diskusi yang diselenggarakan bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tempat bekerjanya saat ini sebagai Staf Ahli. Sebagai orang yang bekerja dilembaga pemerintah pusat, tentu ia telah banyak pengalaman yang diperolehnya, terutama mengenai penyusunan kebijakan dan keuangan, karena beberapa tahun lalu ia sebagai staf Ahli DPR Republik Indonesia.
Ketika ia akan memulai berbicara, ia selalu menyediakan data-data statistik, termasuk pada hari diskusi itu. Sebagai seorang analisis ekonomi, mungkin wajar saja data dijadikan sebagai ukuran atau sebagai acuan pencapaian kerja dalam suatu daerah. Pada diskusi itu, ia mencoba membandingkan indikator antara Sulawesi Tenggara dan Indonesia, mengenai kesejahteraan, kemiskinan, pertumbuhan sektor-sektor ekonomi, tenaga kerja dan lain sebagainya.
Memang menarik perhatian, jika seorang ekonom berbicara dan tampil didepan. Seorang ekonom akan dengan muda memaparkan dengan data-data statistiknya, lalu kemudian mencoba menganalisis indikator-indikator kesejahteraan dan kemiskinan dalam suatu daerah. Ia memulai pemaparannya dengan bentuk pertanyaan, suda sampai dimana perkembangan daerah Sulawesi Tenggara saat ini. Ini memang pertanyaan penting, untuk kemudian mengajak kita melihat, menilai dan mengukur kinerja kepala daerah, dalam hal ini Gubernur saat ini dengan dukungan data-data statistiknya.
Dalam diskusi tersebut, yang mengundang perhatian saya adalah presentase kemiskinan Sulawesi Tenggara yang masih tinggi jika dibandingkan dengan nasional. Artinya masyarakat Sulawesi Tenggara masih lebih banyak berada dalam kungkungan kemiskinan daripada presentase secara nasional. Data tersebut menggambarkan bahwa Sulawesi Tenggara masih tergolong tertinggal jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain yang ada di Indonesia.
Hal lain juga, yang ia paparkan adalah mengenai pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tenggara. Dari data tersebut terlihat memang, pertumbuhan ekonomi Sultra tinggi, namun jika dibandingkan dengan presentase kemiskinan di Sultra juga sangat tinggi dan laju penurunan kemiskinannya sangat melambat. Hal ini kata Abdul Rahman Farisis, apa yang dicapai Sultra hari ini dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut sangat problematik. Di sisi lain pertumbuhan ekonomi tinggi namun presentase kemiskinan Sultra masih tinggi dan laju penurunan kemiskinan melambat. Hal lain yang ia paparkan ialah bahwa pertumbuhan ekonomi Sultra sama sekali tidak berkelanjutan.
Data-data statistik seringkali, dijadikan pemerintah pusat maupun daerah sebagai senjata dalam melaporkan hasil pencapaian kerjanya, tak terkecuali di Sulawesi Tenggara. Ada laporan yang membuatku sangat skeptis, ketika pemerintah daerah Sulawesi Tenggara melaporkan hasil capian itu yang sangat baik dan mengatakannya lagi sangat baik. Pencapian itu seolah-olah hasil pencapaian kerja mereka, namun pada kenyataannya masyarakat berjuang mati-matian untuk bekerja dalam memenuhi penghidupannya yang kadang tanpa sentuhan dan program pemerintah daerah Sulawesi Tenggara.
Di sektor pertanian misalnya, bisa saja masyarakat banyak berkecimpung di sektor ini dan berhasil. Namun apakah hal tersebut menggambarkan prestasi dari pemerintah daerah setempat. Saya kira tidak. Dari hasil diskusi saya dengan masyarakat petani di Sulawesi Tenggara, bahwa mereka seringkali tidak mendapatkan apa-apa dari pemerintah daerah. Mereka berhasil di sektor ini bukan karena sentuhan program dan bantuan dari pemerintah daerah setempat.
Kami bekerja dan berhasil atas kerja keras sendiri, buktinya tidak ada alat-alat moderen untuk menggarap lahan pertanian kami atau alat-alat yang bisa memproduksi hasil panen dari bantuan pemerintah daerah, kata petani itu. Petani itu melanjutkan, awalnya sebenarnya kami bertani hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, tidak sanggup menanam berhektar-hektar lahan dengan cara manual. Karena desakan kebutuhan dan anak sedang melanjutkan sekolah, mau tidak mau kami harus bekerja keras untuk mendapatkan penghasilan, meskipun sama sekali tidak mendapatkan perhatian dan bantuan pemerintah daerah.
Seperti Abdul Rahman Farisi katakan, bahwa pemerintah daerah seringkali menganggap bahwa kesejahteraan di sektor pertanian tidak menjanjikan dan oleh karena itu pemerintah daerah seringkali tidak terlalu serius memperhatikan atau mengabaikan masyarakat yang bekerja di sektor ini. Lebih lanjut Abdul Rahman Farisi mengatakan bahwa pemerintah daerah kurang antusias terhadap perbaikan nasib para petani.
***
Dalam acara diskusi itu, saya mencoba membuka berita-berita di Sultra. Ada artikel yang menarik perhatian saya, bahwa Gubernur saat ini sangat diapresiasi di pemerintahann pusat karena keberhasilannya membangun infrastruktur dengan pinjaman dari pemerintah pusat melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP) Kementrian Keuangan, yang kemudian peran lembaga tersebut digantikan PT Sarana Multi Infrastruktur. Total utang pinjaman itu terhitung sekitar 400 miliar, terhitung dari pinjaman pembangunan Rumah Sakit Umum Provinsi (RSUP) Sultra yang sebesar 190 miliar, ditambah lagi dengan pinjaman untuk infrastruktur jalan sebesar 310 miliar. Aneh saja jika di pusat di apresiasi, sementara masyarakat di daerah berjalan dalam lumpur yang pekat karena tidak adanya jalan dan aspal. Juga keadaan rumah sakit, menurut saya tidak amat-amat baik juga. Dan masyarakat hari ini diperhadapkan dengan utang yang menggunungyang sampai hari ini belum terlunasi.
Ia, inilah fakta dan realitas daerah hari ini. Kadang pemerintah daerah menjunjung tinggi akan kesejahteraan masyarakat, tetapi sesungguhnya telinga mereka tuli dan mata mereka tertutup ketiduran. Saya teringat ucapan Abdul Rahman Farisi dalam diskusi tersebut, bahwa pemerintah daerah yang tidak bekerja, sesungguhnya ia tidur. Mereka berbicara demi kesejahteraan masyarakat, tetapi sesungguhnya pikiran mereka adalah demi perolehan keuntungan. Tak salah jika Karl Polanyi mengatakan bahwa selain terhadap tenaga kerja, tanah dan utang, bentuk komoditas dan logika pertukaran dapat diperluas ke ranah-ranah dalam kehidupan sosial. Inilah bentuk neoliberalisme ketika ranah politik, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, ilmu pengetahuan, dan aktivitas lainnya di organisasi dalam logika untung-rugi tanpa memperhitungkan takaran biaya-manfaat di luar pemahaman ekonomi.
***
Dalam kesempatan diskusi tersebut, Abdul Rahman Farisi menekankan bahwa ia mempunyai keinginan untuk bertarung dalam pemilihan Gubernur nanti. Ia mengatakan, seorang calon Gubernur harus menjanjikan sesuatu yang terukur, jelas dan harus menjanjikan sesuatu yang mungkin. Inilah yang melatarbelakangi dirinya sebagai seorang analisis ekonomi, bahwa segala sesuatu harus terukur, termasuk kepemihakan dan pemberian kebijakan kepada rakyat kecil.
Inilah gambaran yang saya dapat dari sosok Abdul Rahman Farisi ketika ia memilih untuk terjun berpolitik. Ketika ide dan gagasan itu ada, maka tak ada satu pun cara untuk mewujudkannya, selain untuk memperebutkan kekuasaan itu. Bukan bentuk kekuasaan simbolik semata, namun kekuasaan dengan bentuk keperpihakan nyata kepada rakyat kecil. Baginya mungkin politik itu merupakan pengejewantahan ide dan gagasan untuk rakyat dan bentuk perjuangan untuk kepentingan orang banyak, bukan sebaliknya membangun relasi untuk kemudian memperluas jaringan bisnis seperti kebanyakan pejabat yang ada di Indonesia.
Semoga saja ia tetap konsisten dengan idealismenya itu.

                                                                                                            Kendari, 19 Maret 2016
                                                                                                            Laode Halaidin

0 komentar:

Posting Komentar