25 Juli 2016

Tak Bisakah Membangun Tanpa Menebang?

Ilustrasi dari: versesovuniverse.blogspot.com

JUDUL ini seringkali mengusik saya beberapa hari ini, melihat kondisi apa yang sedang terjadi di Kota Kendari, terutama yang berada di Jln. HEA Mokodompit Kampus Baru. Saya melihat dan membayangkan ada sesuatu yang lain ketika melihat jalanan itu dari jauh. Perubahannya begitu mencolok didepan mata, terang, panas dan jalanannya terasa luas serta berdebu. Sekilas meneropong ternyata begitu tampak, ada batang-batang pohon besar disana yang berbaringan. Kira-kira ditumbangkan sekitar dua atau tiga hari yang lalu.
Saya melihat keadaan yang kacau-balau tersebut pada saat kembali di Kendari, dari kampung halaman saya di Muna. Ketika itu saya menaiki mobil angkot hendak menuju ke Kampus Baru. Di sepanjang perjalanan, saya melihat batang-batang pohon yang berbaringan dengan akar yang tercabut disana-sini. Pikirku, ohh…. mungkin ada pelebaran jalan lagi disini! Tidak jauh dari itu saya melihat skapator Cat. Ternyata mobil inilah yang menghancurkan, mencabut akar-akar dan memotong-motong batang pohon tersebut, yang usianya sekitar kurang lebih 30 tahunan itu.
***
Di Jalan HEA. Mokodompit Kampus Baru akan dibuatkan jalan dua jalur, maka pohon-pohon yang dianggap menganggu dihancurkan habis-habisan. Namun sebelumnya sekitar beberapa bulan yang lalu, pelebaran jalan dengan mengorbankan pohon-pohon yang rindang juga terjadi di jalan Wua-Wua. Ada beberapa pohon yang saya lihat ditebang, dipotong-potong dan berbaringan disana-sini. Hal itu dilakukan karena diperkirakan suda terlalu banyaknya penduduk, kendaraan terasa suda sesak dan kelas menengah suda mulai makin tumbuh. Orang kaya pun bertebaran dimana-mana dengan kendaraannya, bagai daun gugur yang jatuh dari pohon-pohon yang berbaring itu. Bayangkan saja, pohon yang ditanam, dipelihara suda berpuluh-puluh tahun, dihancurkan dalam waktu sekejap, hanya beberapa jam saja.
Mengutip apa yang dikatakan salah satu arsitek legendaris Bandung, dalam tulisan Dewi Lestari ‘Satu Orang Satu Pohon’ yang diterbitkan Pikiran Rakyat, ia mengatakan, lebih baik memeras otak untuk mendesain sesuai kondisi alam ketimbang harus menebang satu pohon saja, karena bangunan dapat dibangun dan diruntuhkan dalam sekejap, tapi pohon membutuhkan puluhan tahun untuk tumbuh sama besar. Sayangnya hal itu tidak pernah dilakukan oleh pemerintah daerah. Kita selalu berhaluan pemikiran dengan mereka. Menyamakan presepsi untuk kemudian tidak ada yang dikorbankan, itu sesuatu hal yang sangat tidak mungkin. Mereka jalan sendiri dengan kekuasaannya. Seorang perencana daerah dan pemerintah sama-sama menekankan pemikiran, bahwa kemajuan dapat dilihat jika ada pembangunan di sana. Ia, itu saja. Cuman itu, yang ada ditempurung otak mereka.
Sepertinya saya tidak terlalu menyetujui pemikiran ini. Membangun tetapi selalu ada saja yang menjadi korban. Pertanyaannya, tak bisakah jika membangun tanpa menebang! Rasa-rasanya sangat sulit bagi pemerintah daerah dan seorang perencana untuk melakukan demikian. Maka pohon-pohon harus menjadi korban demi pembangunan itu. Lalu, untuk apa pohon itu dulu ditanam dan dibesarkan! Bukankan sebuah pohon, berhak untuk hidup lalu memberikan sebuah suplai oksigen dalam kehidupan manusia. Bukankan hidup kita akan lebih layak dan sehat jika dijalanan sana terdapat pohon-pohon yang rindang, yang dapat memberikan kesejukan!
Namun jika kita menoleh kebelakang, rupanya kita selalu tidak mempunyai perencanaan yang matang dalam penataan dan pembangunan kota. Pemerintah daerah dan seorang perencana sama-sama menekankan pemikiran pragmatis mereka, yang hanya seolah menjalankan program beserta kebijakannya. Seharusnya pemerintahan daerah dan perencana yang sebelum-sebelumnya dapat memprediksi bahwa sepuluh atau dua puluh tahun kedepan, daerah akan tengah berkembang. Sehingga dengan itu, kemudian dapat diperkirakan akan ada pelebaran jalan dikemudian hari. Dengan hal tersebut tentunya, pohon-pohon dapat ditanam pada tempat yang aman dengan perkiraan bahwa sepuluh atau dua puluh tahun kedepan pohon-pohon itu tidak dapat ditebang. Sehingga kemudian tidak menjadi korban, seperti yang terjadi hari ini. Seharusnya itu yang mereka lakukan. Bukan hanya atas dasar proyek semata, untuk mengisi kantong-kantong kosong mereka.
Kita juga tentunya masyarakat terkadang selalu mendambakan pembangunan, agar terkesan bahwa daerah kita tengah maju. Kita selalu memimpikan daerah yang metropolit, maka membangun gedung hotel pencakar langit, pusat perbelanjaan mall, lippo dan trade centre merupakan suatu keharusan dan sangat wajar. Namun sadarkah kita bahwa dibalik pembangunan itu, seringkali ada korban-korban yang harus menanggungnya. Pohon-pohon yang rindang, pedagang kaki lima yang semakin tergeser, gedung tua yang mungkin bersejarah dan lain sebagainya, dianggap sebagai konsekuensi paradoks dari pembangunan . Bukankah ini hal yang aneh! Atas nama pembangunan, maka apa saja dapat dikorbankan tanpa ada kompensasi. Inilah kekuasaan. Maka tak heran mereka seenaknya saja. Yang penting proyek basah, dan kantong semakin tebal.
Ilustrasi dari: fisiologi-pohon.com
Kendari sangat kekurangan taman hijau yang dapat meneyediakan paru-paru kota yang layak, tetapi seringkali pohon-pohon pelindung disamping jalanan habis ditebang atas nama pembangunan pelebaran jalan. Alasannya hanya itu, demi pembangunan infrastruktur jalan, pelebaran jalan, bangun mall dan lain sebagainya. Hal itu tentunya akibat dari jumlah penduduknya yang tengah membuncah serta kendaraan yang telah membludak. Namun jika kita sesekali menerangkan mata, pembangunan infrastruktur jalan itu, memperlihatkan ketidakberesan. Kadang sepotong-sepotong, sebelah diaspal sebelah tidak, lampu penerang jalan tidak menyala dan yang paling memuakan ketika saya lewat, matahari begitu panas karena tak ada pohon pelindung.
***
Kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat telah menjadi kalimat sakti pemerintah daerah, demi ter ACC-nya sebuah proyek-proyek dalam berbagai rupa. Proyek-proyek itu semua terkadang hanya berbentuk kasat mata, ada pelebaran jalan, pengaspalan yang dilapisi berlapis-lapis aspal, ada gedung pasar, ada pembuatan jembatan layang dan lain sebagainya. Seolah semua pertanda keberhasilan. Pertanyaannya, apakah hal ini dapat menyentuh masyarakat kecil dari hulu? Jawabannya, belum tentu.
Anggaran pembangunan seringkali terlalu banyak diserap untuk pembangunan kota, lalu kemudian mengabaikan adanya pembangunan untuk memajukan desa. Sementara masyarakat hulu berteriak dalam kesunyiannya, karena pemerintah daerah tak pernah menjenguk, mengunjungi, mendengarkan dan mengalokasikan anggaran untuk hanya sekedar menyentuh kesejahteraan mereka. Pemerintah daerah selalu berpikir, jika anggaran dapat dialokasikan dengan sebesar-besarnya untuk pembangunan kota, maka uang-uang itu dapat mengalir secara alamiah di desa-desa. Malah yang terjadi bukan demikian, uang-uang itu justru mengalir ke kantong-kantong birokrasi borjuis yang seringkali membisniskan proyek.
Lihat saja jalan-jalan pertanian masyarakat petani kita yang tidak terakses dengan baik karena pengerasan berbatu-batu, rawa-rawa, lumpur, dan masih ber-hutan-hutan. Anggaran perbaikan jalan pertanian mereka tak kunjung tiba. Entah kemana! Sementara pemerintah daerah dengan bangganya membangun jalan untuk menuju istananya. Seolah jalan itu dibuat hanya untuk para kolega bisnisnya, birokrasinya dan relasi-relasi bisnis antar partai. Pemimpin daerah kita agaknya lupa bahwa keberhasilan sebuah kota bukan hanya diukur seberapa banyaknya gedung pertokoan, hotel-hotel, mall-mall, Lippo, supermarket, dan pelebaran jalan yang dibangun, yang hanya bersifat kemakmuran dadakan dan musiman. Melainkan juga harus melihat, apakah dengan hal demikian, kota tersebut dapat menjadi tempat hidup yang layak dan sehat bagi penghuninya.
Sekali lagi, tak bisakah membangun tanpa menebang! Atau tak bisakah membangun tanpa mengorbankan segala sesuatu yang menyangkut hajat untuk hidup orang banyak! Pembangunan Kota dan desa seperti sebuah paradoks. Kota bergincu infrastruktur, namun kehilangan paru-paru kota sebagai tempat yang sehat. Sedangkan desa infrastruktur jalan berkerikil, berbatu-batu, tetapi mempunyai pohon-pohon yang rindang sebagai paru-paru yang layak ditempati.
Maka dengan itu, apa yang dikatakan Budiman Sudjatmiko dalam buku 2-nya ‘Anak-anak Revolusi’ memang benar bahwa Indonesia memiliki dua wajah yang berpaling ke arah berbeda dan tidak saling menyapa. Yang satu adalah wajah berkelimpahan dan bagus bergincu infrastruktur pembangunan yang seronok; itulah kota-kota besar. Sementara yang satunya lagi adalah wajah keterbatasan dan keterbelakangan infrastruktur dan terabaikan; itulah desa.
Untuk itu, marilah kita memulai kesadaran dari diri sendiri. Saya tau di Jln. HAE Mokodompit Kampus Baru, akan mulai gersang karena baru saja memutuskan hubungan dengan pohon-pohon itu. Namun saya juga meyakini bahwa masyarakat kampus mempunyai kesadaran intelektual yang tinggi. Maka dari itu seperti yang dikatakan oleh penulis buku ‘Intelejensi Embun pagi’ Dewi Lestari, kita bisa memulai itu dengan 'Gerakan Satu Orang Satu Pohon' untuk Kota Kendari. Jika tak ada pekarangan, maka gunakanlah dengan menggunakan pot, ember bekas dan lain sebagainya disamping-samping rumah kita. Jika pemerintah daerah tak lagi memberikan paru-paru kota yang layak, perkayalah oksigen kita dengan menanam sendiri.
                                                                                   Kendari, 26 Juni 2016
                                                                                   Laode Halaidin

0 komentar:

Posting Komentar