Laode Halaidin |
Tubuh kita selalu mempunyai batasan
untuk melakukan segala aktivitas, begitu pun pikiran. Di saat lelah kita bisa
saja berhenti berpikir untuk menyelesaikan pekerjaan itu. Kita menaruhnya
begitu saja, kita menelantarkannya begitu saja karena lelah yang tengah
menggerogoti.
Pikiran kita seolah-olah dihinggapi oleh kebuntuan, antara melanjutkan tetapi tidak bisa berpikir dan meninggalkannya
tapi harus dikerjakan dan diselesaikan.
Aah… saya teringat dengan pekerjaanku
hari ini, yang belum terselesaikan. Otaku kadang tak mampu berpikir karena
banyaknya hambatan, mungkin juga karena faktor kebodohanku dan ketidakmampuanku
menanggapi apa yang diajarakannya. Aku mandapatkan banyak kesulitan dalam
menyelesaikannya. Namun inilah awal-awal yang harus saya lewati, belajar banyak
hal dan memulai mengenali sebuah pekerjaan.
Berbeda dengan kebanyakan orang, kadang
saya tidak bisa berpikir menentu dalam menyelesaikan pekerjaan pada satu tempat.
Saya harus berpindah-pindah. Di tempat kerja, kadang hanya menghabiskan waktu
sekitar empat atau sampai lima jam, kemudian berpindah ke kamar teman dan
sahabat-sahabat lainnya. Kadang juga saya lakukan di coffe-coffe, rumah
keluarga dan pondok sepupu-sepupu. Di manapun jika situasi tenang dan hening,
saya sempatkan untuk membuka notebook, mengetik pekerjaan yang ingin ku
selesaikan.
Ini juga mungkin pengaruh karena saya
tak punya tempat tinggal tetap untuk menetap alias kamar, agar bisa fokus menyelesaikan
pekerjaan itu. Saya menginap dari kamar sahabat ke sahabat, dari kamar sepupu
ke sepupu lainnya dan juga kadang dari keluarga ke keluarga lain. Bahkan
seorang teman berkomentar, saya adalah orang yang kuat, yang tidak bisa tenang
pada satu tempat. Saya terus jalan dan berjalan menyusuri lorong-lorong
kehidupan demi sebuah pengetahuan, meskipun banyak kerikilk-kerikil menghadang.
Namun demikian, saya juga adalah orang yang begitu lemah dan kadang-kadang tak
berdaya dan rapuh ketika disisir oleh gelombang kehidupan yang begitu sengit
ini.
Buku-buku saya pun, kadang ada
dimana-mana, dimana tempat saya menginap, disitu jugalah saya menyimpan buku,
meskipun satu atau hanya dua buku. Aku seperti seorang petani kecil tradisional
yang nomaden, berpindah-pindah dalam menanam. Pada saat tanah itu tak subur dan
tidak bisa memberikan penghidupan dalam menyambungkan hidup keluarga, petani
kecil itu akan pindah, mencari tempat menanam lain yang lebih subur.
Aku pun demikian. Aku adalah petani
kecil dengan penuh kesederhanaan, bekerja dengan penuh keriangan demi sebuah
cita-cita. Meskipun hambatan-hambatan itu begitu banyak seperti badai yang
melingkupi diriku, yang sewaktu-waktu bisa saja akan goyah. Aku adalah pohon
lemah yang sewaktu-waktu akan keropos ketika diterjang badai keras, karena
keangkuhannya yang tak mengenal rasa kasihan itu. Aku adalah semuanya yang
lahir dari desa, yang jauh dari hiruk-pikuk dunia modern yang manusia-manusianya
individualis, disibukan dengan pekerjaan-pekerjaan mereka, demi sebuah
materialist.
Namun,
hari ini aku mulai menyadari bahwa kehidupan dan pekerjaan adalah sesuatu hal
yang tak pernah terpisahkan. Mereka saling kait-mengkait, demi sesuatu hal yang
lebih substansi dalam hidup, karir, keluarga dan yang lainnya.
Aku lelah, aku kadang lemah atas semua
ini, namun aku harus kuat. Aku harus seperti ombak yang menggulung dilautan,
dan menjadi seperti tombak yang rucing, lalu menerkam dunia yang penuh
tantangan dan kesulitan, aku harus menjadi karang yang kokoh dilautan, bukan
menjadi kapal karam yang lemah terhunus oleh gelombang keras ditengah lautan.
Aku harus menjadi semuanya, menjadi yang kuat, lalu menyadari dan memperbaiki
kelemahan-kelemahan itu. Aku lelah, namun
aku harus kuat.
Kendari, 6 Juni 2016
0 komentar:
Posting Komentar