Kota Kendari, Ibu Kota Sulawesi Tenggara
WAJAH
BARU harus membawa gagasan yang baru dan ini tentu akan menjadi salah satu
ukuran yang paling penting untuk membawa perbaikan untuk kemajuan daerah
Sulawesi Tenggara. Wajah baru adalah harapan untuk menjawab
permasalahan-permasalahan baru di daerah. Harapan dimana masyarakat
menginginkan sebuah gagasan-gagasan yang segar yang kemudian dapat mengangkat
kesejahteraan keseluruhan masyarakat Sulawesi Tenggara bukan semata-mata hanya kesejahteraan
etnis-etnis tertentu.
Pertanyaan
yang paling penting untuk diajukan dengan harapan kemajuan daerah Sulawesi
Tenggara adalah apa yang paling tersulit untuk mengubah ketertinggalan menjadi sebuah
kemajuan daerah, sebuah bangsa atau negara? Pertanyaan ini sebenarnya suda
mendapatkan pencerahan dari pakar ekonomi Inggris John Maynard Keynes bahwa
kesulitan terbesarnya adalah keluar dari ide-ide lama dan mempertahankannya
hingga bercabang-cabang. John Maynard Keynes mengatakan bahwa letak kesulitan
tidak pada bagaimana menyambut ide-ide baru, tetapi bagaimana kita keluar dari
ide-ide lama, yang bercabang-cabang dan kian membesar menyergap ke dalam
sudut-sudut kesadaran kita. Hal itu tentu menegaskan bahwa, meninggalkan
ide-ide lama yang suda usang alias suda tidak dapat lagi menjawab
masaalah-masaalah di daerah merupakan sesuatu hal yang baik lalu kemudian
memunculkan ide-ide baru sebagai langka pijakan awal dalam meningkatkan tumbuhnya
kegiatan ekonomi masyarakat dengan merangkul berbagai macam etnis di dalamnya.
***
Dinamika
politik di Sulawesi Tenggara masih terkesan berjalan pada rel yang sama atau masih
berpijak pada ide-ide lama. Paradigma penonjolan satu atau dua etnisitas suda
menjadi doxa para kandidat dalam memperebutkan kekuasaan di tingkat Pilgub atau
Pilwali. Pertarungan antaraktor yang berbasis politik identitias etnik kadang
mewarnai Pilgub di Sulawesi Tenggara. Misalnya membangun relasi aktor antara
Muna-Tolaki versus Botun-Bugis atau daratan versus kepulauan. Sehingga hal
inilah yang menimbulkan pertanyaan bagi kita, seberapa besarkah akan membawa
kemajuan daerah Sulawesi Tenggara jika kita terus mengembangbiakan politik
identitas etnik?
Demokrasi
liberatif menjadi pilihan para aktor dalam konteks masyarakat yang majemuk
untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan ekonomi politik. Para aktor
membentuk politik identitas etnik sebagai pondasi untuk me(re)produksi identitas
etnik dalam upaya untuk memenangkan pertarungan dalam memperebutkan kekuasaan
ekonomi politik. Hal ini bukan menjadi sesuatu keraguan untuk mengatakan bahwa jika
politik identitas etnik dalam konteks merebut atau mempertahankan kekuasaan ekonomi
politik menjadi pilihan dan jalan satu-satunya. Namun akan bias jika kita
melihat bagaimana dengan adanya ketimpangan yang terjadi dalam pembangunan
ekonomi jika dilihat dalam konteks politik identitas etnik tersebut. Inilah
yang menjadi perhatian dan kajian kita, mengapa kita memerlukan wajah baru yang
bisa merangkul semua etnik untuk memajukan daerah Sulawesi Tenggara.
***
Politik
identitas etnik sangat sarat dengan dominasi. Kelompok etnik minoritas akan
terkesampingkan jika berhadapan dengan etnik mayoritas dalam rangka adu
pendapat atau argumen. Misalnya salah satu aktor politik minoritas dalam partai
tertentu mengusulkan kandidat yang bukan aktor politik mayoritas etnik
tertentu. Tentu hal ini akan mendapat rintangan dari kelompok mayoritas etnik karena
banyaknya relasi dukungan yang sesama etnik. Yang kuat dan yang memiliki
kekuasaan tentu akan menang sedangkan yang lemah akan tersingkir perlahan-lahan
dengan sendirinya.
Teluk Kendari
Inilah
yang terjadi di Sulawesi Tenggara, ketika aktor politik berkuasa dalam partai
politik atau dalam wilayah seperti kota Kendari bukan tidak mungkin jika aktor
tersebut akan mengusulkan istri, anak, menantu atau kerabatnya untuk maju dalam
memperebutkan kue kekuasaan ekonomi politik. Menurut Sofyan Sjaf dalam bukunya
Politik Etnik: Dinamika politik etnik di Kendari mengatakan bahwa terdapat tiga
sebab yang mempengaruhi terjadinya dominasi (identitas) etnik dalam arena
ekonomi politik, pertama, kondisi dan
kedudukan kelompok etnik. Kedua,
posisi pelaku atau aktor politik berbasis etnik dan ketiga, struktur ekonomi dan relasinya dengan aktor yang berkuasa. Sehingga
politik identitas etnik sudah menjadi barang mewah yang harus mereka
pertahankan untuk menguatkan dominasinya dalam
kekuasaan ekonomi politik.
Afiliasi
para aktor politik identitas etnik banyak mengundang kelemahan atau kekurangan-kekurangan
disamping tentu juga ada keuntungan-keuntungan tersendiri. Kita bisa melihat
perjalanan politik nasional kita. Di pemerintahan pusat hanya di kuasai oleh etnik-etnik
tertentu sepeti Jawa dengan jumlah penduduk mayoritas di Indonesia. Hal ini
tentu merupakan dampak dari tekanan rezim orde baru pada saat berkuasa dengan
mengontrol kekuatan identitas etnik tersebut. Sehingga daerah dengan etnik
minoritas dengan muda di kesampingkan dan jalannya pembangunan ekonomi juga
hanya terfokus pada daerah Jawa yang mempunyai jumlah penduduk mayoritas.
Sulawesi
tenggara tak terlepas dari diskursus tersebut. Berafiliasinya para aktor politik
identitas etnik menimbulkan banyak ketimpangan pembangunan ekonomi dalam suatu
daerah Kabupaten/ Kota. Ketika pasangan etnik Tolaki-Muna misalnya memenangkan
Pilgub, sesuatu yang biasa jika pasangan yang terpilih tersebut akan
memperhatikan pembangunan ekonomi hanya di daerah yang mendominasi suaranya.
Jadi, pembangunan ekonomi hanya terkesan pada daerah-daerah yang menjadi
pemenangannya bukan keseluruhan daerah di Sulawesi Tenggara. Bahkan meskipun
etnik Muna misalnya memenangi walaupun menjadi nomor duanya, suda menjadi hal
yang lumrah jika proyek-proyek pembangunan akan diberikan pada orang yang
mempunyai kekuasaan ekonomi yang selama ini mendukungnya. Inilah kepentingan
ekonomi politik dalam relasi kekuasaan politik identitas etnik yang sedang
berjalan di Sulawesi Tenggara. Sehingga tidak heran jika kita mengelilingi
daerah Sulawesi Tenggara pemandangannya tampak banyak ketimpangan pembangunan
yang terjadi.
Misalnya
saja dari segi pembangunan sarana dan prasarana seperti infrastruktur jalan di
Kabupaten Muna yang merupakan jalan Provinsi yang menghubungkan antara
pelabuhan Tampo dan Bau-Bau. Jalan tersebut kurang sekali di perhatikan.
Meskipun jalan tersebut sangat strategis dan sangat penting karena dapat
memperlancar jalannya kegiatan ekonomi, selama kurang lebih 10 tahun terakhir
jalan tersebut tidak mendapat perbaikan.
Disinilah
kita membutuhkan wajah baru yang dapat merangkul semua daerah dan semua etnis
dalam pembangunan daerah. Wajah baru yang bukan dari istri, anak, menantu atau
kerabat dari seorang aktor politik yang mempunyai kuasa dan kekuatan. Karena
boleh jadi hal tersebut hanya menjadi legitimasi kekuasaan untuk sang aktor yang
kemudian akan menjalankan kuasanya kembali dengan ide-ide lama dengan politik
identitas etniknya yang terbukti banyak menimbulkan racun. Karena sesungguhnya
ketimpangan pembangunan ekonomi daerah diakibatkan karena sikap pragmatis akan
kepentinngan kekuasaan ekonomi politik. Sehingga daerah seperti tak punya
energi/kekuatan, sempoyongan dan terseok-seok dalam berlayar untuk menuju
kemajuan pembangunan ekonomi yang kemudian tidak dapat bersaing dengan
daerah-daerah yang lain.
Masih
dalam pertanyaan yang sama, mengapa kita butuh wajah baru? karena wajah baru
adalah harapan baru untuk menahkodai sebuah kapal yang bernama Sulawesi
Tenggara dengan merangkul semua daerah dan etnis untuk menjaga keseimbangannya
dalam mengantarkannya menuju sebuah samudra kemajuan. Itulah harapan, harapan tertinggi
kita semua untuk kebaikan dan kesejahteraan masyarakat Sulawesi Tenggara. Oleh karena
itu kita harus memberikan kesempatan yang baik kepada mereka yang ber-wajah
baru dalam Pilgub Sulawesi Tenggara agar bisa melahirkan pemimpin-pemimpin yang
ideal untuk membawah Sultra kearah perbaikan.
Lantas,
masih pantaskah kita mempertahakan ide-ide lama politik identitas etnik yang
selama ini banyak mengandung racun!
Wajah
baru, energi baru serta gagasan dan ide-ide yang baru untuk daerah. Itulah harapan….
Kendari,
20 Januari 2016
La
Ode Halaidin
Refrensi:
Sofyan Sjaf. 2014. Politik Etnik: Dinamika Politik Lokal di Kendari. Edisi
Pertama. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta.
Sumber Gambar : 1. kotakendari.wordpress.com
2. sudirmansaputrakendari.blogspot
Sumber Gambar : 1. kotakendari.wordpress.com
2. sudirmansaputrakendari.blogspot
0 komentar:
Posting Komentar