Ilustrasi
Semua orang tentu memahami, dengan umur yang terus
bertambah itu tertanda bahwa kita sedang menuju proses kedewasaan, tua dan kemudian menjadi
nenek. Apakah kedewasaan diukur dengan barometer bertambahnya usia? Tentu saja
tidak. Bisa saja umur dewasa namun tak mempunyai pilihan dalam hidup. Seringkali
terkungkung dengan kenyamanan sehingga tidak mungkin keluar dalam tembok
kedamayan itu. Apakah itu sebuah pilihan? Iya, itu sebuah pilihan. Namun bukan pilihan
untuk mendewasakan.
Kedewasaan memang adalah sebuah persoalan pilihan. Pilihan
untuk belajar mendewasa yang kemudian sampai pada tataran kedewasaan atau hanya
melihat kehidupan tanpa mendapatkan apa-apa lalu menjadi karam. Mengambil pelajaran
dari setiap proses perjalanan hidup kemudian kita mem—pertanggung jawabkannya hari ini, esok dan nanti. Kendaraan
yang membawa kita kesana adalah waktu.
Proses kedewasaan tak terlepas dari perjalanan
sebuah tragedi mendewasa. Seperti matahari yang terus berputar, bumi yang terus
melangka dengan pola lingkarannya yang teratur. Kita sebagai manusia juga
seperti itu ada tragedi sebuah perjalanan hidup. Namun tragedi hidup seseorang
selalu berbeda-beda. Ada yang susah ada juga yang senang, ada miskin ada juga
yang kaya, ada yang jalannya dimudahkan ada juga yang tidak. Semua hanyalah proses
tragedi dalam hidup yang kemudian manusia diajak untuk melihat mata terang
kehidupan.
Dalam tragedi hidup kita selalu diberi pilihan. Antara
iya dan tidak, atau baik dan buruk. Semua membentuk dalam diri kemudian mendorong
kita untuk memetahkan pilihan itu. Mana yang lebih rasional (baik), itu yang
menjadi pilihan kita. Bukan menerabas lalu kemudian mengkapling-kapling yang
bukan menjadi hak-hak kita.
Berbicara proses kedewasaan tentu juga kita
berbicara masaalah waktu. Waktulah yang membawa kita dalam tragedi kedewasaan
itu, sehingga menuntut hidup kita tidak hanya untuk ber—leha-leha atau ber—foya-foya.
Waktu adalah pedang dalam sebuah tragedi kehidupan. Jika kita tidak memanfaatkan
pedang itu untuk kebaikan atau hal yang bermanfaat maka bisa saja pedang itu
kembali menusuk kita. Waktu sesungguhnya adalah pedang samurai yang dengan
kilatan cahayanya bisa menerabas setiap orang dengan seketika. Jika kita tidak
dapat mengelolahnya dengan baik maka waktu tersebutlah yang akan membunuh.
Di sinilah semesta menuntut kita bahwa hidup adalah
keseriusan. Hidup untuk serius bukan untuk main-main. Kita harus perbanyak
belajar, belajar bersyukur, belajar bersabar sebagai konsekuensi yang telah
membawa kita ke—.kehidupan yang penuh
dengan kompetisi. Keseriusan dalam proses pembelajaran dalam belajar adalah
sebuah momentum untuk kemudian membawa kita dalam tahap berpikir kedewasaan. Tentunya
sesuatu pembelajaran dengan proses belajarnya tak pernah berakhir hingga usia
lapuk dimakan waktu. Dan yang menyisakan semua itu adalah tinggalah nama dan
sejarah perjalanan hidup kita.
Hidup adalah sebuah perjalanan, waktu adalah pedang,
dan kedewasaan adalah pilihan. Itu semua berada dalam rangkulan kita. Tinggal bagaimana
kita memanfaatkan itu. Jika tidak maka semua akan sia-sia, semua akan hilang,
semua akan membunuh dan kita tetap berada dalam kepicikan. Maka kata BERANI
pantas kita suarakan dan genggam dalam hidup ini.
Kendari, 13 September 2015
La ode Halaidin
0 komentar:
Posting Komentar