Kopi…..kopi…..dan kopi.
Siapa yang tak suka kopi di dunia ini? Dari kalangan petani, mahasiswa sampai
pejabat pun pasti suka yang namanya kopi. Bahkan kopi Toraja yang ada di
Sulawesi Selatan dari kabar yang terdengar suda dipatenkan oleh perusahaan
Jepang Cey Coffe. Sunggu menyedihkan buat masyarakat Indonesia terutama di
tanah Toraja Sulawesi Selatan. Kekayaan alam Indonesia malah dicaplok dan di
patenkan oleh Negara lain. Buku-buku pun ada yang berjudul dengan kata kopi misalnya
buku, Kopi Sumatra Di Amerika karangan Yusran Darmawan.
Apakah anda juga
penikmat kopi!
***
Beberapa hari ini saya
suka mengunjungi kedai kopi yang menyediakan menu-menu yang menarik untuk di
santap. Dari kedai ke kedai saya hanya tertarik dengan kopi yang disediakan di
menu-menu itu. Saya selalu memesan kopi jika menyempatkan berkunjung di kedai-kedai
kopi. Kopi menjadi teman akrab dikala pikiran ini membuncah—memikirkan serta
berdiskusi bersama para sahabat mengenai hal yang remeh-temeh tentang realitas
di kehidupan masyarakat. Kopi menjadi pelengkap menyalakan pikiran yang
tertekan karena kebuntuan—dikala jenuh melingkupi hiruplah aroma kopi dan
seruputlah maka engkau akan merasakan kenikmatannya. Dengan kopi, pikiran akan
melalang-buana—menerawang berbagai materi diskusi—pemikiran bisa terbuka bahkan
dengan diskusi-diskusi yang cukup berat. Filsafat tentu saja.
Bagi seorang penikmat
kopi itu semua bisa terjadi. Kopi bisa membuka pikiran lalu melancarkan semua
pembicaraan bak air yang mengalir menuju samudra yang luas. Kopi bisa
menghadirkan pertemanan dengan siapa-pun—bercerita dengan siapa-pun dan
berdiskusi tentang apa-pun. Kopi juga dapat menghadirkan sebuah perkumpulan
organisasi, lewat diskusi-diskusi ringan mengenai kemirisan melihat akan
realitas kehidupan di bangsa ini. Lihatlah pemuda-pemuda dimasa perjuangan
bangsa Indonesia—mereka berkumpul ditemani dengan secangkir kopi yang kemudian
menghasilkan ide serta gagasan-gagasan yang brilian. Ide serta gagasan-gagasan
itu kemudian dapat menembus peradaban bangsa ini menuju kemerdekaan, melawan
kolonialisme penjajah, memberangus para kapitalisme—yang sampai sekarang ini bentuk
kemerdekaan-kemerdekaan itu masih diperjuangkan.
Petani kopi pada masa
perjuangan tentu saja bisa dikatakan sebagai pahlawan yang telah memperkenalkan
produk kekayaan alam Indonesia ditengah gejolak adanya peperangan. Para pemikir
bangsa ini dengan perdebatan yang sengit untuk me-merdeka-kan bangsa, tak lupa
pula ditemani secangkir kopi. Dengan hal tersebut, secara tidak langsung para
petani kopi tentu hadir dan ikut berkontribusi dalam memperjuangkan kemerdekaan
di tanah air.
Luar biasa bukan…….
Kopi bagiku bukan hanya
sebagai komoditas yang diperdagangkan—yang kemudian di poles dengan berbagai
trik-trik bisnis untuk menarik para konsumen. Kopi adalah bagian dari
representasi suara para petani yang selama ini tertidur dalam gua-gua yang tak
terdengar jauh. Menghadirkan sejarah kopi beserta kopi-kopi nikmatnya dalam
sebuah kedai kopi berarti sama halnya dengan menghadirkan petani kopi dalam kedai
tersebut. Dengan hal itu tentu suara para petani kopi terdengar dengan berbagai
nuansa kopi yang dihasilkan. Sehingga para petani kopi kita dikenal,
terdengarkan, terangkat kesejahteraanya dan tidak terpaku dengan jual-beli yang
tidak adil.
***
Di kendari, banyak
kedai kopi yang berjejer di jalan-jalan dengan menghadirkan jaringan internet
yang serba cepat dan lancar. Saya mencoba berkunjung di sebuah kedai kopi,
namanya Lawwata Coffee. Di kedai kopi itu saya memperhatikan tak banyak yang
memesan kopi yang harganya cukup murah. Kebanyakan minuman yang dipesan serba
mahal—mulai dari just appel dll. Ketika pelayan menyodorkan menu, mata saya
langsung tertujuh di menu kopi hitam—kemudian saya mencoba untuk memesannya Mas….kopi hitamnya dua ya. Dengan
sekejap pelayaan ini datang. Lalu saya menanyakan, Mas kopi yang disediakan disini apa saja? asalanya dari mana? Lalu Mas
ini menjawab, saya tidak tau, yang jelas
ini kopi. Saya langsung mengangguk dan memahami bahwa ternyata Mas ini tak
paham tentang kopi, dia hanya bekerja di kedai kopi tersebut.
Kopi yang disajikan
pun, kopi sachet yang menggantung di kios-kios. Saya hanya tersenyum kecut
seraya membatin ketika menyeruput kopi tersebut. Pikirku, sayang sekali kedai
ini tak menghadirkan kopi nikmat—kopi yang masih berbentuk biji yang kemudian
diracik dengan alat-alat manual tradisionalnya di kedainya.
***
Di salah satu tempat
kedai kopi berikutnya saya diundang seorang sahabat untuk diskusi-diskusi
ringan—sekaligus perayaan teman yang sudah diwisuda. Nama kedai kopi itu Sunnet
Coffee. Sahabat itu menceritakan bahwa Sunnet Coffee biasanya tempat nongkrong
anak-anak yang kuliah di Kesehatan. Tempatnya memang dekat dengan Kampus
Kesehatan Mandala Waluya kendari. Di Sunnet Coffee itu juga menyediakan menu
yang bertuliskan kopi hitam. Sejenak saya membaca menu-menu yang ada. Ketika
lagi serius mencari menu yang tersedia, tiba-tiba terdengar suara sahabat, kamu pesan apa? saya jawab, kopi hitam saja. Suara sahabat yang lain
memanggil pelayan, Mas kopi hitam satu ya. Lalu kami lanjutkan
cerita sambil menunggu kopi yang ku-pesan.
Tak lama kemudian kopi
yang ku pesan tersedia dihadapan saya. Saya memperhatikan lalu mencium bau
aroma yang mengepul digelas itu. Pikirku, saya tak asing lagi dengan bau aroma
ini. Saya kemudian langsung menyeruput kopi tersebut dan ternyata rasa kopi
sachet yang tanpa gula itu—yang banyak bergantung-gantung di kios-kios—namanya kopi
kapal api. Tak salah dugaanku kopi yang disajikan adalah kopi kapal api yang
suda diracik sedemikian rupa oleh perusahaan kopi PT. Santos Jaya Abadi yang
ada di Sidoarjo itu. Bukan kopi yang masih dengan bijinya yang berasal dari
petani langsung untuk kemudian diracik dengan manual di kedai. Seraya membantin
saya berpikir mungkin ini dikarenakan terlalu minimnya ide-ide sehingga pikiran
itu hanya terfokus dengan bisnis dan terpatok dengan keuntungan.
Saya bercerita dengan
sahabat-sahabat itu seputar kopi. Saya mengatakan, dari beberapa kedai kopi
yang ku-kunjungi kok sama ya—selalu saja kopi sachet kapal api. Kenapa kedai
ini tidak menyediakan kopi-kopi nikmat yang ada di Sulawesi Tenggara misalnya
di Buton Selatan ada kopi rabika yang rasanya nikmat sekali atau mengimpor dari
luar Sulawesi Tenggara misalnya kopi di Serui, kopi Toraja, kopi wamena dll. Salah
seorang sahabat ikut mengomentari, itulah seorang pembisnis selalu punya
strategi, kalau suda diracik sedemikian rupa pasti laku. Mendengar celoteh
sahabat itu saya hanya tersenyum. Pikirku, mungkin orang
yang punya kedai ini tak mengerti dengan selera konsumen. Seorang konsumen
pasti punya selera yang berbeda-beda mengenai kopi dan oleh karena itu
seharusnya dia bisa menghadirkan beberapa jenis kopi. Tidak hanya berpikir
tentang bisnis yang kemudian dijadikan tempat untuk mengakumulasi keuntungan, namun
membantu para petani dengan menghadirkan sejarah-sejarah kopi yang ada di
Indonesia.
Sekejap mata saya
langsung tertujuh dengan beberapa pengunjung. Saya melihat tak ada
diskusi-diskusi ringan dari jejeran pengunjung lain. Saya teringat seorang
sahabat dari Makasar pernah bercerita bahwa biasanya kedai kopi di Makasar
dijadikan tempat untuk diskusi atau dialog untuk memperdalam pengetahuan—mengkaji
apa yang menjadi permsalahan di kehidupan masyarakat bangsa ini dengan
mengkorelasikan antar beberapa ilmu pengetahuan atau apa yang menjadi keilmuan
mereka.
Tiba-tiba bunyi sepatu itu
terdengar—semakin banyak langka kakinya melangka, bunyi sepatu itu terdengar
kian mendekat di sampingku. Suara itu terdengar halus mempersilahkan kami untuk
menyantap gorengan-gorengan kedai kopi itu. Silahkan
dinikmati gorengannya mas, kata gadis itu. Sekejap saya langsung mengangkat
kapalaku, wwwaahhh….cantik nian nih gadis
pelayan kedai kopi, pikirku. Saya langsung menyahut, iya Dek makasih ya atas pelayanannya yang manis. Si gadis pelayan
kedai kopi yang cantik itu tersenyum manis bak bintang yang menyinari malam ditengah
kegelapannya. Pikirku, saya berhasil menyentu dinding hatinya yang paling dalam
hehehe…..
12 Desember 2015
La ode
Halaidin
0 komentar:
Posting Komentar