Ilustrasi: Sumber Gambar; samaggi-phala.or.id |
MENGAMATI
perkembangan di era digital sekarang, sebagian orang kadang suda
mengesampingkan untuk membeli buku-buku. Tentunya mereka lebih memilih lewat online atau dalam bentuk e-book. Ini suatu capaian yang luar
biasa, karena adanya topangan kecanggihan teknologi yang merupakan bagian dari
aplikasi perkembangan peradaban ilmu pengetahuan. Dalam bahasa lain, kita suda
dikepung yang namanya perpustakaan online.
Perpustakaan online ini membuat kita
dengan muda dapat mengaksesnya dimana, kapan, dan bagaimanapun. Dengan
demikian, tentunya kita sedang berada dalam literatur yang sangat luar biasa
canggih.
Namun,
apakah membeli buku di tokoh-tokoh buku masih penting! Tentunya masih penting
dan sangat perlu. Bagi para penulis dan pekerja intelektual atau peneliti, membeli,
membaca dan kemudian menuliskan buku tersebut, merupakan proses untuk kemudian
mengikat makna sebagaimana kata Hernowo. Buku merupakan ilmu pengetahuan dan
bagian dari sumber inspirasi. Saya sendiri, lebih suka membaca dalm bentuk
buku, daripada lewat online dalam
bentuk e-book. Namun keduanya
tentunya sangat penting.
Memang
kehadirannya dirasa terus bergerak cepat. Namun teknologi membuat hidup kita
serba praktis, serba instan. Bentuk buku dan bentuk e-book lewat online, kita
sadari bahwa keduanya merupakan sama-sama ilmu pengetahuan. Tentu ilmu
pengetahuan bukanlah benda mati, ia selalu aktual jika diaktualisasikan. Dan
bentuk buku dan e-book yang merupakan
karya-karya intelektual adalah benda hidup yang selalu mengajak orang-orang
untuk mendiskusikannya, mendialogkannya dan membuat kita berpikir. Namun ruang
lingkup keduanya tentu sangat berbeda. Sebagaimana kata M Alfan Alfian yang satu
dalam bentuk buku yang membuat kita hidup lebih bermakna, yang satunya lagi
lewat online dalam bentuk e-book yang membuat kita hidup lebih
praktis, atau saya sebut instan. Dalam hal ini, sejatinya buku lebih bermakna
daripada yang praktis atau dalam bentuk e-book,
meskipun keduanya sama-sama penting.
Saya
teringat dalam buku M Alfan Alfian Bagaimana
Saya Menulis. Ia mengutip apa yang diuraikan Ian F McNelly dan Lisa
Wolverton dalam bukunya Reinventing
Knowledge, From Alexandria to Internet (2008), yang mengatakan bahwa “era
reformasi saat ini mengancam untuk membuat pengetahuan penting hanya sesaat,
seperti halnya pulsa elektronik yang mengalir lewat kabel serat optiik”.
Tentunya kita bukan tidak menyetujui adanya teknologi yang menghadirkan
munculnya ilmu pengetahuan lewat online
dalam bentuk e-book. Namun kita harus
lebih menekankan bahwa ilmu pengetahuan seharusnya terus hadir, dirawat,
dipelihara agar lebih bermakna, dalam hal ini terpraktikan dan teramalkan pada
segenap anak bangsa. Tidak harus tergerus oleh budaya populer, dan modernis
lalu kemudian terlupakan. Olehnya itu, ilmu pengetahuan perlu hadir dalam
bentuk buku-buku dengan perpustakaannya yang indah dan megah. Tapi tak lupa,
juga harus hadir dalam bentuk e-book.
Ini sangat penting agar tidak termakan dan hangus oleh zaman.
Dengan
buku tentu dapat teramalkan dengan baik, dipinjamkan ke sahabat-sahabat, dapat
ditemukan diberbagai tokoh-tokoh buku, dibaca banyak orang, dapat dibawah
kemana-mana, dan buku akan terus ada, tidak pernah dimakan usia jika dirawat
dengan baik. Sementara e-book,
kemungkinan hanya banyak dijangkau oleh kelas menengah dan kelas atas di negeri
ini. Sementara kelas bawah tak dapat menikmati, memiliki dan membaca, jika tak
bisa memiliki Leptop, Notebook, Aipet, Tablet dan HP yang memiliki Android.
Karena berbagai macam teknologi ini harganya sangat mahal, bisa jutaan rupiah.
Dan buku hanya berharga belasan ribu untuk buku yang mempunyai tebal 100-an
halaman, sampai ratusan ribu bagi buku-buku yang tebal, khusus di Jawa,
Yogyakarta, dan Jakarta. Namun tak bisa dipungkiri, mungkin saja harga-harga
diatas bagi mereka juga sangat mahal.
Lain
Jawa, Yogyakarta, Jakarta, juga lain Kendari. Mungkin untuk harga buku di Jawa,
Yogyakarta dan Jakarta bagi orang Kendari sangat murah. Karena di daerah
Kendari harga buku-bukunya sangatlah mahal. Tokoh buku seperti Gramedia di
Kendari harga buku-bukunya terpatok sampai hampir 200 Ribu rupiah dengan tebal
sekitar 300-400 halaman. Sedangkan untuk buku dengan tebal 100-200 halaman
biasanya harganya dipatok dari harga 90 Ribu rupiah sampai 60 Ribu rupiah. Untuk
ukuran orang-orang Kendari tentu harga diatas sangatlah mahal, apalagi untuk
ukuran anak-anak mahasiswa dan mahasiswinya. Mungkin karena faktor jarak yang
sangat jauh, karena buku-buku kebanyakan diproduksi di Jawa, Yogyakarta atau
Jakarta, yang kemudian disuplai ke Timur sehingga harganya sangat mahal.
Sehingga tak heran jika, pusat intelektualisme lebih condong Indonesia Barat
daripada Indonesia Timur.
Contoh
kecil tentang mahalnya buku diatas, buku mengenai Nilai-Nilai Kehidupan Masyarakat Buton; Sumbangan Kabanti Ajonga Yinda Malusa untuk Revolusi Mental Indonesia,
karya Ali Rosidin yang harganya 180 Ribu rupiah. Kemarin saya cukup terkaget
melihatnya di Gramedia, karena harganya begitu mahal. Memang ilmu itu mahal,
namun seharusnya tidak dijadikan barang mewah. Dalam artian sesuatu yang sulit
dibeli atau dijangkau rakyat. Apalagi buku tersebut tentang Buton, dimana Kota
Kendari terdapat banyak orang Buton yang menetap. Seharusnya lebih dipermurah
lagi, agar harganya dapat dijangkau oleh masyarakat Sulawesi Tenggara, terutama
orang Buton, lalu mempelajari dan mengetahui kekayaan dan nilai-nilai kebudayaanya
lewat buku tersebut.
***
Ada
pengalaman tersendiri tentang buku, ketika beberapa bulan yang lalu, seorang
mahasiswa di Kendari berkunjung di kamar adik sepupu, dimana tempat buku-buku koleksiku
saya simpan. Jumlahnya memang tidak banyak, sangatlah sedikit. Buku-buku itu
tebalnya ada yang 100-an halaman sampai 700-an halaman. Harganya pun
bervariasi, dari 25 Ribu rupiah (ini buku novel dan buku lama) sampai dengan
harga 200 Ribu rupiah. Namun sejenak ketika melihat buku itu, ia
terheran-heran, baginya lumayan banyak. Dia sempat bertanya apakah saya dari
orang kaya! Saya katakan, bukan! Kedua orang tua saya adalah petani. Lalu dia bertanya
lagi, bagaimana bisa mendapatkan buku-buku itu, untuk ukuran mahasiswa seperti
kamu? Dulu waktu mahasiswa saya sempat mendapatkan beasiswa, dan uang itu saya
gunakan untuk membeli buku-buku.
Memang
buku-buku sangat mahal, tetapi semangat membacaku tak perna padam, sehingga
membuatku terus mencari, mencari dan mencari buku. Jika uang tersebut habis
saya bertaruh dengan makanan saya. Kadang saya sebulan hanya makan indomie dan
telur. Kiriman orang tua tiga ratus ribu sebulan (waktu jadi mahasiswa), harus
bisa mendapatkan satu buku meskipun itu harganya seratusan lebih.
Nah,
biasanya untuk mendapatkan makanan lezat, yang banyak gizi (soalnya jarang-jarang
memakan makanan yang bergizi dikamar waktu jadi mahasiswa) saya seringkali mengakali
diri. Kadang saya menawarkan jasa membantu kegiatan teman-teman, para akademisi
atau pekerja intelektual di hotel-hotel, meskipun tidak diberi persenan. Namun
jika ada uangnya, uang itu tetap saya belikan buku, karena saya anggap sebagai
tanda mata. Dengan itu, tentu buku-buku saya masih sangat sedikit, belum banyak
jika dibandingkan dengan koleksi buku dosen saya, Syamsul Anam Ilahi atau seorang
penulis Yusran Darmawan, M Alfan Alfian serta seperti penulis-penulis termasyur
yang lainnya.
***
Di
Kendari dan mungkin juga pada umumnya di Indonesia, orang-orang yang banyak
mengoleksi buku yaitu dari kalangan akademisi seperti dosen atau para pekerja
intelektual, biasanya juga para birokrasi yang masih hobi membaca. Mereka
dianggap mampu karena suda hidup mapan, dengan pekerjaan mereka, sehingga
banyak membeli buku-buku. Sementara masyarakat biasa, rakyat kecil atau
mahasiswa/i dari kampung dengan kiriman yang terbatas, membeli buku adalah
sesuatu yang luar biasa berat. Sehingga buku masih dianggap sebagai barang
mewah, yang sangat susah dibeli karena kemahalan.
Menyikapi
hal itu, apa yang dilakukan pemerintah seharusnya dapat menyediakan buku-buku
yang harganya sangat murah dan dapat dijangkau rakyat dan juga para mahasiswa/i.
Pemerintah harus memperhatikan faktor pendapatan masyarakat yang rendah,
sehingga ilmu pengetahuan tidak hanya bertitik pangkal pada kelas menengah dan kelas
atas. Ini penting untuk merebut perubahan lewat membaca, karena buku adalah
sumber ilmu pengetahuan yang kemudian mendorong orang-orang untuk dapat mengaplikasikannya
kepada masyarakat. Dengan demikian, maka semua stakeholders sama-sama
berpatisipasi dalam membangun, rakyat juga bisa menyumbangkan gagasan, bukan
saja kelas menengah dan atas yang seringkali pikirannya rumit karena dengan mengkalkulasi
untung-rugi.
Namun
ini bukanlah hal yang muda, perlu komitmen bersama oleh pemerintah pusat,
daerah serta legislatif pusat dan daerah untuk mencerdaskan anak-anak bangsa. Karena
kebanyakan orang sekarang di Indonesia masih banyak yang enggan membeli buku
untuk membaca, karena kemahalan. Seperti yang diungkapkan oleh M Alfan Alfian,
bahwa politik penerbitan buku kita masih belum jelas. Belum ada kebijakan
pemerintah, mengenai bagaimana dengan ketersedian buku-buku. Beda halnya dengan
negara India, yang dianggap memiliki politik perbukuan yang sangat mendukung
kemajuan. Mengutip apa yang dikatakan oleh M Alfan Alfian dalam bukunya Bagaimana Saya Menulis:
Hajriyanto Y Thohari dalam sebuah artikelnya di surat
kabar mengatakan bahwa dunia perbukuan India benar-benar luar biasa karena
ketersediaan buku-buku literatur yang melimpah ruah dan harganya murah dan
terjangkau rakyat. Selain itu politik perbukuan India sangat mendukung kemajuan
karena diurus dengan cerdas, dan piawai, ditunjang kebijakan pemerintah yang
membebaskan pajak buku dan menekan harga kertas buku seminimal mungkin. Ada
beberapa usulan Hajriyanto Y Thohari yang perlu kita cermati, Pertama, hapuskan
pajak buku. Kedua, harga buku untuk kertas harus ditekan. Ketiga, berikanlah
subsidi buku. Keempat, buka akses dengan penerbit-penerbit buku di luar negeri agar
buku-buku terbitan mereka dapat dicetak dan diterbitkan di Indonesia.
Tentunya
usulan tersebut mengacu pada politik perbukuan di India. Ini suatu pukulan
telak bagi kita. Negara India tengah bangkit, dan diprediksi akan menjadi
negara berpengaruh di Asia sejejar dengan negara China, Jepang, Korea Selatan
dan juga akan berpengaruh di negara-negara Barat lainnya. Banyak ilmuwan India,
yang dulu tersebar dan belajar di negara-negara Barat, lalu pulang untuk
membangun negaranya. Banyak juga orang India yang meraih hadiah nobel, meskipun
menetap dan berkewarganegaraan di negara lain. Semua itu tentu, karena dukungan
kebijakan pemerintah untuk mencerdaskan anak-anak bangsanya. Negara India
dengan politik perbukuan yang baik mendukung kemajuan dengan, mempermurah
harga-harga buku agar dapat dijangkau oleh semua kalangan.
Sementara
anak-anak bangsa, entah sampai kapan! Buku masih dianggap barang mewah. Ini
wajar karena harga-harga buku masih mahal, kemahalan. Ini perlu kebijakan
pemerintah yang pro-kemajuan. Perpustakaan di daerah-daerah masih sangat kurang.
Ada usulan pendirian perpustakaan anggota DPR, namun perpustakaan itu ternyata untuk
di DPR, bukan untuk rakyat di daerah-daerah. Entah mengapa! Kecerdasan
dikehendaki hanya untuk mereka yang memiliki jabatan yang berkuasa, sementara
rakyat hanya dianggap penonton dan penerima. Ini jelas akan menjadi cambuk
berduri untuk bangsa kita dikemudian hari, jika tidak cepat berbenah.
Kendari, 17 Juli 2016
Laode
Halaidin
0 komentar:
Posting Komentar