Setiap
penguasa memiliki nasib sejarah sendiri-sendiri. Penguasa adalah mereka yang
berdiri diatas langit-langit kekuasaan, lalu kemudian menebarkan kebaikan dan
mungkin juga keburukan untuk mempertahankan hegemoninya. Mereka yang berkuasa
selalu mempunyai kehendak untuk mengatur, memerintah, mengendalikan,
menciptakan dan mungkin juga menculik, membunuh atau menghilangkan yang lalu
kemudian terus mengantarkan pada singasana kekuasaannya hingga berpuluh-puluh
tahun. Penguasa bagai bak Dewa Hades yang dapat mengendalikan seisi bumi yang
didalamnya terdapat manusia-manusia patuh atau taat, penyuruh, angkuh, penghianat
pembangkang, penakut dan juga manusia-manusia baik, pemberani dan mau melawan.
Inilah
kekuasaan, yang senantiasa di dalamnya membuahkan berbagai macam polemik.
Polemik ketika penguasa menjadi diktator, yang lalu kemudian membungkam suara-suara
minoritas untuk melawan menyuarahkan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.
Polemik, ketika penguasa memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan keluarga,
partai, relasi bisnis (kaum-kaum borjuis) dan mungkin juga kolega-koleganya,
sementara rakyat hidup dalam kungkungan kesengsaraan, kemelaratan dan
kemiskinan. Polemik, ketika penguasa diktator diam dan tenang dalam
keheningannya, lalu mengatakan bahwa keadaan bangsanya baik-baik saja,
sementara di dalam masyarakat itu sendiri sedang terjadi chaos, pertumpahan
darah, kematian dengan kepala manusia yang terpenggal di mana-mana. Dan
berpolemik ketika penguasa mengatakan bahwa bangsanya tengah berderap menuju sebuah
negara berkembang atau menjadi sebuah negara maju karena pembangunan ekonomi
telah membaik, sementara tanpa menyadari bahwa sebenarnya kita telah berada
dalam sebuah negara yang sudah di ambang kehancuran.
***
Di
dalam masyarakat bangsa, kekuasaan begitu
nyata dan misterius (meminjam istilah Daniel Dhakidae). Kekuasaan juga
begitu manis bagi yang berkuasa dan begitu pahit bagi yang dikuasainya. Manis
ketika yang berkuasa hidup dalam gelimang kemewahan, banyak pengikut setia yang
selalu mendengar dan patuh, proyek dimanfaatkan untuk keluarga istana,
anak-anak, menantu dan para pembantu-pembantunya, memperkaya kolega-kolega dan
mempunyai hobi main golf dan memancing di lautan luas. Dan kekuasaan begitu pahit
ketika yang dikuasainya menjadi penonton dalam setiap pertunjukan kemewahan keluarga
istana, dibungkam dan tak bisa melawan dan bersuara atau berakhir di penjarah
tanpa proses hukum, masyarakat hidup dalam kungkungan kemiskinan dan
kemelaratan, kelaparan melanda seluruh negeri, kebohongan diputarbalikan
menjadi fakta dan sebaliknya dan jika bersuara dan melawan diculik, dibunuh dan
berakhir dalam pembuangan dengan alasan demi keamanan rakyat di bangsa ini.
Bukankah
ini pemutarbalikan fakta bahwa sesungguhnya bukan untuk keamanan rakyat, namun demi
keamanan kekuasaanya dan jajaran menteri-menterinya sendiri!
Namun
dengan demikian, kekuasaan penguasa mempunyai batas waktu. Semakin banyak
orang-orang yang dibungkam, dibunuh atau dihilangkan, semakin akut kemiskinan
melanda negeri, semakin banyak bibit-bibit anak bangsa yang melawan. Merekah
bergemuruh dan satu suara untuk melawan dan menjatuhkan, dengan menurunkan
presiden diktator Soeharto. Inilah yang dinamakan sudah habis waktunya untuk
berkuasa dan suda waktunya untuk jatuh. Sama halnya pada saat pendudukan atau
invasi militer Indonesia di Timor-Timur. Xanana Gusmao dengan kelompoknya Falintil,
mesipun banyak yang terbunuh dan disiksa, mereka terus melawan dan bertahan
demi satu tujuan yaitu sebuah kemerdekaan Timor-Timur. Militer Indonesia juga kemudian
mempunyai batas waktu dalam menginvasi penduduk Timor-Timur. Suda waktunya, lalu
Timor-Timor memperoleh hak sebagai negara yang merdeka.
***
Gambaran
diatas kita dapat menemukannya dalam buku Zaman
Edan: Indonesia di Ambang Kekacauan, yang ditulis oleh Richard Llyod Parry
seorang koresponden luar negeri The Times.
Buku ini mengungkap berbagai fakta tentang bagaimana kacaunya balaunya negeri
ini tahun 1997-1999. Inilah ketakutan yang luar biasa yang dialami oleh
masyarakat Indonesia setelah tragedi 1965-1966.
Hal
yang paling mengejutkan buat saya adalah satu tahun sebelum Soeharto turun dari
jabatannya sebagai Presiden, chaos merajalela. Bukan hanya di Jakarta, Jawa dan
Bali, namun di Kalimantan Barat, Pontianak juga sedang terjadi chaos, perang
antar suku Dayak dan Madura yang didalangi oleh anak-anak muda dan juga
orang-orang terbaik, lalu terbawah dendam kesumat karena kelompok satu suku
atau kerabat sukunya terbunuh. Berburu manusia pun terjadi dan banyak
masyarakat Madura yang terbunuh, kepala terpenggal, mayat-mayat tergeletak
dimana-mana, dan yang paling menggelikan adalah terjadinya kanibalisme.
Kanibalisme yang dianggap sebagai mitos bagi manusia-manusia yang ingin
meninggikan peradabannya, kini benar-benar dipercaya dan benar-benar terjadi,
tepatnya di Kalimantan Barat, Pontianak.
Ada
pertanyaan yang menelisik kita ketika melihat pertumpahan darah tersebut,
dimana campur tangan pemerintahan Soeharto waktu itu? Apakah diam saja dan
membiarkan chaos itu terjadi! Tidak. Soeharto menerjunkan militer-militernya
untuk meredahkan perang antar suku tersebut dengan membuat pos-pos keamanan
diberbagai pelosok-pelosok yang menjadi biang kekacauan, sekaligus menembaki
orang-orang Dayak yang ada diperkampungan. Selain itu Soeharto tengah sibuk
mempersiapkan diri untuk menjadi presiden yang ketujuh kalinya, memerintahkan
militer menculik para aktivis, membunuh lalu menghilangkannya atau memenjarah
mereka yang bersebrangan dengan pemerintahannya.
Di
buku ini kita dapat melihat, mengapa chaos terjadi begitu masif diberbagai
daerah. Bisakah kita menyalahkan masyarakat kecil disana ketika terjadi
kekacauan saling membunuh dalam sebuah bangsa! Kita selalu menilai sebuah
masaalah secara parsial dan kemudian mengkalim bahwa itu merupakan kesalahan
mereka sendiri. Tidak semestinya menyalahkan orang Madura yang mencaplok tanah
adat, dan mencuri. Persoalannya sederhana, kemiskinan kaum urban tengah melanda
seluruh negeri dari Sabang sampai Merauke, termasuk di kepulauan Madura itu sendiri.
Yang
dilakukan pemerintahan Soeharto kemudian menggalangkan program transmigrasi
besar-besaran kepada masyarakat Madura di Kalimantan Barat, Pontianak. Dengan
demikian orang-orang Madura mulai bertani, berkebun dan berternak disana.
Sementara itu, tanah-tanah tersebut merupakan tanah adat dan milik kolektif
masyarakat adat suku Dayak. Inilah yang memancing kemarahan orang-orang Dayak,
yang kemudian menyebut orang Madura sebagai pencuri, perampas tanah orang dan
lain sebagainya, yang kemudian terjadi pertumpahan darah. Namun sesungguhnya
yang menjadi persoalan adalah peran pemerintah yang menemui jalan buntuh, tidak
bisa memahami masaalah dalam masyarakat itu sendiri yang suda lama berkubang
dalam kemelaratan dan kemiskinan. Orang-orang yang menjadi korban perang antar
suku Dayak dan Madura kemudian menjadi korban dari program transmigrasi, yang
dilakukan oleh pemerintahan Soeharto.
***
Pembunuhan,
pembakaran, perampokan dan pencurian merupakan bagian dari karikatur
ekonomi-politik. Persoalan diatas muncul karena adanya ketidakcakapan
pemerintah dalam memahami masaalah-masaalah dalam masyarakat, yang selama ini
suda lama terjerat dalam biang kemiskinan. Ditambah lagi dengan pemerintahan
yang korup, bermewah-mewah, proyek hanya diperuntungkan bagi keluarga, hutan
digarap oleh menteri dan anak-anaknya untuk kepentingan bisnisnya, memperkaya
kolega-kolega dan lain sebagainya. Kekuasaan ekonomi-politik hanya terkonsentrasi
pada segelintir orang yang kemudian hanya dimanfaatkan untuk mengeruk
kemakmuran bagi para pemegang kekuasaan beserta kolega-kolega yang
mengelilinginya. Tidak ada penciptaan masyarakat yang berkeadilan dengan
hak-hak politik yang merata bagi segenap warga, masyarakat dibungkam, pemerintah
yang tidak akuntabel dan sama sekali tidak responsif terhadap aspirasi warga
dan peluang-peluang ekonomi hanya diperuntungkan keluarga-keluarga istana dan
pembantu-pembantunya.
Inilah
kejadian 1997-1999, sebuah kekacauan besar yang ada di Indonesia, setelah
pembantaian besar-besaran yang di cap sebagai orang-orang komunis, dimasa
pemerintahan Soeharto. Namun sesuda pemerintahannya juga masih terjadi chaos karena
para pengikutnya yang setia masih berada dalam lingkaran berkuasaan.
***
Dua
kejadian besar seperti bersisian, sedang terjadi di negeri ini. Di Kalimantan
Barat, Pontianak perang antar suku Dayak dan Madura dan di Jakarta, Yogyakarta
dan daerah Jawa sedang terjadi mobilisasi masa besar-besaran untuk menjatuhkan
penguasa diktator Soeharto. Yang terjadi adalah dugaan korupsi dilingkungan
istana, krisis moneter sedang melandah, ekonomi lumpuh, pasar saham ambruk, penembakan
empat mahasiswa Trisakti, pembunuhan dan penghilangan para aktivis dan
Indonesia menjadi tertawaan di seluruh dunia. Ini merupakan tahun ketiga puluh satu
dan ketiga puluh dua Soeharto berkuasa. Partai Soeharto yang berlambang kuning
dan berpohon beringin itu terus menang, namun orang-orang mencibirnya. Kejadian
semakin akut melanda negeri, musim hujan, hujan tak turun, panen gagal, dan
hutan-hutan di Kalimantan dan Sumatra terbakar habis tanpa bisa di kendalikan.
Dengan gegap gempita rakyat bersama dengan mahasiswa/i menyeruhkan pergantian
presiden dan menteri-menterinya. Namun pertengan bulan Maret 1998, Soeharto
terpilih kembali sebagai presiden untuk ketujuh kalinya.
Seoharto
mengundurkan diri sebagai presiden pada tanggal 21 Mei 1998, setelah mahasiswa/i
dan tokoh-tokoh reformasi mendesak dan berhasil menduduki gedung DPR/MPR. Namun
ia cukup berbangga hati karena disebut sebagai bapak pembangunan. Ia telah
berhasil mendatangkan para investor asing, atau memperoleh dana pinjaman dari
Bank Dunia lalu membangun Indonesia, namun utang tersebut kemudian dibebankan
kepada rakyat proletar negeri ini. Adanya bandar udara, rel kereta api,
bendungan, pelabuhan-pelabuhan, mobil-mobil, pembangunan mal, restoran,
hotel-hotel pencakar langit dan lain sebagainya, merupakan tanda kemajuan yang
ditorehkannya dari pemerintahannya. Kemajuan yang dianggap ini, ternyata bukan
kemajuan seperti yang diramalkan oleh raja Jayabaya, namun suatu pertanda
bencana besar, yang kemudian mengakhiri masa pemerintahannya.
Syair-syair
Jayabaya itu terus muncul dalam pemikiran Jawa, bahwa kemakmuran dan kedamaian
itu suda ada pada tabiatnya dan tidak akan pernah abadi. Zaman keemasan akan
disusul oleh zaman kegelapan dan kemudian zaman keemasan lainnya. Adanya
pergantian zaman ini tidak akan terelakan, ini merupakan sebuah prinsip semesta
yang lebih kuat dari manusia manapun. Syair-syair Jayabaya itu menggambarkan
bencana yang tengah melanda negeri pada zaman kegelapan, panen gagal,
perampokan, kelaparan, wabah penyakit, kekerasan dan kesusahan merajalela.
Syair-syair Jayabaya itu seperti ini:
Kelak jika suda ada kereta tanpa kuda,
Tanah Jawa berkalung besi,
Perahu berlayar diluar angkasa,
Sungai kehilangan lubuk:
Itulah pertanda bahwa zaman Jayabaya telah mendekat.
Syair lainya yaitu:
Bumi semakin lama semakin mengerut dan setiap
jengkal tanah dikenai pajak,
Kuda suka makan sambal,
Perempuan berpakian lelaki,
Itu pertanda orang akan mengalami zaman bolak-balik.
Sering terjadi hujan salah musim,
Orang yang melakukan kesalahan berpesta pora,
Raja yang mengingkari janjinya akan kehilangan
kuasa.
Kuil suci akan dicelah dengan kebencian,
dan hukuman ditimpahkan pada yang tak bersalah,
Yang berhati bersih akan mendapat kemalangan,
Para menteri akan menjadi orang biasa,
Rakyat kecil akan naik jadi tuan.
***
Saya
terkagum-kagum dengan buku ini, yang mengungkap berbagai fakta di negeri ini tahun
1997-1999. Suatu keberanian yang luar biasa, ketika penulisnya masuk dalam
berbagai konflik yang bahkan sangat membahayakan keselamatan nyawanya sendiri.
Kalimantan Barat, Pontianak, ia berhasil bertemu dengan pembunuh-pembunuh dan
kanibal itu, namun ia meyakini bahwa mereka orang-orang baik yang hanya
terbawah emosi dan dendam kesumat karena teman se-suku mereka terbunuh. Di
Jakarta, Jawa dan Yogyakarta ia berhasil menyaksikan bagaimana kekacauan
terjadi, krisis moneter, penjarahan, pembunuhan, mendengar penculikan dan
pembuangan para aktivis, sampai dengan penjatuhan rezim Soeharto. Di
Timor-Timur ia berhasil menyelinap dan masuk dihutan belantara tempat persembunyian
Falintil atau Tentara Pembebasan Nasional Timor-Timur, orang-orang yang pro-kemerdekaan
yang dipimpin oleh Xanana Gusmao. Ia menyaksikan pembantaian penduduk
Timor-Timur, penyerangan dan pembakaran yang dilakukan oleh militer-militer
Indonesia.
Dulu,
sejak kejadian ini saya masih berumur 7-10 tahun dan tentunya saya belum
mengetahui persis. Saya hanya sesekali melihat dan membaca di koran-koran
Kompas dari Paman saya yang datang dari Kendari, terutama berita tentang Xanana
Gusmao pada saat invasi militer Indonesia di Timor-Timur. Dan yang membuat saya
terkesiap adalah banyaknya korban jiwa yang diakibatkan oleh kebrutalan
militer-militer Indonesia dan milisi-milisi lainnya yang anti-kemerdekaan dan
menginginkan otonomi. Milisi-milisi ini merupakan orang-orang Indonesia dan Timor-Timur
sendiri yang kemudian didukung oleh militer, untuk menumpas yang
pro-kemerdakaan Timor-Timur.
Selain
menyimpan kekaguman pada buku ini, saya juga menyimpan keprihatinan yang begitu
mendalam terhadap masyarakat bangsa Indonesia. Ribuan orang menjadi korban
hanya untuk kekuasaan segelintir elit; perang antar suku, pembunuhan para
aktivis, krisis moneter yang membuat masyarakat mati kelaparan, invasi di
Timor-Timur yang juga memakan ribua korban nyawa. Sungguh negeri ini seperti
berada di zaman edan. Zaman para elit-elit yang suda tertulari oleh virus
kekuasaan, demi kepentingan ekonomi-politik. Dan yang paling mengherankan
adalah pada saat rezim orde baru jatuh, orang-orang Soeharto dan yang
menggulingkannya justru berebut istana. Mereka muncul seperti dari
lubang-lubang tikus yang tidak diketahui asalnya.
Seperti
yang diungkapkan Goenawan Mohamad yang dikutip dalam buku ini:
Akan
selalu ada yang melakukan, apa yang dikehendaki para dewa untuk kita lakukan.
Aku
teringat tikus-tikus yang tiba-tiba bermunculan
Dari
lubang yang tak dikenal, tepat menjelang pecah perang.
La
Ode Halaidin
Kendari,
15 Juni 2016
0 komentar:
Posting Komentar