PASCA kejadian peledakan bom dan baku tembak di Sarina 14 Januari 2016 di kota Jakarta,
menimbulkan duka cita yang mendalam bagi sebagian masyarakat bangsa Indonesia, terkecuali
masyarakat kota Jakarta, pemerintah dan para pihak keamanan Polri dan TNI.
Mereka tidak merasa berduka cita, toh mereka para peneror itu hanya penganggu
bisnis bagi para pengusaha yang selama ini sibuk untuk mengumpulkan puing-puing
kekayaannya. Entah pengusaha-pengusaha itu mengumpulkan kekayaan dengan cara
yang benar atau tidak dengan memanfaatkan rakyat jelata, yang jelas teror
kemarin mereka anggap adalah suatu kejahatan besar yang harus di kutuk, di
hukum dan diberantas/dihangsukan di negeri ini. Tanpa menelah lebih dalam,
mengapa mereka berbuat demikian!
Sama halnya pemerintah serta pihak Polri dan TNI meraka juga tidak merasa berduka cita, karena para peneror tersebut telah menciptakan ketidaknyamanan pada pengusaha-pengusaha di Jakarta atau menganggu kepentingan para investor untuk bergeliat dalam membangun kerajaan bisnisnya di negeri ini. Entah mereka melakukan dengan cara yang benar atau tidak dengan mengorbankan para masyarakat miskin, yang jelas selama ada orang-orang yang menganggu kepentingan pemerintah dalam melindungi para investor, Polri dan TNI siap mengambil alih di depan lalu meme-kikan yang dianggap musuh dengan selongsong peluru di pucuk senjatanya. Lalu mereka dianggap heroik karena telah berhasil melumpuhkan. Tanpa mengundang pertanyaan dalam benak mereka, mengapa mereka melakukan hal-hal seperti itu!
Bagi Pemerintah, Polri, TNI dan pengusaha-pengusaha itu tentu akan dengan gencar meniupkan isu-isu bahwa teror bom di sarina Jakarta merupakan bagian dari kelompok radikal ISIS. Isu tersebut beberapa hari ini kian sontak beredar di teve-teve, dengan menguatkan opini masyarakat bahwa mereka benar-benar dari kelompok ISIS. Namun dari Infomasi tersebut, dari lima orang pelaku teror bom di Sarina belum terbukti bahwa semuanya berasal dari kelompok jaringan ISIS. Saya belum menemukan bukti atau membaca informasi yang akurat. Pernyataan kepolisian dan pemerintah tidak berarti semua benar seratus persen.
Untuk
menunjukan bukti ini, di media sosial online Serambi Indonesia memunculkan
artikel bahwa pelaku bom sarina Jakarta, dua diantaranya warga Negara asing.
Pernyataan ini di ungkapkan oleh Wakapolri Budi Gunawan bahwa dalam aksi teror
di sarina Jakarta Pusat di ketahui ada dua warga Negara asing yang menjadi
pelaku pemboman. Atau baca infonya di sini http://aceh.tribunnews.com/2016/01/14/ada-6-pelaku-bom-sarinah-2-diantaranya-warga-negara-asing.
Setelah semuanya terindentifikasi ternayata semua pelaku teror bom Sarina warga
di bangsa ini dan ungkapan tersebut telah menghadirkan berita hoax.
Lalu,
perlukah kita mempercayai pernyataan-pernyataan itu! Entalah, tergantung
persepsi orang. Namun di negara para cukong pernayataan-pernayataan itu di
keluarkan, ada kepentingan lain yang justru membuat kita tergelitik.
***
KEJADIAN
teror bom di Sarina Jakarta saya melihatnya berbeda. Masyarakat Jakarta,
pemerintah, TNI dan Polri melihatnya bahwa kejadian ini merupakan pencucian
otak dari kelompok radikal Islam karena mereka ingin mati berjihad dan masuk
surga. Mereka dengan tegap dan tenang mengait-ngaitkannya dengan ISIS. Mereka
dengan tenang dengan raut wajah yang tersenyum mengatakan bahwa mereka telah
berhasil dilumpuhkan dan mati. Pantaskah kita tersenyum bila negara menggunakan
alat-alatnya untuk membunuh anak bangsanya sendiri! Pantaskah negara menepuk
dada dan mengatakan bahwa kami telah berhasil melawan teror sementara itu
adalah anak dari bangsa ini! Mereka tidak menghianat terhadap negara. Kematian
mereka adalah suatu keprihatinan yang menimbulkann duka cita yang mendalam. Karena
mereka adalah satu dari sekian juta anak bangsa ini yang tidak bisa merasakan
kehadiran negara. Bisa saja mereka mengambil langka itu sebagai bentuk
perlawanan karena negara tak pernah hadir atau berpihak kepada anak-anak
bangsanya. Kita selalu lupa mempertanyakan, suda adilkah pemerintah dan para
wakil rakyat menahkodai sebuah negara yang bernama Indonesia ini!
Kita
akan tertegun jika melihat identitas pelaku teror bom di Sarina Jakarta. Mereka
rata-rata anak bangsa yang kelasnya termarjinalkan, supir angkot, tukang pijit,
mantan narapidana dan lain sebagainya. Di sebuah negara para cukong tentu
mereka adalah hanyalah anak bangsa yang ter-anak tirikan. Negara hanya jalan
beriringan dengan para cukong. Produk hukum di buat hanya mementingkan para
pengusaha dan investasi asing, perusahaan mempekerjakan para buruh dengan upah
murah dengan eksploitasi tenaga yang semakin ganas dengan bentengan oleh negara.
Sementara negara dengan gencar-gencarnya menarik pajak dengan biaya tinggi kepada
anak bangsanya hingga tak menyisakan gaji dengan segepok pun. Hingga anak
bangsa tak bisa menanggung beban berat, hidup di negara para cukong seperti
ini. Salah satu cara mereka adalah keluar dari negara namun tidak kehilangan
identitas kebangsaanya.
Anak
bangsa dalam negara para cukong sering membentuk perlawanan, akibat
ketidakadilan negara dalam memerintah. Teror bom di Sarina Jakarta merupakan
contoh kecil, mereka membentuk perlawanan karena boleh jadi adanya kemirisan
yang mereka lihat—yang dilakukan oleh negara dalam memerintah. Bangsa Aceh dan
Papua adalah contoh yang paling konkrit, mengapa mereka membentuk perlawanan
dengan organisasi-organisasi mereka. Terlepas dari sejarah, bangsa Aceh dan
Papua menginginkan kemerdekaan dalam bentuk perlawanan karena mereka menganggap
negara tidak bisa menghadirkan kesejahteraan dalam masyarakat dan adanya pilih
kasih dalam pembangunan terhadap bangsa Aceh dan Papua. Mereka tidak memiliki
kepuasan kepada negara. Mereka seperti di kesampingkan oleh negara, sementara negara
terus mengeruk sumber kekayaan alam bangsa Aceh dan Papua lalu kemudian
kekayaan itu di peruntungkan orang-orang pusat dan para investor. Jadi bangsa
Aceh dan Papua hanya dapat ampas dari kekayaan alam itu, sementara
bangsa-bangsa lain di negara para cukong ini dapat berlian-berlian alamnya.
Pada
akhirnya bangsa Aceh dan Papua tak akan mudah melepaskan diri dari belenggu negara.
Karena para elit-elit politik akan mengatakan bahwa bangsa Aceh dan Papua
adalah bagian negara kesatuan republik Indonesia. Jika mereka ingin berusaha melepaskan
diri, maka negara dengan siap akan memakai alat-alat perangkatnya seperti TNI
dan Polri karena dianggap penghianatan terhadap cita-cita proklamasi. Orang-orang
yang berkepentingan dengan tegas akan mengatakan bahwa ancaman terhadap
kesatuan juga merupakan ancaman terhadap bangsa. Maka setiap unsur harus melindungi
dan mempertahankannya bangsa dan negaranya. Inilah doktrin yang digunakan Orde
Baru yang berlaku sampai saat ini.
Bangsa
di dalam negara para cukong ini akhirnya akan terdikte. Meskipun dengan masifnya
bahwa daerah punya otonomi untuk menjalankan pemerintahan dan mengelola sumber
daya alam, tetap saja negara punya kekuatan untuk menguasai atas dasar sebuah negara
kesatuan. Pemerintah daerah yang merupakan bagian dari produk negara, terus
berafiliasi dengan pemerintah pusat sebagai produk negara tertinggi. Sehingga negara
kesatuan seakan-akan adalah pemaksaan kebijakan dari atas dalam hal ini adalah
pemerintah pusat yang tak heran selalu bertentangan dengan kepentingan daerah.
Dan
inilah yang ada sekarang, pemerintah pusat akan selalu mengambil peran penting dalam
menjalankan negara meskipun sebenarnya mereka tak mengerti bagaimana dengan
keadaan-keadaan masyarakat pada bangsa Aceh dan Papua atau Indonesia di bagian
timur.
Kita
sebagai sebuah bangsa, hanya bisa mengelus dada bahwa pengelolaan negara belum
seutuhnya berpihak kepada rakyat bangsa ini. Teror bom Sarina Jakarta adalah
bentuk kekecewaan anak bangsa terhadap negara bukan selamanya berkaitan dengan
Islam radikal. Aceh dan Papua juga seperti itu adanaya ketidakpuasan kepada negara
hingga mereka membentuk organisasi dan melawan.
Kendari,
16 Januari 2016
0 komentar:
Posting Komentar