Jokowi dan Setya Novanto
Catatan
ini kutulis di gubuk kesederhanaan, desa yang belum berkemajuan, berkemakmuran
dan masih bersifat patriarkal. Masyarakatnya yang hidup hanya menikmati mimpi
kesejahteraan. Program selalu digaungkan dari pusat untuk kesejahteraan
masyarakat di desa-desa, namun kemudian program itu di sandera oleh orang-orang
pemburu rente untuk memperkaya golongan, kelompok, keluarga atau individual
mereka. Hingga masyarakatnya sampai hari ini hanya hidup bertani dengan cara
tradisional tanpa menikmati fasilitas dari negara—tentu saja alat-alat moderen
agar lebih efektif dan efisien dalam mengeksplorasi tanah-tanah dan hasil
pertanian mereka, menjadi TKI yang justru banyak mendapat siksaan di negeri
orang dan hukuman mati atau memilih menjadi pengedar narkoba. Sehingga kata
sejahtera itu semakin jauh dan menjauh dari masyarakat.
Saya
melihatnya sangat miris ketika menyaksikan kelakuan yang tidak sepantasnya
dilakukan oleh para borjuis negeri ini yang duduk di parlemen. Mereka dengan
enteng mengatakan ‘ini hanya mencari makan’ namun mempermainkan lembaga tinggi negara
dengan mencatut nama Presiden dan Wakil Presdien untuk mengemis saham, sementara
masyarakat mencari makan dengan membanting tulang di hutan-hutan untuk bertani
dan berburuh, di perkebunan dengan menjadi buruh upah murah, mengelola
persawahan para borjuis yang terkadang keringat mereka diperas dan mendapatkan
pembagian yang tidak adil.
Selain
itu, ketua DPR yang hanya sibuk melakukan pertemuan dengan pengusaha namun
mengabaikan rakyat yang ingin bertemu dan membutuhkan uluran tangan atau solusi
dalam setiap persoalan kehidupan mereka. Mereka malah bukan sibuk mencari
solusi untuk memecahkan segala persoalan yang dialami rakyat hari ini, namun
mencari koalisi dan kawan untuk saling membela untuk kemudian menguasai ketua
parlemen. Mereka bukan menunjukan prestasi di hadapan rakyat yang diwakilinya,
namun menunjukan kemewahan dengan kekayaan yang mentereng—uang miliaran hinngga
triliunan, koleksi mobil mewah yang berjejer dan rumah mewah, sementara rakyat
hidup digubuk dengan penuh kemelaratan dan kemiskinan yang tiada henti. Hingga
pertanyaan itu kembali terusik, entah pemimpin dan wakil rakyat seperti apa
yang harus dibutuhkan oleh rakyat di bangsa ini!
Seusai
menonton film kesukaanku Soekarno yang di produksi pada tahun 2013—di perankan Ario
Bayu sebagai Soekarno dan Lukman Sardi sebagai Moh. Hatta, saya menulis
beberapa catatan malam ini sebagai perenungan dan inspirasi, pemimpin seperti
apakah yang sangat diharapkan oleh rakyat di bangsa ini. Apalagi saat ini
Jokowi di kelilingi oleh paus-paus yang siap kapan saja menerkam dirinya.
***
Sosok
kepemimpinan seperti Soekarno tentu saja menjadi tumpuan rakyat dan harapan
bangsa yang sangat dirindukan, agar sekarang ini dapat muncul untuk
menyelesaikan berbagai persoalan di negeri ini. Meskipun harapan itu mungkin
sangat kecil untuk bisa menemukan sosok seperti bapak sang proklamator
tersebut. Namun orang-orang yang telah duduk di Istana dan di parlemen yang katanya
telah menjadi wakil rakyat itu bisa mengambil ketegasan dan sikap kecintaan
terhadap rakyatnya diseluruh pelosok negeri seperti Soekarno-Hatta—tanpa
membeda-bedakan antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya.
Sikap
kegigihan mereka terlihat dalam film tersebut sebagai putra bangsa terbaik pada
saat itu, yang ingin melepaskan rakyat bangsa Indonesia dari belenggu
penjajahan kolonialisme Belanda dan fasisme Jepang. Mereka menginginkan
kemerdekaan sebagai awal agar kedepan bangsa ini dapat berdiri di kaki sendiri dan
menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung pada negara-negara kolonilais.
Mereka ingin mengawali kemerdekaan itu yang kelak di kemudian hari ingin mereka
serahkan dan mempercayakan kepada anak-anak bangsa ini untuk memimpinnya.
Saya
akan sedikit mencatat percakapan Soekarno dan Hatta dalam film tersebut “kemerdekaan
bukan tujuan, kemerdekaan adalah awal dan kitalah orang-orang yang mengawali,
selebihnya kita percayakan pada anak-anak kita dan pemimpin yang baik selalu
muncul dalam peristiwa yang tidak terduga”.
Ia,
itulah gambaran pemikiran dan sosok Soekarno yang sangat mencintai rakyatnya. Dia
ingin memerdekakan bangsanya dari penjajah-penjajah kolonialisme Belanda dan negara
fasisme Jepang. Mereka percaya bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang lahir
dari kemandirian dan kecintaan untuk negerinya melebihi apapun.
Soekarno-Hatta-lah yang mengawali kecintaan terhadap negeri dan rakyatnya di
bangsa ini. Mereka tidak menginginkan daging rakyatnya di makan dan darahnya di
hisap oleh negara kolonialis dan fasisme.
Pertanyaanya,
adakah orang-orang yang telah berkuasa hari ini, baik di pemerintahan dan di
parlemen memiliki kecintaan terhadap rakyatnya seperti Soekarno-Hatta? Tentu
saja ada. Kita perlu mengakui bahwa Joko Widodo adalah salah satu pemimpin yang
sangat menanamkan kecintaan terhadap rakyatnya. Jokowi sangat merespon dan
mendengarkan suara publik dalam setiap pengambilan kebijakan. Meskipun beberapa
penulis di media sosial yang saya baca mengatakan tidak, namun itulah langka
Jokowi untuk tetap menerima hujatan dan kritikan itu sebagai pembelajaran. Yang
terpenting bagi dirinya adalah melakukan sesuatu untuk kepentingan nasional
meskipun sebagian orang mengatakan tidak dari pada sembunyi dibalik kesangsian
akan penderitaan bangsanya dan lebih memilih menyibukan diri untuk memperluas
jaringan kerajaan bisnisnya.
***
Jokowi
harus memilih jalan rakyat, itulah ungkapan dari sahabat-sahabat saya. Memilih
jalan rakyat berarti siap menempuh jalan penderitaan. Jokowi yang saat ini di
kelilingi oleh paus-paus (mamalia) tentu akan banyak mendapatkan bentuk
intervensi atau mereka ikut mempengaruhi program kerjanya meskipun program itu
untuk kepentingan rakyat. Para menteri yang mengelilingi Jokowi saat ini terdiri
dari paus-paus itu yang siap menerkam dan memakan satu sama lain. Menteri-menteri
itu ibarat pagar yang siap sewaktu-waktu akan memakan tanaman. Dilayar seperti
terlihat ikut memagari dan melaksanakan program kerja Jokowi, namun dibalik itu
paus-paus mempunyai kehendak untuk memakan dengan mengintervensi untuk
kepentingan bisnis mereka.
Di
parlemen juga banyak paus-paus yang akan ikut mempengaruhi program kerjanya—bermain
mata dengan paus-paus menteri untuk bersama-sama memperlancar kekuasaan bisnis
mereka.
Paus-paus
di senayan dan Istana yang mengelilingi Jokowi terus mencoba berusaha untuk
mengendalikan dan mengintervensi, namun kejadian hari ini telah membuka mata
jutaan rakyat Indonesia. Kedua paus itu tak bisa mengintervensi bahkan mereka
kelimpuhan. Setya Novanto ketika rekaman di buka di persidangan Mahkama
Kehormatan Dewan (MKD) mengakui bahwa Jokowi tidak bisa dipengaruhi dan keras
kepala. Meskipun Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan tidak terkait dalam
rekaman itu namun dia disebut-sebut dalam rekaman itu oleh pengusaha Muhammad
Rizal Chalid. Beberapa pengamat menilai bahwa dialah yang termasuk paus-paus
itu, yang mencoba menjadi perantara untuk mempengaruhi Jokowi dalam setiap
kebijakan dan program kerjanya.
Tapi
itulah Jokowi yang lebih memilih jalan rakyat meskipun jalan yang ditempuh
berbeda dengan jalan rakyat yang ditempuh oleh sang proklamator. Jika sang
proklamator jalan rakyat yang ditempuh adalah membebaskan rakyat dari penjajah
kolonialis dan fasisme, Jokowi memilih jalan rakyat yang ditempuh dengan
mengelolah kekayaan alam bangsa ini untuk kepentingan rakyat di seluruh pelosok
negeri bukan kemudian harus diperuntungkan kepada paus-paus yang terus
mengelilinginya.
Presiden
Jokowi harus terus mendengarkan suara rakyat, mementingkan kepentingan rakyat
agar kemerdekaan yang diperjuangkan sang proklamator benar-benar terwujud.
Tentu kemerdekaan dalam arti yang sesungguhnya. Tugas Jokowi adalah mengelola
kekayaan itu yang berkeadilan dan tentunya untuk kemakmuran rakyat bangsa ini
di seluruh nusantara. Dan harus mengabaikan paus-paus yang mengemis—yang terus
mencoba mengelilingi dan mengintervensi di setiap program kerja untuk
kepentingan rakyat. Laksanakanlah dengan kehendak rakyat…
Di
tulis di gubuk sederhana
Muna,
19 Desember 2015
Laode Halaidin
0 komentar:
Posting Komentar