Ilustrasi.
Jika
jalan untuk menuju surga kebanyakan orang-orang melakukan ibadah ke
mesjid-mesjid, orang-orang ini hanya tau dan percaya bahwa kebaikan terhadap sesama
juga akan mengantarkan hidupnya untuk menuju surga. Mereka percaya akan Tuhan
dan mempunyai agama tapi tak pernah saya melihat mereka melakukan ibadah shalat
lima waktu atau hanya hendak untuk melaksanakan shalat jum’at sekali seminggu. Mereka
mengatakan, saya tak melaksanakan ibadah shalat karena saya tak mampu, jika melakukannya
terputus-putus maka sama halnya saya membodohi Tuhan, sedangkan Tuhan itu maha
melihat dan mendengar. Saya hanya tau bahwa kehidupan harus selalu di isi
dengan kebaikan dengan sesama meskipun itu dengan hal-hal kecil.
Momen
lebaran idul fitri seperti sekarang ini selalu dimanfaatkan untuk
bersilahturahmi. Berkumpul bersama keluarga merupakan suatu kebahagiaan
tersendiri bagi para pemudik. Di saat lebaran-lah kita selalu mempertautkan
silahturahmi bersama keluarga, kakak, adik, ipar-ipar, sahabat serta bersama
masyarakat di desa setempat. Disinilah saya menemukan kebahagiaan itu. Semua keluarga
di kota-kota, baik di Sulawesi maupun di luar Sulawesi berbondong-bondong untuk
mudik di kampung halamannya. Tujuan mereka hanya untuk bertemu dan berkumpul
dengan seluruh keluarga. Dalam setiap lebaran idul fitri, sudah menjadi tradisi
setiap insan manusia untuk kemudian bertemu dengan seluruh keluarga, bersilahturahmi,
ber-maaf-maafan, dan berucap semoga kita diberikan umur panjang dan bertemu
pada lebaran berikutnya. Inilah setiap doa ketika saya menyalami masyarakat di
desa-desa.
Saya
melihat kebahagiaan itu terpencar diraut wajah mereka. Ada perasaan dalam hati
bahwa ternyata kita tak perlu jauh-jauh untuk mencari kebahagiaan ini karena
kebahagiaan sesungguhnya selalu ada disekitar, disamping dan didepan kita.
Kebahagiaan bukan berarti mempunyai kekayaan atau materi/financial yang melimpa,
atau tinggal dirumah yang mewah dan terkesan jauh dengan masyarakat kecil. Biasanya
orang-orang seperti ini tidak mempunyai keunggulan untuk bermasyarakat atau
hanya sekedar untuk bercerita dengan masyarakat di desa-desa karena terlalu mengurung
diri mereka dengan kekayaannya. Orang-orang ini menganggap, masyarakat kecil
tak pantas untuk mendapatkan salaman atau silahtuhrahmi dengan kami, toh mereka
hanya orang-orang miskin yang tak mungkin diajak kerjasama dalam hal keuntungan
atau untuk meningkatkan kekayaannya.
Kebahagiaan
itu ada dan datang tergantung bagaimana kita memanfaatkan dan memandang situasi
serta momen-momen tertentu. Ketika kita memandang momen atau situasi tertentu
dengan pikiran yang negativ, maka situasi itu atau momen tersebut akan buram
dan suda tentu bukan memancarkan suatu kebahagiaan tetapi kebencian, stress dan
sebagainya.
Jika
setiap orang menganggap bahwa idul fitri merupakan momen untuk kembali fitra, suci
kembali atau kemenangan karena telah menjalankan ibadah puasa selama satu bulan
penuh, orang-orang ini menganggap bahwa lebaran idul fitri sama halnya dengan
pembuncaan kebahagiaan bersama, dengan membantu orang-orang yang tak dapat
melaksanakan lebaran shalat idul fitri di mesjid-mesjid terbesar. Mereka
mungkin tak mengerti apa itu fitra, suci atau kemenangan yang sering digemahkan
oleh para pendakwah di mesjid-mesjid. Mereka hanya mengerti bahwa idul fitri
hanyalah sebuah momen terpenting untuk melihat tawa masyarakat, memberikan maaf
atas segala hal yang menjadi pertentangan selama ini, mengikhlaskan apa yang
telah menjadi kejadian atas masa lalu dan menatap sebuah masa depan yang lebih
baik, harmonis dan penuh kedamayan.
Saya
melihat orang-orang ini tidak agamis, tidak pernah saya melihat menjalankan
shalat lima waktu dan mungkin juga mereka tak pernah puasa. Idul fitri seperti
ini mereka tidak melaksanakan shalat idul fitri tetapi dia menyewakan mobil
untuk mengantar orang-orang yang ingin melaksanakan shalat idul fitri. Tidak seperti
orang-orang yang bersorban serba putih dimana setiap bertemu dengan seseorang
selalu mengeluarkan ayat-ayat atau dalil-dalil Al-Qur’an dari mulutnya, menceramahin
tentang kenikmatan akhirat dan meninggakan segala bentuk yang berkaitan dengan
kegiatan duniawi tetapi tidak mengerti bagaimana membahagiakan atau membuat
senyum tawa masyarakat yang hanya dengan hal-hal kecil.
Orang-orang
ini tinggal jauh dari keramayan, kampungnya lumayan terpencil bahkan listrik
pun belum masuk tetapi mereka sangat menikmati kehidupannya. Mereka menganggap
bahwa tak ada halangan atau rintangan apapun untuk selalu membuat kehidupan
masyarakat selalu tersenyum. Setiap tahun dia membantu masyarakat yang
kesusahan bahkan pada saat lebaran seperti ini dia membantu menyewakan mobil
untuk masyarakat. Biasanya mobil-mobil tersebut digunakan masyarakat untuk
pergi ke mesjid-mesjid yang besar untuk melaksanakan shalat idul fitri atau
hanya sekedar jalan-jalan di permandian terdekat.
Kemarin
saya kembali melihat dia bersama dengan masyarakat yang ada di desanya
menumpangi mobil untuk pergi merayakan lebaran idul fitri di mesjid Muna. Saya
mendengar dialah yang menyewah mobil-mobil tersebut. Masyarakat di desanya hanya
tau pergi dan pulang saja. Dia tidak mempunyai kekayaan uang, dia hanya
memiliki kekayaan hati yang berupa kebaikan untuk melihat senyum masyarakat di
desanya dalam momentum lebaran idul fitri ini.
Keikhlasannya
terpampang di raut mukanya yang seram, dan hitam karena keseringannya bertarung
dengan panasnya kehidupan. Keseramannya tak membuat masyarakat takut lalu
kemudian menjauh karena hatinya begitu lunak, rendah hati dan tak mempunyai
rasa kesombongan. Dia pandai berbagi kebahagiaan dengan sesama sesuai
kesanggupannya. Meskipun di desa sangat-lah susah untuk mendapatkan puing-puing
rupiah, dia tak pernah memikirkan berapa puing rupiah yang akan mengeruk isi
dompetnya untuk membantu masyarakat di desanya. Kebahagiaan terbesar dalam
hidupnya ketika dia bisa berbagi, serta melihat masyarakat di kelilingi oleh
tembok kedamayan dan keharmonisan.
Lantas,
apa yang akan kita pilih untuk sebuah kehidupan ini!
Ditulis di Muna, 18 juli 2015
0 komentar:
Posting Komentar