20 Juni 2016

Perempuan Malam Yang Bersedekah

Ilustrasi: wisatanda.blogspot.com

JIKA dunia adalah tempat berbuat khilaf, maka hidup adalah perjuangan, sesering apapun orang mencibir bahwa apa yang diilakukannya adalah salah dan dosa. Persoalan baik dan buruk hanya merupakan sebuah omongan dan pendapat bagi orang-orang yang tidak pernah bergelut dan mengalami kehidupannya. Dan ia mengalaminya sendiri, tak memandang apakah yang dilakukakannya adalah perbuatan yang baik ataupun buruk. Ia bukan seorang moralis yang dapat berbicara tentang dosa, masuk surga atau dirinya akan masuk neraka. Ia percaya bahwa dosa itu ada, namun ia tak tahu dimana. Begitupun surga atau neraka. Apakah ia akan dimasukan di surga atau neraka dan ia juga tak tahu tentang itu. Ia hanya  tahu bahwa apa yang dilakukannya adalah benar, mengandung kebenaran.
Masalah ekonomi rumah tangga, kekerasan, perselingkuhan, yang berujung pada perceraian merupakan bagian dari epifenomena yang terangkai, kemudian terbentuk menjadi satu fenomena dalam lingkungan sosial kita. Dari fenomena tersebut maka tercetaklah manusia yang dinamakan single parents, manusia yang hidup sendiri, mengatur keluarga sendiri dan menafkahi diri sendiri. Mandiri namun tanpa pendamping, atau seorang suami.
Lalu terkadang, kehidupan single parents menjadi sangat susah; membiayai kehidupan keluarga kecilnya, mencari sebuah pekerjaan atau menyekolahkan anak-anaknya. Nama yang melekat padanya juga kadang menjadi citra yang tidak baik dan menjadi momok orang-orang sekitar. Namun hidup adalah sebuah gerakan, dan ia merupakan antistatis. Gerakan itu ditandai dengan mencari kehidupan, untuk menafkahi atau mencukupi kebutuhan keluarga dengan sebuah pekerjaan. Namun, kadang dunia juga tak seindah seperti yang kita bayangkan. Dunia tak selalu menyediakan atau memenuhi apa yang kita inginkan.
Namun pekerjaan apapun itu, ia tetap menjalaninya demi sebuah tanggungjawab. Tak peduli salah atau dosa. Ia takut kepada neraka yang penuh dengan siksaan itu, tapi itu persoalan akhirat dan di dunia ia punya tanggungjawab. Tanggungjawab baginya adalah sesuatu hal yang paling substansi dalam hidup. Dan ia mempunyai tanggungjawab untuk menghidupi anak kecilnya.
***
Perempuan itu namanya Gita (bukan nama yang sebenarnya). Ia seorang perempuan yang dilahirkan dengan didikan anak-anak kota. Kehidupan remajanya tergolong seperti anak-anak kelas menengah. Pergaulan bebas, pesta, jalan-jalan dan foya-foya telah mengisi kehidupan remajanya. Bahkan pendidikannya pun ia tidak perhatikan. Ia hanya tamatan di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan di Kota Kendari, lalu menikah karena telah mengandung seorang anak. Namun tak lama setelah pernikahan dan melahirkan, ia bercerai dengan sang suami. Itupun ia tak menceritkannya. Katanya, itu rahasia saya.
Saya mengenalnya suda cukup lama, disala satu pondok teman pada Juli tahun lalu. Kami awalnya tidak terlalu akrab, meskipun di pondok teman saya sering berkunjunng dan bermalam. Namun secara perlahan-lahan dan dimulai dari acara seorang sahabat, ia mulai mendekat bergabung denganku dan sesekali menuangkan bir. Ditengah keriuhan itu, ia mengisap sebatang rokok sambil mengeluarkan candaan dan godaan dengan bibir yang menggoda. Namun saya memilih untuk tidak tertarik dengannya.
Di pondok sahabat itu, saya mulai tertarik untuk melihat kehidupan malamnya. Seperti apakah gerangan aktivitas yang dilakukan dalam kesehariannya? Ia mempunyai aktivitas seperti peremupuan malam kebanyakan. Di malam hari ia mulai berdandan modis dengan memilih pakaian-pakaian minim yang menampakan keseksiannya, bibir yang merah merona, bau parfum yang sangat menyengat dan sesekali jika aku melihatnya ia menguraikan rambutnya yang hitam. Menggoda, pikirku.
Siang hari, ia hanya menghabiskan waktunya dipondokan merawat anak kecilnya yang tengah berumur sekitar setahun lebih itu.
***
Pernah suatu kali ia berdandan sangat cantik. Malam itu menunjukan pukul 12 malam lewat ketika saya tengah menulis. Gita memakai pakaian yang seksi dan montok, roknya diatas lutut, busung dadanya yang kembar itu seperti mau copot dan sesekali saya menahan napas. Ia datang dikamar menyapaku saat hendak mau pergi.
Lagi ngapain? Tanya Gita.
Saya lagi ada kerjaan nih. Mau membantu? Tanyaku. Sontak saya terhenti, kemudian memperhatikannya. Lalu sekejap saya memberikannya pujian. Kamu cantik sekali malam ini. Mau kemana? Tanyaku.
Ia hanya tersenyum, lalu mengatakan sepatah kata sebelum pergi.
Ia, saya ada job, katanya. Biasa, saya malam-malam cari laki-laki.
Suara klason mobil suda terdengar dari kejauhan di jalanan sana, pertanda bahwa laki-lakinya telah datang untuk menjemputnya. Saya kemudian tersenyum, lalu ia meminta izin untuk pergi dan kemudian menghilang dari pandangan saya.
Itulah kehidupan Gita setiap malam. Bahkan jika tidak ada job, dia akan miras dipondokan. Kadang ia stres dengan nasibnya, katanya, saya lagi stres ini, dan sesekali ia mengajakku untuk minum, mari kita minum, katanya. Saya tidak mengiyakan, namun tetap bercerita dengannya, mendengarkan keluh-kesahnya pada hidup.
***
Kehidupannya memang suram, terlihat kotor, tidak baik dan kata orang-orang yang paham agama atau baru belajar agama, kehidupannya penuh dosa. Namun bisakah kita menghakimi bahwa apa yang dilakukannya adalah perbuatan salah. Mungkin itu hanya akan menjadi celoteh bagi orang yang suka bergosip, yang tidak mempunyai kepekaan terhadap keadaan orang lain. Bagiku ia adalah malaikat yang dengan gigih memperjuangkan untuk sebuah kehidupan keluarga kecilnya. Ia telah memperjuangkan sesuatu yang benar, demi sebuah tanggungjawab kepada anak kecilnya yang telah dilahirkan dari rahimnya.
Bisakah kita menjauhi dan membenci orang-orang seperti Gita? Bagiku tak ada alasan untuk membenci orang-orang seperti Gita. Gita adalah setitik embun pelajaran dari kehidupan sosial kita, bahwa sesulit apapun yang dialaminya, ia tetap bekerja keras. Ia memilih tidak bergantung sama siapapun untuk mmengurusi anak kecilnya, termasuk kepada mantan suaminya. Ia memilih mandiri dengan bekerja, meskipun itu sebagai ladys nigth. Ia seorang yang perkasa dan tahan banting ditengah sulitnya kehidupan.
Yang membuat saya tersentuh adalah dia orang yang suka berbagi. Saya terdiam ketika bertemu dan dengan gembiranya mengatakan bahwa ia dari panti asuhan. Malam itu ia menutupi rambutnya dengan jilbab. Namun ia bukan berhijab.
Apa yang kamu lakukan disana? Tanya saya sambil terheran-heran.
Kami habis bersedekah disana, memberikan bantuan kepada mereka seadanya. Apa tidak boleh orang-orang seperti kami di bulan ramadhan ini berbuat baik kepada sesama? Ia bertanya.
Saya kembali terdiam, bukan tidak mau menjawab pertanyaannya, namun pikiran ini tengah membayangkan diri ini, apakah saya telah berbuat baik kepada orang-orang yang membutuhkan itu? Apakah saya adalah orang yang bersih dan tanpa dosa? Namun saya bukan orang yang taat yang selalu menjalankan perintahnya dan saya tidak tau apa itu dosa. Mengapa saya tidak ikut membantu orang-orang yang membutuhkan itu? Pikiran-pikiran ini terus menghantui setiap saya bertemu dengan Gita. Dia telah membuatku banyak belajar dan mengoreksi diriku sendiri. Apa yang telah ku lakukan di dunia ini, pikirku.
Gita tidak pernah malu terhadap pekerjaanya sebagai ladys night. Meskipun begitu ia juga ingin mengambil bagian untuk berbuat baik terhadap sesama di bulan ramadhan ini. Ia tidak shalat, namun ia tetap menjalankan puasanya.
Bukan tidak boleh, siapa pun yang ingin berbagi kebaikan itu bisa, kataku. Saya tidak pernah membayangkan kamu berbuat baik seperti itu, sedangkan kamu sendiri sangat susah mencari kehidupanmu dan untuk anakmu.
Matanya berbinar-binar, dan sesekali ia tersenyum. Mungkin ia senang mendengar jawaban itu karena saya memujinya.
Malam ini kamu cantik, dengan memakai jilbab seperti itu, kataku.
Makasih kak, tapi bagi saya biasa aja, dia menjawab sambil tersipu malu.
***
Malam itu, Gita telah mengisi belantara hati ini yang telah lama kering-kerontang, lalu kemudian disuburkannya atas setiap tetesan-tetesan kecil yang diperbuatnya. Ia mengakui bahwa ia telah banyak melakukan dosa dan jika neraka adalah tempatnya maka ia siap. Namun ia selalu berprinsip baik, saya tengah memperjuangkan hidupku dan anakku, katanya. Lalu siapa yang akan membawaku kesana? Adilkah Tuhan demikian! Ia tengah berdialektika, selalu mempertanyakan keadilan hidupnya. Ia selalu menganggap bahwa ia benar.
Dulu saya hanya memandangnya biasa saja, tak lebih dan hanya seorang yang disibukan dengan pekerjaan malamnya. Kini ia adalah embun yang membasahi dahaga ini, yang telah lama mengering dihisap berbagai macam pencarian kebenaran. Ia seperti setitik api kecil, yang kemudian mencoba menyinari disetiap dasar hati manusia yang gelap, termasuk dasar hati ini.
Malam itu saya melihat keceriaannya, kebahagiaannya karena ia telah berhasil mengumpulkan uang beberapa juta bersama dengan para sahabatnya. Pengumpulan uang itu dilakukan dengan kegiatan bazar. Katanya, uang itu secepatnya akan diserahkan kepanti asuhan. Ia memang seorang pelacur, namun ia mengerti akan berbagi kepada sesama.
                                                                                  La Ode Halaidin
                                                                                  Kendari, 17 Juni 2016

2 komentar:

  1. semakin terasah gaya menulisnya...keren

    salam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih Kak, saya banyak belajar dari Kak Patta dan guru-guru lainnya....

      Hapus