01 Agustus 2016

Saat Politik di Kritik Lewat Seni

Karya Seni Lukis Anak-Anak Kendari

MALAM SASTRA yang diselenggarakan oleh Kelola bekerjasama dengan Kedutaaan Besar Denmark Indonesia merupakan suatu pementasan komunitas sastra muda. Item kegiatan yang dilaksanakan adalah dengan melakukan Pertunjukan Teater Parodi dan Pameran Gambar, dengan bertemakan Let art brings peace; Kedewasaan Berpolitik.
Saya menyaksikan ini tanggal 30 Juli malam di Taman Kota Kendari. Selain pertunjukan parodi, ada pameran gambar yang merupakan hasil karya seni lukis anak-anak muda di sini yang berbakat. Gambar tersebut bagi saya merupakan sebuah kritikan terhadap kondisi perpolitikan di bangsa ini terutama di Kota Kendari. Karena sebagian besar anak-anak Kendari, maka objek hasil lukisan mereka memperlihatkan nuansa politik yang tengah berlangsung di Kota Kendari. Diantaranya seperti wajah-wajah para politisi yang tengah memperbutkan kursi Walikota, ada gambar tante Besse yang sedang menerima telepon dari seorang calon legislatif yang bernama La Bio, ada gambar tentang genggaman warna, dimana tangan-tangan tersebut mewakili warna dari berbagai partai politik yang saling tarik-menarik untuk mempengaruhi tangan rakyat dalam menentukan pilihannya dan ada juga tentang gambar di balik topeng sang calon pemimpin, dimana sang calon sedang berpidato tentang kejujuran, namun dibalik itu, bayangan calon sedang berencana untuk melakukan korupsi.
Karya Seni Lukis Anak-Anak Kendari
Hasil Karya Seni Lukis Anak-Anak Kendari
Kita tinggalkan pameran gambar sejenak dan mari kita menuju pada pertunjukan teater parodi yang dilakukan anak-anak muda ini. Pertunjukan teater parodi yang dilakukan merupakan sebuah drama antara kakek dan nenek-nenek yang membahas tentang pilihan calon pemimpin. Mereka membahas dan mendebatkan tentang calon pemimpin yang ingin mereka pilih. Si kakek dan si nenek Madona membincangkan bagaimana dinamika dalam konstelasi politik perebutan kekuasaan di daerah Kota Kendari. Ada calon pemimpin yang berkemauan mengebu-ngebu ingin mensejahterakan rakyat, namun ia berasal dari kalangan minoritas. Ada juga orang-orang yang mencalonkan diri yang hanya sekedar memburu rente, tetapi ia berasal dari kalangan mayoritas, banyak dukungan yang tentu dilakukan dengan propaganda. Pada akhirnya yang mayoritas-lah yang memiliki kekuasaan, sementara minoritas terbelenggu karena tidak adanya dukungan lalu kemudian tersingkir secara perlahan-lahan. Yang minoritas menanggung kekalahan karena kurangnya finansial dalam mendukung poltiknya.
Seperti itulah model perpolitikan, mayoritas selalu menggeser dan menggusur yang minoritas. Dengan itu si kakek ingin memilih nomor 98 dengan nama calon nenek Madona yang minoritas, yang mempunyai cita-cita besar untuk memakmurkan rakyat, sementara nenek-nenek lainnya yang merupakan istri-istri si kakek ini ingin memilih nomor 97 dan 96. Namun tidak di tau, entah siapa calon pemimpinnya.
Dalam pertunjukan teater parodi itu ada kesan bahwa para politisi perlu kedewasaan dalam berpolitik. Demokrasi menjadikan mereka sebagai tuan-tuan yang ingin berebut kuasa, tetapi bukan hanya sekedar kuasa, namun bagaimana kekuasaan itu dijadikan sebagai landasan atau pijakan yang kemudian dapat memakmurkan rakyat jelata. Berpolitik juga bukan hanya sekedar menyebarkan kaus oblong bergambar dengan memuat wajah/muka mereka, memasang spanduk/baliho atau lebih idelanya hanya mencari popularitas semata demi kuasa. Tetapi, berpolitik seharunya dengan menumbuhkan sebuah gagasan, berpolitik dengan program, visi, nilai dan kebijakan, dengan memuarakannya untuk kesejahteraan masyarakat. Intinya melahirkan kebijakan itu sendiri demi kepentingan rakyat jelata.
Jadi sejatinya kesan yang dipertunjukan dalam teater parodi tersebut, bahwa para politisi seharusnya berpolitik dengan gagasan, berupa program, visi, nilai dan kebijakan agar memenangkan pertarungan politik secara demokratis bukan dengan money politik, membeli suara rakyat dengan uang. Hal lainnya bahwa politisi harus mengetahui bahwa politik bukan hanya sekedar kekuasaan dengan mengumpulkan puing-puing kekayaan, namun politik adalah sebuah pelayanan publik. Tentunya ini sejalan dengan apa yang saya tulis beberapa minggu yang lalu. Anda bisa baca di sini: https://gunung-pendaki.blogspot.co.id/2016/07/politik-perang-antar-baliho.html.
Sedang Menunjuk Lukisan
Inilah para seniman Kendari
Saya selalu khawatir dengan para politisi yang dibesarkan apa yang disebut Budiman Sudjatmiko realitas lampu sorot, realitas media seluas layar komputer, atau realitas yang dibesarkan lewat baliho/spanduk dan halaman-halaman Koran. Ini terlihat instan dan tak ada kerlibatan langsung pada masyarakat diakar rumput. Politisi-politisi demikian merupakan politisi yang menginginkan kemudahan dengan instan bukan dilalui dengan sebuah proses. Politik seharusnya tidak seperti itu, perlu keterlibatan langsung untuk kemudian memahami permasalahan masyarakat diakar rumput. Kata Budiman Sudjatmiko, seharusnya kemudahan diperoleh karena kita suda melewati proses. Bukan kemudian disediakan dengan memberi mereka karpet merah yang justru hanya akan menciptakan politisi-politisi yang apolitis, pragmatis, meskipun seolah-olah mereka berpolitik.
Selain kedewasaan berpolitik yang ditunjukan kepada para politisi, ada juga kedewasaan berpolitik untuk masyarakat itu sendiri. Parodi ini berkesan bahwa kita harus menghargai pilihan masing-masing anggota masyarakat, maupun pilihan didalam keluarga itu sendiri. Parodi ini menggambarkan realitas sosial lingkungan masyarakat saat ini, dimana perbedaan itu sangat tidak dihargai sama sekali. Bahkan perbedaan pilihan dapat menimbulkan permusuhan, perkelahian, pembunuhan, penistaan dan pemfitnahan baik dalam lingkungan maupun dalam hubungan keluarga. Pelajaran yang bisa dipetik yaitu dengan menghargai pilihan masing-masing anggota keluarga maupun anggota masyarakat dilingkungan itu sendiri agar kemudian tidak terjadi adanya konflik.
***
Saya ikut menyaksikan dengan kekaguman dalam pertunjukan teater parodi tersebut karena menonton secara langsung. Meskipun tempatnya sederhana, namun sebagian masyarakat Kota Kendari ikut antusias untuk menyaksikan pertunjukan teater parodi tersebut. Sebelumnya hal-hal yang seperti ini hanya terjadi di Solo, Yogyakarta, Bandung dan daerah-daerah Jawa lainnya. Sekarang kita dapat menyaksikan di daerah sendiri, di Kendari. Tentu hal ini merupakan suatu kebanggaan tersendiri dan perlu dukungan pemerintah daerah Sulawesi Tenggara, untuk kemudian dapat mempertunjukan teater parodi-parodi lainnya yang berkaitan dengan budaya kita di nusantara.
Pertunjukan Teater Parodi tentang Kedewasaan Berpolitik
ParaSeniman Berkumpul
Dalam tontonan yang berlangsung sekitar satu jam itu, saya selalu berpikir, pertunjukan teater parodi ini berupa kritikan yang dikemas dalam seni, baik dalam pertunjukan teater parodi maupun dalam bentuk lukisan. Saya teringat dengan buku bacaan saya karya Marvin Perri tentang: Peradaban Barat; Dari Revolusi Prancis Hingga Zaman Global. Dalam buku ini yang sebagian membahas tentang Sejarah Seni; 1600 hinggah kini, ingin memperlihatkan bahwa kekecewaan dan kegelisahan dapat digemahkan lewat seni, baik tulisan maupun lukisan.
Setelah revolusi, kaum intelektual dan para seniman setelah tahun 1918  sedang mengalami kesukaran dan berada dalam masa-masa tersulitnya. Kesukaran ekonomi selama depresi, juga mendisorientasikan pikiran orang Eropa secara mendalam. Orang-orang Eropa tidak lagi memiliki suatu kerangka acuan, suatu sudut pandang bersama untuk memahami diri mereka sendiri. Hingga akhirnya sejumlah intelaktual yang telah kehilangan keyakinan pada makna hakiki peradaban Barat mencoba memalingkan diri atau menemukan pelarian diri mereka di dalam seni.
Ada ungkapan Marvin Perri yang mengatakan bahwa para seniman, seperti penulis dan pelukis mengungkapkan suara hati sosial. Para pekerja seni bergumul dalam keseharian mereka untuk menghasilkan suatu karya seni yang kritik yang lalu mewakili suara masyarakat terhadap keadaan bangsanya. Mereka bukan lagi melihat adanya rasional tetapi irasionalitas yang meremukan peradaban karena kepentingan ekonomi dan politik. Dengan itu, maka para seniman melakukan kritik lewat seni lukis dan tulisan.
Kita dapat melihat setelah perang dunia satu, ketika kekuatan fasisme kian mulai tumbuh ditambah lagi dengan digerakannya penderitaan yang mengerikan akibat depresi. Para seniman seperti penulis dan pelukis kemudian bertekad untuk menggarap masalaah-masaalah politik. Misalnya kita dapat melihat karya John Steinbeck, dalam The Grapes Of Wrath (1939), menangkap penderitaan para petani Amerika yang diusir dari tanahnya oleh Mangkuk Debu dan penyitaan selama depresi akibat kekuatan fasisme. For Whom the Bell Tolls (1940) karya Ernest Hemingway, yang mengungkap perang saudara Spanyol dan banyak di antara mereka yang sukarela bertempur bersama kaum republiken Spanyol melawan kaum fasis. Dan karya lukisan-lukisan Max Beckman (1884-1950) yang mengungkapkan kekecewaan dan kegelisahan spiritual yang merundung Jerman pascaperang. Dalam lukisan The Night (1918-1919), Max Beckman juga melukiskan pria brutal yang terlibat di dalam kekerasan yang mengerikan.
***
Saya melihat anak-anak muda yang bergerak lewat seni tak terkecuali di Kota Kendari, memiliki kebebasan penuh untuk mengurai gagasan dan pemikiran mereka. Kebebasanlah yang membawa mereka pada arus kritik, yang meskipun ada bentrokan pada orang-orang yang tidak tahan kritis sama sekali. Sama halnya dengan penulis John Steinbeck, Ernest Hemingway, Frans Kafka dan pelukis Max Beckman, Auguste Rodin dan J.M.W Turner. Atau misalnya penulis sastra Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, Rendra dan pelukis Rusli di Indoensia. Kebebasanlah yang melahirkan kreatifitas mereka yang kemudian telah membawa mereka pada lembaran-lembaran sejarah peradaban di dunia dan di nusantara ini.
Seniman Kendari
Kebebasan ini mengingatkan saya pada kebebasan seperti para seniman dan penulis yang kemudian mendirikan gerakan Dada (atau Dadais bagi para pengikutnya yang beristilahkan, tidak bermakna) pada tahun 1915 di Zurich. Gerakan itu digunakan untuk mengungkapkan kemuakan mereka terhadap perang dan peradaban yang membiakannya. Para Dadais mengekspresikan kemuakan kepada standar-standar seni dan sastra serta menolak Tuhan dan juga akal. Kata seorang Dadais “Melalui akal manusia menjadi yang tragis dan buruk” dan “keindahan telah mati” kata Dadais lainnya.
Seorang pendiri Dadais sekaligus juru bicara utamanya Trinstan Tzara menyatakan:
Apa kebaikan yang dilakukan teori-teori para filsuf kepada kita? Apakah mereka membantu kita untuk mengambil satu langkah pun ke depan atau ke belakang?.....kita mempunyai gerakan-gerakan cukup cerdas yang telah merentang melampaui kadar sifat muda percaya kita pada faedah ilmu. Kini yang kita inginkan adalah spontanitas…..karena segalanya yang keluar secara bebas dari diri kita tanpa intervensi ide-ide spekulatif, menggambarkan kita.
Untuk Kelola yang merupakan organisasi yang memberi perhatian terhadap seni dan budaya, “Semua ucapan yang hebat” seperti yang diungkapkan oleh D.H. Lawrence yang dibuat tak berguna untuk generasi ini perlu ditenggelamkan di dasar lautan. Bergeraklah dalam kebebasanmu, mengayunlah dengan untayan kalimat-kalimatmu yang mungkin menggegerkan mereka para politisi yang tidak tahan kritik. Torehkanlah cet-cetmu disebuah kanvas yang kosong itu dan buatlah sesuatu yang mungkin dapat menggerakan hati para politisi untuk kebaikan dan lukiskanlah sesuatu yang kritik dengan lukisanmu.
Karena perubahan yang besar selalu berawal dari hal-hal yang kecil dan sederhana. Bukankanh begitu wahai pembaca yang budiman..
                                                                                       La Ode Halaidin
                                                                                       Kendari, 1 Agustus 2016

0 komentar:

Posting Komentar