Ilustrasi dari: versesovuniverse.blogspot.com |
JUDUL
ini seringkali mengusik saya beberapa hari ini, melihat kondisi apa yang sedang
terjadi di Kota Kendari, terutama yang berada di Jln. HEA Mokodompit Kampus
Baru. Saya melihat dan membayangkan ada sesuatu yang lain ketika melihat jalanan
itu dari jauh. Perubahannya begitu mencolok didepan mata, terang, panas dan
jalanannya terasa luas serta berdebu. Sekilas meneropong ternyata begitu
tampak, ada batang-batang pohon besar disana yang berbaringan. Kira-kira ditumbangkan
sekitar dua atau tiga hari yang lalu.
Saya
melihat keadaan yang kacau-balau tersebut pada saat kembali di Kendari, dari
kampung halaman saya di Muna. Ketika itu saya menaiki mobil angkot hendak menuju
ke Kampus Baru. Di sepanjang perjalanan, saya melihat batang-batang pohon
yang berbaringan dengan akar yang tercabut disana-sini. Pikirku, ohh…. mungkin
ada pelebaran jalan lagi disini! Tidak jauh dari itu saya melihat skapator Cat.
Ternyata mobil inilah yang menghancurkan, mencabut akar-akar dan
memotong-motong batang pohon tersebut, yang usianya sekitar kurang lebih
30 tahunan itu.
***
Di
Jalan HEA. Mokodompit Kampus Baru akan dibuatkan jalan dua jalur, maka
pohon-pohon yang dianggap menganggu dihancurkan habis-habisan. Namun sebelumnya
sekitar beberapa bulan yang lalu, pelebaran jalan dengan mengorbankan
pohon-pohon yang rindang juga terjadi di jalan Wua-Wua. Ada beberapa pohon yang
saya lihat ditebang, dipotong-potong dan berbaringan disana-sini. Hal itu dilakukan
karena diperkirakan suda terlalu banyaknya penduduk, kendaraan terasa suda
sesak dan kelas menengah suda mulai makin tumbuh. Orang kaya pun bertebaran
dimana-mana dengan kendaraannya, bagai daun gugur yang jatuh dari pohon-pohon
yang berbaring itu. Bayangkan saja, pohon yang ditanam, dipelihara suda
berpuluh-puluh tahun, dihancurkan dalam waktu sekejap, hanya beberapa jam saja.
Mengutip
apa yang dikatakan salah satu arsitek legendaris Bandung, dalam tulisan Dewi
Lestari ‘Satu Orang Satu Pohon’ yang diterbitkan Pikiran Rakyat, ia mengatakan,
lebih baik memeras otak untuk mendesain sesuai kondisi alam ketimbang harus
menebang satu pohon saja, karena bangunan dapat dibangun dan diruntuhkan dalam
sekejap, tapi pohon membutuhkan puluhan tahun untuk tumbuh sama besar.
Sayangnya hal itu tidak pernah dilakukan oleh pemerintah daerah. Kita selalu
berhaluan pemikiran dengan mereka. Menyamakan presepsi untuk kemudian tidak ada
yang dikorbankan, itu sesuatu hal yang sangat tidak mungkin. Mereka jalan
sendiri dengan kekuasaannya. Seorang perencana daerah dan pemerintah sama-sama
menekankan pemikiran, bahwa kemajuan dapat dilihat jika ada pembangunan di
sana. Ia, itu saja. Cuman itu, yang ada ditempurung otak mereka.
Sepertinya
saya tidak terlalu menyetujui pemikiran ini. Membangun tetapi selalu ada saja
yang menjadi korban. Pertanyaannya, tak bisakah jika membangun tanpa menebang! Rasa-rasanya
sangat sulit bagi pemerintah daerah dan seorang perencana untuk melakukan
demikian. Maka pohon-pohon harus menjadi korban demi pembangunan itu. Lalu,
untuk apa pohon itu dulu ditanam dan dibesarkan! Bukankan sebuah pohon, berhak
untuk hidup lalu memberikan sebuah suplai oksigen dalam kehidupan manusia.
Bukankan hidup kita akan lebih layak dan sehat jika dijalanan sana terdapat
pohon-pohon yang rindang, yang dapat memberikan kesejukan!
Namun
jika kita menoleh kebelakang, rupanya kita selalu tidak mempunyai perencanaan
yang matang dalam penataan dan pembangunan kota. Pemerintah daerah dan seorang
perencana sama-sama menekankan pemikiran pragmatis mereka, yang hanya seolah
menjalankan program beserta kebijakannya. Seharusnya pemerintahan daerah dan
perencana yang sebelum-sebelumnya dapat memprediksi bahwa sepuluh atau dua
puluh tahun kedepan, daerah akan tengah berkembang. Sehingga dengan itu,
kemudian dapat diperkirakan akan ada pelebaran jalan dikemudian hari. Dengan
hal tersebut tentunya, pohon-pohon dapat ditanam pada tempat yang aman dengan
perkiraan bahwa sepuluh atau dua puluh tahun kedepan pohon-pohon itu tidak dapat
ditebang. Sehingga kemudian tidak menjadi korban, seperti yang terjadi hari
ini. Seharusnya itu yang mereka lakukan. Bukan hanya atas dasar proyek semata,
untuk mengisi kantong-kantong kosong mereka.
Kita
juga tentunya masyarakat terkadang selalu mendambakan pembangunan, agar
terkesan bahwa daerah kita tengah maju. Kita selalu memimpikan daerah yang
metropolit, maka membangun gedung hotel pencakar langit, pusat perbelanjaan
mall, lippo dan trade centre merupakan suatu keharusan dan sangat wajar. Namun
sadarkah kita bahwa dibalik pembangunan itu, seringkali ada korban-korban yang
harus menanggungnya. Pohon-pohon yang rindang, pedagang kaki lima yang semakin
tergeser, gedung tua yang mungkin bersejarah dan lain sebagainya, dianggap
sebagai konsekuensi paradoks dari pembangunan . Bukankah ini hal yang aneh! Atas
nama pembangunan, maka apa saja dapat dikorbankan tanpa ada kompensasi. Inilah
kekuasaan. Maka tak heran mereka seenaknya saja. Yang penting proyek basah, dan
kantong semakin tebal.
Ilustrasi dari: fisiologi-pohon.com |
Kendari
sangat kekurangan taman hijau yang dapat meneyediakan paru-paru kota yang layak,
tetapi seringkali pohon-pohon pelindung disamping jalanan habis ditebang atas
nama pembangunan pelebaran jalan. Alasannya hanya itu, demi pembangunan
infrastruktur jalan, pelebaran jalan, bangun mall dan lain sebagainya. Hal itu
tentunya akibat dari jumlah penduduknya yang tengah membuncah serta kendaraan
yang telah membludak. Namun jika kita sesekali menerangkan mata, pembangunan
infrastruktur jalan itu, memperlihatkan ketidakberesan. Kadang
sepotong-sepotong, sebelah diaspal sebelah tidak, lampu penerang jalan tidak
menyala dan yang paling memuakan ketika saya lewat, matahari begitu panas
karena tak ada pohon pelindung.
***
Kesejahteraan
dan kemakmuran masyarakat telah menjadi kalimat sakti pemerintah daerah, demi
ter ACC-nya sebuah proyek-proyek dalam berbagai rupa. Proyek-proyek itu semua terkadang
hanya berbentuk kasat mata, ada pelebaran jalan, pengaspalan yang dilapisi
berlapis-lapis aspal, ada gedung pasar, ada pembuatan jembatan layang dan lain
sebagainya. Seolah semua pertanda keberhasilan. Pertanyaannya, apakah hal ini
dapat menyentuh masyarakat kecil dari hulu? Jawabannya, belum tentu.
Anggaran
pembangunan seringkali terlalu banyak diserap untuk pembangunan kota, lalu kemudian
mengabaikan adanya pembangunan untuk memajukan desa. Sementara masyarakat hulu
berteriak dalam kesunyiannya, karena pemerintah daerah tak pernah menjenguk,
mengunjungi, mendengarkan dan mengalokasikan anggaran untuk hanya sekedar menyentuh
kesejahteraan mereka. Pemerintah daerah selalu berpikir, jika anggaran dapat
dialokasikan dengan sebesar-besarnya untuk pembangunan kota, maka uang-uang itu
dapat mengalir secara alamiah di desa-desa. Malah yang terjadi bukan demikian,
uang-uang itu justru mengalir ke kantong-kantong birokrasi borjuis yang
seringkali membisniskan proyek.
Lihat
saja jalan-jalan pertanian masyarakat petani kita yang tidak terakses dengan
baik karena pengerasan berbatu-batu, rawa-rawa, lumpur, dan masih
ber-hutan-hutan. Anggaran perbaikan jalan pertanian mereka tak kunjung tiba.
Entah kemana! Sementara pemerintah daerah dengan bangganya membangun jalan
untuk menuju istananya. Seolah jalan itu dibuat hanya untuk para kolega
bisnisnya, birokrasinya dan relasi-relasi bisnis antar partai. Pemimpin daerah
kita agaknya lupa bahwa keberhasilan sebuah kota bukan hanya diukur seberapa
banyaknya gedung pertokoan, hotel-hotel, mall-mall, Lippo, supermarket, dan
pelebaran jalan yang dibangun, yang hanya bersifat kemakmuran dadakan dan
musiman. Melainkan juga harus melihat, apakah dengan hal demikian, kota
tersebut dapat menjadi tempat hidup yang layak dan sehat bagi penghuninya.
Sekali
lagi, tak bisakah membangun tanpa menebang! Atau tak bisakah membangun tanpa mengorbankan
segala sesuatu yang menyangkut hajat untuk hidup orang banyak! Pembangunan Kota
dan desa seperti sebuah paradoks. Kota bergincu infrastruktur, namun kehilangan
paru-paru kota sebagai tempat yang sehat. Sedangkan desa infrastruktur jalan
berkerikil, berbatu-batu, tetapi mempunyai pohon-pohon yang rindang sebagai
paru-paru yang layak ditempati.
Maka
dengan itu, apa yang dikatakan Budiman Sudjatmiko dalam buku 2-nya ‘Anak-anak
Revolusi’ memang benar bahwa Indonesia memiliki dua wajah yang berpaling ke
arah berbeda dan tidak saling menyapa. Yang satu adalah wajah berkelimpahan dan
bagus bergincu infrastruktur pembangunan yang seronok; itulah kota-kota besar.
Sementara yang satunya lagi adalah wajah keterbatasan dan keterbelakangan
infrastruktur dan terabaikan; itulah desa.
Untuk
itu, marilah kita memulai kesadaran dari diri sendiri. Saya tau di Jln. HAE
Mokodompit Kampus Baru, akan mulai gersang karena baru saja memutuskan hubungan
dengan pohon-pohon itu. Namun saya juga meyakini bahwa masyarakat kampus
mempunyai kesadaran intelektual yang tinggi. Maka dari itu seperti yang
dikatakan oleh penulis buku ‘Intelejensi Embun pagi’ Dewi Lestari, kita bisa
memulai itu dengan 'Gerakan Satu Orang Satu Pohon' untuk Kota Kendari. Jika tak
ada pekarangan, maka gunakanlah dengan menggunakan pot, ember bekas dan lain
sebagainya disamping-samping rumah kita. Jika pemerintah daerah tak lagi
memberikan paru-paru kota yang layak, perkayalah oksigen kita dengan menanam
sendiri.
Kendari,
26 Juni 2016
Laode
Halaidin
0 komentar:
Posting Komentar