Ilustrasi
Pilkada
serentak telah usai. Tanggal 9 Desember 2015 adalah puncak dimana masyarakat
yang tersebar di 269 daerah (meskipun 5 daerah dinyatakan batal namun akan melanjutkan
pemilihan 2016 kedepan)—yang terdiri dari beberapa Provinsi, Kabupaten dan Kota,
sebagian masyarakat telah menyalurkan hak pilihnya untuk memilih kepala daerah.
Harapan masyarakat tentu saja kepala daerah yang terpilih dapat merubah atau
menghadirkan program kerja yang solutif—menjawab permaslahan di setiap
kehidupan masyarakat.
Namun
dari beberapa daerah di Indonesia yang terlihat di beberapa media, baik media
cetak maupun elektronik ada daerah-daerah tertentu yang partisipasi pemilihnya
sangat sedikit, misalnya di Depok, Jawa Barat, Muna, Sulawesi Tenggara dan
beberapa daerah lainnya yang ada di Indonesia.
Kita
kemudian dengan gampang mengajukan pertanyaan, mengapa masyarakat enggan
berpatisipasi dalam setiap pemilihan umum? Atau pertanyaan lainnya misalnya,
mengapa pada pilkada serentak ini partisipasi masyarakat sangat menurun?
Ada
hal-hal tertentu yang sangat menarik untuk dilihat yaitu mengenai adanya
hubungan atau korelasi antara kesejahteraan dan partisipasi dalam pemilihan
kepala daerah. Kita akan mencontohkan di Depok Jawa Barat misalnya. Masyarakat
Depok enggan untuk pergi memilih karena selama lima tahun kepala daerah sebelumnya
memimpin, masyarakatnya menganggap bahwa kehidupan mereka tak tersentuh dengan
program-program yang dijalankan oleh kepala daerahnya. Artinya masyarakat Depok
tidak berpatisispasi dalam pemilihan kepala daerah karena kehidupan ekonomi
mereka tak membaik selama kepala daerahnya memimpin.
Saya
akan mengutip salah satu masyarakat Depok penjual bakso pinggir jalan yang
diwawancarai oleh Metro TV katanya seperti ini “saya malas pergi untuk memilih
calon kepala daerah, kehidupan saya begini-begini saja”. Dari sini memang terlihat
bahwa selama ini masyarakat tidak benar-benar merasakan kehadiran seorang
pemimpin kepala daerahnya.
Berangkat
dari itu memang jelas terlihat adanya korelasi antara tingkat kesejahteraan
masyarakat dan partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah. Daerah
yang rata-rata merasakan kehadiran seorang kepala daerah yang disertai dengan
program-programnya yang sangat menyentuh kesejahteraan masyarakat tentu
partisipasi pemilihnya sangat tinggi. Misalnya saja di daerah Surabaya, partisipasi
pemilihnya hampir seratus persen. Bahkan kepala daerah tersebut terpilih
kembali karena dapat memberikan warna perubahan di dalam kehidupan masyarakat.
Di
Kabupaten Muna partisipasi pemilihnya juga sangat rendah. Dari beberapa tempat
pemilihan yang ku-kunjungi masyarakat sangat sedikit yang mendatangi TPS. Ada
alasan mengapa masyarakat enggan untuk memilih kepala daerah. Kadang masyarakat
menilai calon kepala daerah yang ada, sama sekali tidak mempunyai potensi untuk
memberikan kemajuan atau perubahan pada masyarakat. Alasan seperti ini sebenarnya
sangat sederhana untuk kita pahami mengapa partisipasi pemilihan calon kepala
daerah di Kabupaten Muna sangat rendah.
Pertama,
calon kepala daerahnya dengan wajah-wajah yang lama. Dengan wajah-wajah yang
lama ini tentunya masyarakat suda melihat, merasakan, mendengar calon tersebut
tentang perjalanan karir politiknya. Jika baik, masyarakat akan memilihnya dan
sebaliknya jika buruk masyarakat akan menghukumnya dengan tidak memilihnya. Namun
dari fakta-fakta yang ada masyarakat memilih untuk tidak berpatisipasi dalam
pemilihan calon kepala daerah dalam pilkada serentak kali ini. Di setiap
daerah, masyarakat kadang menginginkan wajah baru sebagai kepala daerahnya dan
tentunya mempunyai perjalanan karir politik yang baik.
Kedua,
seorang petahana yang tidak memberikan kemajuan selama memimpin daerahnya. Ini
biasanya adalah bentuk hukuman dari masyarakat untuk tidak memilihnya karena
menganggap kinerja kapala daerahnya yang sangat buruk. Misalnya tidak adanya perubahan
apapun selama memimpin, ekonomi masyarakat drop, distribusi tidak merata, kinerja
birorasi publik yang tidak beres (biasanya melakukan pungutan liar),
pembangunan daerah sekedar tambal sulam dan pada akhirnya hanya jalan ditempat.
Atau membuat program kerja yang sama sekali tidak menyentuh kesejahteraan
masyarakat misalnya di bidang ekonomi dan lain sebagainya.
Dengan
hal tersebut masyarakat menganggap bahwa memilih mereka adalah suatu
kemustahilan. Kedua alasan diatas banyak terjadi dalam pilkada serentak kali
ini bukan saja di Kabupaten Muna tetapi juga beberapa daerah yang ada di
Indonesia dan biasanya masyarakat memilih untuk tidak memlih calon kepala
daerahnya.
Apakah
masyarakat ini rasional? Menurutku ini rasional. Bentuk pernyataannya seperti
ini, buat apa kita memilih pemimpin yang tidak menghadirkan perubahan di
tengah-tengah kehidupan masyarakat! Atau membuat program kerja yang betul-betul
menjawab apa yang menjadi permasalahan dalam masyarakat! Buat apa memilih calon
kepala daerah yang selama ini karir politiknya sangat buruk! Kata sahabat saya,
ini sama saja bodoh, memilih pemimpin yang mau menghancurkan daerah kita.
Makanya saya lebih baik tidak memilih calon kepala daerah seperti ini agar
kedepannya saya tidak banyak menuntut, toh masyarakat lain yang memilihnya.
Kita bersama-sama hanya perlu mengawasi kinerjanya, kata sahabat itu sambil
menyeruput kopinya.
Pikirku,
celoteh sahabat itu ada benarnya juga……..
***
Ditengah
banyaknya harapan masyarakat dalam pilkada serentak kali ini, ternyata biaya
pilkada serentak, tidak memakan anggaran yang sedikit. Menteri dalam negeri
Tjahjo Kumolo pernah mengumumkan adanya besaran anggaran pilkada serentak ini
yang sebesar Rp. 7,1 Triliun. Anggaran ini berasal dari Anggaran Pendapatan
Belanja Negara (APBN) dan Juga Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dari
setiap Provinsi, Kabupaten dan Kota. Jumlah ini lebih besar jika dibandingkan
dengan pemilihan pilkada yang tidak serentak sebesar Rp. 4 Triliun lebih.
Melihat
adanya besaran biaya pilkada serentak ini, masyarakat hanya tersenyum miris.
Kemirisan mereka menggambarkan bahwa pemerintah lebih berpihak untuk mendanai
partai politik dalam setiap pilkada termasuk dalam pilkada serentak kali ini.
Para calon kepala daerah beserta partai politik yang mendukungnya dibiayai
dengan dana yang sangat besar sementara dana untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sama sekali berbiaya sedikit alias sangat minim. Atau biayanya
memang sangat besar namun dana itu kemudian di sandera untuk kepentingan
kelompok, keluarga atau individualitasnya. Buktinya kebanyakan masyarakat
sampai hari ini masih berada dalam suatu lingkaran yang bernama kemiskinan.
Kepala daerah yang terpilih pun beberapa tahun lalu di Kabupaten Muna menurut
yang saya amati tak bisa mengeluarkan masyarakat dalam lingkaran kemiskinan
ini.
Seperti
itulah setiap kepala daerah yang terpilih. Selama ini memang praksis hidup
dalam birokrasi kenegaraan dan pemerintahan dimaknai hanya sebatas mengejar
jabatan. Jabatan masih dianggap sebagai senjata untuk kemudian menaikan status
sosialnya dalam masyarakat. Sehingga tak ayal, banyak orang yang mengejar
jabatan kepala daerah meskipun tak punya apa-apa. Tentu saja dalam hal ini
pemahaman mereka tentang makna kepemimpinan yang sebenarnya.
Jika
kita berangkat dari paradigma ini, maka tidak dapat kita sangkal bahwa banyak
kepala daerah yang sama sekali tidak mengerti, memahami atau memaknai fungsi
kepemimpinannya. Prilaku bak pejabat telah banyak menutup mata, telinga dari
data-data dan berupa fakta-fakta yang ada, sebagaimana yang tersebar di hadapan
publik. Banyak program-program pemerintah sebagaimana juga yang dilakukan oleh
kepala daerah yang bersifat top down. Sehingga setiap program-program itu
dijalankan sama sekali kurang menyentuh dengan permasalahan yang ada dalam
masyarakat. Dalam pemaknaan ini seharusnya kepala daerah yang baru—yang
terpilih harus benar-benar mengetahui apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh
masyarakat—atau yang menjadi permasalahan dalam kehidupan masyarakat.
Saya
teringat dengan apa yang diutarakan oleh Peter F. Drucker bahwa pemimpin ibaratnya
orang yang mengarahkan kendali ke mana biduk akan dijalankan. Setiap kepala
daerah yang terpilih harus mengerti betul
ke-mana yang akan ditujuhkannya. Dalam kalimat Steven R. Covey, pemimpin
seharusnya mengerti benar dengan visi yang ditujunya.
Dalam
pilkada serentak kali ini tentu kita semua punya harapan yang baik terhadap
kepala daerah yang terpilih untuk selalu tetap berada dalam koridor idealismenya
yaitu untuk memperjuangkan kesejahteraan umum. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Kaplan dan Laswell bahwa pilkada langsung adalah momentum bersama untuk
memperjuangkan kesejahteraan umum. Bukan kemudian kesejahteraan sebagian
daerah, kecamatan atau desa yang telah memilihnya sebagaimana yang terjadi
selama ini.
Yang
jelas tugas berat kepala daerah hasil pilihan masyarakat harus memberikan
teladan hidup tentunya dengan kerja keras, kesederhanaan dan benar-benar
melayani kepentingan masyarakat. Kesejahteraan dan kecerdasan umum hendaknya
harus menjadi prioritas setiap kepala daerah yang terpilih karena rakyat telah
mengeluarkan biaya yang sangat besar dalam pilkada serentak ini, bukan kemudian
terjebak dengan paradigma lama yaitu kepala daerah yang jauh dari masyarakat,
hidup bermewah-mewah atau memanfaatkan kesempatan untuk memburu rente dengan
suap, korupsi, kolusi dan nepotisme.
Muna,
9 Desember 2015
La
ode Halaidin
0 komentar:
Posting Komentar