25 September 2015

NESTAPA DESA : Sebuah Renungan Tentang Desa Yang Akan Datang.

                                                     Ilustrasi sebuah desa yang indah

Desa adalah wilayah yang ditempati oleh suatu masyarakat, yang didalamnya masih terdapat ketenangan, rindangnya pepohonan, lahan kosong dan memiliki keakraban antar sesama masyarakat. Desa adalah tempat indah untuk kita berteduh menenangkan pikiran, dikalah kota terdapat kebisingan, kesemerawutan, macet, yang membuat gemah perasaan tak menenang. Desa adalah ibarat pondok sederhana yang beralaskan tikar dan beratapkan rumbia, namun dibalik itu menyediakan berbagai menu-menu yang menarik, keramahtamahan pelayanannya, senyum tawa manusianya yang terus memikat hati kita dan memiliki kearifan lokalnya yang seakan tak akan lekang oleh waktu.

Desa adalah tentang masa depan, yang didalamnya terdapat berbagai sumber daya, untuk kemudian memacu kita agar lebih bijak memanfaatkan dan menjaganya untuk kemakmuran bersama. Desa adalah tentang afektifitas yakni kebersamaan dengan perasaan kasih sayang, cinta dan kesetiaan yang melingkupi.

***
Desa yang dimaksudkan diatas adalah desa yang belum tersentuh oleh tangan-tangan korporasi besar atau elit-elit lokal yang mempunyai kehendak untuk mengeksploitasi segala sumber daya ekonomi. Desa diatas adalah desa yang masih berada dalam benteng ke—tradisionalan­—nya, mereka bukan karena terbelakang atau tidak mau maju. Namun mereka sengaja terus mempertahankan adat dan budaya sebagai bagian dari tradisi desa yang dianggap sebagai benteng pertahanan dari remukan yang bernama koorporasi besar atau perusahaan multinasional. Desa diatas adalah desa yang masih sejuk, yang belum dijamah oleh industri-industri yang memburuh rente, sehingga keindahan alam masih terbentang di depan mata. Gunung, hutan dan laut adalah bagian yang tak terpisahkan dari desa, yang selalu memanjakan mata kita dikala kita mengunjungi desa.

Desa diatas adalah desa yang mengukuhkan bahwa desa adalah milik kita bersama, tak ada manusia mengeksploitasi manusia, tak ada tuan tanah, tak ada produksi dikuasai oleh individu-individu, meminjam istilah Wahyuni Refi dan Ziyad Falahi bahwa itulah kita seharusnya ‘satu desa satu bangsa’. Kita semua harus menggemahkan kebersamaan, ke—kitaan, kesejahteraan bersama, keadilan bersama dan kemajuan bersama, dengan berada dalam satu atap yang bernamakan desa. Lalu, bukan kemudian berusaha untuk meng—kotak-kotakan diri karena telah dikangkangi oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek.
***
Keramahtamahan dan kearifan itu, selalu mengingatkan pada desa yang ku—kunjungi beberapa bulan yang lalu. Pada kunjungan itu, kami dalam rangka melaksanakan Kuliah Kerja Nyata—Nusantara II di desa Sandang Pangan, di Buton Selatan. Desa, dimana dengan masyarakatnya yang ramah dan pemandangan puncak dan hutannya yang sangat memanjakan mata saya.


           Foto di puncak Lamando/Teletubies desa Sandang Pangan, Buton Selatan
Saya cukup tertarik dengan desa ini, hutan yang belum terjamah oleh industri apapun, puncak yang indah—yang menjadi ikon desa ini—yang terlihat menjadi menarik. Masyaraktnya menyebut nama puncaknya—dengan nama puncak lamando sedangkan anak-anaknya menyebutnya sebagai puncak teletubies karena modelnya seperti puncak yang ada dalam film— teletubies di tahun 2000-an itu.

Yang membuat nurani saya tersentak, ketika masyarakat setempat mengatakan bahwa masyarakat yang mempunyai lahan suda tak tertarik lagi untuk kemudian mengelola lahannya sebagai lahan pertanian. Mereka meninggalkan lahannya hingga berpuluh-puluh tahun. Mereka lebih tertarik meninggalkan kampung untuk merantau dan bergelut dengan pekerjaan di sektor informal. Buruh bangunan, buruh kapal dan pedagang kecil-kecilan suda menjadi kebiasaan hidup mereka diperantauan.

Desa yang konon sebagai lumbung sandang dan pangan, kini tak banyak menyediakan penghidupan yang layak buat keluarga. Tak banyak yang diperbuat ketika masyarakat menyaksikan hasil pertanian mereka melimpa. Mereka hanya melihatnya menumpuk. Tetesan keringat, panasnya sengitnya matahari yang sudah menjadi bagian dari pertarungan kehidupan mereka sehari-hari, tak terbayarkan ketika hasil pertaniannya tak tau dimana hendak akan dijual. Sehingga anak-anak putus sekolah lalu memilih merantau meninggalkan desa, keluarga yang pindah tempat tinggal lalu menetap di kota dan masih bergelut dengan pekerjaan informal.

Bertani seakan bukanlah sesuatu yang menjanjikan buat mereka. Pekerjaan sebagai petani identik dengan ketiadaan—dalam hal ini adalah kemiskinan. Salah satu masyarakat desa ini mengatakan bahwa orang tua tak dapat membeli apa-apa ketika menjadi petani—tak dapat membeli TV, motor, sepeda, hingga menyekolahkan anak. Yang ada hanyalah jagung dan padi yang menumpuk diatas rumah. Menjulanya pun kami tak bisa katanya—karena jalanannya yang sangat rusak dan pasar sangatlah jauh dari desa, sehingga kami lebih memilih merantau meninggalkan desa daripada bertani. Ini merupakan salahsatu dari keadaan desa yang mungkin sangat banyak dialami oleh desa-desa yang ada di Indonesia. 

Ia, marilah sejenak merenungi kehidupan dibawah matahari ini. Renungan kehidupan tentang masyarakat, ketika tak tertarik lagi dengan desa mereka. Dalam era globalisasi ini, bukan tak mungkin perusahaan multinasional atau koorporasi besar akan memasuki desa untuk menanamkan investasinya. Bagi mereka investasi adalah panglima yang akan mengarahkan mereka pada pertempuran itu. Tentunya mereka suda mempunyai peta-peta kemenangan untuk kemudian menguasai segala bentuk sumber daya ekonomi desa.
Lalu pertanyaanya, siapakah yang akan mengambil peran penting ketika masyarakat tak lagi tertarik dengan desa mereka lalu meninggalkannya? Siapakah yang akan menjaga keseimbangan alam, mengurusnya dan memanfaatkan untuk keberlanjutan dan kebaikan ekosistem dan ekologi? Siapakah…………….!!!

Banyak pertanyaan yang menghinggapi dibenak ini ketika desa hanya dipandang sebagai obyek dalam pembangunan. Sehingga tak salah ketika masyarakat lebih memilih kota dari pada desa karena tak banyak menyediakan penghidupan. Masyarakat enggan berkontribusi ketika ruang mereka dibatasi untuk memajukan desa. 

Seringkali, masyarakat desa hanya menjadi sasaran oleh elit-elit lokal/desa, yang kemudian melakukan kerjasama dengan perusahaan multinasional untuk mengeksploitasi sumber daya ekonomi yang ada. Sehingga yang ada adalah kemelaratan, kemiskinan yang terus mengalir kealiran darah mereka. Mereka tak kuasa untuk mengubah nasib, sehingga turun temurun kemiskinan terus menghinggapi kehidupan masyarakat desa. Mereka suda tak punya suara untuk menyuarakan suaranya, lantaran mereka tak punya kuasa.

Gayatri Spivak suda menjelaskan tentang hal ini, bahwa kaum yang dipinggirkan oleh kekuasaan tak akan mampu berbicara, sebagaimana kiasannya “can subaltern speak?”. Inilah peran kekuasaan dan politik yang sulit dipisahkan—antara kekuasaan logika dan wacana—sebagaimana Derrida mengatakan bahwa “we need to intrepret interpretation than a interpret thing”. Dengan hal ini, maka kita akan semakin tergelitik—membongkar dibalik motivasi kekuasaan wacana yang sering didengungkan oleh perusahaan multinasional.
Michael Foucault dalam karyanya “the archeology of Knowledge” juga mengatakan bahwa pengetahuan dan politik sulit untuk dipisahkan karena  fondasi kekuasaan ternyata membutuhkan legitimasi pengetahuan. Sehingga setiap wacana yang dimunculkan perusahaan multinasional tak lain adalah kepentingan mereka untuk mendominasi. Iya, mendominasi bagian dari strategi kapitalisme—neoliberalistik.

*** 
Lantas, kita sekarang harus memberi penyambutan terhadap ‘desa cosmopolitan’ didalam era globalisasi ini. Desa cosmopolitan, dimana sebutan nama desa yang kini menjadi bagian langsung dalam proses globalisasi. Desa, dimana bukan lagi akan identik dengan simbol keterbelakangan, namun desa yang akan berkembang mengarah pada kemajuan (cosmopolitan).
Dulu, memang kita memandang desa dan globalisasi merupakan sesuatu hal yang terpisahkan, bahkan mungkin sangat terlampau jauh. Kini, desa dan globalisasi sangatlah sulit untuk dipisahkan—satu tubuh yang saling merekat satu sama lain. Kita tak bisa mematahkan salah satunya—karena globalisasi merupakan fakta dan realita hari ini.

Namun kita tidak bisa memandang desa sebagai sesuatu—obyek pasif yang mengikuti kemana arah globalisasi membawahnya. Jika hal demikian terjadi, maka kita akan menyaksikan didepan mata—bagaimana globalisasi akan menggerogoti desa, dengan remukan kecanggihan teknologi hingga tak akan menyisakan apapun.

Tentunya kerusakan alam baik hutan maupun gunung akan membentang didepan mata kita, lahan dicaplok oleh koorporasi besar, sumber daya ekonomi dieksploitasi dan lain sebagainya. Hingga suatu saat kita akan bertanya-tanya, dimanakah desa kita yang—dengan keindahan alamnya dulu memanjakan mata kita? kemana saya harus pulang kampung? Kemana saya harus merayakan idul fitri dan idul adha? Kemana saya harus bertemu keluarga? Untuk saat ini memang kita akan menjawab ‘desa’ sebab desa masih milik kita semua.

Namun kedepan, kemungkinan jawaban ‘desa’ itu akan berubah, karena kita tak akan mengenali mana desa dan mana bangunan sebuah pabrik industri-industri besar. Semuanya akan disulap seketika demi mereka yang memburu rente, hingga akhirnya desa hanya milik mereka yang punya modal. Karena desa sesunggunya justru berpotensi menjadi subyek aktif yang akan menopang sistem ekonomi dunia yang saat ini tengah krisis.
Lantas, apa yang kita akan perbuat untuk saat ini? Sebelum globalisasi datang dengan perusahaan multinasionalnya mencaplok desa-desa, yang selama ini menjadi kebanggaan kita. 



                                                                                         La ode Halaidin
                                                                                  Kendari 25 September 2015

 

0 komentar:

Posting Komentar