05 Juni 2016

Aku Lelah, Namun Aku Harus Kuat

Laode Halaidin
Tubuh kita selalu mempunyai batasan untuk melakukan segala aktivitas, begitu pun pikiran. Di saat lelah kita bisa saja berhenti berpikir untuk menyelesaikan pekerjaan itu. Kita menaruhnya begitu saja, kita menelantarkannya begitu saja karena lelah yang tengah menggerogoti.
Pikiran kita seolah-olah dihinggapi oleh kebuntuan, antara melanjutkan tetapi tidak bisa berpikir dan meninggalkannya tapi harus dikerjakan dan diselesaikan.
Aah… saya teringat dengan pekerjaanku hari ini, yang belum terselesaikan. Otaku kadang tak mampu berpikir karena banyaknya hambatan, mungkin juga karena faktor kebodohanku dan ketidakmampuanku menanggapi apa yang diajarakannya. Aku mandapatkan banyak kesulitan dalam menyelesaikannya. Namun inilah awal-awal yang harus saya lewati, belajar banyak hal dan memulai mengenali sebuah pekerjaan.
Berbeda dengan kebanyakan orang, kadang saya tidak bisa berpikir menentu dalam menyelesaikan pekerjaan pada satu tempat. Saya harus berpindah-pindah. Di tempat kerja, kadang hanya menghabiskan waktu sekitar empat atau sampai lima jam, kemudian berpindah ke kamar teman dan sahabat-sahabat lainnya. Kadang juga saya lakukan di coffe-coffe, rumah keluarga dan pondok sepupu-sepupu. Di manapun jika situasi tenang dan hening, saya sempatkan untuk membuka notebook, mengetik pekerjaan yang ingin ku selesaikan.
Ini juga mungkin pengaruh karena saya tak punya tempat tinggal tetap untuk menetap alias kamar, agar bisa fokus menyelesaikan pekerjaan itu. Saya menginap dari kamar sahabat ke sahabat, dari kamar sepupu ke sepupu lainnya dan juga kadang dari keluarga ke keluarga lain. Bahkan seorang teman berkomentar, saya adalah orang yang kuat, yang tidak bisa tenang pada satu tempat. Saya terus jalan dan berjalan menyusuri lorong-lorong kehidupan demi sebuah pengetahuan, meskipun banyak kerikilk-kerikil menghadang. Namun demikian, saya juga adalah orang yang begitu lemah dan kadang-kadang tak berdaya dan rapuh ketika disisir oleh gelombang kehidupan yang begitu sengit ini.
Buku-buku saya pun, kadang ada dimana-mana, dimana tempat saya menginap, disitu jugalah saya menyimpan buku, meskipun satu atau hanya dua buku. Aku seperti seorang petani kecil tradisional yang nomaden, berpindah-pindah dalam menanam. Pada saat tanah itu tak subur dan tidak bisa memberikan penghidupan dalam menyambungkan hidup keluarga, petani kecil itu akan pindah, mencari tempat menanam lain yang lebih subur.
Aku pun demikian. Aku adalah petani kecil dengan penuh kesederhanaan, bekerja dengan penuh keriangan demi sebuah cita-cita. Meskipun hambatan-hambatan itu begitu banyak seperti badai yang melingkupi diriku, yang sewaktu-waktu bisa saja akan goyah. Aku adalah pohon lemah yang sewaktu-waktu akan keropos ketika diterjang badai keras, karena keangkuhannya yang tak mengenal rasa kasihan itu. Aku adalah semuanya yang lahir dari desa, yang jauh dari hiruk-pikuk dunia modern yang manusia-manusianya individualis, disibukan dengan pekerjaan-pekerjaan mereka, demi sebuah materialist.
Namun, hari ini aku mulai menyadari bahwa kehidupan dan pekerjaan adalah sesuatu hal yang tak pernah terpisahkan. Mereka saling kait-mengkait, demi sesuatu hal yang lebih substansi dalam hidup, karir, keluarga dan yang lainnya.
Aku lelah, aku kadang lemah atas semua ini, namun aku harus kuat. Aku harus seperti ombak yang menggulung dilautan, dan menjadi seperti tombak yang rucing, lalu menerkam dunia yang penuh tantangan dan kesulitan, aku harus menjadi karang yang kokoh dilautan, bukan menjadi kapal karam yang lemah terhunus oleh gelombang keras ditengah lautan. Aku harus menjadi semuanya, menjadi yang kuat, lalu menyadari dan memperbaiki kelemahan-kelemahan itu. Aku lelah, namun aku harus kuat.

                                                                                                                   Kendari, 6 Juni 2016

0 komentar:

Posting Komentar