15 Juli 2016

Politik Perang, Antar Baliho

Baliho Calon-Calon Gubernur dan Walikota
Politics: Who Gets What, When, How.
Harold D. Laswell
Pemilihan umum kepala daerah serentak gelombang ke dua, tinggal menunggu beberapa bulan lagi yakni di bulan Februari tahun 2017 mendatang. Politisi yang ingin memperebutkan orang nomor wahid pun, saat ini sedang gencar-gencarnya mempersenjatai diri mereka dengan memasang baliho, spanduk dan pamflet. Hal itu dilakukan untuk menaikan citra atau popularitas diri mereka agar masuk pada poling survei tertinggi. Harapan mereka adalah agar dapat diusung oleh partai-partai politik.
Partai politik sekiranya dapat memberikan ruang, dalam hal ini dapat dijadikan sebagai kendaraannya politik jika politisi tersebut memiliki tingkat survei yang lebih tinggi atau popularitasnya lebih tinggi. Partai politik memilih dan memilah calon-calon yang telah melamar. Siapa yang tinggi, itulah yang akan dipinangnya dan jika tidak maka tentunya akan ditenggelamkan. Partai politik menggunakan data basis survei dalam hal mengusung calon. Inilah yang dinamakan penjaringan calon yang dilakukan partai politik saat ini, mencari calon-calon yang mempunyai popularitas tinggi. Maka tak heran politisi-politisi yang ingin berebut kekuasaan itu berlomba-lomba menyebarkan berbagai baliho, spanduk dan pamflet diberbagai sudut di ruang-ruang kota.
Kita dapat menemukan baliho, spanduk dan pamflet tersebut diberbagai penjuru; perempatan lampu merah, didepan mesjid, didepan sekolah-sekolah, perguruan tinggi, dekat got yang didirikan dengan kayu-kayu balok, dipapan rumah orang-orang miskin, ditempat prostitusi/pelacuran dan lain sebagainya. Baliho, spanduk dan pamflet mereka tersebar ada dimana-mana. Ada kesan dari masyarakat bahwa sepertinya sedang terjadi perang antar baliho. Seperti sebuah perang yang direncanakan dan bertemu dipadang gurun terbuka dengan berbagai bendera sebagai lambang kerajaannya. Tujuan mereka adalah satu, yaitu sebuah kekuasaan. Siapa yang unggul itulah yang bertahan dan berada dalam lingkaran kekuasaan. Namun politisi ini berebut kuasa bukan untuk menjajah, namun dengan tujuan yang mulia, untuk memakmurkan masyarakat kecil bukan pengusaha atau birokrasi borjuis.
Tentunya, ini mengingatkan saya pada sebuah film Dragon Blade yang diperankan oleh Jackie Chan sebagai jendral Huo An, penjaga perdamayan jalur sutra di Angsa Liar. Konon, jalur tersebut adalah jalur yang sangat strategis, dapat menghubungkan bagian barat kerajaan besar ke bagian timur. Jalur tersebut sebagai pusat perdagangan dan budaya, yang banyak diperebutkan oleh berbagai kerajaan di Eropa dan juga Asia. Ada 36 kerajaan yang memperebutkan jalur tersebut seperti kerajaan Roma, Turki, India, Persia, Parthia, China dan lain sebagaianya. Ketika kerajaan mengambil kebijakan atau menginstruksikan untuk merebut jalur sutra tersebut, maka peperangan dapat terjadi. Pertempuran mereka dipadang gurun terbuka. Bendera-bendera sebagai lambang kerajaan mereka membubul tinggi, pertanda peperangan telah siap akan dimulai. Satu yang akan menjadi tujuan mereka, merebut jalur tersebut agar kerajaannya mendapatkan limpahan kekayaaan dan disegani oleh kerajaan-kerajaan lainnya. Idealnya adalah sebuah kekuasaan. Sekali lagi, siapa yang unggul itulah yang bertahan dan berada dalam lingkaran kekuasaan.

Baliho ADP Yang Banyak Tersebar di Kota Kendari
Spanduk Sudarmanto. S

Kembali ke konteks awal tadi, jika politisi banyak memasang baliho, spanduk dan pamflet di mana-mana, tentu ada kemungkinan popularitas mereka akan naik, yang kemudian dapat diusung oleh partai politik. Namun ini belum cukup dan belum tentu juga akan menang, meskipun pasukan yang dibawahnya sangatlah besar. Sejatinya publiklah yang akan menyeleksi. Dan yang paling menentukan adalah kecerdikan mereka mengelolah berbagai taktik, informasi, wacana, cepat tanggap terhadap masaalah masyarakat dan lain sebagainya.
Pemimpin Yang Bermutu
Di dalam demokrasi langsung, memang popularitas seorang tokoh politik itu sangatlah penting. Jadi, jika kita melihat baliho, spanduk dan pamflet bertebaran di jalanan sana memang wajar saja, karena politisi sebagaimana seorang artis butuh terkenal dan juga butuh dukungan publik yang luas. Maka dari itu seorang calon harus survive, idealnya itu harus hadir di tengah-tengah publik seperti memasang baliho, memuat iklan tentang diri dikoran-koran, membuat grup di media sosial dengan menghadirkan gagasan yang solutif pada setiap permasalahan masyarakat, hadir di kegiatan sosial, membagi-bagikan Tunjangan Hari Raya (THR) pada masyarakat kecil (kebetulan ini dekat-dekat hari raya idul fitri), atau mungkin juga blusukan ala Jokowi. Itu penting dan memang harus demikian adanya. Jika tidak, sama halnya membiarkan diri mereka akan tenggelam di dasar laut, seperti halnya kapal yang karam karena tak tahan diterjang ombak yang begitu besar.
Namun dengan demikian, seorang calon atau lebih populer disebut seorang politisi, juga harus dituntut untuk selalu profesional dalam merespon tentang banyak hal, misalnya keluhan masyarakat tentang kurangnya pemadam kebakaran, kesemerawutan kota seperti banjir, begal, sampah dijalanan, kemiskinan, tentang nasib para pengemis, pelayanan birokrasi yang lambat dan lain sebagainya. Selain itu, juga harus dibarengi dengan kecanggihan merawat basis dukungan di berbagai kalangan seperti tokoh pemuda, politik, agama, adat dan lain-lain. Kita akan mengibaratkannya seperti dalam konteks penyanyi idola, seorang politisi tidak bisa hanya mengandalkan suaranya yang merdu seperti penyanyi Novita Dewi yang digadang-gadang akan mengalakan Fatin Shidiqqia dalam ajang grand final X Factor. Namun seorang politisi, juga harus bisa menarik simpati dan meraup dukungan yang lebih banyak pada publik.
Berbicara tentang Fatin, memang tidak disangka-sangka akan menjadi juara di ajang X Factor karena suaranya tergolong sangat biasa saja. Namun karena mendapatkan basis dukungan yang besar dari masyarakat Indonesia, maka Fatin mendapatkan poling sms yang sangat banyak lalu mengalakan Novita Dewi. Namun kemenangan Fatin itu bukan tanpa taktik atau cara-cara dalam mengalahkan lawannya Novita Dewi. Ia menggunakan cara, apa yang disebut Ragil Nugroho dalam tulisannya dengan Koran atau peranca. Ragil Nugroho mengatakan bahwa, Koran yang dipakai Fatin bukan koran-koran pada umunya, namun dalam bentuk syair lagu yang disebarkan lewat youtube. Syair lagu tersebut kemudian dapat menjangkau dan terdistribusi luas dari ruangan yang ber AC sampai di kampung-kampung, didengarkan penjaga lapak telepon genggam sampai politisi di senayan, ruang tunggu kawasan pelacuran sampai dengan mal-mal papan atas di ibu kota.

Spanduk Abdul Razak. Entah apa yang dipikirkan, proyek atau permasalahan masyarakat Kota Kendari
Inilah Baliho Tiga Calon Walikota Kendari

Lalu, bagaimana dengan para politisi yang ingin memperebutkan Walikota dan Gubernur di daerah. Politisi yang akan bertarung dalam Pilwali atau Pilgub juga harus menggunakan sebuah Koran atau peranca agar dapat meraup dukungan yang lebih banyak. Koran yang dipakai bisa lewat media massa atau media sosial dengan tulisan-tulisan yang memuat gagasan dalam membangun daerah, memanfaatkan grup dengan hal-hal yang positif, mengkritisi gagasan calon lain dengan rasional bukan dengan kebencian yang dibumbui dengan berbagai gagasan dan ide-ide yang baru, segar, yang memihak  pada masyarakat kecil dan muda diterima oleh masyarakat setempat. Idelanya sebuah visi-misi, gagasan yang bermutu, komprehensif yang menyangkut tentang pembangunan, bukan terus-terusan pendidikan gratis yang justru faktanya pendidikan tetap memungut biaya. Ide ini malah gagasan lama dan bahkan berasal dari pusat. Bukan hal baru, bahkan kepala daerah sebelumnya juga seperti itu dan sangat terkesan hanya tambal sulam yang kemudian membuat masyarakat skeptis dan apatis publik untuk memberikan dukungan.
Namun dengan menyebarkan baliho, spanduk dan pamflet tentunya bukan berarti salah dan tidak produktif sama sekali. Kata sahabat saya, itu merupakan taktik politik juga dan bagian dari ide konsultan politik untuk menaikan popularitas mereka. Namun satu hal yang perlu di ketahui bahwa terkadang baliho, spanduk, pamflet dan semacamnya sangat meresahkan masyarakat karena dianggap merusak pemandangan perkotaan. Bolehlah memasang baliho, namun ditempat-tempat strategis saja, yang tidak menganggu kenyamanan dan pemandangan kota. Jika tidak maka siap-siaplah akan kehilangan basis dukungan dari masyarakat.
Berangkat dari itu, jika kita melihat situasi atau momen seperti pemilu yang akan berlangsung beberapa bulan lagi, kita selalu teringatkan pendapat Al Gore, katanya “The presidency is more than a popularity contest” (dalam tulisan M Alfan Alfian “Calon Presiden Pilihan Survei” Kompas 17/9/2013), tetapi ini jika berbicara tentang konteks calon presiden. M Alfan Alfian berpendapat bahwa mestinya Pilpres tak sekedar perlombaan kepopuleran tokoh, karena itu kepopuleran tokoh belum tentu mencerminkan kualitas kepemimpinannya. Jika pendapat diatas diturunkan dilevel daerah pada pertarungan Pilwali atau Pilgub kiranya akan sama, Pilwali dan Pilgub seharusnya bukan sekedar perlombaan kepopuleran, karena itu belum tentu akan mencerminkan kualitas kepemimpinannya. Jadi yang berbeda itu hanya levelnya saja, antara kepala negara dan kepala daerah, namun substansinya sama yaitu seorang calon tidak bisa hanya diukur dari segi popularitasnya, tetapi kualitas kepemimpinnya, agar membawa daerah pada kemajuan dan memakmurkan masyarakat kecil.
Popularitas Lewat Gagasan
Pencarian popularitas bisa saja, tetapi dengan sewajarnya. Popularitas juga merupakan bagian dari dorongan berbagai Parpol, seperti tuntutan agar politisi mencari popularitas tinggi untuk kemudian dapat diusungnya. Harapan Parpol adalah untuk meraup kemenangan. Namun biasanya popularitas dinilai hanya bagian dari anti-tesis tokoh lama, misalnya calon tersebut orang tuanya pernah menjabat sebagai Gubernur atau calon tersebut orang tuanya tengah menjadi Walikota atau juga calon tersebut anak dari seorang tokoh politik. Nah, dalam konteks ini, publik tidak memiliki gambaran yang paripurna untuk memilih pemimpinnya. Semua terkesan popularitas instan dan bukan pembumian lewat gagasan dan ide-ide dalam membangun daerah sebelumnya. Dengan itu, terkadang juga publik sering termakan umpan bahwa keberhasilan tokoh lama dalam hal ini orang tuanya dalam memimpin, akan terbawah kepada anaknya. Sungguh, ini penilaian yang sangat absuriditas dan sama sekali tak berdasar.

Spanduk di depan Mesjid
Spanduk Yang Ada di MTQ Kendari

Olehnya itu, Parpol seharusnya harus jeli dan menentukan dukungan, jika tidak ingin menang asal-asalan. Tidak hanya fokus pada popularitas seseorang menurut survei yang sering didewa-dewakan, namun pada politisi yang bermutu, berkarisma dan diyakini mampu menjawab tantangan-tantangan dalam membangun daerah ke depan.
Lalu, publik kadang sangat sulit untuk mengukur kepemimpinan seseoarang. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan. Biasanya kalau calon tersebut tangga dasarnya dari birokrasi, maka masyarakat akan menilai, suda sejauh mana birokrasi yang dipimpinnya selama ini! Apakah dia berhasil atau tidak? Apakah dia tersangkut korupsi di birokrasi itu? Bagaimana dengan penggunaan anggaran di birokrasinya? Apakah efektif digunakan untuk kepentingan masyarakat kecil? Namun jika calon tersebut dari partai politik tentunya masyarakat akan mempunyai pertanyaan lain. Masyarakat akan menilai, Bagaimana kiprahnya di partai politik selama ini? Apakah dia selalu ikut kongkalingkong berebut bisnis, lalu tersangkut korupsi! Apa sumbangan pemikirannya terhadap partai politik dalam mengawal atau mewujudkan kesejahteraan masyarakat? Apakah betul dia akan membawa aspirasi masyarakat dan bukan partainya? Jangan-jangan dia hanya akan memakmurkan relasi bisnisnya di partai-partai politik bukan masyarakat kecil! Pertanyaan-pertanyaan ini tentu sangat rasional dan sangat relevan dengan kondisi saat ini, ditengah melenturnya kepercayaan publik pada calon-calon Pilwali, Pilgub dan mungkin juga Pilpres.
Namun itulah politik, dimana persaingan untuk memperoleh kekuasaan kadang begitu muda dan juga akan terasa sulit. Ada yang gugur dan ada juga yang menang. Setelah memperoleh kekuasaan, juga diperhadapkan dengan banyak tantangan, yakni kekuasaan yang pragmatis-transaksional. Disinilah kekuasaan akan berdampak buruk, namun jika pengelolaannya tidak demikian kekuasaan justru akan berdampak baik. Kekuasaan juga kadang sangat gampang berada dalam genggaman, namun gampang juga untuk lepas dan tak bisa meraihnya. Tergantung bagaimana kecerdasan mengelola berbagai macam kemungkinan. Kata Harold D. Laswell “Politics: Who Gets What, When, How” (Politik tentang siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana). Jika tidak hati-hati memahami politik, maka akan seperti yang dikatakan oleh Peter Merkl bahwa politik akan menjelma menjadi “a selfish grab of power, glory and riches” (suatu perebutan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan) untuk kepentingan diri sendiri atau kata Miriam Budiardjo, 1989:3, akan menjadi perebutan kekuasaan, tahta dan harta.

Salah Satu Kelurga Pemulung Yang Ada di Kota Kendari
 
Pengait Sampah di Kota Kendari

Politik dengan hal tersebut diatas, tentu akan sangat jauh dari substansi arti politik yang sesungguhnya yaitu kekuasaan untuk mengatur dengan memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada masyarakat; yang oleh Benedict Anderson menyebut bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk memberikan kehidupan.
Dalam konteks inilah, dimana politik dipahami sebagai kekuasaan yang mempunyai etika dan pertanggungjawaban, seperti yang diungkapkan oleh Muchamad Yuliyanto, dengan diabdikan untuk mewujudkan suatu kemuliaan (virtual) yakni memajukan dan menyejahterakan publik.

0 komentar:

Posting Komentar