12 April 2015

Kembalikan Tanah Kami !


                                              Tanah yang menjadi lahan perkebunan tebuh

Jika kita melihat sejenak judul diatas, itu merupakan bentuk teriakan oleh masyarakat-masyarakat kecil, tentu suara itu bergemah dan akan terdengar disebuah pelosok-pelosok desa yang terpencil, namun mempunyai potensi sumber daya alam. Suara-suara itu tertanda bahwa, hak mereka telah dirampas atau dipelintir oleh penguasa-penguasa kotor/jijik, yang selalu melacurkan dirinya dengan korporasi besar atau perusahaan besar di negeri ini. Korporasi besar ini kerjanya adalah mendikte atau bahkan kadang-kadang membeli pemerintahan untuk meloloskan keinginan mereka.

Tak heran, jika rakyat selalu dijadikan korban oleh kepentingan-kepentingan mereka dengan mengatasnamakan demi kesejahteraan masyarakatnya. Aahh….ternyata kaum-kaum kapitalisme masih terus mengaum bagai sekawanan singa dan dialah rajanya yang akan terus menyantap sekelompok kijang-kijang gunung. Tentu kijang-kijang gunung ini tak tahu, kemana akan mengadukan persoalannya karena raja singa dan raja harimau adalah sama-sama binatang buas yang mempunyai santapan yang sama.

Seperti itulah kejadian di negeri ini, negeri yang ketika pemerintahnya dengan para korporasi besar menyatu-padukan dirinya dalam satu kekuatan besar. Maka pertanyaanya tentu, siapakah yang akan berani melawan kekuatan dan kekuasaan itu?? Masyarakat hanya akan menjadi kambing hitamnya dieluk-elukan dengan pekerjaan, peningkatan pendapatan, dan juga kesejahteraan. Masyarakat hanya dijadikan babu sedangkan pemerintah dan korporasi besar adalah jongosnya, masyarakat hanya dianggap sebagai anak bangsa yang inlander yaitu pecundang, bodoh dan memang pantas untuk dijajah dan dihina.

Pada suatu ketika masyarakat dengan gembiranya menghitung hasil-hasil panen mereka dari tanah-tanah yang subur tersebut, esok harinya tanah itu bukan lagi hak mereka dan sudah dimiliki oleh perusahaan-perusahaan besar atau korporasi besar.

Saat malam, kepala desa dan perusahaan/korporasi besar setempat menemui warga dengan membawah beberapa dokumen. Belum sempat dipersilahkan duduk, pemerintah dan korporasi besar tersebut sudah mengatakan, bahwa tanah ini bukan lagi menjadi hakmu karena Bapak sudah menjual dan menandatanganinya.

Pemerintah ini melanjutkan pembicaraannya, silahkan Bapak ambil uang atau tanahnya tidak akan dibayar. Sedangkan untuk penyepakatan peembayaran harga tanah belum ada. Dan biasanya pemerintah dan pihak perusahaan/korporasi besar juga mengancam dengan menggunakan jasa preman. Seorang warga ini tentu akan kaget dan kebingungan karena sebelumnya dia tidak pernah menyepakati atau menandatangani itu. 

Jika kita mau menelusuri jejak-jejak kebiadaban mereka dalam membebaskan lahan (tanah), itu kurang lebih sama. Pihak perusahaan/korporasi besar membeli pemerintah, lalu bekerjasama dengan pemerintah setempat. Pemerintah ini kemudian melakukan tugasnya untuk memanipulasi seluruh tanda tangan masyarakat, menggunakan jasa preman, dan ketika masyarakat memprotes, mereka menggunakan benteng institusi kepolisian. Pihak-pihak ini selalu membungkus cara mereka dengan pakaian dan juba emas sehingga semua keinginannya berjalan sesuai dengan rencana mereka. Biadab khaann…..!!! 

Persoalan agraria di negeri ini memang hanya bagian dari puncak gunung es, termasuk persoalan yang ada di negeri Muna. Banyak masyarakat di setiap daerah yang mempunyai konflik dengan tanahnya sendiri. Setelah sekian puluh tahun tanah itu dimiliki dari nenek moyangnya secara turun-temurung, kemudian diolah yang terus menjadi penghidupan keluarga, dapat menyekolahkan anak-anak mereka, terus dirampas begitu saja oleh pihak perusahaan/korporasi besar atas kerja sama dengan pemerintah setempat. Dan salah satu alasannya adalah kemudahan untuk investasi.

Hal itulah, saat ini ibaratnya masyarakat bukanlah siapa-siapa lagi ditanah kelahirannya sendiri. Tanah yang seharusya menjadi nafas serta denyut nadi masyarakat dengan bertanamkan kebahagiaan dengan dedaunan yang rindang nan-hijau ternyata hanya menjadi air mata. Negeri yang seharusnya mendiami itu adalah masyarakat yang bersenyumkan kesuburan, dengan tanah hamparan luas sepanjang mata memandang, kini mereka harus tinggal di luar hamparan itu dengan kekeringan yang tandus. Masyarakat akan bingung kemana akan menyambung nafas-nafas mereka, sebab tanah mereka telah dirampas oleh pihak-pihak yang nista.

Malam ini, saat saya menulis tulisan ini, saya sedang memikirkan desa dan masyarakat Wantiworo, kec. Kabawo Kab. Muna yang sedang dilandah sebuah masaalah agraria dengan masuknya perusahaan PT. Wahana Surya Agro yang saat ini beroperasi di Gorontalo.

Bersama teman-teman se-kampung telah mendiskusikan hal ini untuk kemudian mencari jalan keluar dalam rangka membebaskan tanah tersebut untuk masyarakat. Permasalahannya tentu sama dengan konflik agraria yang terdapat di dareah-daerah lain. Memanipulasi tanda tangan masyarakat sebagai dasar bahwa masyarakat telah menyetujui penggusuran lahan. Namun sebenarnya masyarakat tidak menandatangani itu.

Kuat dugaanku bahwa pemerintah desa dan pemerintah daerah bekerja sama dengan PT. Wahana Surya Agro yang kemudian menyetujui melakukan penggusuran lahan-lahan tersebut. Ini berarti PT. Wahana Surya Agro sudah berhasil memakaikan pemerintah daerah dan juga pemerintah desa dengan pakaian emas yang berjubakan mutiara-mutiara kekayaan.

Setelah saya mendengar bahwa tanah yang sekitar 200 hektar tersebut dijual kepada perusahaan dan akan menjadi milik permanen perusahaan PT. Wahana Surya Agro saya ingin berteriak selantang-lantangnya, sekeras-kerasnya. Seperti inikah masyarakat diperlakukan? Siapakah yang melakukan ini?? Saya ingin memberontak, saya ingin melaporkan ini ke polisi. Tapi apalah daya saya tidak memiliki uang untuk melaporkan itu.

Saya hanya bisa menyuarakan ini bersama teman-teman mahasiswa dan masyarakat serta untuk terus berjuang untuk mempertahankan lahan mereka dan berteriak. Kembalikan tanah kami……..
           

                                                                                    Kendari 13 April 2015
                                                                                    Ku-tulis saat tengah malam…….

0 komentar:

Posting Komentar