24 Desember 2015

Aku Yang Pejalan Kaki


DI KENDARI, orang yang tak punya kendaraan dianggap bukan siapa-siapa, begitulah kata teman-teman saya. Bahkan engkau dilirik atau disahabatin saja ogah, engkau tak punya jangkauan untuk melihat sesuatu. Misalnya berkunjung di suatu tempat yang jaraknya cukup jauh di pantai atau hanya sekedar jalan-jalan untuk membanggakan mata kita di tempat-tempat yang ramai. Apalagi sekarang ini cewek-cewek (maaf) pantat bensin (aku mengatakan tidak semua), bahkan untuk memacari mereka engkau harus punya kendaraan minimal kendaraan roda dua, tentunya Ninja atau Vixion yang keluaran baru dan jika punya kendaraan mobil engkau cepat dilirik sama cewek-cewek, di kejar-kejar, begitu kata sahabat itu.

***
SAYA, membayangkan betapa anehnya memang kehidupan ini. Dunia terlihat begitu sempit, sampai-sampai kalau harus memacari cewek atau bersahabat kita harus memiliki kendaraan. Dunia seperti terkurung dalam kehidupan meterialistik. Manusia yang hidup seperti terdorong oleh kehidupan yang begitu materialistik untuk mengejar benda-benda, membayar mahal dengan hilangnya kesadaran kemanusiaan kita, hilangnya pemahaman tentang tujuan hidup dan penciptaan kita serta mengacaukan perspektif kita untuk meraih kebahagiaan hidup kita di dunia ini.

Mungkin inilah manusia-manusia moderen yang hidup di kota-kota. Kehidupan mereka hanya difokuskan untuk terus mengejar benda-benda, berpacaran dengan yang punya kendaraan atau kekayaan lalu mengatakan ini demi kebahagiaanku. Pada akhirnya kita sebagai manusia khususnya laki-laki hidup seperti zombie yang mengejar harta benda—manusia yang sesungguhnya sudah mati, namun tetap bergerak tanpa kesadaran sehinngga kita kehilangan waktu, lupa keluarga atau lupa manusia lainnya yang ada disekitar lingkungan kita.

Manusia adalah Homo-Economicus (mahluk ekonomi). Kalimat ini diuatarakan secara tidak langsung oleh John Stuart Mill dan dipopulerkan oleh Gary Becker yang menekankan, seseorang yang pada dasarnya semata-mata memiliki hasrat pribadi untuk memperoleh kesejahteraan dan juga mampu melakukan proses pemilihan atas sebuah tujuan tertentu. Mungkin inilah salah satu alasan mengapa manusia terus berusaha mengejar benda-benda itu—manusia terus mempunyai hasrat untuk memperoleh kesejahteraan dirinya sehingga manusia-manusia moderen seperti di kota-kota terkungkung dengan hal ini, tak terlebih manusia-manusia yang ada di Kendari. Bahkan untuk bersahabat atau memacari manusianya kita harus memiliki kendaraan itu. Ini sekali lagi demi kepuasan dan kesejahteraan pribadi.

Sungguh aneh kan…

Lalu bagaimana dengan diriku yang tak punya benda-benda itu, mungkin saya tak akan pernah disahabatin bahkan untuk berpacaran saja sangat susah untuk diterimah. Entalah…

Tapi saya punya sesuatu yang lain dari pada itu—yang lebih berharga dari pada benda-benda itu yaitu persahabatan dan cinta sejati serta penghargaan pada setiap manusia serta yang hidup di dunia ini.

***
Aku memang seseorang yang pejalan kaki. Ini kulakukan karena kesukaanku untuk melihat, megamati kejadian disekelilingku lalu mencatatnya. Sebagai anak yang terlahir di desa, tentu saya tak punya kemampuan untuk memiliki kendaraan-kendaraan itu. Setiap saya berpergian, kendaraan yang saya tumpangi mobil angkot atau di Kota Kendari disebutnya pete-pete. Jika mobil tak bisa memasuki yang saya tujuh meskipun itu cukup jauh, saya memutuskan untu berjalan kaki.

Kata sahabat saya, gila kamu ini jalan sejauh itu, sendirian lagi. Ungkapan sahabat itu terlontar ketika saya menceritakan pada saat saya melakukan perjalanan untuk melihat pantai di teluk kendari sendirian. Memang jaraknya cukup jauh dari tempat turun mobil pete-pete, tapi itulah pilihanku untuk tetap berjalan kaki. Saya mengatakan kepada sahabat itu, itu bukan gila—tapi kemauan untuk mencari setitik inspirasi kehidupan, bersapa kata dengan masyarakat lalu membingkainya dengan kata-kata untuk menginspirasi banyak orang. Dengan berjalan kaki kita bisa melihat dan mengamati banyak hal seperti petani, para pengemis orang tua dan anak-anak jalanan yang ada di lampu-lampu merah, pekerja bangunan, pedagang kaki lima yang semakin termarjinal di jalan-jalan, para pengait sampa/pemulung, para nelayan dan masih banyak lagi.

Dengan hal itu, tentu kita mempunyai gambaran tentang kehidupan bahkan tentang dunia ini. Dunia yang penuh dengan hiruk-pikuk aktivitas berbagai hal, sehingga memandang kehidupan bukan sesuatu yang kosong atau hampa. Ada orang-orang yang membutuhkan uluran tangan untuk mengangkat kesejahteraan mereka. Ada hal-hal yang perlu kita angkat di kehidupan masyarakat agar orang-orang yang duduk dikursih-kursih yang mempunyai jabatan penting di pemerintahan dapat membuat suatu kebijakan yang dapat memihak mereka.

Jadi, pejalan kaki bukan berarti berjalan tanpa makna. Memang akan dianggap rendah, tidak disahabatin dan tidak disukai oleh cewek-cewek seperti kata sahabat saya namun, seorang pejalan kaki mempunyai berlian-berlian kehidupan dimana orang bahkan tidak dapat dimilikinya.

Pejalan kaki mempunyai pengamatan dan tentu pengalaman yang berharga dengan berbagai aktivitas kehidupan yang diteropongnya. Pejalan kaki adalah petualang yang lihai. Dia dapat mengangkat kejadian berbagai hal dipermukaan yang kemudian dapat mempengaruhi setiap tindakan manusia-manusia lainnya. Bahkan dapat membuat seseorang melakukan gerakan revolusi dengan merubah kehidupan tanah airnya dengan melihat kemirisan yang ada.

Pejalan kaki adalah bukan pejalan yang berjalan dengan diam didalam kesunyiannya. Pejalan kaki adalah orang-orang yang gemar pencari—pencari keadilan dan kedamaian yang ada disekelilingnya dengan mengangkatnya dengan tulisan-tulisan sederhana.

Ini tentu pendapat saya, anda tentu mempunyai pendapat lain kan……



                                                                        Kendari, 24 Desember 2015
                                                                        Laode Halaidin

0 komentar:

Posting Komentar