21 Desember 2015

Paus-Paus Yang Mengelilingi Jokowi

Jokowi dan Setya Novanto

Catatan ini kutulis di gubuk kesederhanaan, desa yang belum berkemajuan, berkemakmuran dan masih bersifat patriarkal. Masyarakatnya yang hidup hanya menikmati mimpi kesejahteraan. Program selalu digaungkan dari pusat untuk kesejahteraan masyarakat di desa-desa, namun kemudian program itu di sandera oleh orang-orang pemburu rente untuk memperkaya golongan, kelompok, keluarga atau individual mereka. Hingga masyarakatnya sampai hari ini hanya hidup bertani dengan cara tradisional tanpa menikmati fasilitas dari negara—tentu saja alat-alat moderen agar lebih efektif dan efisien dalam mengeksplorasi tanah-tanah dan hasil pertanian mereka, menjadi TKI yang justru banyak mendapat siksaan di negeri orang dan hukuman mati atau memilih menjadi pengedar narkoba. Sehingga kata sejahtera itu semakin jauh dan menjauh dari masyarakat.

Saya melihatnya sangat miris ketika menyaksikan kelakuan yang tidak sepantasnya dilakukan oleh para borjuis negeri ini yang duduk di parlemen. Mereka dengan enteng mengatakan ‘ini hanya mencari makan’ namun mempermainkan lembaga tinggi negara dengan mencatut nama Presiden dan Wakil Presdien untuk mengemis saham, sementara masyarakat mencari makan dengan membanting tulang di hutan-hutan untuk bertani dan berburuh, di perkebunan dengan menjadi buruh upah murah, mengelola persawahan para borjuis yang terkadang keringat mereka diperas dan mendapatkan pembagian yang tidak adil.

Selain itu, ketua DPR yang hanya sibuk melakukan pertemuan dengan pengusaha namun mengabaikan rakyat yang ingin bertemu dan membutuhkan uluran tangan atau solusi dalam setiap persoalan kehidupan mereka. Mereka malah bukan sibuk mencari solusi untuk memecahkan segala persoalan yang dialami rakyat hari ini, namun mencari koalisi dan kawan untuk saling membela untuk kemudian menguasai ketua parlemen. Mereka bukan menunjukan prestasi di hadapan rakyat yang diwakilinya, namun menunjukan kemewahan dengan kekayaan yang mentereng—uang miliaran hinngga triliunan, koleksi mobil mewah yang berjejer dan rumah mewah, sementara rakyat hidup digubuk dengan penuh kemelaratan dan kemiskinan yang tiada henti. Hingga pertanyaan itu kembali terusik, entah pemimpin dan wakil rakyat seperti apa yang harus dibutuhkan oleh rakyat di bangsa ini!

Seusai menonton film kesukaanku Soekarno yang di produksi pada tahun 2013—di perankan Ario Bayu sebagai Soekarno dan Lukman Sardi sebagai Moh. Hatta, saya menulis beberapa catatan malam ini sebagai perenungan dan inspirasi, pemimpin seperti apakah yang sangat diharapkan oleh rakyat di bangsa ini. Apalagi saat ini Jokowi di kelilingi oleh paus-paus yang siap kapan saja menerkam dirinya.

***
Sosok kepemimpinan seperti Soekarno tentu saja menjadi tumpuan rakyat dan harapan bangsa yang sangat dirindukan, agar sekarang ini dapat muncul untuk menyelesaikan berbagai persoalan di negeri ini. Meskipun harapan itu mungkin sangat kecil untuk bisa menemukan sosok seperti bapak sang proklamator tersebut. Namun orang-orang yang telah duduk di Istana dan di parlemen yang katanya telah menjadi wakil rakyat itu bisa mengambil ketegasan dan sikap kecintaan terhadap rakyatnya diseluruh pelosok negeri seperti Soekarno-Hatta—tanpa membeda-bedakan antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya.

Sikap kegigihan mereka terlihat dalam film tersebut sebagai putra bangsa terbaik pada saat itu, yang ingin melepaskan rakyat bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan kolonialisme Belanda dan fasisme Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan sebagai awal agar kedepan bangsa ini dapat berdiri di kaki sendiri dan menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung pada negara-negara kolonilais. Mereka ingin mengawali kemerdekaan itu yang kelak di kemudian hari ingin mereka serahkan dan mempercayakan kepada anak-anak bangsa ini untuk memimpinnya.

Saya akan sedikit mencatat percakapan Soekarno dan Hatta dalam film tersebut “kemerdekaan bukan tujuan, kemerdekaan adalah awal dan kitalah orang-orang yang mengawali, selebihnya kita percayakan pada anak-anak kita dan pemimpin yang baik selalu muncul dalam peristiwa yang tidak terduga”.

Ia, itulah gambaran pemikiran dan sosok Soekarno yang sangat mencintai rakyatnya. Dia ingin memerdekakan bangsanya dari penjajah-penjajah kolonialisme Belanda dan negara fasisme Jepang. Mereka percaya bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang lahir dari kemandirian dan kecintaan untuk negerinya melebihi apapun. Soekarno-Hatta-lah yang mengawali kecintaan terhadap negeri dan rakyatnya di bangsa ini. Mereka tidak menginginkan daging rakyatnya di makan dan darahnya di hisap oleh negara kolonialis dan fasisme.

Pertanyaanya, adakah orang-orang yang telah berkuasa hari ini, baik di pemerintahan dan di parlemen memiliki kecintaan terhadap rakyatnya seperti Soekarno-Hatta? Tentu saja ada. Kita perlu mengakui bahwa Joko Widodo adalah salah satu pemimpin yang sangat menanamkan kecintaan terhadap rakyatnya. Jokowi sangat merespon dan mendengarkan suara publik dalam setiap pengambilan kebijakan. Meskipun beberapa penulis di media sosial yang saya baca mengatakan tidak, namun itulah langka Jokowi untuk tetap menerima hujatan dan kritikan itu sebagai pembelajaran. Yang terpenting bagi dirinya adalah melakukan sesuatu untuk kepentingan nasional meskipun sebagian orang mengatakan tidak dari pada sembunyi dibalik kesangsian akan penderitaan bangsanya dan lebih memilih menyibukan diri untuk memperluas jaringan kerajaan bisnisnya.
***
Jokowi harus memilih jalan rakyat, itulah ungkapan dari sahabat-sahabat saya. Memilih jalan rakyat berarti siap menempuh jalan penderitaan. Jokowi yang saat ini di kelilingi oleh paus-paus (mamalia) tentu akan banyak mendapatkan bentuk intervensi atau mereka ikut mempengaruhi program kerjanya meskipun program itu untuk kepentingan rakyat. Para menteri yang mengelilingi Jokowi saat ini terdiri dari paus-paus itu yang siap menerkam dan memakan satu sama lain. Menteri-menteri itu ibarat pagar yang siap sewaktu-waktu akan memakan tanaman. Dilayar seperti terlihat ikut memagari dan melaksanakan program kerja Jokowi, namun dibalik itu paus-paus mempunyai kehendak untuk memakan dengan mengintervensi untuk kepentingan bisnis mereka.

Di parlemen juga banyak paus-paus yang akan ikut mempengaruhi program kerjanya—bermain mata dengan paus-paus menteri untuk bersama-sama memperlancar kekuasaan bisnis mereka.

Paus-paus di senayan dan Istana yang mengelilingi Jokowi terus mencoba berusaha untuk mengendalikan dan mengintervensi, namun kejadian hari ini telah membuka mata jutaan rakyat Indonesia. Kedua paus itu tak bisa mengintervensi bahkan mereka kelimpuhan. Setya Novanto ketika rekaman di buka di persidangan Mahkama Kehormatan Dewan (MKD) mengakui bahwa Jokowi tidak bisa dipengaruhi dan keras kepala. Meskipun Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan tidak terkait dalam rekaman itu namun dia disebut-sebut dalam rekaman itu oleh pengusaha Muhammad Rizal Chalid. Beberapa pengamat menilai bahwa dialah yang termasuk paus-paus itu, yang mencoba menjadi perantara untuk mempengaruhi Jokowi dalam setiap kebijakan dan program kerjanya.

Tapi itulah Jokowi yang lebih memilih jalan rakyat meskipun jalan yang ditempuh berbeda dengan jalan rakyat yang ditempuh oleh sang proklamator. Jika sang proklamator jalan rakyat yang ditempuh adalah membebaskan rakyat dari penjajah kolonialis dan fasisme, Jokowi memilih jalan rakyat yang ditempuh dengan mengelolah kekayaan alam bangsa ini untuk kepentingan rakyat di seluruh pelosok negeri bukan kemudian harus diperuntungkan kepada paus-paus yang terus mengelilinginya.

Presiden Jokowi harus terus mendengarkan suara rakyat, mementingkan kepentingan rakyat agar kemerdekaan yang diperjuangkan sang proklamator benar-benar terwujud. Tentu kemerdekaan dalam arti yang sesungguhnya. Tugas Jokowi adalah mengelola kekayaan itu yang berkeadilan dan tentunya untuk kemakmuran rakyat bangsa ini di seluruh nusantara. Dan harus mengabaikan paus-paus yang mengemis—yang terus mencoba mengelilingi dan mengintervensi di setiap program kerja untuk kepentingan rakyat. Laksanakanlah dengan kehendak rakyat…


                                                            Di tulis di gubuk sederhana
                                                            Muna, 19 Desember 2015
                                                                  Laode Halaidin

0 komentar:

Posting Komentar