Beberapa
hari ini, saya menyaksikan penyambutan hari kemerdekaan Indonesia di berbagai
wilayah memang selalu berbeda-beda ada lomba panjat pinang, sepakbola, makan
kerupuk, bola gotong dan berbagai perayaan lainnya. Ini semua tentu patut kita
apresiasi karena perayaan tersebut merupakan bagian dari bentuk kebanggaan
masyarakat kita setelah Indonesia lepas dari belengguh penjajahan bangsa-bangsa
kolonialisme. Inilah yang masyarakat pahami tentang perayaan kemerdekaan selama
ini. Semangat perayaan kemerdekaannya hanya dipahami dengan symbol formalisme
belaka, atau yang bersifat kasat mata.
Inilah
nasionalisme yang bersifat semu yang suda menjangkiti masyarakat kita. Dan yang
lebih mencengangkan lagi setiap perayaan lomba kemerdekaan di desa-desa tak
sedikit juga saya menyaksikan perkelahian antar desa. Perkelahian itu terjadi
dalam pertandingan sepakbola; kadang dibenak saya sering memunculkan
pertanyaan; apakah mereka mengerti makna dari perayaan kemerdakaan ini!
Menurut
Asep kepada BBC Indonesia mengatakan
bahwa perayaan kemerdekaan diperingati sebagai upaya untuk mengenal sejarah dan
budaya bangsa dengan mengenali para pejuang karena merekalah yang melahirkan
bangsa ini dan memberikan kesempatan untuk menikmati kemerdekaan dengan
mengorbankan keringat, darah dan air mata. Bagi saya perayaan kemerdekaan
dengan mengadakan berbagai lomba-lomba tersebut merupakan bagian dari kegiatan
sosial untuk kemudian mempertautkan silaturahmi antar desa. Disanalah seharusnya
kebersamaan, kesatuan dan persatuan terjadi; segengsi apapun pertandingan, yang
perlu kita dorong adalah semangat nasionalisme namun tidak bersifat semu atau
dangkal; dan yang lebih penting lagi adalah masyarakat tidak kehilangan harga
dan martabat diri sebagai bangsa Indonesia yang merdeka.
Yang
patut kita pertanyakan bersama setelah Indonesia merdeka, apa yang kita pahami
selama ini tentang kemerdekaan? Apakah kemerdekaan masih berarti terbebasnya
masyarakat Indonesia akibat penjajahan oleh bangsa-bangsa asing! Jika kita
melihat dalam konteks perang kemiliteran pada masa penjajahan dulu memang kita
suda merdeka, tidak ada lagi yang menjajah kita secara militer namun, bagaimana
dengan konteks penjajahan mental dan moralitas bangsa, apakah kita suda
merdeka? Seringkali Undang-undang dan setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah
muda saja didikte; diintip lalu dimasuki oleh kepentingan bangsa-bangsa asing. Lalu
pertanyaan berikutnya adalah untuk apa Indonesia merdeka? Setelah merdeka, buat
siapakah kemerdekaan itu? Apakah betul di Indonesia ada yang masyarakatnya
merdeka dan ada yang tidak merdeka!
Pertanyaan-pertanyaan
ini tentu mempunyai relevansi yang kuat dengan apa yang terjadi di Indonesia
sekarang ini. Melihat realitas dengan apa yang dicita-citakan oleh para pendiri
bangsa ini tentu sangat berkontradiksi. Disatu sisi Indonesia diharapkan
menjadi Negara yang makmur, sejahtera dalam bidang politik, ekonomi dan budaya,
dengan mencipatakan pembangunan yang berkeadilan di segala bidang atau mungkin
hanya sekedar seperti yang sangat populer selama ini diucapkan oleh Prabowo
Subianto menjadi macan Asia.
Di sisi
lain bangsa ini selalu terkungkung dengan kebijakan yang diterapkan oleh para
penguasa, permainan partai-partai politik dengan kepentingannya, pemodal dengan
doktrinisasinya lewat gedung putih atau istana, dll. Sehingga apa yang mmenjadi
kebijakan yang diambil bukan lagi kepentingan yang bertemakan rakyat tetapi
kepantingan orang-orang yang berdasi; tak kenal dasi asing atau dasi orang
Indonesia sendiri.
Pemahaman
kemerdekaan tentu tidak hanya dilakukan dengan pengukuran dalam satu barometer
saja, sehingga tidak menjadi sesuatu pseudo kemerdekaan (pemahaman kemerdekaan
yang semu). Jika hal demikian maka kemerdekaan itu menjadi sesuatu yang tak
bermakna, tak bernilai dan tak berkarakter. Kita bisa menjastivikasi pemahaman
kemerdekaan dengan cara mengalami; mengalami disini bukan berarti kita kembali
dimiskinkan, atau menjadi seseorang yang miskin namun melibatkan diri dengan
pergulatan kehidupan mereka; kita bisa turun ke desa-desa, ke petani-petani,
nelayan, pekerja buruh, keperumahan-perumahan kumuh, atau orang-orang yang
berumah dikolong jembatan. Disanalah kita dapat memahami kemerdekaan dalam konteks
yang moderat bahwa kemerdekaan sekarang tidak hanya dipahami dengan terbebasnya
dari penjajahan bangsa-bangsa asing, namun terbebasnya dari masaalah-masaalah
ekonomi (kemelaratan, kemiskinan dan ketertinggalan), social dan politik.
***
Indonesia
memproklamirkan kemerdekaan tentu merupakan langka awal untuk menjadikan titik
balik kehidupan bangsa untuk membangun negeri. Namun pembangunan negeri tidak
bersifat yang berat sebelah, pilih kasih; atau ada sitilah “wilayah mana yang
telah memenangkan saya maka wilayah itu berhak mendapatkan perhatian dan
bantuan; atau akan ada pengajuan proyek besar-besaran untuk wilayah tersebut
karena pemilihnya telah memenangkannya”.
Yang
lebih popular lagi sekarang ini adalah relawan para calon; setelah juragannya
memenangi pertaruhan pemilu maka relawan tersebut memiliki peluang untuk duduk
dikursi-kursi basah tersebut. Tentunya ini bukan relawan biasa, tetapi
relawan-relawan yang propfesional; yang telah membuat komitmen-komitmen liar
dengan juragannya. Pada akhirnya kemerdekaan itu seolah milik mereka, orang-orang
yang dekat dengan kekuasaan/jabatan bukan lagi kemerdekaan kita semua yang tak
mengenal garis pembatas.
Jika hal demikian maka
kemerdekaan bukan lagi berada pada genggaman kekuasaan rakyat tapi hanya mereka
yang pemodal, kuasa/jabatan, dan mungkin juga organisasi-organisasi non
pemerintah yang telah berhasil mempermainkan strategi liciknya dengan
mengusulkan berbagai proposal proyek besar di negeri ini. Akhirnya kata
kemerdekaan yang mempunyai nilai-nilai yang mendasar kemajemukan; tak pandang
kelas, status social, dan wilayah seolah hanya milik mereka; maka tak salah
jika kata KEMERDEKAAN itu akan berubah menjadi KEMER [D] EKAAN bukan lagi
KEKITAAN.
Apa
yang membedakan Kemerekaan dan kekitaan dalam konteks kemerdekaan Negara republik
Indonesia? Kemerekaan merepresentasikan bahwa kemerdekaan itu hanya milik
segelintir orang-orang tertentu; disana ada pertarungan kelas, status social,
kekayaan, jabatan dan sebagianya yang merupakan wujud dari kelompok-kelompok
yang individualitas. Kongkritnya kemerekaan itu tidak merangkul semua kalangan;
namun hanya orang-orang tertentu yang masuk pada kriteria-kriteria yang
disyaratkan.
Berbeda
dengan kekitaan yang sifatnya merangkul tanpa ada pembedaan, kelas, dan status
social; kongkritnya bahwa kekitaan itu merepresentasikan kemerdekaan semua
kalangan dan kemerdekaan semua wilayah; yang berada dalam lingkaran kemiskinan
maka mereka berhak untuk mendapatkan bantuan social, pengangguran berhak untuk
mendapatkan pekerjaan yang layak, yang tidak mampu untuk membiayai pendidikan
berhak untuk mendapatkan biaya pendidikan gratis.
Sama
halnya dengan kemerdekaan semua wilayah; jika kemajuan selama ini hanya dialami
oleh satu kawasan yaitu kawasan Indonesia barat dalam konteks kemerdekaan _ ke-kitaan
maka seharusnya tidak ada pengecualian, kawasan Indonesia timur juga harus maju.
Anggaran seharusnya juga adil, tidak mesti harus terus yang lebih besar di
kawasan Indonesia barat; sehingga kemajuan dalam bidang pembangunan kelihatannya
merata. Mungkin inilah monumen sebuah
keadilan, kerajaan keadilan yang kemudian akan melahirkan persatuan dan
kesatuan bangsa untuk membangun negeri, seperti yang disemangatkan hari
kemerdekaan pada usia yang ke 70 tahun ini; bukan masing-masing wilayah
menyatakan diri untuk merdeka atau ingin pisah dari sebuah Negara Indonesia.
Dan semoga semua hal ini tidak terjadi, dan keadilan itu semoga cepat terwujud.
Dirgahayu RI yang ke 70. Selamat menatap gejolak dan pertarungan dunia yang tidak menentu...
Kendari,
19 Agustus 2015
0 komentar:
Posting Komentar