30 Agustus 2015

Haruskah Memilih Rusman Emba (?)

Foto unjuk rasa yang dilakukan pendukung Rusman Emba-Malik Ditu 
di depan Kantor KPU Muna, Senin (24/8). (kiri). Paslon Rusman dan Malik (kanan).

Saya rasa Muna sebagai daerah yang masih terbelakang dari segi kemajuan ekonomi, perlu suapan-suapan yang bergizi baik dari kualitas makanan maupun minuman dan tentunya yang sehat, agar kelak menjadi daerah yang tegak berdiri, tak loyo atau sempoyongan dan tidak ditertawai oleh teman-teman seperjuangannya.

***
Siapa yang menyangka saya harus menuliskan hal ini. Saya sendiri juga tidak tahu kenapa harus menulis tentang politisi, pada hal dari dulu saya tidak suka dengan para politisi yang suka doyan menjual janji palsu. Apakah Rusman Emba seorang politisi tersebut? Entalah…!! Karena masing-masing punya presepsi dan preferensi masing-masing tentang sosok pemimpin kepala daerah yang nanti akan dipilihnya. Semua orang bebas dan memiliki kemerdekaan tentang pilihannya.

Disini saya bukan membahas hal-hal yang ganjil/tidak baik tentang seorang politisi Rusman Emba, karena itu bukanlah bagian karakter saya. Tetapi saya hanya ingin mengatakan bahwa orang-orang yang telah berhasil membangun citranya hanyalah bagian dari mobilisasi opini untuk kemudian mengangkat atau mempopulerkan namanya dipermukaan. Ini hanyalah cara klasik……

Inilah yang membuat saya betanya-bertanya, bahwa cara berpolitik seperti ini bukanlah cara yang sehat namun hanya bagian dari pengecohan dan pemutarbalikan arah untuk kemudian masyarakat memilihnya. Orang-orang tertentu meminta masyarakat untuk memilihnya tanpa menyodorkan apa yang menjadi ide dan gagasan-gagasannya untuk membangun daerah. Inilah cara-cara klasik yang dipertaruhkan didepan publik, semua dilakukan hanya dengan pengalihan opini tanpa dasar yang jelas. Mungkin cara-cara seperti ini pantas kita sebut sebagai cara-cara politik ‘tai kucing’ (maaf agak busuk) yang hanya mengedepankan kepentingan dan kuasa kedepannya. Semua bisa terjadi…

Lalu yang menjadi pertanyaan kita, pantaskah cara-cara berpolitik seperti ini diterapkan, lalu mengharapkan sebuah kemajuan terhadap daerah yang kita banggakan? Entalah……!! Tetapi saya beranggapan, seperti itulah cara-cara politik kotor yang sering diterapkan oleh seorang politisi untuk kemudian melegitimasi kedudukan dan kekuasaan di daerahnya. Tak bisa dilerai dan tak bisa dihentikan, maka kita harus terjun dan terlibat meskipun dengan hal-hal yang kecil untuk sekedar memperingatkan atau bahkan meluruskan apa yang menjadi pemahaman masyarakat.
***
Berawal dari kelelahan mata melihat dan telinga ini mendengar tentang sesosok orang yang diagungkan, yang katanya dapat memberi kemajuan di jazira Muna. Sosok itu menjadi idaman dan akan menjadi pilihan sebagian masyarakat karena dianggap akan mampu memberi perubahan untuk kemajuan daerah Kabupaten Muna. Saya sendiri tak tau sebagian masyarakat mengukurnya dari mana; entah dari kontribusinya terhadap Kabuapten Muna atau mungkin prestasinya selama ini yang kemudian ditorehkannya, atau mungkin punya ide-ide dan gagasan yang brilian atau apalah…..saya juga tidak bisa menebak. Bagiku  politisi yang bertarung (untuk tidak menyebut semuanya) selama ini di daerah Muna sama saja, tak ada niat untuk memajukan daerah; semua atas dasar kuasa dan kepentingan untuk mengeksploitasi segala sumber daya ekonomi yang ada. Iya menurut saya hanya itu. Buktinya tidak ada progress sama sekali dalam pembangunan daerahnya. Jika kita menelisik kebelakang, jati yang menjadi ikon daerah Muna, telah berhasil dibabat oleh orang-orang oligarki, tak tau uangnya ke mana; ke kas daerah pun menurut informasi yang saya dapat, tidak masuk.

 
Foto: Salah satu jalan di Muna, jalan poros wamengkoli-bau-bau 
yang tak kunjung di aspal sekitar hampir 15 tahun. 

Ia, inilah yang menjadi pelajaran kita, bahwa untuk menentukan pemimpin yang dapat memajuhkan daerah, kita perlu ruang untuk kemudian didiskusikan, lalu dipelajari secara bersama-sama. Bukan menebarkan atau memobilisasi opini yang sama sekali tak mendidik masyarakat. Yang menjadi kekhawatiran kita adalah jika calon-calon pemimpin itu lahir dan berasal dari rahim yang sama. Tentu ini menjadi kajian kita, untuk kemudian memutus mata rantai kebiadaban orang-orang yang hendak mengambil atau mengeksploitasi segala sumber daya yang ada daerah.


***
Yang kebanyakan muncul sekarang ini memang para aktor-aktor politik yang pragmatisme. Politik pragmatisme tentunya adalah politik yang hanya pandai mengumbar janji manis, dan sering kali pada kenyataanya masyarakat banyak menelan luda pahit ketika mereka terpilih. Ungkapan-ungkapannya diatas mimbar tidak pernah diwujudkan ketika terpilih yang menurut saya, ini hanyalah bagian dari pembodohan terhadap masyarakat. Bahasa-bahasa ini tentunya banyak diucapkan di podium ketika terjadi pertarungan politik dalam sebuah event yang bergengsi, yang bernamakan pemilihan umum; baik Bupati, Gubernur, Presiden bahkan sampai ke level bawa, kepala desa. Mungkin disini pantas kita menulis pepatah orang-orang Arab bahwa “orang yang tidak punya apa-apa, tidak akan bisa memberikan apa-apa”. Jika tak punya ade atau gagasan maka tidak akan bisa memberikan ide atau gagasan. Titik….

Namun tak sedikit juga saya melihat, calon-calon kepala daerah di puja-puja oleh masyarakat; (entah relawan atau tim pemenang atau mungkin dari simpatisan) bak sang dewa agung yang disembah untuk kemudian dapat memberikan kedamayaan, kemegahan atau kemajuan atau dapat mengabulkan semua apa yang dimintanya. Puja-puja disini bukan berarti disembah (beribadah kepadanya) layaknya seperti Tuhan Yang Maha Kuasa namun dengan pemberian opini. Opini yang mereka lontarkan dimedia sosial bermacam-macam seperti “dialah pemimpin yang menjadi harapan untuk memajukan Muna atau pilihlah si Anu, karena jika si Anu terpilih maka Kabupaten Muna akan maju”, dan masih banyak lagi opini-opini yang muncul. Melalui mobilisasi opini-opini itulah, masyarakat terkecoh dan pengaruhnya sangat dirasakan oleh masyarakat.

Mobilisasi opini merupakan bagian dari dominasi politik oligarki. Politik oligarki merupakan politik yang mempunyai kuasa terhadap materi dengan melakukan penumpukan berbagai modal. Inilah bagian dari cara politisi oligarki yang doyan menjalankan politik penjarahan dengan memobilisasi opini dan menguasai sumber daya kekayaan dan kekuasaan yang kemudian mereka dapat mengkosolidasikannya. Sehingga kehendak untuk berkuasa mereka tak terelakan; opini muncul dipermukaan dengan berbagai bentuk warna-warni, manis seperti buah anggur, wewangian yang seakan-akan menyumbat hidung untuk bernafas, dengan mata berkedap-kedip seakan-akan kita terkena sesuatu kenikmatan.

Namun apakah opini yang mereka kutip di media sosial sesuai dengan realitas? Belum tentu. Kita boleh saja bisa beranggapan bahwa semua dilakukan atas dasar komitmen-komitmen dengan persetujuan ‘amplop panas’ untuk kemudian mempopulerkannya. Iya hanya itu, tak lebih dari itu……

Menurut Ziko Muliya dalam tulisannya tentang Oligarki vs Civil Society, riset demos tahun 2005 dan 2007 menemukan bahwa kemandegan demokrasi ternyata disebabkan oleh elit dominan yang memonopoli kekuasaan. Mereka membangun demokrasi oligarki, yang menurut pengertian tiga pakar politik Indonesia : Vedy R Hadiz, Richard Robinson dan Jeffrey Winters, oligarki selalu menekankan keunggulan sumber daya material sebagai kekuatan politik maupun kekuatan ekonomi.
***
Jika kita melihat partai Rusman Emba memang partainya lahir di masa Orde Baru yaitu Partai Golkar. Semasa Orde Baru dengan rezim otoriter Soeharto berkuasa, banyak orang-orangnya dimasukan dalam partai golkar. Lalu pertanyaannya apakah Rusman Emba bagian dari politisi yang lahir dari Orde Baru? Saya juga tak tahu. Karena saya tak bisa melacak hal itu. Namun semasa rezim otoriter berkuasa system patronase menjalar hingga ke level provinsi, kabupaten/kota dan desa. Mungkin lewat patronase yang menjalar inilah yang kemudian melahirkan politisi-politisi oligarki di tingkat lokal, dan selalu mempertahankan status quo mereka.

Lalu pertanyaan yang kita kedepankan, haruskah kita memilih Rusman Emba dalam pemilihan kepalah daerah di Muna kedepan? Entalah….Itu semua tergantung hati nurani kita untuk kemudian memilih siapa yang punya potensi, atau orang yang ingin benar-benar bekerja untuk kemajuan daerah Muna yang kita cintai. Nasib Muna lima tahun kedepan tergantung dibilik suara, yang hanya memakan waktu singkat dan cepat.

Saya pun demikian, saya masih melihat siapa orang yang akan saya pilih. Suda hampir lima belas tahun saya tidak memilih kepala daerah di Muna. Saat ini saya berpikir untuk memilih lewat analisa yang baik. Semoga kedepan dengan pilihanku itu dapat terpilih dan melihat kerja nyatanya untuk sebuah kemajuan di Muna yang kita cintai. Semoga……..


Gambar 1 diambil di: http://beritasultra.co/rusman-malik-lolos-lubang-jarum/
                                                                                                           

Kendari, 30 Agustus 2015

0 komentar:

Posting Komentar