Ilustrasi
Pembaca
yang budiman. Apa yang ada di benak kita jika mendengar universitas? Sepertinya
semua orang tau bahwa universitas adalah tempat untuk menggali ilmu, tempat
untuk mencerdaskan pemikiran, tempat untuk proses dasar menuju pengetahuan atau
hanya sekedar tempat untuk mendapatkan ijazah sarjana saja. Orang seperti saya
dulu memang memahaminya hanya seperti itu. Tak lebih. Jika saya ingin pintar
maka saya harus masuk perguruan tinggi. Itulah anggapan saya, anda sendiri bisa
beranggapan apapun tentang universitas.
Dimanakah
seharusnya tempat mencari ilmu pengetahuan yang sejati? Saya pernah membaca
salah satu tulisan (saya lupa nama penulisnya) yang mengatakan bahwa
universitas bukanlah tempat untuk menemukan ilmu pengetahuan yang sejati tetapi
di luar dari pada itu. Saya rasa anggapan ini benar bahwa universitas hanyalah
sebuah proses untuk menuju ke--pengetahuan-pengetahuan yang akan membimbing
mahasiswa untuk bergelut dengan kehidupan. Belajar di universitas lebih cocok kita
sebut sebagai dasar untuk menuju ke-pengetahuan bukan bagian dari
pengakumulasian untuk mencapai kepintaran/kecerdasan.
Mempunyai
ilmu pengetahuan tanpa memprakteknya saya kira masih belum relevan. Keduanya
perlu satu koneksi atau beriringan satu sama lain. Universitas hanya
mengajarkan tentang teori dan masih minim praktek (saya berbicara tentang
ilmu-ilmu sosial). Praktek disini saya anggap sebagai apresiasi yang selalu
menerjunkan diri dengan realitas kehidupan masyarakat. Praktek sama halnya
dedikasi yang selalu menerjunkan diri di kehidupan sosial, dengan menggunkaan
konsep-konsep teori. Sehingga teori dengan praktek jika dilakukan secara
beriringan akan menghasilkan suatu kongklusi yang baik dan suda tentu akan
mencerdaskan kita secara komprehensif.
Apakah
belajar di universitas akan memberikan sesuatu yang bermanfaat? Pertanyaan ini
tentu akan mendapatkan respon dengan jawaban yang positif di kalangan mahasiswa
dan suda tentu pasti jawabannya bermanfaat.
Apakah
kata-kata manfaat itu selalu layak untuk dipakai? Goenawan Mohamad pernah menuliskan hal ini dengan tulisannya dengan
judul Universitas. Tulisan ini sangat menggugah hati saya. Goenawan Mohamad dengan baiknya mengutip pendapat seorang filosof
China Zhuang Zi yang mengatakan bahwa “orang
semua tahu manfaatnya hal yang bermanfaat, tapi mereka tak tahu manfaatnya hal
yang tak bermanfaat”. Mungkin itulah yang menjadi dasar peta peluang kita dalam
melihat sebuah universitas. Memanfaatkan hal yang bermanfaat dan mampu memanfaatkan
hal yang tidak bermanfaat.
Bagaimana
kecerdasan yang diperoleh dengan belajar melalui buku-buku? Saya kira ini jurus
yang efektif, bahwa buku dapat menyediakan bebagai nuansa pengetahuan. Universitas
dengan perpustakaannya tentu akan lebih baik jika dipadati dengan buku-buku.
Hal ini mengingat akan pentingnya perkembangan pemikiran mahasiswa dalam sebuah
universitas. Namun bagaimana dengan universitas yang minimnya buku-buku bacaan?
Inilah bentuk dari ketertinggalan universitas yang selalu membentengi kompotensi
pengetahuan dan akademik mahasiswa.
Universitas
Halu Oleo dalam pandangan saya masih tergolong dalam hal ini. Buku-buku bacaan
yang masih minim sehingga tak memacu mahasiswa untuk mengunjungi perpustakaan.
Saya melakukan survey tentang hal ini selama hampir dua bulan. Selama saya
berkunjung di bagian ruangan buku-buku koleksi umum, saya tak menemukan
mahasiswa sebanyak lima belas orang saja untuk sekedar membaca. Saya berasumsi
bahwa ini didasari karena tak ada kemauan untuk membaca atau buku-buku
koleksinya yang sedikit dan tak menarik. Ini semua hanya asumsi….mungkin benar,
mungkin juga salah…
***
Sebuah
universitas bukanlah tempat untuk melakukan pembisnisan. Jika hal demikian maka
universitas sama halnya dengan sebuah industri. Di sana ada pekerja buruh/karyawan,
bos/manajer dan juga ada transaksi. Mungkin cara bekerjanya ada unsur paksaan. Transaksi
dalam sebuah kampus seperti, penjualan buku yang dijual oleh dosen kepada
mahasiswanya secara paksa dan itupun bukan hasil karya sendiri. Yang di jual
pun buku modul yang besar dan panajng yang kadang membuat mahasiswa malas
melihat apalagi membacanya dan harganya sangat mahal. Mahasiswa tersenyum kecut
ketika dosen-dosen menawarkan hal ini.
Ilustrasi: Sebuah Perspustakaan Buku
Buku
itu memang penting. Namun jika dosen menjual buku-buku kepada mahasiswanya
dalam bentuk modul dengan harga yang ratusan ribu, saya kira ini bukan bentuk
dari proses mendidik. Mengambil keuntungan dari mahasiswa adalah sesuatu hal
yang menurut saya salah besar dalam lingkungan yang seharusnya penuh didikan
dalam sebuah universitas.
Bagi
saya, mendidik, memberikan inspirasi atau motivasi untuk mengangkat semangat
mahasiswa itu lebih penting. Daripada mahasiswa disuruh membeli buku (modul dan
buku yang tidak disukai mahasiswa) dari dosen, yang terkadang hanya dijadikan
pajangan dan pembungkus kacang. Saya banyak melihat ini di kamar-kamar
mahasiswa. Mendidik dan membiarkan mereka mencari dan membaca buku-buku yang
disukai, yang menurut mereka enak untuk dibaca atau dipelajari. Cara ini
mungkin akan efektif....
Saya
teringat dengan tulisan Rhenald Kasali yang selalu merenungkan kehadirannya di
kehidupan mahasiswa. Apakah hanya menjadi pentransfer pengetahuan atau hanya
pendidik? Rhenald Kasali menyadari bahwa pendidik bukanlah hanya menyampaikan
teori namun dengan kemampuan mewadahi keingintahuan, memperbaiki watak dan
karakter dan membentuk masa depan mereka adalah sama pentingnya dengan
mempraktikan teori. Seharusnya ini yang dilakukan…
Banyak
hal yang saya dapatkan ketika kuliah S1 di universitas Halu Oleo. Seringkali sebut
saja fakultas X, (maaf bukan berarti menyudutkan) dosen-dosennya menjual buku
dengan secara paksa kepada mahasiswanya. Konsepnya lumayan ampuh, dilakukan
dengan penuh ancaman. ketika mahasiswa tak membeli buku yang dijualnya maka nilainya
akan eror jika membeli, nilai akan bagus. Akhirnya yang membeli buku terjamin dapat
nilai yang bagus dan yang tidak membeli jangan harap dapat nilai yang bagus,
sudah pasti nilai merah. Dan seringkali mahasiswa yang membeli buku di cap
sebagai orang pintar dikelas.
Inilah
dunia pendidikan kita terutama di universitas yang hanya dinilai dari segi
kuantitas tanpa memandang kualitas. Sehingga apa yang dikatakan Rhenald Kasali
sebagai sarjana kertas yang hanya pandai memindahkan isi buku ke dalam kertas
sangat menyatu dengan mahasiswa. Sarjana tak siap pakai, tak mampu
berkompotensi, tak punya skil. Inilah yang menjadi kekhawatiran kita sebagai
mahasiswa. Menghantui setiap saat ketika hendak akan meninggalkan kampus; mau
kerja apa, kita akan mulai menjadi pengangguran dan lain-lain.
Sehingga
apa yang dikatakan oleh Simon Ley bahwa universitas sebagai sesuatu yang
menjadi pengharapan yang muluk juga dianggap sebagai lembaga yang seharusnya
bebas dari kata manfaat. Simon ley menganggap bahwa “kegunaan yang tertinggi dari universitas terletak pada apa yang oleh
dunia dianggap sebagai ketidak-bergunaanya”.
Ia, Cardinal
Newman memang suda mengatakan hal ini bahwa ilmu pengetahuan mampu menjadi
tujuannya sendiri. Sehingga universitas sebagai dunia keilmuan tak selalu
mengandung prinsip “semua mesti mengandung-guna”. Ketika sebuah universitas
hanya dianggap sebagai konsumen ilmu pengetahuan yang serba praktis dan bukan
dianggap sebagai proses menuju pengetahuan, maka disanalah bahwa universitas
dianggap tak berguna.
Hari
ini, sebuah universitas seharusnya tidak hanya berpikir untuk mengejar agreditas,
tidak hanya berpikir untuk mempergendut anggaran dari mahasiswa, namun
bagaimana kemudian membimbing mahasiswa untuk menuju proses pengetahuan. Universitas
sebagai jembatan dan sebagai peta mahasiswa untuk menuju masa depan bukan
sebagai tempat berbisnis yang justru hanya mempergendut mereka.
Laode Halaidin
Kendari,
10 September 2015
Hari ini bertepatan dengan tanggal kelahiranku
Hari ini bertepatan dengan tanggal kelahiranku
0 komentar:
Posting Komentar