19 Agustus 2015

Kemer [D] ekaan Milik Mereka Dan Bukan Milik Kita [?]

Beberapa hari ini, saya menyaksikan penyambutan hari kemerdekaan Indonesia di berbagai wilayah memang selalu berbeda-beda ada lomba panjat pinang, sepakbola, makan kerupuk, bola gotong dan berbagai perayaan lainnya. Ini semua tentu patut kita apresiasi karena perayaan tersebut merupakan bagian dari bentuk kebanggaan masyarakat kita setelah Indonesia lepas dari belengguh penjajahan bangsa-bangsa kolonialisme. Inilah yang masyarakat pahami tentang perayaan kemerdekaan selama ini. Semangat perayaan kemerdekaannya hanya dipahami dengan symbol formalisme belaka, atau yang bersifat kasat mata.

Inilah nasionalisme yang bersifat semu yang suda menjangkiti masyarakat kita. Dan yang lebih mencengangkan lagi setiap perayaan lomba kemerdekaan di desa-desa tak sedikit juga saya menyaksikan perkelahian antar desa. Perkelahian itu terjadi dalam pertandingan sepakbola; kadang dibenak saya sering memunculkan pertanyaan; apakah mereka mengerti makna dari perayaan kemerdakaan ini!

Menurut Asep kepada BBC Indonesia mengatakan bahwa perayaan kemerdekaan diperingati sebagai upaya untuk mengenal sejarah dan budaya bangsa dengan mengenali para pejuang karena merekalah yang melahirkan bangsa ini dan memberikan kesempatan untuk menikmati kemerdekaan dengan mengorbankan keringat, darah dan air mata. Bagi saya perayaan kemerdekaan dengan mengadakan berbagai lomba-lomba tersebut merupakan bagian dari kegiatan sosial untuk kemudian mempertautkan silaturahmi antar desa. Disanalah seharusnya kebersamaan, kesatuan dan persatuan terjadi; segengsi apapun pertandingan, yang perlu kita dorong adalah semangat nasionalisme namun tidak bersifat semu atau dangkal; dan yang lebih penting lagi adalah masyarakat tidak kehilangan harga dan martabat diri sebagai bangsa Indonesia yang merdeka.

Yang patut kita pertanyakan bersama setelah Indonesia merdeka, apa yang kita pahami selama ini tentang kemerdekaan? Apakah kemerdekaan masih berarti terbebasnya masyarakat Indonesia akibat penjajahan oleh bangsa-bangsa asing! Jika kita melihat dalam konteks perang kemiliteran pada masa penjajahan dulu memang kita suda merdeka, tidak ada lagi yang menjajah kita secara militer namun, bagaimana dengan konteks penjajahan mental dan moralitas bangsa, apakah kita suda merdeka? Seringkali Undang-undang dan setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah muda saja didikte; diintip lalu dimasuki oleh kepentingan bangsa-bangsa asing. Lalu pertanyaan berikutnya adalah untuk apa Indonesia merdeka? Setelah merdeka, buat siapakah kemerdekaan itu? Apakah betul di Indonesia ada yang masyarakatnya merdeka dan ada yang tidak merdeka!

Pertanyaan-pertanyaan ini tentu mempunyai relevansi yang kuat dengan apa yang terjadi di Indonesia sekarang ini. Melihat realitas dengan apa yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini tentu sangat berkontradiksi. Disatu sisi Indonesia diharapkan menjadi Negara yang makmur, sejahtera dalam bidang politik, ekonomi dan budaya, dengan mencipatakan pembangunan yang berkeadilan di segala bidang atau mungkin hanya sekedar seperti yang sangat populer selama ini diucapkan oleh Prabowo Subianto menjadi macan Asia.

Di sisi lain bangsa ini selalu terkungkung dengan kebijakan yang diterapkan oleh para penguasa, permainan partai-partai politik dengan kepentingannya, pemodal dengan doktrinisasinya lewat gedung putih atau istana, dll. Sehingga apa yang mmenjadi kebijakan yang diambil bukan lagi kepentingan yang bertemakan rakyat tetapi kepantingan orang-orang yang berdasi; tak kenal dasi asing atau dasi orang Indonesia sendiri.

Pemahaman kemerdekaan tentu tidak hanya dilakukan dengan pengukuran dalam satu barometer saja, sehingga tidak menjadi sesuatu pseudo kemerdekaan (pemahaman kemerdekaan yang semu). Jika hal demikian maka kemerdekaan itu menjadi sesuatu yang tak bermakna, tak bernilai dan tak berkarakter. Kita bisa menjastivikasi pemahaman kemerdekaan dengan cara mengalami; mengalami disini bukan berarti kita kembali dimiskinkan, atau menjadi seseorang yang miskin namun melibatkan diri dengan pergulatan kehidupan mereka; kita bisa turun ke desa-desa, ke petani-petani, nelayan, pekerja buruh, keperumahan-perumahan kumuh, atau orang-orang yang berumah dikolong jembatan. Disanalah kita dapat memahami kemerdekaan dalam konteks yang moderat bahwa kemerdekaan sekarang tidak hanya dipahami dengan terbebasnya dari penjajahan bangsa-bangsa asing, namun terbebasnya dari masaalah-masaalah ekonomi (kemelaratan, kemiskinan dan ketertinggalan), social dan politik.

***
Indonesia memproklamirkan kemerdekaan tentu merupakan langka awal untuk menjadikan titik balik kehidupan bangsa untuk membangun negeri. Namun pembangunan negeri tidak bersifat yang berat sebelah, pilih kasih; atau ada sitilah “wilayah mana yang telah memenangkan saya maka wilayah itu berhak mendapatkan perhatian dan bantuan; atau akan ada pengajuan proyek besar-besaran untuk wilayah tersebut karena pemilihnya telah memenangkannya”.

Yang lebih popular lagi sekarang ini adalah relawan para calon; setelah juragannya memenangi pertaruhan pemilu maka relawan tersebut memiliki peluang untuk duduk dikursi-kursi basah tersebut. Tentunya ini bukan relawan biasa, tetapi relawan-relawan yang propfesional; yang telah membuat komitmen-komitmen liar dengan juragannya. Pada akhirnya kemerdekaan itu seolah milik mereka, orang-orang yang dekat dengan kekuasaan/jabatan bukan lagi kemerdekaan kita semua yang tak mengenal garis pembatas.

Jika hal demikian maka kemerdekaan bukan lagi berada pada genggaman kekuasaan rakyat tapi hanya mereka yang pemodal, kuasa/jabatan, dan mungkin juga organisasi-organisasi non pemerintah yang telah berhasil mempermainkan strategi liciknya dengan mengusulkan berbagai proposal proyek besar di negeri ini. Akhirnya kata kemerdekaan yang mempunyai nilai-nilai yang mendasar kemajemukan; tak pandang kelas, status social, dan wilayah seolah hanya milik mereka; maka tak salah jika kata KEMERDEKAAN itu akan berubah menjadi KEMER [D] EKAAN bukan lagi KEKITAAN.

Apa yang membedakan Kemerekaan dan kekitaan dalam konteks kemerdekaan Negara republik Indonesia? Kemerekaan merepresentasikan bahwa kemerdekaan itu hanya milik segelintir orang-orang tertentu; disana ada pertarungan kelas, status social, kekayaan, jabatan dan sebagianya yang merupakan wujud dari kelompok-kelompok yang individualitas. Kongkritnya kemerekaan itu tidak merangkul semua kalangan; namun hanya orang-orang tertentu yang masuk pada kriteria-kriteria yang disyaratkan.
Berbeda dengan kekitaan yang sifatnya merangkul tanpa ada pembedaan, kelas, dan status social; kongkritnya bahwa kekitaan itu merepresentasikan kemerdekaan semua kalangan dan kemerdekaan semua wilayah; yang berada dalam lingkaran kemiskinan maka mereka berhak untuk mendapatkan bantuan social, pengangguran berhak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, yang tidak mampu untuk membiayai pendidikan berhak untuk mendapatkan biaya pendidikan gratis.

Sama halnya dengan kemerdekaan semua wilayah; jika kemajuan selama ini hanya dialami oleh satu kawasan yaitu kawasan Indonesia barat dalam konteks kemerdekaan _ ke-kitaan maka seharusnya tidak ada pengecualian, kawasan Indonesia timur juga harus maju. Anggaran seharusnya juga adil, tidak mesti harus terus yang lebih besar di kawasan Indonesia barat; sehingga kemajuan dalam bidang pembangunan kelihatannya merata. Mungkin inilah monumen sebuah  keadilan, kerajaan keadilan yang kemudian akan melahirkan persatuan dan kesatuan bangsa untuk membangun negeri, seperti yang disemangatkan hari kemerdekaan pada usia yang ke 70 tahun ini; bukan masing-masing wilayah menyatakan diri untuk merdeka atau ingin pisah dari sebuah Negara Indonesia. Dan semoga semua hal ini tidak terjadi, dan keadilan itu semoga cepat terwujud. Dirgahayu RI yang ke 70. Selamat menatap gejolak dan pertarungan dunia yang tidak menentu...

                                                                                    Kendari, 19 Agustus 2015

0 komentar:

Posting Komentar