21 Desember 2015

Kopi Nikmat, Kopi Petani


Kopi…..kopi…..dan kopi. Siapa yang tak suka kopi di dunia ini? Dari kalangan petani, mahasiswa sampai pejabat pun pasti suka yang namanya kopi. Bahkan kopi Toraja yang ada di Sulawesi Selatan dari kabar yang terdengar suda dipatenkan oleh perusahaan Jepang Cey Coffe. Sunggu menyedihkan buat masyarakat Indonesia terutama di tanah Toraja Sulawesi Selatan. Kekayaan alam Indonesia malah dicaplok dan di patenkan oleh Negara lain. Buku-buku pun ada yang berjudul dengan kata kopi misalnya buku, Kopi Sumatra Di Amerika karangan Yusran Darmawan.

Apakah anda juga penikmat kopi!

***
Beberapa hari ini saya suka mengunjungi kedai kopi yang menyediakan menu-menu yang menarik untuk di santap. Dari kedai ke kedai saya hanya tertarik dengan kopi yang disediakan di menu-menu itu. Saya selalu memesan kopi jika menyempatkan berkunjung di kedai-kedai kopi. Kopi menjadi teman akrab dikala pikiran ini membuncah—memikirkan serta berdiskusi bersama para sahabat mengenai hal yang remeh-temeh tentang realitas di kehidupan masyarakat. Kopi menjadi pelengkap menyalakan pikiran yang tertekan karena kebuntuan—dikala jenuh melingkupi hiruplah aroma kopi dan seruputlah maka engkau akan merasakan kenikmatannya. Dengan kopi, pikiran akan melalang-buana—menerawang berbagai materi diskusi—pemikiran bisa terbuka bahkan dengan diskusi-diskusi yang cukup berat. Filsafat tentu saja.

Bagi seorang penikmat kopi itu semua bisa terjadi. Kopi bisa membuka pikiran lalu melancarkan semua pembicaraan bak air yang mengalir menuju samudra yang luas. Kopi bisa menghadirkan pertemanan dengan siapa-pun—bercerita dengan siapa-pun dan berdiskusi tentang apa-pun. Kopi juga dapat menghadirkan sebuah perkumpulan organisasi, lewat diskusi-diskusi ringan mengenai kemirisan melihat akan realitas kehidupan di bangsa ini. Lihatlah pemuda-pemuda dimasa perjuangan bangsa Indonesia—mereka berkumpul ditemani dengan secangkir kopi yang kemudian menghasilkan ide serta gagasan-gagasan yang brilian. Ide serta gagasan-gagasan itu kemudian dapat menembus peradaban bangsa ini menuju kemerdekaan, melawan kolonialisme penjajah, memberangus para kapitalisme—yang sampai sekarang ini bentuk kemerdekaan-kemerdekaan itu masih diperjuangkan.

Petani kopi pada masa perjuangan tentu saja bisa dikatakan sebagai pahlawan yang telah memperkenalkan produk kekayaan alam Indonesia ditengah gejolak adanya peperangan. Para pemikir bangsa ini dengan perdebatan yang sengit untuk me-merdeka-kan bangsa, tak lupa pula ditemani secangkir kopi. Dengan hal tersebut, secara tidak langsung para petani kopi tentu hadir dan ikut berkontribusi dalam memperjuangkan kemerdekaan di tanah air.

Luar biasa bukan…….

Kopi bagiku bukan hanya sebagai komoditas yang diperdagangkan—yang kemudian di poles dengan berbagai trik-trik bisnis untuk menarik para konsumen. Kopi adalah bagian dari representasi suara para petani yang selama ini tertidur dalam gua-gua yang tak terdengar jauh. Menghadirkan sejarah kopi beserta kopi-kopi nikmatnya dalam sebuah kedai kopi berarti sama halnya dengan menghadirkan petani kopi dalam kedai tersebut. Dengan hal itu tentu suara para petani kopi terdengar dengan berbagai nuansa kopi yang dihasilkan. Sehingga para petani kopi kita dikenal, terdengarkan, terangkat kesejahteraanya dan tidak terpaku dengan jual-beli yang tidak adil.

***
Di kendari, banyak kedai kopi yang berjejer di jalan-jalan dengan menghadirkan jaringan internet yang serba cepat dan lancar. Saya mencoba berkunjung di sebuah kedai kopi, namanya Lawwata Coffee. Di kedai kopi itu saya memperhatikan tak banyak yang memesan kopi yang harganya cukup murah. Kebanyakan minuman yang dipesan serba mahal—mulai dari just appel dll. Ketika pelayan menyodorkan menu, mata saya langsung tertujuh di menu kopi hitam—kemudian saya mencoba untuk memesannya Mas….kopi hitamnya dua ya. Dengan sekejap pelayaan ini datang. Lalu saya menanyakan, Mas kopi yang disediakan disini apa saja? asalanya dari mana? Lalu Mas ini menjawab, saya tidak tau, yang jelas ini kopi. Saya langsung mengangguk dan memahami bahwa ternyata Mas ini tak paham tentang kopi, dia hanya bekerja di kedai kopi tersebut.

Kopi yang disajikan pun, kopi sachet yang menggantung di kios-kios. Saya hanya tersenyum kecut seraya membatin ketika menyeruput kopi tersebut. Pikirku, sayang sekali kedai ini tak menghadirkan kopi nikmat—kopi yang masih berbentuk biji yang kemudian diracik dengan alat-alat manual tradisionalnya di kedainya.

***
Di salah satu tempat kedai kopi berikutnya saya diundang seorang sahabat untuk diskusi-diskusi ringan—sekaligus perayaan teman yang sudah diwisuda. Nama kedai kopi itu Sunnet Coffee. Sahabat itu menceritakan bahwa Sunnet Coffee biasanya tempat nongkrong anak-anak yang kuliah di Kesehatan. Tempatnya memang dekat dengan Kampus Kesehatan Mandala Waluya kendari. Di Sunnet Coffee itu juga menyediakan menu yang bertuliskan kopi hitam. Sejenak saya membaca menu-menu yang ada. Ketika lagi serius mencari menu yang tersedia, tiba-tiba terdengar suara sahabat, kamu pesan apa? saya jawab, kopi hitam saja. Suara sahabat yang lain memanggil pelayan, Mas kopi hitam satu ya. Lalu kami lanjutkan cerita sambil menunggu kopi yang ku-pesan.

Tak lama kemudian kopi yang ku pesan tersedia dihadapan saya. Saya memperhatikan lalu mencium bau aroma yang mengepul digelas itu. Pikirku, saya tak asing lagi dengan bau aroma ini. Saya kemudian langsung menyeruput kopi tersebut dan ternyata rasa kopi sachet yang tanpa gula itu—yang banyak bergantung-gantung di kios-kios—namanya kopi kapal api. Tak salah dugaanku kopi yang disajikan adalah kopi kapal api yang suda diracik sedemikian rupa oleh perusahaan kopi PT. Santos Jaya Abadi yang ada di Sidoarjo itu. Bukan kopi yang masih dengan bijinya yang berasal dari petani langsung untuk kemudian diracik dengan manual di kedai. Seraya membantin saya berpikir mungkin ini dikarenakan terlalu minimnya ide-ide sehingga pikiran itu hanya terfokus dengan bisnis dan terpatok dengan keuntungan.

 

Saya bercerita dengan sahabat-sahabat itu seputar kopi. Saya mengatakan, dari beberapa kedai kopi yang ku-kunjungi kok sama ya—selalu saja kopi sachet kapal api. Kenapa kedai ini tidak menyediakan kopi-kopi nikmat yang ada di Sulawesi Tenggara misalnya di Buton Selatan ada kopi rabika yang rasanya nikmat sekali atau mengimpor dari luar Sulawesi Tenggara misalnya kopi di Serui, kopi Toraja, kopi wamena dll. Salah seorang sahabat ikut mengomentari, itulah seorang pembisnis selalu punya strategi, kalau suda diracik sedemikian rupa pasti laku. Mendengar celoteh sahabat itu saya hanya tersenyum. Pikirku, mungkin orang yang punya kedai ini tak mengerti dengan selera konsumen. Seorang konsumen pasti punya selera yang berbeda-beda mengenai kopi dan oleh karena itu seharusnya dia bisa menghadirkan beberapa jenis kopi. Tidak hanya berpikir tentang bisnis yang kemudian dijadikan tempat untuk mengakumulasi keuntungan, namun membantu para petani dengan menghadirkan sejarah-sejarah kopi yang ada di Indonesia.

Sekejap mata saya langsung tertujuh dengan beberapa pengunjung. Saya melihat tak ada diskusi-diskusi ringan dari jejeran pengunjung lain. Saya teringat seorang sahabat dari Makasar pernah bercerita bahwa biasanya kedai kopi di Makasar dijadikan tempat untuk diskusi atau dialog untuk memperdalam pengetahuan—mengkaji apa yang menjadi permsalahan di kehidupan masyarakat bangsa ini dengan mengkorelasikan antar beberapa ilmu pengetahuan atau apa yang menjadi keilmuan mereka.

Tiba-tiba bunyi sepatu itu terdengar—semakin banyak langka kakinya melangka, bunyi sepatu itu terdengar kian mendekat di sampingku. Suara itu terdengar halus mempersilahkan kami untuk menyantap gorengan-gorengan kedai kopi itu. Silahkan dinikmati gorengannya mas, kata gadis itu. Sekejap saya langsung mengangkat kapalaku, wwwaahhh….cantik nian nih gadis pelayan kedai kopi, pikirku. Saya langsung menyahut, iya Dek makasih ya atas pelayanannya yang manis. Si gadis pelayan kedai kopi yang cantik itu tersenyum manis bak bintang yang menyinari malam ditengah kegelapannya. Pikirku, saya berhasil menyentu dinding hatinya yang paling dalam hehehe…..
 

12 Desember 2015
  La ode Halaidin


0 komentar:

Posting Komentar