Baliho Calon-Calon Gubernur dan Walikota |
Politics: Who Gets What, When, How.
Harold D. Laswell
Pemilihan umum kepala daerah serentak
gelombang ke dua, tinggal menunggu beberapa bulan lagi yakni di bulan Februari tahun
2017 mendatang. Politisi yang ingin memperebutkan orang nomor wahid pun, saat
ini sedang gencar-gencarnya mempersenjatai diri mereka dengan memasang baliho,
spanduk dan pamflet. Hal itu dilakukan untuk menaikan citra atau popularitas diri
mereka agar masuk pada poling survei tertinggi. Harapan mereka adalah agar
dapat diusung oleh partai-partai politik.
Partai politik sekiranya dapat
memberikan ruang, dalam hal ini dapat dijadikan sebagai kendaraannya politik
jika politisi tersebut memiliki tingkat survei yang lebih tinggi atau
popularitasnya lebih tinggi. Partai politik memilih dan memilah calon-calon
yang telah melamar. Siapa yang tinggi, itulah yang akan dipinangnya dan jika
tidak maka tentunya akan ditenggelamkan. Partai politik menggunakan data basis
survei dalam hal mengusung calon. Inilah yang dinamakan penjaringan calon yang
dilakukan partai politik saat ini, mencari calon-calon yang mempunyai
popularitas tinggi. Maka tak heran politisi-politisi yang ingin berebut
kekuasaan itu berlomba-lomba menyebarkan berbagai baliho, spanduk dan pamflet
diberbagai sudut di ruang-ruang kota.
Kita dapat menemukan baliho, spanduk dan
pamflet tersebut diberbagai penjuru; perempatan lampu merah, didepan mesjid, didepan
sekolah-sekolah, perguruan tinggi, dekat got yang didirikan dengan kayu-kayu
balok, dipapan rumah orang-orang miskin, ditempat prostitusi/pelacuran dan lain
sebagainya. Baliho, spanduk dan pamflet mereka tersebar ada dimana-mana. Ada
kesan dari masyarakat bahwa sepertinya sedang terjadi perang antar baliho.
Seperti sebuah perang yang direncanakan dan bertemu dipadang gurun terbuka
dengan berbagai bendera sebagai lambang kerajaannya. Tujuan mereka adalah satu,
yaitu sebuah kekuasaan. Siapa yang unggul itulah yang bertahan dan berada dalam
lingkaran kekuasaan. Namun politisi ini berebut kuasa bukan untuk menjajah,
namun dengan tujuan yang mulia, untuk memakmurkan masyarakat kecil bukan
pengusaha atau birokrasi borjuis.
Tentunya, ini mengingatkan saya pada sebuah
film Dragon Blade yang diperankan oleh Jackie Chan sebagai jendral Huo An,
penjaga perdamayan jalur sutra di Angsa Liar. Konon, jalur tersebut adalah
jalur yang sangat strategis, dapat menghubungkan bagian barat kerajaan besar ke
bagian timur. Jalur tersebut sebagai pusat perdagangan dan budaya, yang banyak
diperebutkan oleh berbagai kerajaan di Eropa dan juga Asia. Ada 36 kerajaan
yang memperebutkan jalur tersebut seperti kerajaan Roma, Turki, India, Persia,
Parthia, China dan lain sebagaianya. Ketika kerajaan mengambil kebijakan atau
menginstruksikan untuk merebut jalur sutra tersebut, maka peperangan dapat
terjadi. Pertempuran mereka dipadang gurun terbuka. Bendera-bendera sebagai
lambang kerajaan mereka membubul tinggi, pertanda peperangan telah siap akan
dimulai. Satu yang akan menjadi tujuan mereka, merebut jalur tersebut agar
kerajaannya mendapatkan limpahan kekayaaan dan disegani oleh kerajaan-kerajaan
lainnya. Idealnya adalah sebuah kekuasaan. Sekali lagi, siapa yang unggul
itulah yang bertahan dan berada dalam lingkaran kekuasaan.
Baliho ADP Yang Banyak Tersebar di Kota Kendari |
Spanduk Sudarmanto. S |
Kembali ke konteks awal tadi, jika
politisi banyak memasang baliho, spanduk dan pamflet di mana-mana, tentu ada
kemungkinan popularitas mereka akan naik, yang kemudian dapat diusung oleh
partai politik. Namun ini belum cukup dan belum tentu juga akan menang,
meskipun pasukan yang dibawahnya sangatlah besar. Sejatinya publiklah yang akan
menyeleksi. Dan yang paling menentukan adalah kecerdikan mereka mengelolah
berbagai taktik, informasi, wacana, cepat tanggap terhadap masaalah masyarakat dan
lain sebagainya.
Pemimpin
Yang Bermutu
Di dalam demokrasi langsung, memang
popularitas seorang tokoh politik itu sangatlah penting. Jadi, jika kita
melihat baliho, spanduk dan pamflet bertebaran di jalanan sana memang wajar
saja, karena politisi sebagaimana seorang artis butuh terkenal dan juga butuh
dukungan publik yang luas. Maka dari itu seorang calon harus survive, idealnya
itu harus hadir di tengah-tengah publik seperti memasang baliho, memuat iklan tentang
diri dikoran-koran, membuat grup di media sosial dengan menghadirkan gagasan
yang solutif pada setiap permasalahan masyarakat, hadir di kegiatan sosial,
membagi-bagikan Tunjangan Hari Raya (THR) pada masyarakat kecil (kebetulan ini
dekat-dekat hari raya idul fitri), atau mungkin juga blusukan ala Jokowi. Itu
penting dan memang harus demikian adanya. Jika tidak, sama halnya membiarkan
diri mereka akan tenggelam di dasar laut, seperti halnya kapal yang karam
karena tak tahan diterjang ombak yang begitu besar.
Namun dengan demikian, seorang calon
atau lebih populer disebut seorang politisi, juga harus dituntut untuk selalu profesional
dalam merespon tentang banyak hal, misalnya keluhan masyarakat tentang
kurangnya pemadam kebakaran, kesemerawutan kota seperti banjir, begal, sampah
dijalanan, kemiskinan, tentang nasib para pengemis, pelayanan birokrasi yang
lambat dan lain sebagainya. Selain itu, juga harus dibarengi dengan kecanggihan
merawat basis dukungan di berbagai kalangan seperti tokoh pemuda, politik,
agama, adat dan lain-lain. Kita akan mengibaratkannya seperti dalam konteks
penyanyi idola, seorang politisi tidak bisa hanya mengandalkan suaranya yang
merdu seperti penyanyi Novita Dewi yang digadang-gadang akan mengalakan Fatin
Shidiqqia dalam ajang grand final X Factor. Namun seorang politisi, juga harus
bisa menarik simpati dan meraup dukungan yang lebih banyak pada publik.
Berbicara tentang Fatin, memang tidak
disangka-sangka akan menjadi juara di ajang X Factor karena suaranya tergolong
sangat biasa saja. Namun karena mendapatkan basis dukungan yang besar dari
masyarakat Indonesia, maka Fatin mendapatkan poling sms yang sangat banyak lalu
mengalakan Novita Dewi. Namun kemenangan Fatin itu bukan tanpa taktik atau
cara-cara dalam mengalahkan lawannya Novita Dewi. Ia menggunakan cara, apa yang
disebut Ragil Nugroho dalam tulisannya dengan Koran atau peranca. Ragil Nugroho
mengatakan bahwa, Koran yang dipakai Fatin bukan koran-koran pada umunya, namun
dalam bentuk syair lagu yang disebarkan lewat youtube. Syair lagu tersebut
kemudian dapat menjangkau dan terdistribusi luas dari ruangan yang ber AC
sampai di kampung-kampung, didengarkan penjaga lapak telepon genggam sampai
politisi di senayan, ruang tunggu kawasan pelacuran sampai dengan mal-mal papan
atas di ibu kota.
Spanduk Abdul Razak. Entah apa yang dipikirkan, proyek atau permasalahan masyarakat Kota Kendari |
Inilah Baliho Tiga Calon Walikota Kendari |
Lalu, bagaimana dengan para politisi
yang ingin memperebutkan Walikota dan Gubernur di daerah. Politisi yang akan
bertarung dalam Pilwali atau Pilgub juga harus menggunakan sebuah Koran atau
peranca agar dapat meraup dukungan yang lebih banyak. Koran yang dipakai bisa
lewat media massa atau media sosial dengan tulisan-tulisan yang memuat gagasan
dalam membangun daerah, memanfaatkan grup dengan hal-hal yang positif, mengkritisi
gagasan calon lain dengan rasional bukan dengan kebencian yang dibumbui dengan
berbagai gagasan dan ide-ide yang baru, segar, yang memihak pada masyarakat kecil dan muda diterima oleh
masyarakat setempat. Idelanya sebuah visi-misi, gagasan yang bermutu, komprehensif
yang menyangkut tentang pembangunan, bukan terus-terusan pendidikan gratis yang
justru faktanya pendidikan tetap memungut biaya. Ide ini malah gagasan lama dan
bahkan berasal dari pusat. Bukan hal baru, bahkan kepala daerah sebelumnya juga
seperti itu dan sangat terkesan hanya tambal sulam yang kemudian membuat
masyarakat skeptis dan apatis publik untuk memberikan dukungan.
Namun dengan menyebarkan baliho, spanduk
dan pamflet tentunya bukan berarti salah dan tidak produktif sama sekali. Kata
sahabat saya, itu merupakan taktik politik juga dan bagian dari ide konsultan
politik untuk menaikan popularitas mereka. Namun satu hal yang perlu di ketahui
bahwa terkadang baliho, spanduk, pamflet dan semacamnya sangat meresahkan
masyarakat karena dianggap merusak pemandangan perkotaan. Bolehlah memasang
baliho, namun ditempat-tempat strategis saja, yang tidak menganggu kenyamanan
dan pemandangan kota. Jika tidak maka siap-siaplah akan kehilangan basis
dukungan dari masyarakat.
Berangkat dari itu, jika kita melihat
situasi atau momen seperti pemilu yang akan berlangsung beberapa bulan lagi,
kita selalu teringatkan pendapat Al Gore, katanya “The presidency is more than a popularity contest” (dalam tulisan M
Alfan Alfian “Calon Presiden Pilihan
Survei” Kompas 17/9/2013), tetapi ini jika berbicara tentang konteks calon
presiden. M Alfan Alfian berpendapat bahwa mestinya Pilpres tak sekedar perlombaan
kepopuleran tokoh, karena itu kepopuleran tokoh belum tentu mencerminkan
kualitas kepemimpinannya. Jika pendapat diatas diturunkan dilevel daerah pada
pertarungan Pilwali atau Pilgub kiranya akan sama, Pilwali dan Pilgub
seharusnya bukan sekedar perlombaan kepopuleran, karena itu belum tentu akan
mencerminkan kualitas kepemimpinannya. Jadi yang berbeda itu hanya levelnya
saja, antara kepala negara dan kepala daerah, namun substansinya sama yaitu seorang
calon tidak bisa hanya diukur dari segi popularitasnya, tetapi kualitas
kepemimpinnya, agar membawa daerah pada kemajuan dan memakmurkan masyarakat
kecil.
Popularitas
Lewat Gagasan
Pencarian popularitas bisa saja, tetapi
dengan sewajarnya. Popularitas juga merupakan bagian dari dorongan berbagai
Parpol, seperti tuntutan agar politisi mencari popularitas tinggi untuk
kemudian dapat diusungnya. Harapan Parpol adalah untuk meraup kemenangan. Namun
biasanya popularitas dinilai hanya bagian dari anti-tesis tokoh lama, misalnya
calon tersebut orang tuanya pernah menjabat sebagai Gubernur atau calon
tersebut orang tuanya tengah menjadi Walikota atau juga calon tersebut anak
dari seorang tokoh politik. Nah, dalam konteks ini, publik tidak memiliki
gambaran yang paripurna untuk memilih pemimpinnya. Semua terkesan popularitas
instan dan bukan pembumian lewat gagasan dan ide-ide dalam membangun daerah
sebelumnya. Dengan itu, terkadang juga publik sering termakan umpan bahwa
keberhasilan tokoh lama dalam hal ini orang tuanya dalam memimpin, akan
terbawah kepada anaknya. Sungguh, ini penilaian yang sangat absuriditas dan sama
sekali tak berdasar.
Spanduk di depan Mesjid |
Spanduk Yang Ada di MTQ Kendari |
Olehnya itu, Parpol seharusnya harus
jeli dan menentukan dukungan, jika tidak ingin menang asal-asalan. Tidak hanya
fokus pada popularitas seseorang menurut survei yang sering didewa-dewakan,
namun pada politisi yang bermutu, berkarisma dan diyakini mampu menjawab
tantangan-tantangan dalam membangun daerah ke depan.
Lalu, publik kadang sangat sulit untuk
mengukur kepemimpinan seseoarang. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan.
Biasanya kalau calon tersebut tangga dasarnya dari birokrasi, maka masyarakat
akan menilai, suda sejauh mana birokrasi yang dipimpinnya selama ini! Apakah
dia berhasil atau tidak? Apakah dia tersangkut korupsi di birokrasi itu? Bagaimana
dengan penggunaan anggaran di birokrasinya? Apakah efektif digunakan untuk
kepentingan masyarakat kecil? Namun jika calon tersebut dari partai politik
tentunya masyarakat akan mempunyai pertanyaan lain. Masyarakat akan menilai,
Bagaimana kiprahnya di partai politik selama ini? Apakah dia selalu ikut
kongkalingkong berebut bisnis, lalu tersangkut korupsi! Apa sumbangan
pemikirannya terhadap partai politik dalam mengawal atau mewujudkan
kesejahteraan masyarakat? Apakah betul dia akan membawa aspirasi masyarakat dan
bukan partainya? Jangan-jangan dia hanya akan memakmurkan relasi bisnisnya di
partai-partai politik bukan masyarakat kecil! Pertanyaan-pertanyaan ini tentu
sangat rasional dan sangat relevan dengan kondisi saat ini, ditengah
melenturnya kepercayaan publik pada calon-calon Pilwali, Pilgub dan mungkin
juga Pilpres.
Namun itulah politik, dimana persaingan
untuk memperoleh kekuasaan kadang begitu muda dan juga akan terasa sulit. Ada
yang gugur dan ada juga yang menang. Setelah memperoleh kekuasaan, juga diperhadapkan
dengan banyak tantangan, yakni kekuasaan yang pragmatis-transaksional. Disinilah
kekuasaan akan berdampak buruk, namun jika pengelolaannya tidak demikian
kekuasaan justru akan berdampak baik. Kekuasaan juga kadang sangat gampang
berada dalam genggaman, namun gampang juga untuk lepas dan tak bisa meraihnya. Tergantung
bagaimana kecerdasan mengelola berbagai macam kemungkinan. Kata Harold D.
Laswell “Politics: Who Gets What, When,
How” (Politik tentang siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana). Jika
tidak hati-hati memahami politik, maka akan seperti yang dikatakan oleh Peter
Merkl bahwa politik akan menjelma menjadi “a
selfish grab of power, glory and riches” (suatu perebutan kekuasaan,
kedudukan, dan kekayaan) untuk kepentingan diri sendiri atau kata Miriam
Budiardjo, 1989:3, akan menjadi perebutan kekuasaan, tahta dan harta.
Salah Satu Kelurga Pemulung Yang Ada di Kota Kendari |
Pengait Sampah di Kota Kendari |
Politik dengan hal tersebut diatas,
tentu akan sangat jauh dari substansi arti politik yang sesungguhnya yaitu
kekuasaan untuk mengatur dengan memberikan perlindungan dan kesejahteraan
kepada masyarakat; yang oleh Benedict Anderson menyebut bahwa kekuasaan adalah
kemampuan untuk memberikan kehidupan.
Dalam konteks inilah, dimana politik
dipahami sebagai kekuasaan yang mempunyai etika dan pertanggungjawaban, seperti
yang diungkapkan oleh Muchamad Yuliyanto, dengan diabdikan untuk mewujudkan
suatu kemuliaan (virtual) yakni
memajukan dan menyejahterakan publik.
0 komentar:
Posting Komentar