Ilustrasi: wisatanda.blogspot.com |
JIKA dunia adalah tempat berbuat khilaf,
maka hidup adalah perjuangan, sesering apapun orang mencibir bahwa apa yang
diilakukannya adalah salah dan dosa. Persoalan baik dan buruk hanya merupakan
sebuah omongan dan pendapat bagi orang-orang yang tidak pernah bergelut dan
mengalami kehidupannya. Dan ia mengalaminya sendiri, tak memandang apakah yang
dilakukakannya adalah perbuatan yang baik ataupun buruk. Ia bukan seorang
moralis yang dapat berbicara tentang dosa, masuk surga atau dirinya akan masuk neraka.
Ia percaya bahwa dosa itu ada, namun ia tak tahu dimana. Begitupun surga atau
neraka. Apakah ia akan dimasukan di surga atau neraka dan ia juga tak tahu tentang
itu. Ia hanya tahu bahwa apa yang
dilakukannya adalah benar, mengandung kebenaran.
Masalah ekonomi rumah tangga, kekerasan,
perselingkuhan, yang berujung pada perceraian merupakan bagian dari epifenomena
yang terangkai, kemudian terbentuk menjadi satu fenomena dalam lingkungan sosial
kita. Dari fenomena tersebut maka tercetaklah manusia yang dinamakan single
parents, manusia yang hidup sendiri, mengatur keluarga sendiri dan menafkahi
diri sendiri. Mandiri namun tanpa pendamping, atau seorang suami.
Lalu terkadang, kehidupan single parents
menjadi sangat susah; membiayai kehidupan keluarga kecilnya, mencari sebuah
pekerjaan atau menyekolahkan anak-anaknya. Nama yang melekat padanya juga
kadang menjadi citra yang tidak baik dan menjadi momok orang-orang sekitar.
Namun hidup adalah sebuah gerakan, dan ia merupakan antistatis. Gerakan itu
ditandai dengan mencari kehidupan, untuk menafkahi atau mencukupi kebutuhan
keluarga dengan sebuah pekerjaan. Namun, kadang dunia juga tak seindah seperti
yang kita bayangkan. Dunia tak selalu menyediakan atau memenuhi apa yang kita
inginkan.
Namun pekerjaan apapun itu, ia tetap
menjalaninya demi sebuah tanggungjawab. Tak peduli salah atau dosa. Ia takut
kepada neraka yang penuh dengan siksaan itu, tapi itu persoalan akhirat dan di
dunia ia punya tanggungjawab. Tanggungjawab baginya adalah sesuatu hal yang
paling substansi dalam hidup. Dan ia mempunyai tanggungjawab untuk menghidupi
anak kecilnya.
***
Perempuan itu namanya Gita (bukan nama
yang sebenarnya). Ia seorang perempuan yang dilahirkan dengan didikan anak-anak
kota. Kehidupan remajanya tergolong seperti anak-anak kelas menengah. Pergaulan
bebas, pesta, jalan-jalan dan foya-foya telah mengisi kehidupan remajanya. Bahkan
pendidikannya pun ia tidak perhatikan. Ia hanya tamatan di salah satu Sekolah Menengah
Kejuruan di Kota Kendari, lalu menikah karena telah mengandung seorang anak.
Namun tak lama setelah pernikahan dan melahirkan, ia bercerai dengan sang
suami. Itupun ia tak menceritkannya. Katanya,
itu rahasia saya.
Saya mengenalnya suda cukup lama, disala
satu pondok teman pada Juli tahun lalu. Kami awalnya tidak terlalu akrab,
meskipun di pondok teman saya sering berkunjunng dan bermalam. Namun secara
perlahan-lahan dan dimulai dari acara seorang sahabat, ia mulai mendekat
bergabung denganku dan sesekali menuangkan bir. Ditengah keriuhan itu, ia
mengisap sebatang rokok sambil mengeluarkan candaan dan godaan dengan bibir
yang menggoda. Namun saya memilih untuk tidak tertarik dengannya.
Di pondok sahabat itu, saya mulai
tertarik untuk melihat kehidupan malamnya. Seperti apakah gerangan aktivitas
yang dilakukan dalam kesehariannya? Ia mempunyai aktivitas seperti peremupuan
malam kebanyakan. Di malam hari ia mulai berdandan modis dengan memilih
pakaian-pakaian minim yang menampakan keseksiannya, bibir yang merah merona,
bau parfum yang sangat menyengat dan sesekali jika aku melihatnya ia
menguraikan rambutnya yang hitam. Menggoda,
pikirku.
Siang hari, ia hanya menghabiskan
waktunya dipondokan merawat anak kecilnya yang tengah berumur sekitar setahun
lebih itu.
***
Pernah suatu kali ia berdandan sangat
cantik. Malam itu menunjukan pukul 12 malam lewat ketika saya tengah menulis.
Gita memakai pakaian yang seksi dan montok, roknya diatas lutut, busung dadanya
yang kembar itu seperti mau copot dan sesekali saya menahan napas. Ia datang
dikamar menyapaku saat hendak mau pergi.
Lagi
ngapain? Tanya Gita.
Saya
lagi ada kerjaan nih. Mau membantu? Tanyaku. Sontak saya
terhenti, kemudian memperhatikannya. Lalu sekejap saya memberikannya pujian. Kamu cantik sekali malam ini. Mau kemana? Tanyaku.
Ia hanya tersenyum, lalu mengatakan
sepatah kata sebelum pergi.
Ia,
saya ada job, katanya. Biasa, saya malam-malam cari laki-laki.
Suara klason mobil suda terdengar dari
kejauhan di jalanan sana, pertanda bahwa laki-lakinya telah datang untuk
menjemputnya. Saya kemudian tersenyum, lalu ia meminta izin untuk pergi dan
kemudian menghilang dari pandangan saya.
Itulah kehidupan Gita setiap malam.
Bahkan jika tidak ada job, dia akan miras dipondokan. Kadang ia stres dengan
nasibnya, katanya, saya lagi stres ini,
dan sesekali ia mengajakku untuk minum, mari
kita minum, katanya. Saya tidak mengiyakan, namun tetap bercerita
dengannya, mendengarkan keluh-kesahnya pada hidup.
***
Kehidupannya memang suram, terlihat
kotor, tidak baik dan kata orang-orang yang paham agama atau baru belajar agama,
kehidupannya penuh dosa. Namun bisakah kita menghakimi bahwa apa yang
dilakukannya adalah perbuatan salah. Mungkin itu hanya akan menjadi celoteh bagi
orang yang suka bergosip, yang tidak mempunyai kepekaan terhadap keadaan orang
lain. Bagiku ia adalah malaikat yang dengan gigih memperjuangkan untuk sebuah
kehidupan keluarga kecilnya. Ia telah memperjuangkan sesuatu yang benar, demi
sebuah tanggungjawab kepada anak kecilnya yang telah dilahirkan dari rahimnya.
Bisakah kita menjauhi dan membenci
orang-orang seperti Gita? Bagiku tak ada alasan untuk membenci orang-orang
seperti Gita. Gita adalah setitik embun pelajaran dari kehidupan sosial kita,
bahwa sesulit apapun yang dialaminya, ia tetap bekerja keras. Ia memilih tidak
bergantung sama siapapun untuk mmengurusi anak kecilnya, termasuk kepada mantan
suaminya. Ia memilih mandiri dengan bekerja, meskipun itu sebagai ladys nigth. Ia seorang yang perkasa dan
tahan banting ditengah sulitnya kehidupan.
Yang membuat saya tersentuh adalah dia
orang yang suka berbagi. Saya terdiam ketika bertemu dan dengan gembiranya
mengatakan bahwa ia dari panti asuhan. Malam itu ia menutupi rambutnya dengan
jilbab. Namun ia bukan berhijab.
Apa
yang kamu lakukan disana? Tanya saya
sambil terheran-heran.
Kami
habis bersedekah disana, memberikan bantuan kepada mereka seadanya. Apa tidak
boleh orang-orang seperti kami di bulan ramadhan ini berbuat baik kepada
sesama? Ia bertanya.
Saya kembali terdiam, bukan tidak mau
menjawab pertanyaannya, namun pikiran ini tengah membayangkan diri ini, apakah
saya telah berbuat baik kepada orang-orang yang membutuhkan itu? Apakah saya
adalah orang yang bersih dan tanpa dosa? Namun saya bukan orang yang taat yang
selalu menjalankan perintahnya dan saya tidak tau apa itu dosa. Mengapa saya
tidak ikut membantu orang-orang yang membutuhkan itu? Pikiran-pikiran ini terus
menghantui setiap saya bertemu dengan Gita. Dia telah membuatku banyak belajar
dan mengoreksi diriku sendiri. Apa yang telah ku lakukan di dunia ini, pikirku.
Gita tidak pernah malu terhadap
pekerjaanya sebagai ladys night.
Meskipun begitu ia juga ingin mengambil bagian untuk berbuat baik terhadap
sesama di bulan ramadhan ini. Ia tidak shalat, namun ia tetap menjalankan
puasanya.
Bukan
tidak boleh, siapa pun yang ingin berbagi kebaikan itu bisa, kataku. Saya
tidak pernah membayangkan kamu berbuat baik seperti itu, sedangkan kamu sendiri
sangat susah mencari kehidupanmu dan untuk anakmu.
Matanya berbinar-binar, dan sesekali ia
tersenyum. Mungkin ia senang mendengar jawaban itu karena saya memujinya.
Malam
ini kamu cantik, dengan memakai jilbab seperti itu, kataku.
Makasih
kak, tapi bagi saya biasa aja, dia
menjawab sambil tersipu malu.
***
Malam itu, Gita telah mengisi belantara
hati ini yang telah lama kering-kerontang, lalu kemudian disuburkannya atas
setiap tetesan-tetesan kecil yang diperbuatnya. Ia mengakui bahwa ia telah
banyak melakukan dosa dan jika neraka adalah tempatnya maka ia siap. Namun ia
selalu berprinsip baik, saya tengah memperjuangkan hidupku dan anakku, katanya.
Lalu siapa yang akan membawaku kesana? Adilkah Tuhan demikian! Ia tengah
berdialektika, selalu mempertanyakan keadilan hidupnya. Ia selalu menganggap
bahwa ia benar.
Dulu saya hanya memandangnya biasa saja,
tak lebih dan hanya seorang yang disibukan dengan pekerjaan malamnya. Kini ia
adalah embun yang membasahi dahaga ini, yang telah lama mengering dihisap berbagai
macam pencarian kebenaran. Ia seperti setitik api kecil, yang kemudian mencoba
menyinari disetiap dasar hati manusia yang gelap, termasuk dasar hati ini.
Malam itu saya melihat keceriaannya,
kebahagiaannya karena ia telah berhasil mengumpulkan uang beberapa juta bersama
dengan para sahabatnya. Pengumpulan uang itu dilakukan dengan kegiatan bazar.
Katanya, uang itu secepatnya akan diserahkan kepanti asuhan. Ia memang seorang
pelacur, namun ia mengerti akan berbagi kepada sesama.
La
Ode Halaidin
Kendari,
17 Juni 2016
semakin terasah gaya menulisnya...keren
BalasHapussalam
Makasih Kak, saya banyak belajar dari Kak Patta dan guru-guru lainnya....
Hapus