21 Desember 2015

Memaknai Pilkada Serentak Yang Berbiaya Mahal

                                                                                   Ilustrasi

Pilkada serentak telah usai. Tanggal 9 Desember 2015 adalah puncak dimana masyarakat yang tersebar di 269 daerah (meskipun 5 daerah dinyatakan batal namun akan melanjutkan pemilihan 2016 kedepan)—yang terdiri dari beberapa Provinsi, Kabupaten dan Kota, sebagian masyarakat telah menyalurkan hak pilihnya untuk memilih kepala daerah. Harapan masyarakat tentu saja kepala daerah yang terpilih dapat merubah atau menghadirkan program kerja yang solutif—menjawab permaslahan di setiap kehidupan masyarakat.

Namun dari beberapa daerah di Indonesia yang terlihat di beberapa media, baik media cetak maupun elektronik ada daerah-daerah tertentu yang partisipasi pemilihnya sangat sedikit, misalnya di Depok, Jawa Barat, Muna, Sulawesi Tenggara dan beberapa daerah lainnya yang ada di Indonesia.

Kita kemudian dengan gampang mengajukan pertanyaan, mengapa masyarakat enggan berpatisipasi dalam setiap pemilihan umum? Atau pertanyaan lainnya misalnya, mengapa pada pilkada serentak ini partisipasi masyarakat sangat menurun?

Ada hal-hal tertentu yang sangat menarik untuk dilihat yaitu mengenai adanya hubungan atau korelasi antara kesejahteraan dan partisipasi dalam pemilihan kepala daerah. Kita akan mencontohkan di Depok Jawa Barat misalnya. Masyarakat Depok enggan untuk pergi memilih karena selama lima tahun kepala daerah sebelumnya memimpin, masyarakatnya menganggap bahwa kehidupan mereka tak tersentuh dengan program-program yang dijalankan oleh kepala daerahnya. Artinya masyarakat Depok tidak berpatisispasi dalam pemilihan kepala daerah karena kehidupan ekonomi mereka tak membaik selama kepala daerahnya memimpin.

Saya akan mengutip salah satu masyarakat Depok penjual bakso pinggir jalan yang diwawancarai oleh Metro TV katanya seperti ini “saya malas pergi untuk memilih calon kepala daerah, kehidupan saya begini-begini saja”. Dari sini memang terlihat bahwa selama ini masyarakat tidak benar-benar merasakan kehadiran seorang pemimpin kepala daerahnya.

Berangkat dari itu memang jelas terlihat adanya korelasi antara tingkat kesejahteraan masyarakat dan partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah. Daerah yang rata-rata merasakan kehadiran seorang kepala daerah yang disertai dengan program-programnya yang sangat menyentuh kesejahteraan masyarakat tentu partisipasi pemilihnya sangat tinggi. Misalnya saja di daerah Surabaya, partisipasi pemilihnya hampir seratus persen. Bahkan kepala daerah tersebut terpilih kembali karena dapat memberikan warna perubahan di dalam kehidupan masyarakat.

Di Kabupaten Muna partisipasi pemilihnya juga sangat rendah. Dari beberapa tempat pemilihan yang ku-kunjungi masyarakat sangat sedikit yang mendatangi TPS. Ada alasan mengapa masyarakat enggan untuk memilih kepala daerah. Kadang masyarakat menilai calon kepala daerah yang ada, sama sekali tidak mempunyai potensi untuk memberikan kemajuan atau perubahan pada masyarakat. Alasan seperti ini sebenarnya sangat sederhana untuk kita pahami mengapa partisipasi pemilihan calon kepala daerah di Kabupaten Muna sangat rendah.

Pertama, calon kepala daerahnya dengan wajah-wajah yang lama. Dengan wajah-wajah yang lama ini tentunya masyarakat suda melihat, merasakan, mendengar calon tersebut tentang perjalanan karir politiknya. Jika baik, masyarakat akan memilihnya dan sebaliknya jika buruk masyarakat akan menghukumnya dengan tidak memilihnya. Namun dari fakta-fakta yang ada masyarakat memilih untuk tidak berpatisipasi dalam pemilihan calon kepala daerah dalam pilkada serentak kali ini. Di setiap daerah, masyarakat kadang menginginkan wajah baru sebagai kepala daerahnya dan tentunya mempunyai perjalanan karir politik yang baik.

Kedua, seorang petahana yang tidak memberikan kemajuan selama memimpin daerahnya. Ini biasanya adalah bentuk hukuman dari masyarakat untuk tidak memilihnya karena menganggap kinerja kapala daerahnya yang sangat buruk. Misalnya tidak adanya perubahan apapun selama memimpin, ekonomi masyarakat drop, distribusi tidak merata, kinerja birorasi publik yang tidak beres (biasanya melakukan pungutan liar), pembangunan daerah sekedar tambal sulam dan pada akhirnya hanya jalan ditempat. Atau membuat program kerja yang sama sekali tidak menyentuh kesejahteraan masyarakat misalnya di bidang ekonomi dan lain sebagainya.

Dengan hal tersebut masyarakat menganggap bahwa memilih mereka adalah suatu kemustahilan. Kedua alasan diatas banyak terjadi dalam pilkada serentak kali ini bukan saja di Kabupaten Muna tetapi juga beberapa daerah yang ada di Indonesia dan biasanya masyarakat memilih untuk tidak memlih calon kepala daerahnya.

Apakah masyarakat ini rasional? Menurutku ini rasional. Bentuk pernyataannya seperti ini, buat apa kita memilih pemimpin yang tidak menghadirkan perubahan di tengah-tengah kehidupan masyarakat! Atau membuat program kerja yang betul-betul menjawab apa yang menjadi permasalahan dalam masyarakat! Buat apa memilih calon kepala daerah yang selama ini karir politiknya sangat buruk! Kata sahabat saya, ini sama saja bodoh, memilih pemimpin yang mau menghancurkan daerah kita. Makanya saya lebih baik tidak memilih calon kepala daerah seperti ini agar kedepannya saya tidak banyak menuntut, toh masyarakat lain yang memilihnya. Kita bersama-sama hanya perlu mengawasi kinerjanya, kata sahabat itu sambil menyeruput kopinya.

Pikirku, celoteh sahabat itu ada benarnya juga……..

***
Ditengah banyaknya harapan masyarakat dalam pilkada serentak kali ini, ternyata biaya pilkada serentak, tidak memakan anggaran yang sedikit. Menteri dalam negeri Tjahjo Kumolo pernah mengumumkan adanya besaran anggaran pilkada serentak ini yang sebesar Rp. 7,1 Triliun. Anggaran ini berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Juga Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dari setiap Provinsi, Kabupaten dan Kota. Jumlah ini lebih besar jika dibandingkan dengan pemilihan pilkada yang tidak serentak sebesar Rp. 4 Triliun lebih.

Melihat adanya besaran biaya pilkada serentak ini, masyarakat hanya tersenyum miris. Kemirisan mereka menggambarkan bahwa pemerintah lebih berpihak untuk mendanai partai politik dalam setiap pilkada termasuk dalam pilkada serentak kali ini. Para calon kepala daerah beserta partai politik yang mendukungnya dibiayai dengan dana yang sangat besar sementara dana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sama sekali berbiaya sedikit alias sangat minim. Atau biayanya memang sangat besar namun dana itu kemudian di sandera untuk kepentingan kelompok, keluarga atau individualitasnya. Buktinya kebanyakan masyarakat sampai hari ini masih berada dalam suatu lingkaran yang bernama kemiskinan. Kepala daerah yang terpilih pun beberapa tahun lalu di Kabupaten Muna menurut yang saya amati tak bisa mengeluarkan masyarakat dalam lingkaran kemiskinan ini.

Seperti itulah setiap kepala daerah yang terpilih. Selama ini memang praksis hidup dalam birokrasi kenegaraan dan pemerintahan dimaknai hanya sebatas mengejar jabatan. Jabatan masih dianggap sebagai senjata untuk kemudian menaikan status sosialnya dalam masyarakat. Sehingga tak ayal, banyak orang yang mengejar jabatan kepala daerah meskipun tak punya apa-apa. Tentu saja dalam hal ini pemahaman mereka tentang makna kepemimpinan yang sebenarnya.

Jika kita berangkat dari paradigma ini, maka tidak dapat kita sangkal bahwa banyak kepala daerah yang sama sekali tidak mengerti, memahami atau memaknai fungsi kepemimpinannya. Prilaku bak pejabat telah banyak menutup mata, telinga dari data-data dan berupa fakta-fakta yang ada, sebagaimana yang tersebar di hadapan publik. Banyak program-program pemerintah sebagaimana juga yang dilakukan oleh kepala daerah yang bersifat top down. Sehingga setiap program-program itu dijalankan sama sekali kurang menyentuh dengan permasalahan yang ada dalam masyarakat. Dalam pemaknaan ini seharusnya kepala daerah yang baru—yang terpilih harus benar-benar mengetahui apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh masyarakat—atau yang menjadi permasalahan dalam kehidupan masyarakat.

Saya teringat dengan apa yang diutarakan oleh  Peter F. Drucker bahwa pemimpin ibaratnya orang yang mengarahkan kendali ke mana biduk akan dijalankan. Setiap kepala daerah yang terpilih harus mengerti betul  ke-mana yang akan ditujuhkannya. Dalam kalimat Steven R. Covey, pemimpin seharusnya mengerti benar dengan visi yang ditujunya.

Dalam pilkada serentak kali ini tentu kita semua punya harapan yang baik terhadap kepala daerah yang terpilih untuk selalu tetap berada dalam koridor idealismenya yaitu untuk memperjuangkan kesejahteraan umum. Sebagaimana yang dikatakan oleh Kaplan dan Laswell bahwa pilkada langsung adalah momentum bersama untuk memperjuangkan kesejahteraan umum. Bukan kemudian kesejahteraan sebagian daerah, kecamatan atau desa yang telah memilihnya sebagaimana yang terjadi selama ini.

Yang jelas tugas berat kepala daerah hasil pilihan masyarakat harus memberikan teladan hidup tentunya dengan kerja keras, kesederhanaan dan benar-benar melayani kepentingan masyarakat. Kesejahteraan dan kecerdasan umum hendaknya harus menjadi prioritas setiap kepala daerah yang terpilih karena rakyat telah mengeluarkan biaya yang sangat besar dalam pilkada serentak ini, bukan kemudian terjebak dengan paradigma lama yaitu kepala daerah yang jauh dari masyarakat, hidup bermewah-mewah atau memanfaatkan kesempatan untuk memburu rente dengan suap, korupsi, kolusi dan nepotisme.

                                                                                   Muna, 9 Desember 2015
                                                                                   La ode Halaidin

0 komentar:

Posting Komentar