15 Juni 2016

Kekuasaan Soeharto di Ambang Keruntuhan, Chaos Merajalela


Setiap penguasa memiliki nasib sejarah sendiri-sendiri. Penguasa adalah mereka yang berdiri diatas langit-langit kekuasaan, lalu kemudian menebarkan kebaikan dan mungkin juga keburukan untuk mempertahankan hegemoninya. Mereka yang berkuasa selalu mempunyai kehendak untuk mengatur, memerintah, mengendalikan, menciptakan dan mungkin juga menculik, membunuh atau menghilangkan yang lalu kemudian terus mengantarkan pada singasana kekuasaannya hingga berpuluh-puluh tahun. Penguasa bagai bak Dewa Hades yang dapat mengendalikan seisi bumi yang didalamnya terdapat manusia-manusia patuh atau taat, penyuruh, angkuh, penghianat pembangkang, penakut dan juga manusia-manusia baik, pemberani dan mau melawan.
 
Inilah kekuasaan, yang senantiasa di dalamnya membuahkan berbagai macam polemik. Polemik ketika penguasa menjadi diktator, yang lalu kemudian membungkam suara-suara minoritas untuk melawan menyuarahkan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Polemik, ketika penguasa memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan keluarga, partai, relasi bisnis (kaum-kaum borjuis) dan mungkin juga kolega-koleganya, sementara rakyat hidup dalam kungkungan kesengsaraan, kemelaratan dan kemiskinan. Polemik, ketika penguasa diktator diam dan tenang dalam keheningannya, lalu mengatakan bahwa keadaan bangsanya baik-baik saja, sementara di dalam masyarakat itu sendiri sedang terjadi chaos, pertumpahan darah, kematian dengan kepala manusia yang terpenggal di mana-mana. Dan berpolemik ketika penguasa mengatakan bahwa bangsanya tengah berderap menuju sebuah negara berkembang atau menjadi sebuah negara maju karena pembangunan ekonomi telah membaik, sementara tanpa menyadari bahwa sebenarnya kita telah berada dalam sebuah negara yang sudah di ambang kehancuran.
***
Di dalam masyarakat bangsa, kekuasaan begitu nyata dan misterius (meminjam istilah Daniel Dhakidae). Kekuasaan juga begitu manis bagi yang berkuasa dan begitu pahit bagi yang dikuasainya. Manis ketika yang berkuasa hidup dalam gelimang kemewahan, banyak pengikut setia yang selalu mendengar dan patuh, proyek dimanfaatkan untuk keluarga istana, anak-anak, menantu dan para pembantu-pembantunya, memperkaya kolega-kolega dan mempunyai hobi main golf dan memancing di lautan luas. Dan kekuasaan begitu pahit ketika yang dikuasainya menjadi penonton dalam setiap pertunjukan kemewahan keluarga istana, dibungkam dan tak bisa melawan dan bersuara atau berakhir di penjarah tanpa proses hukum, masyarakat hidup dalam kungkungan kemiskinan dan kemelaratan, kelaparan melanda seluruh negeri, kebohongan diputarbalikan menjadi fakta dan sebaliknya dan jika bersuara dan melawan diculik, dibunuh dan berakhir dalam pembuangan dengan alasan demi keamanan rakyat di bangsa ini.
Bukankah ini pemutarbalikan fakta bahwa sesungguhnya bukan untuk keamanan rakyat, namun demi keamanan kekuasaanya dan jajaran menteri-menterinya sendiri!
Namun dengan demikian, kekuasaan penguasa mempunyai batas waktu. Semakin banyak orang-orang yang dibungkam, dibunuh atau dihilangkan, semakin akut kemiskinan melanda negeri, semakin banyak bibit-bibit anak bangsa yang melawan. Merekah bergemuruh dan satu suara untuk melawan dan menjatuhkan, dengan menurunkan presiden diktator Soeharto. Inilah yang dinamakan sudah habis waktunya untuk berkuasa dan suda waktunya untuk jatuh. Sama halnya pada saat pendudukan atau invasi militer Indonesia di Timor-Timur. Xanana Gusmao dengan kelompoknya Falintil, mesipun banyak yang terbunuh dan disiksa, mereka terus melawan dan bertahan demi satu tujuan yaitu sebuah kemerdekaan Timor-Timur. Militer Indonesia juga kemudian mempunyai batas waktu dalam menginvasi penduduk Timor-Timur. Suda waktunya, lalu Timor-Timor memperoleh hak sebagai negara yang merdeka.
***
Gambaran diatas kita dapat menemukannya dalam buku Zaman Edan: Indonesia di Ambang Kekacauan, yang ditulis oleh Richard Llyod Parry seorang koresponden luar negeri The Times. Buku ini mengungkap berbagai fakta tentang bagaimana kacaunya balaunya negeri ini tahun 1997-1999. Inilah ketakutan yang luar biasa yang dialami oleh masyarakat Indonesia setelah tragedi 1965-1966.
Hal yang paling mengejutkan buat saya adalah satu tahun sebelum Soeharto turun dari jabatannya sebagai Presiden, chaos merajalela. Bukan hanya di Jakarta, Jawa dan Bali, namun di Kalimantan Barat, Pontianak juga sedang terjadi chaos, perang antar suku Dayak dan Madura yang didalangi oleh anak-anak muda dan juga orang-orang terbaik, lalu terbawah dendam kesumat karena kelompok satu suku atau kerabat sukunya terbunuh. Berburu manusia pun terjadi dan banyak masyarakat Madura yang terbunuh, kepala terpenggal, mayat-mayat tergeletak dimana-mana, dan yang paling menggelikan adalah terjadinya kanibalisme. Kanibalisme yang dianggap sebagai mitos bagi manusia-manusia yang ingin meninggikan peradabannya, kini benar-benar dipercaya dan benar-benar terjadi, tepatnya di Kalimantan Barat, Pontianak.
Ada pertanyaan yang menelisik kita ketika melihat pertumpahan darah tersebut, dimana campur tangan pemerintahan Soeharto waktu itu? Apakah diam saja dan membiarkan chaos itu terjadi! Tidak. Soeharto menerjunkan militer-militernya untuk meredahkan perang antar suku tersebut dengan membuat pos-pos keamanan diberbagai pelosok-pelosok yang menjadi biang kekacauan, sekaligus menembaki orang-orang Dayak yang ada diperkampungan. Selain itu Soeharto tengah sibuk mempersiapkan diri untuk menjadi presiden yang ketujuh kalinya, memerintahkan militer menculik para aktivis, membunuh lalu menghilangkannya atau memenjarah mereka yang bersebrangan dengan pemerintahannya.
Di buku ini kita dapat melihat, mengapa chaos terjadi begitu masif diberbagai daerah. Bisakah kita menyalahkan masyarakat kecil disana ketika terjadi kekacauan saling membunuh dalam sebuah bangsa! Kita selalu menilai sebuah masaalah secara parsial dan kemudian mengkalim bahwa itu merupakan kesalahan mereka sendiri. Tidak semestinya menyalahkan orang Madura yang mencaplok tanah adat, dan mencuri. Persoalannya sederhana, kemiskinan kaum urban tengah melanda seluruh negeri dari Sabang sampai Merauke, termasuk di kepulauan Madura itu sendiri.
Yang dilakukan pemerintahan Soeharto kemudian menggalangkan program transmigrasi besar-besaran kepada masyarakat Madura di Kalimantan Barat, Pontianak. Dengan demikian orang-orang Madura mulai bertani, berkebun dan berternak disana. Sementara itu, tanah-tanah tersebut merupakan tanah adat dan milik kolektif masyarakat adat suku Dayak. Inilah yang memancing kemarahan orang-orang Dayak, yang kemudian menyebut orang Madura sebagai pencuri, perampas tanah orang dan lain sebagainya, yang kemudian terjadi pertumpahan darah. Namun sesungguhnya yang menjadi persoalan adalah peran pemerintah yang menemui jalan buntuh, tidak bisa memahami masaalah dalam masyarakat itu sendiri yang suda lama berkubang dalam kemelaratan dan kemiskinan. Orang-orang yang menjadi korban perang antar suku Dayak dan Madura kemudian menjadi korban dari program transmigrasi, yang dilakukan oleh pemerintahan Soeharto.
***
Pembunuhan, pembakaran, perampokan dan pencurian merupakan bagian dari karikatur ekonomi-politik. Persoalan diatas muncul karena adanya ketidakcakapan pemerintah dalam memahami masaalah-masaalah dalam masyarakat, yang selama ini suda lama terjerat dalam biang kemiskinan. Ditambah lagi dengan pemerintahan yang korup, bermewah-mewah, proyek hanya diperuntungkan bagi keluarga, hutan digarap oleh menteri dan anak-anaknya untuk kepentingan bisnisnya, memperkaya kolega-kolega dan lain sebagainya. Kekuasaan ekonomi-politik hanya terkonsentrasi pada segelintir orang yang kemudian hanya dimanfaatkan untuk mengeruk kemakmuran bagi para pemegang kekuasaan beserta kolega-kolega yang mengelilinginya. Tidak ada penciptaan masyarakat yang berkeadilan dengan hak-hak politik yang merata bagi segenap warga, masyarakat dibungkam, pemerintah yang tidak akuntabel dan sama sekali tidak responsif terhadap aspirasi warga dan peluang-peluang ekonomi hanya diperuntungkan keluarga-keluarga istana dan pembantu-pembantunya.
Inilah kejadian 1997-1999, sebuah kekacauan besar yang ada di Indonesia, setelah pembantaian besar-besaran yang di cap sebagai orang-orang komunis, dimasa pemerintahan Soeharto. Namun sesuda pemerintahannya juga masih terjadi chaos karena para pengikutnya yang setia masih berada dalam lingkaran berkuasaan.
***
Dua kejadian besar seperti bersisian, sedang terjadi di negeri ini. Di Kalimantan Barat, Pontianak perang antar suku Dayak dan Madura dan di Jakarta, Yogyakarta dan daerah Jawa sedang terjadi mobilisasi masa besar-besaran untuk menjatuhkan penguasa diktator Soeharto. Yang terjadi adalah dugaan korupsi dilingkungan istana, krisis moneter sedang melandah, ekonomi lumpuh, pasar saham ambruk, penembakan empat mahasiswa Trisakti, pembunuhan dan penghilangan para aktivis dan Indonesia menjadi tertawaan di seluruh dunia. Ini merupakan tahun ketiga puluh satu dan ketiga puluh dua Soeharto berkuasa. Partai Soeharto yang berlambang kuning dan berpohon beringin itu terus menang, namun orang-orang mencibirnya. Kejadian semakin akut melanda negeri, musim hujan, hujan tak turun, panen gagal, dan hutan-hutan di Kalimantan dan Sumatra terbakar habis tanpa bisa di kendalikan. Dengan gegap gempita rakyat bersama dengan mahasiswa/i menyeruhkan pergantian presiden dan menteri-menterinya. Namun pertengan bulan Maret 1998, Soeharto terpilih kembali sebagai presiden untuk ketujuh kalinya.
Seoharto mengundurkan diri sebagai presiden pada tanggal 21 Mei 1998, setelah mahasiswa/i dan tokoh-tokoh reformasi mendesak dan berhasil menduduki gedung DPR/MPR. Namun ia cukup berbangga hati karena disebut sebagai bapak pembangunan. Ia telah berhasil mendatangkan para investor asing, atau memperoleh dana pinjaman dari Bank Dunia lalu membangun Indonesia, namun utang tersebut kemudian dibebankan kepada rakyat proletar negeri ini. Adanya bandar udara, rel kereta api, bendungan, pelabuhan-pelabuhan, mobil-mobil, pembangunan mal, restoran, hotel-hotel pencakar langit dan lain sebagainya, merupakan tanda kemajuan yang ditorehkannya dari pemerintahannya. Kemajuan yang dianggap ini, ternyata bukan kemajuan seperti yang diramalkan oleh raja Jayabaya, namun suatu pertanda bencana besar, yang kemudian mengakhiri masa pemerintahannya.
Syair-syair Jayabaya itu terus muncul dalam pemikiran Jawa, bahwa kemakmuran dan kedamaian itu suda ada pada tabiatnya dan tidak akan pernah abadi. Zaman keemasan akan disusul oleh zaman kegelapan dan kemudian zaman keemasan lainnya. Adanya pergantian zaman ini tidak akan terelakan, ini merupakan sebuah prinsip semesta yang lebih kuat dari manusia manapun. Syair-syair Jayabaya itu menggambarkan bencana yang tengah melanda negeri pada zaman kegelapan, panen gagal, perampokan, kelaparan, wabah penyakit, kekerasan dan kesusahan merajalela. Syair-syair Jayabaya itu seperti ini:
Kelak jika suda ada kereta tanpa kuda,
Tanah Jawa berkalung besi,
Perahu berlayar diluar angkasa,
Sungai kehilangan lubuk:
Itulah pertanda bahwa zaman Jayabaya telah mendekat.
Syair lainya yaitu:
Bumi semakin lama semakin mengerut dan setiap jengkal tanah dikenai pajak,
Kuda suka makan sambal,
Perempuan berpakian lelaki,
Itu pertanda orang akan mengalami zaman bolak-balik.
Sering terjadi hujan salah musim,
Orang yang melakukan kesalahan berpesta pora,
Raja yang mengingkari janjinya akan kehilangan kuasa.
Kuil suci akan dicelah dengan kebencian,
dan hukuman ditimpahkan pada yang tak bersalah,
Yang berhati bersih akan mendapat kemalangan,
Para menteri akan menjadi orang biasa,
Rakyat kecil akan naik jadi tuan.
***
Saya terkagum-kagum dengan buku ini, yang mengungkap berbagai fakta di negeri ini tahun 1997-1999. Suatu keberanian yang luar biasa, ketika penulisnya masuk dalam berbagai konflik yang bahkan sangat membahayakan keselamatan nyawanya sendiri. Kalimantan Barat, Pontianak, ia berhasil bertemu dengan pembunuh-pembunuh dan kanibal itu, namun ia meyakini bahwa mereka orang-orang baik yang hanya terbawah emosi dan dendam kesumat karena teman se-suku mereka terbunuh. Di Jakarta, Jawa dan Yogyakarta ia berhasil menyaksikan bagaimana kekacauan terjadi, krisis moneter, penjarahan, pembunuhan, mendengar penculikan dan pembuangan para aktivis, sampai dengan penjatuhan rezim Soeharto. Di Timor-Timur ia berhasil menyelinap dan masuk dihutan belantara tempat persembunyian Falintil atau Tentara Pembebasan Nasional Timor-Timur, orang-orang yang pro-kemerdekaan yang dipimpin oleh Xanana Gusmao. Ia menyaksikan pembantaian penduduk Timor-Timur, penyerangan dan pembakaran yang dilakukan oleh militer-militer Indonesia.
Dulu, sejak kejadian ini saya masih berumur 7-10 tahun dan tentunya saya belum mengetahui persis. Saya hanya sesekali melihat dan membaca di koran-koran Kompas dari Paman saya yang datang dari Kendari, terutama berita tentang Xanana Gusmao pada saat invasi militer Indonesia di Timor-Timur. Dan yang membuat saya terkesiap adalah banyaknya korban jiwa yang diakibatkan oleh kebrutalan militer-militer Indonesia dan milisi-milisi lainnya yang anti-kemerdekaan dan menginginkan otonomi. Milisi-milisi ini merupakan orang-orang Indonesia dan Timor-Timur sendiri yang kemudian didukung oleh militer, untuk menumpas yang pro-kemerdakaan Timor-Timur.
Selain menyimpan kekaguman pada buku ini, saya juga menyimpan keprihatinan yang begitu mendalam terhadap masyarakat bangsa Indonesia. Ribuan orang menjadi korban hanya untuk kekuasaan segelintir elit; perang antar suku, pembunuhan para aktivis, krisis moneter yang membuat masyarakat mati kelaparan, invasi di Timor-Timur yang juga memakan ribua korban nyawa. Sungguh negeri ini seperti berada di zaman edan. Zaman para elit-elit yang suda tertulari oleh virus kekuasaan, demi kepentingan ekonomi-politik. Dan yang paling mengherankan adalah pada saat rezim orde baru jatuh, orang-orang Soeharto dan yang menggulingkannya justru berebut istana. Mereka muncul seperti dari lubang-lubang tikus yang tidak diketahui asalnya.
Seperti yang diungkapkan Goenawan Mohamad yang dikutip dalam buku ini:
Akan selalu ada yang melakukan, apa yang dikehendaki para dewa untuk kita lakukan.
Aku teringat tikus-tikus yang tiba-tiba bermunculan
Dari lubang yang tak dikenal, tepat menjelang pecah perang.


                                                                                                            La Ode Halaidin
                                                                                                            Kendari, 15 Juni 2016

0 komentar:

Posting Komentar