21 Januari 2016

Mengapa Butuh Wajah Baru?

                                                        Kota Kendari, Ibu Kota Sulawesi Tenggara


WAJAH BARU harus membawa gagasan yang baru dan ini tentu akan menjadi salah satu ukuran yang paling penting untuk membawa perbaikan untuk kemajuan daerah Sulawesi Tenggara. Wajah baru adalah harapan untuk menjawab permasalahan-permasalahan baru di daerah. Harapan dimana masyarakat menginginkan sebuah gagasan-gagasan yang segar yang kemudian dapat mengangkat kesejahteraan keseluruhan masyarakat Sulawesi Tenggara bukan semata-mata hanya kesejahteraan etnis-etnis tertentu.
Pertanyaan yang paling penting untuk diajukan dengan harapan kemajuan daerah Sulawesi Tenggara adalah apa yang paling tersulit untuk mengubah ketertinggalan menjadi sebuah kemajuan daerah, sebuah bangsa atau negara? Pertanyaan ini sebenarnya suda mendapatkan pencerahan dari pakar ekonomi Inggris John Maynard Keynes bahwa kesulitan terbesarnya adalah keluar dari ide-ide lama dan mempertahankannya hingga bercabang-cabang. John Maynard Keynes mengatakan bahwa letak kesulitan tidak pada bagaimana menyambut ide-ide baru, tetapi bagaimana kita keluar dari ide-ide lama, yang bercabang-cabang dan kian membesar menyergap ke dalam sudut-sudut kesadaran kita. Hal itu tentu menegaskan bahwa, meninggalkan ide-ide lama yang suda usang alias suda tidak dapat lagi menjawab masaalah-masaalah di daerah merupakan sesuatu hal yang baik lalu kemudian memunculkan ide-ide baru sebagai langka pijakan awal dalam meningkatkan tumbuhnya kegiatan ekonomi masyarakat dengan merangkul berbagai macam etnis di dalamnya.
***
Dinamika politik di Sulawesi Tenggara masih terkesan berjalan pada rel yang sama atau masih berpijak pada ide-ide lama. Paradigma penonjolan satu atau dua etnisitas suda menjadi doxa para kandidat dalam memperebutkan kekuasaan di tingkat Pilgub atau Pilwali. Pertarungan antaraktor yang berbasis politik identitias etnik kadang mewarnai Pilgub di Sulawesi Tenggara. Misalnya membangun relasi aktor antara Muna-Tolaki versus Botun-Bugis atau daratan versus kepulauan. Sehingga hal inilah yang menimbulkan pertanyaan bagi kita, seberapa besarkah akan membawa kemajuan daerah Sulawesi Tenggara jika kita terus mengembangbiakan politik identitas etnik?
Demokrasi liberatif menjadi pilihan para aktor dalam konteks masyarakat yang majemuk untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan ekonomi politik. Para aktor membentuk politik identitas etnik sebagai pondasi untuk me(re)produksi identitas etnik dalam upaya untuk memenangkan pertarungan dalam memperebutkan kekuasaan ekonomi politik. Hal ini bukan menjadi sesuatu keraguan untuk mengatakan bahwa jika politik identitas etnik dalam konteks merebut atau mempertahankan kekuasaan ekonomi politik menjadi pilihan dan jalan satu-satunya. Namun akan bias jika kita melihat bagaimana dengan adanya ketimpangan yang terjadi dalam pembangunan ekonomi jika dilihat dalam konteks politik identitas etnik tersebut. Inilah yang menjadi perhatian dan kajian kita, mengapa kita memerlukan wajah baru yang bisa merangkul semua etnik untuk memajukan daerah Sulawesi Tenggara.
***
Politik identitas etnik sangat sarat dengan dominasi. Kelompok etnik minoritas akan terkesampingkan jika berhadapan dengan etnik mayoritas dalam rangka adu pendapat atau argumen. Misalnya salah satu aktor politik minoritas dalam partai tertentu mengusulkan kandidat yang bukan aktor politik mayoritas etnik tertentu. Tentu hal ini akan mendapat rintangan dari kelompok mayoritas etnik karena banyaknya relasi dukungan yang sesama etnik. Yang kuat dan yang memiliki kekuasaan tentu akan menang sedangkan yang lemah akan tersingkir perlahan-lahan dengan sendirinya.

                                                                    Teluk Kendari
Inilah yang terjadi di Sulawesi Tenggara, ketika aktor politik berkuasa dalam partai politik atau dalam wilayah seperti kota Kendari bukan tidak mungkin jika aktor tersebut akan mengusulkan istri, anak, menantu atau kerabatnya untuk maju dalam memperebutkan kue kekuasaan ekonomi politik. Menurut Sofyan Sjaf dalam bukunya Politik Etnik: Dinamika politik etnik di Kendari mengatakan bahwa terdapat tiga sebab yang mempengaruhi terjadinya dominasi (identitas) etnik dalam arena ekonomi politik, pertama, kondisi dan kedudukan kelompok etnik. Kedua, posisi pelaku atau aktor politik berbasis etnik dan ketiga, struktur ekonomi dan relasinya dengan aktor yang berkuasa. Sehingga politik identitas etnik sudah menjadi barang mewah yang harus mereka pertahankan untuk menguatkan dominasinya dalam  kekuasaan ekonomi politik.
Afiliasi para aktor politik identitas etnik banyak mengundang kelemahan atau kekurangan-kekurangan disamping tentu juga ada keuntungan-keuntungan tersendiri. Kita bisa melihat perjalanan politik nasional kita. Di pemerintahan pusat hanya di kuasai oleh etnik-etnik tertentu sepeti Jawa dengan jumlah penduduk mayoritas di Indonesia. Hal ini tentu merupakan dampak dari tekanan rezim orde baru pada saat berkuasa dengan mengontrol kekuatan identitas etnik tersebut. Sehingga daerah dengan etnik minoritas dengan muda di kesampingkan dan jalannya pembangunan ekonomi juga hanya terfokus pada daerah Jawa yang mempunyai jumlah penduduk mayoritas.
Sulawesi tenggara tak terlepas dari diskursus tersebut. Berafiliasinya para aktor politik identitas etnik menimbulkan banyak ketimpangan pembangunan ekonomi dalam suatu daerah Kabupaten/ Kota. Ketika pasangan etnik Tolaki-Muna misalnya memenangkan Pilgub, sesuatu yang biasa jika pasangan yang terpilih tersebut akan memperhatikan pembangunan ekonomi hanya di daerah yang mendominasi suaranya. Jadi, pembangunan ekonomi hanya terkesan pada daerah-daerah yang menjadi pemenangannya bukan keseluruhan daerah di Sulawesi Tenggara. Bahkan meskipun etnik Muna misalnya memenangi walaupun menjadi nomor duanya, suda menjadi hal yang lumrah jika proyek-proyek pembangunan akan diberikan pada orang yang mempunyai kekuasaan ekonomi yang selama ini mendukungnya. Inilah kepentingan ekonomi politik dalam relasi kekuasaan politik identitas etnik yang sedang berjalan di Sulawesi Tenggara. Sehingga tidak heran jika kita mengelilingi daerah Sulawesi Tenggara pemandangannya tampak banyak ketimpangan pembangunan yang terjadi.
Misalnya saja dari segi pembangunan sarana dan prasarana seperti infrastruktur jalan di Kabupaten Muna yang merupakan jalan Provinsi yang menghubungkan antara pelabuhan Tampo dan Bau-Bau. Jalan tersebut kurang sekali di perhatikan. Meskipun jalan tersebut sangat strategis dan sangat penting karena dapat memperlancar jalannya kegiatan ekonomi, selama kurang lebih 10 tahun terakhir jalan tersebut tidak mendapat perbaikan.
Disinilah kita membutuhkan wajah baru yang dapat merangkul semua daerah dan semua etnis dalam pembangunan daerah. Wajah baru yang bukan dari istri, anak, menantu atau kerabat dari seorang aktor politik yang mempunyai kuasa dan kekuatan. Karena boleh jadi hal tersebut hanya menjadi legitimasi kekuasaan untuk sang aktor yang kemudian akan menjalankan kuasanya kembali dengan ide-ide lama dengan politik identitas etniknya yang terbukti banyak menimbulkan racun. Karena sesungguhnya ketimpangan pembangunan ekonomi daerah diakibatkan karena sikap pragmatis akan kepentinngan kekuasaan ekonomi politik. Sehingga daerah seperti tak punya energi/kekuatan, sempoyongan dan terseok-seok dalam berlayar untuk menuju kemajuan pembangunan ekonomi yang kemudian tidak dapat bersaing dengan daerah-daerah yang lain.
Masih dalam pertanyaan yang sama, mengapa kita butuh wajah baru? karena wajah baru adalah harapan baru untuk menahkodai sebuah kapal yang bernama Sulawesi Tenggara dengan merangkul semua daerah dan etnis untuk menjaga keseimbangannya dalam mengantarkannya menuju sebuah samudra kemajuan. Itulah harapan, harapan tertinggi kita semua untuk kebaikan dan kesejahteraan masyarakat Sulawesi Tenggara. Oleh karena itu kita harus memberikan kesempatan yang baik kepada mereka yang ber-wajah baru dalam Pilgub Sulawesi Tenggara agar bisa melahirkan pemimpin-pemimpin yang ideal untuk membawah Sultra kearah perbaikan.
Lantas, masih pantaskah kita mempertahakan ide-ide lama politik identitas etnik yang selama ini banyak mengandung racun!
Wajah baru, energi baru serta gagasan dan ide-ide yang baru untuk daerah. Itulah harapan….


                                                                                                Kendari, 20 Januari 2016
                                                                                                La Ode Halaidin 



Refrensi: Sofyan Sjaf. 2014. Politik Etnik: Dinamika Politik Lokal di Kendari. Edisi Pertama. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta.
Sumber Gambar : 1. kotakendari.wordpress.com
                            2. sudirmansaputrakendari.blogspot
  

0 komentar:

Posting Komentar