17 Juli 2016

Mahalnya Harga Buku

Ilustrasi: Sumber Gambar; samaggi-phala.or.id

MENGAMATI perkembangan di era digital sekarang, sebagian orang kadang suda mengesampingkan untuk membeli buku-buku. Tentunya mereka lebih memilih lewat online atau dalam bentuk e-book. Ini suatu capaian yang luar biasa, karena adanya topangan kecanggihan teknologi yang merupakan bagian dari aplikasi perkembangan peradaban ilmu pengetahuan. Dalam bahasa lain, kita suda dikepung yang namanya perpustakaan online. Perpustakaan online ini membuat kita dengan muda dapat mengaksesnya dimana, kapan, dan bagaimanapun. Dengan demikian, tentunya kita sedang berada dalam literatur yang sangat luar biasa canggih.
Namun, apakah membeli buku di tokoh-tokoh buku masih penting! Tentunya masih penting dan sangat perlu. Bagi para penulis dan pekerja intelektual atau peneliti, membeli, membaca dan kemudian menuliskan buku tersebut, merupakan proses untuk kemudian mengikat makna sebagaimana kata Hernowo. Buku merupakan ilmu pengetahuan dan bagian dari sumber inspirasi. Saya sendiri, lebih suka membaca dalm bentuk buku, daripada lewat online dalam bentuk e-book. Namun keduanya tentunya sangat penting.
Memang kehadirannya dirasa terus bergerak cepat. Namun teknologi membuat hidup kita serba praktis, serba instan. Bentuk buku dan bentuk e-book lewat online, kita sadari bahwa keduanya merupakan sama-sama ilmu pengetahuan. Tentu ilmu pengetahuan bukanlah benda mati, ia selalu aktual jika diaktualisasikan. Dan bentuk buku dan e-book yang merupakan karya-karya intelektual adalah benda hidup yang selalu mengajak orang-orang untuk mendiskusikannya, mendialogkannya dan membuat kita berpikir. Namun ruang lingkup keduanya tentu sangat berbeda. Sebagaimana kata M Alfan Alfian yang satu dalam bentuk buku yang membuat kita hidup lebih bermakna, yang satunya lagi lewat online dalam bentuk e-book yang membuat kita hidup lebih praktis, atau saya sebut instan. Dalam hal ini, sejatinya buku lebih bermakna daripada yang praktis atau dalam bentuk e-book, meskipun keduanya sama-sama penting.
Saya teringat dalam buku M Alfan Alfian Bagaimana Saya Menulis. Ia mengutip apa yang diuraikan Ian F McNelly dan Lisa Wolverton dalam bukunya Reinventing Knowledge, From Alexandria to Internet (2008), yang mengatakan bahwa “era reformasi saat ini mengancam untuk membuat pengetahuan penting hanya sesaat, seperti halnya pulsa elektronik yang mengalir lewat kabel serat optiik”. Tentunya kita bukan tidak menyetujui adanya teknologi yang menghadirkan munculnya ilmu pengetahuan lewat online dalam bentuk e-book. Namun kita harus lebih menekankan bahwa ilmu pengetahuan seharusnya terus hadir, dirawat, dipelihara agar lebih bermakna, dalam hal ini terpraktikan dan teramalkan pada segenap anak bangsa. Tidak harus tergerus oleh budaya populer, dan modernis lalu kemudian terlupakan. Olehnya itu, ilmu pengetahuan perlu hadir dalam bentuk buku-buku dengan perpustakaannya yang indah dan megah. Tapi tak lupa, juga harus hadir dalam bentuk e-book. Ini sangat penting agar tidak termakan dan hangus oleh zaman.
Dengan buku tentu dapat teramalkan dengan baik, dipinjamkan ke sahabat-sahabat, dapat ditemukan diberbagai tokoh-tokoh buku, dibaca banyak orang, dapat dibawah kemana-mana, dan buku akan terus ada, tidak pernah dimakan usia jika dirawat dengan baik. Sementara e-book, kemungkinan hanya banyak dijangkau oleh kelas menengah dan kelas atas di negeri ini. Sementara kelas bawah tak dapat menikmati, memiliki dan membaca, jika tak bisa memiliki Leptop, Notebook, Aipet, Tablet dan HP yang memiliki Android. Karena berbagai macam teknologi ini harganya sangat mahal, bisa jutaan rupiah. Dan buku hanya berharga belasan ribu untuk buku yang mempunyai tebal 100-an halaman, sampai ratusan ribu bagi buku-buku yang tebal, khusus di Jawa, Yogyakarta, dan Jakarta. Namun tak bisa dipungkiri, mungkin saja harga-harga diatas bagi mereka juga sangat mahal.
Lain Jawa, Yogyakarta, Jakarta, juga lain Kendari. Mungkin untuk harga buku di Jawa, Yogyakarta dan Jakarta bagi orang Kendari sangat murah. Karena di daerah Kendari harga buku-bukunya sangatlah mahal. Tokoh buku seperti Gramedia di Kendari harga buku-bukunya terpatok sampai hampir 200 Ribu rupiah dengan tebal sekitar 300-400 halaman. Sedangkan untuk buku dengan tebal 100-200 halaman biasanya harganya dipatok dari harga 90 Ribu rupiah sampai 60 Ribu rupiah. Untuk ukuran orang-orang Kendari tentu harga diatas sangatlah mahal, apalagi untuk ukuran anak-anak mahasiswa dan mahasiswinya. Mungkin karena faktor jarak yang sangat jauh, karena buku-buku kebanyakan diproduksi di Jawa, Yogyakarta atau Jakarta, yang kemudian disuplai ke Timur sehingga harganya sangat mahal. Sehingga tak heran jika, pusat intelektualisme lebih condong Indonesia Barat daripada Indonesia Timur.
Contoh kecil tentang mahalnya buku diatas, buku mengenai Nilai-Nilai Kehidupan Masyarakat Buton; Sumbangan Kabanti Ajonga Yinda Malusa untuk Revolusi Mental Indonesia, karya Ali Rosidin yang harganya 180 Ribu rupiah. Kemarin saya cukup terkaget melihatnya di Gramedia, karena harganya begitu mahal. Memang ilmu itu mahal, namun seharusnya tidak dijadikan barang mewah. Dalam artian sesuatu yang sulit dibeli atau dijangkau rakyat. Apalagi buku tersebut tentang Buton, dimana Kota Kendari terdapat banyak orang Buton yang menetap. Seharusnya lebih dipermurah lagi, agar harganya dapat dijangkau oleh masyarakat Sulawesi Tenggara, terutama orang Buton, lalu mempelajari dan mengetahui kekayaan dan nilai-nilai kebudayaanya lewat buku tersebut.
***
Ada pengalaman tersendiri tentang buku, ketika beberapa bulan yang lalu, seorang mahasiswa di Kendari berkunjung di kamar adik sepupu, dimana tempat buku-buku koleksiku saya simpan. Jumlahnya memang tidak banyak, sangatlah sedikit. Buku-buku itu tebalnya ada yang 100-an halaman sampai 700-an halaman. Harganya pun bervariasi, dari 25 Ribu rupiah (ini buku novel dan buku lama) sampai dengan harga 200 Ribu rupiah. Namun sejenak ketika melihat buku itu, ia terheran-heran, baginya lumayan banyak. Dia sempat bertanya apakah saya dari orang kaya! Saya katakan, bukan! Kedua orang tua saya adalah petani. Lalu dia bertanya lagi, bagaimana bisa mendapatkan buku-buku itu, untuk ukuran mahasiswa seperti kamu? Dulu waktu mahasiswa saya sempat mendapatkan beasiswa, dan uang itu saya gunakan untuk membeli buku-buku.
Memang buku-buku sangat mahal, tetapi semangat membacaku tak perna padam, sehingga membuatku terus mencari, mencari dan mencari buku. Jika uang tersebut habis saya bertaruh dengan makanan saya. Kadang saya sebulan hanya makan indomie dan telur. Kiriman orang tua tiga ratus ribu sebulan (waktu jadi mahasiswa), harus bisa mendapatkan satu buku meskipun itu harganya seratusan lebih.
Nah, biasanya untuk mendapatkan makanan lezat, yang banyak gizi (soalnya jarang-jarang memakan makanan yang bergizi dikamar waktu jadi mahasiswa) saya seringkali mengakali diri. Kadang saya menawarkan jasa membantu kegiatan teman-teman, para akademisi atau pekerja intelektual di hotel-hotel, meskipun tidak diberi persenan. Namun jika ada uangnya, uang itu tetap saya belikan buku, karena saya anggap sebagai tanda mata. Dengan itu, tentu buku-buku saya masih sangat sedikit, belum banyak jika dibandingkan dengan koleksi buku dosen saya, Syamsul Anam Ilahi atau seorang penulis Yusran Darmawan, M Alfan Alfian serta seperti penulis-penulis termasyur yang lainnya.
***
Di Kendari dan mungkin juga pada umumnya di Indonesia, orang-orang yang banyak mengoleksi buku yaitu dari kalangan akademisi seperti dosen atau para pekerja intelektual, biasanya juga para birokrasi yang masih hobi membaca. Mereka dianggap mampu karena suda hidup mapan, dengan pekerjaan mereka, sehingga banyak membeli buku-buku. Sementara masyarakat biasa, rakyat kecil atau mahasiswa/i dari kampung dengan kiriman yang terbatas, membeli buku adalah sesuatu yang luar biasa berat. Sehingga buku masih dianggap sebagai barang mewah, yang sangat susah dibeli karena kemahalan.
Menyikapi hal itu, apa yang dilakukan pemerintah seharusnya dapat menyediakan buku-buku yang harganya sangat murah dan dapat dijangkau rakyat dan juga para mahasiswa/i. Pemerintah harus memperhatikan faktor pendapatan masyarakat yang rendah, sehingga ilmu pengetahuan tidak hanya bertitik pangkal pada kelas menengah dan kelas atas. Ini penting untuk merebut perubahan lewat membaca, karena buku adalah sumber ilmu pengetahuan yang kemudian mendorong orang-orang untuk dapat mengaplikasikannya kepada masyarakat. Dengan demikian, maka semua stakeholders sama-sama berpatisipasi dalam membangun, rakyat juga bisa menyumbangkan gagasan, bukan saja kelas menengah dan atas yang seringkali pikirannya rumit karena dengan mengkalkulasi untung-rugi.
Namun ini bukanlah hal yang muda, perlu komitmen bersama oleh pemerintah pusat, daerah serta legislatif pusat dan daerah untuk mencerdaskan anak-anak bangsa. Karena kebanyakan orang sekarang di Indonesia masih banyak yang enggan membeli buku untuk membaca, karena kemahalan. Seperti yang diungkapkan oleh M Alfan Alfian, bahwa politik penerbitan buku kita masih belum jelas. Belum ada kebijakan pemerintah, mengenai bagaimana dengan ketersedian buku-buku. Beda halnya dengan negara India, yang dianggap memiliki politik perbukuan yang sangat mendukung kemajuan. Mengutip apa yang dikatakan oleh M Alfan Alfian dalam bukunya Bagaimana Saya Menulis:
Hajriyanto Y Thohari dalam sebuah artikelnya di surat kabar mengatakan bahwa dunia perbukuan India benar-benar luar biasa karena ketersediaan buku-buku literatur yang melimpah ruah dan harganya murah dan terjangkau rakyat. Selain itu politik perbukuan India sangat mendukung kemajuan karena diurus dengan cerdas, dan piawai, ditunjang kebijakan pemerintah yang membebaskan pajak buku dan menekan harga kertas buku seminimal mungkin. Ada beberapa usulan Hajriyanto Y Thohari yang perlu kita cermati, Pertama, hapuskan pajak buku. Kedua, harga buku untuk kertas harus ditekan. Ketiga, berikanlah subsidi buku. Keempat, buka akses dengan penerbit-penerbit buku di luar negeri agar buku-buku terbitan mereka dapat dicetak dan diterbitkan di Indonesia.
Tentunya usulan tersebut mengacu pada politik perbukuan di India. Ini suatu pukulan telak bagi kita. Negara India tengah bangkit, dan diprediksi akan menjadi negara berpengaruh di Asia sejejar dengan negara China, Jepang, Korea Selatan dan juga akan berpengaruh di negara-negara Barat lainnya. Banyak ilmuwan India, yang dulu tersebar dan belajar di negara-negara Barat, lalu pulang untuk membangun negaranya. Banyak juga orang India yang meraih hadiah nobel, meskipun menetap dan berkewarganegaraan di negara lain. Semua itu tentu, karena dukungan kebijakan pemerintah untuk mencerdaskan anak-anak bangsanya. Negara India dengan politik perbukuan yang baik mendukung kemajuan dengan, mempermurah harga-harga buku agar dapat dijangkau oleh semua kalangan.
Sementara anak-anak bangsa, entah sampai kapan! Buku masih dianggap barang mewah. Ini wajar karena harga-harga buku masih mahal, kemahalan. Ini perlu kebijakan pemerintah yang pro-kemajuan. Perpustakaan di daerah-daerah masih sangat kurang. Ada usulan pendirian perpustakaan anggota DPR, namun perpustakaan itu ternyata untuk di DPR, bukan untuk rakyat di daerah-daerah. Entah mengapa! Kecerdasan dikehendaki hanya untuk mereka yang memiliki jabatan yang berkuasa, sementara rakyat hanya dianggap penonton dan penerima. Ini jelas akan menjadi cambuk berduri untuk bangsa kita dikemudian hari, jika tidak cepat berbenah.
                                                                                        Kendari, 17 Juli 2016
                                                                                        Laode Halaidin

0 komentar:

Posting Komentar