Sumber Gambar dari: Yuliana Ana |
Ketika setiap daerah ingin mendaki sebuah
tebing yang tinggi, masaalah yang paling menantang untuk membutuhkan
penyelesaian adalah masaalah ekonomi. Ini dikarenakan, masaalah ekonomi selalu
berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup komunitas di dalam suatu daerah
tertentu. Masaalah ekonomi memang membutuhkan suatu perhatian yang lebih
serius. Karena ibarat tubuh, ekonomi adalah denyut nadi dalam suatu peradaban
masyarakat. Jika masaalah ekonomi tak bisa teratasi dengan baik, pembangunan
tak bisa jalan, pengangguran akan memenuhi sudut-sudut daerah dan kota,
kejahatan akan terstruktur dan masif, maka daerah pun bisa angkat kaki dan terancam
bubar, bahkan negara yang besar ini pun, juga akan terancam bubar.
Dengan hal itu, masaalah-masaalah ekonomi
selalu membutuhkan perhatian dan pemikiran yang solutif, yang selalu memihak
pada kesejahteraan masyarakat bangsa, bukan pemikiran dengan paradigma kapitalis-liberalistik
yang selalu memihak pada investoris untuk membangun kerajaan bisnisnya di setiap
daerah. Bisa saja daerah mengizinkan para investor masuk, namun dengan satu hal
yaitu demi terwujudnya kemandirian dan kesejahteraan masyarakat bangsa di
daerah ini.
***
Diruangan kecil kedai, Kopkit (Kopi
Kita) itu terlihat sangat biasa-biasa saja. Peserta diskusi kebanyakan dari
para mahasiswa, akademisi, dari pihak Kendari kreatif, para jurnalis lokal dan
lain sebagainya. Pertama mendapat panggilan sahabat, saya suda sangat tertarik,
ngopi bareng dan diskusi, begitulah kata sahabat itu. Saya selalu mengambil
pelajaran dari setiap diskusi yang saya ikuti. Ini juga mungkin karena saya
sangat menyukai ilmu pengetahuan sosial ekonomi-politik. Inilah yang menaruh
minat saya, sehingga membuat saya terus mengikuti setiap perkembangan sosial ekonomi-politik
di suatu daerah.
Pemateri itu adalah Abdul Rahman Farisi.
Saya sering mengikuti diskusi-diskusi yang diselenggarakan Abdul Rahman Farisi,
terutama Fokus Diskusion Group (FGD), mari ke Sultra 1 sampai dengan 3, diskusi
yang diselenggarakan bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tempat bekerjanya
saat ini sebagai Staf Ahli. Sebagai orang yang bekerja dilembaga pemerintah pusat,
tentu ia telah banyak pengalaman yang diperolehnya, terutama mengenai
penyusunan kebijakan dan keuangan, karena beberapa tahun lalu ia sebagai staf
Ahli DPR Republik Indonesia.
Ketika ia akan memulai berbicara, ia
selalu menyediakan data-data statistik, termasuk pada hari diskusi itu. Sebagai
seorang analisis ekonomi, mungkin wajar saja data dijadikan sebagai ukuran atau
sebagai acuan pencapaian kerja dalam suatu daerah. Pada diskusi itu, ia mencoba
membandingkan indikator antara Sulawesi Tenggara dan Indonesia, mengenai kesejahteraan,
kemiskinan, pertumbuhan sektor-sektor ekonomi, tenaga kerja dan lain
sebagainya.
Memang menarik perhatian, jika seorang
ekonom berbicara dan tampil didepan. Seorang ekonom akan dengan muda memaparkan
dengan data-data statistiknya, lalu kemudian mencoba menganalisis indikator-indikator
kesejahteraan dan kemiskinan dalam suatu daerah. Ia memulai pemaparannya dengan
bentuk pertanyaan, suda sampai dimana perkembangan daerah Sulawesi Tenggara
saat ini. Ini memang pertanyaan penting, untuk kemudian mengajak kita melihat,
menilai dan mengukur kinerja kepala daerah, dalam hal ini Gubernur saat ini dengan
dukungan data-data statistiknya.
Dalam diskusi tersebut, yang mengundang
perhatian saya adalah presentase kemiskinan Sulawesi Tenggara yang masih tinggi
jika dibandingkan dengan nasional. Artinya masyarakat Sulawesi Tenggara masih
lebih banyak berada dalam kungkungan kemiskinan daripada presentase secara
nasional. Data tersebut menggambarkan bahwa Sulawesi Tenggara masih tergolong
tertinggal jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain yang ada di Indonesia.
Hal lain juga, yang ia paparkan adalah
mengenai pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tenggara. Dari data tersebut terlihat
memang, pertumbuhan ekonomi Sultra tinggi, namun jika dibandingkan dengan
presentase kemiskinan di Sultra juga sangat tinggi dan laju penurunan
kemiskinannya sangat melambat. Hal ini kata Abdul Rahman Farisis, apa yang
dicapai Sultra hari ini dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut sangat
problematik. Di sisi lain pertumbuhan ekonomi tinggi namun presentase
kemiskinan Sultra masih tinggi dan laju penurunan kemiskinan melambat. Hal lain
yang ia paparkan ialah bahwa pertumbuhan ekonomi Sultra sama sekali tidak
berkelanjutan.
Data-data statistik seringkali, dijadikan
pemerintah pusat maupun daerah sebagai senjata dalam melaporkan hasil
pencapaian kerjanya, tak terkecuali di Sulawesi Tenggara. Ada laporan yang
membuatku sangat skeptis, ketika pemerintah daerah Sulawesi Tenggara melaporkan
hasil capian itu yang sangat baik dan mengatakannya lagi sangat baik. Pencapian
itu seolah-olah hasil pencapaian kerja mereka, namun pada kenyataannya masyarakat
berjuang mati-matian untuk bekerja dalam memenuhi penghidupannya yang kadang
tanpa sentuhan dan program pemerintah daerah Sulawesi Tenggara.
Di sektor pertanian misalnya, bisa saja
masyarakat banyak berkecimpung di sektor ini dan berhasil. Namun apakah hal
tersebut menggambarkan prestasi dari pemerintah daerah setempat. Saya kira
tidak. Dari hasil diskusi saya dengan masyarakat petani di Sulawesi Tenggara,
bahwa mereka seringkali tidak mendapatkan apa-apa dari pemerintah daerah. Mereka
berhasil di sektor ini bukan karena sentuhan program dan bantuan dari
pemerintah daerah setempat.
Kami bekerja dan berhasil atas kerja
keras sendiri, buktinya tidak ada alat-alat moderen untuk menggarap lahan
pertanian kami atau alat-alat yang bisa memproduksi hasil panen dari bantuan
pemerintah daerah, kata petani itu. Petani itu melanjutkan, awalnya sebenarnya
kami bertani hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, tidak sanggup menanam
berhektar-hektar lahan dengan cara manual. Karena desakan kebutuhan dan anak
sedang melanjutkan sekolah, mau tidak mau kami harus bekerja keras untuk
mendapatkan penghasilan, meskipun sama sekali tidak mendapatkan perhatian dan
bantuan pemerintah daerah.
Seperti Abdul Rahman Farisi katakan,
bahwa pemerintah daerah seringkali menganggap bahwa kesejahteraan di sektor
pertanian tidak menjanjikan dan oleh karena itu pemerintah daerah seringkali
tidak terlalu serius memperhatikan atau mengabaikan masyarakat yang bekerja di
sektor ini. Lebih lanjut Abdul Rahman Farisi mengatakan bahwa pemerintah daerah
kurang antusias terhadap perbaikan nasib para petani.
***
Dalam acara diskusi itu, saya mencoba
membuka berita-berita di Sultra. Ada artikel yang menarik perhatian saya, bahwa
Gubernur saat ini sangat diapresiasi di pemerintahann pusat karena
keberhasilannya membangun infrastruktur dengan pinjaman dari pemerintah pusat
melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP) Kementrian Keuangan, yang kemudian peran
lembaga tersebut digantikan PT Sarana Multi Infrastruktur. Total utang pinjaman
itu terhitung sekitar 400 miliar, terhitung dari pinjaman pembangunan Rumah
Sakit Umum Provinsi (RSUP) Sultra yang sebesar 190 miliar, ditambah lagi dengan
pinjaman untuk infrastruktur jalan sebesar 310 miliar. Aneh saja jika di pusat
di apresiasi, sementara masyarakat di daerah berjalan dalam lumpur yang pekat
karena tidak adanya jalan dan aspal. Juga keadaan rumah sakit, menurut saya tidak
amat-amat baik juga. Dan masyarakat hari ini diperhadapkan dengan utang yang
menggunung—yang sampai hari
ini belum terlunasi.
Ia, inilah fakta dan realitas daerah hari
ini. Kadang pemerintah daerah menjunjung tinggi akan kesejahteraan masyarakat, tetapi
sesungguhnya telinga mereka tuli dan mata mereka tertutup ketiduran. Saya
teringat ucapan Abdul Rahman Farisi dalam diskusi tersebut, bahwa pemerintah
daerah yang tidak bekerja, sesungguhnya ia tidur. Mereka berbicara demi
kesejahteraan masyarakat, tetapi sesungguhnya pikiran mereka adalah demi
perolehan keuntungan. Tak salah jika Karl Polanyi mengatakan bahwa selain
terhadap tenaga kerja, tanah dan utang, bentuk komoditas dan logika pertukaran
dapat diperluas ke ranah-ranah dalam kehidupan sosial. Inilah bentuk
neoliberalisme ketika ranah politik, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, ilmu
pengetahuan, dan aktivitas lainnya di organisasi dalam logika untung-rugi tanpa
memperhitungkan takaran biaya-manfaat di luar pemahaman ekonomi.
***
Dalam kesempatan diskusi tersebut, Abdul
Rahman Farisi menekankan bahwa ia mempunyai keinginan untuk bertarung dalam
pemilihan Gubernur nanti. Ia mengatakan, seorang calon Gubernur harus
menjanjikan sesuatu yang terukur, jelas dan harus menjanjikan sesuatu yang
mungkin. Inilah yang melatarbelakangi dirinya sebagai seorang analisis ekonomi,
bahwa segala sesuatu harus terukur, termasuk kepemihakan dan pemberian
kebijakan kepada rakyat kecil.
Inilah gambaran yang saya dapat dari
sosok Abdul Rahman Farisi ketika ia memilih untuk terjun berpolitik. Ketika ide
dan gagasan itu ada, maka tak ada satu pun cara untuk mewujudkannya, selain
untuk memperebutkan kekuasaan itu. Bukan bentuk kekuasaan simbolik semata,
namun kekuasaan dengan bentuk keperpihakan nyata kepada rakyat kecil. Baginya
mungkin politik itu merupakan pengejewantahan ide dan gagasan untuk rakyat dan
bentuk perjuangan untuk kepentingan orang banyak, bukan sebaliknya membangun
relasi untuk kemudian memperluas jaringan bisnis seperti kebanyakan pejabat
yang ada di Indonesia.
Semoga saja ia tetap konsisten dengan
idealismenya itu.
Kendari,
19 Maret 2016
Laode
Halaidin
0 komentar:
Posting Komentar