Ilustrasi
Kecantikan
dalam industri kebudayaan merupakan bagian dari konsumsi masyarakat. Iklan, film-film
serta drama yang dipertotonkan dihadapan kita merupakan kerja sang produser,
yang kemudian di buat semenarik mungkin untuk menarik para konsumtifnya. Tak
memungkiri, kita dapat menyaksikan berbagai film-film, drama atau adegan panas persetubuhan
didepan layar dengan pemeran-pemeran utama yang cantik nan seksi atau laki-laki yang berotot dan
bermata sipit yang bergincu merah. Namun semua itu tak banyak juga dari para
konsumen film dan drama serta iklan tidak dapat menangkap makna sejati dari
semua adegan-adegan yang dipertunjukan itu.
Banyak
hal yang menjadi gambaran kita, bagaimana kerja sang produser dalam merekayasa
semua adegan perfilman, misalnya dalam film-film Holiwood, drama korea dll. Misalnya
saja dalam film Holiwood banyak sekali film-film yang dipertontonkan dengan
memamerkan kecanggihan teknologi, senjata-senjata yang berteknologi tinggi,
pesawat tempur, serta adegan-adegan pertunjukan yang melawan mahluk luar
angkasa. Itu semua pertanda bagian dari kekuasaan dan kemajuannya dalam bidang
teknologi dan mempunyai kekuatan dan dominasi atas semua industri hiburan
dunia.
Sesuatu
yang ironis bagi kita ketika melihat adegan-adegan pertunjukan itu. Mata kita
terbelalak ketika kita menyaksikannya, terdiam dan mengagguminya. Kita
seakan-akan terhipnotis oleh sihir dengan mantra-mantra kecantikannya dengan
lekuk tubuh yang indah, bermata sipit, berotot,dan muka bersih. Dengan semua
itu kita hanya bertanya-tanya betapa hebatnya film-film atau drama tersebut
dibuat, tanpa memperdalam pertanyaan kita berapa keuntungan yang diraup dari
pembuatan film-film dan drama tersebut? Film-film dan drama tersebut dibuat
karena merupakan salahsatu ladang bisnis dalam dunia hiburan yang terus menjadi
ikon kapitalisme.
Produser
merupakan seseorang yang ahli dan Industri hiburan seperti film-film atau drama
merupakan ladang bisnisnya. Bisnis suda menjadi bagian dari ideologi mereka. Mereka
dapat berbuat apa saja untuk meningkatkan bisnis industri hiburanya. Tak tanggung-tanggung
mereka akan mengeluarkan dengan jumlah uang yang sangat besar untuk membayar
pemeran-pemeran film atau drama yang cantik nan seksi dan laki-laki yang
bersih, berambut rapi atau seperti yang sering didefenisikan banyak orang yakni
laki-laki yang tampan. Karena kecantikan nan seksi atau tampan merupakan
tontonan para konsumstif film dan drama maka sang produser bekerja dengan
mengelaborasikan dari kedua hal tersebut. Cantik nan seksi, tinggi agak kurusan
sedikit atau bermata sipit untuk perempuan dan untuk laki-laki bertubuh kekar,
tinggi besar berotot, plontos atau laki-laki tampan yang sering memakai gincu
merah serta bermata sipit yang mempunyai budaya di negaranya, laki-laki yang
harus melakukan bedah plastik. Itulah dambaan dari para konsumtif film dan
drama yang mereka inginkan.
Film-film
atau drama Asia baik Korea ataupun yang mulai muncul sekarang Thailand yang
sering dipertontonkan dilayar kaca suda menjadi selerah masyarakat. Masyarakat
seakan keteranjingan, meskipun tak banyak menangkap makna dari setiap adegan
yang dipertunjukan dalam film dan drama tersebut. Menurut Theodor W.
Adorno dan Max Horkheimer bahwa masyarakat
yang selalu menjadi konsumen film dan iklan adalah pekerja dan buruh, petani
dan kelas menengah rendah.
Namun
jika kita melihat realitas dikehidupan masyarakat sekarang ini, konsumen film
dan drama suda menyentuh berbagai kalangan masyarakat. Tak kenal kelas,
berpendidikan atau status sosial. Seakan-akan masyarakat hidup terkungkung
dengan apa yang dipertunjukan oleh film-film dan drama. Masyarakat kadang
sering terkecoh dengan hal-hal tersebut bahwa apa yang terjadi di film-film dan
drama juga terjadi dengan realitas kehidupan.
Suda
banyak saya melihat seseorang yang keteranjingan dengan film-film dan drama Korea
atau yang baru muncul sekarang ini drama Thailand. Ketika saya menyempatkan
diri untuk menontoni adegan-adegan film atau drama tersebut, tak satupun
dibenak saya untuk melanjutkan menontoninya. Menurut saya adegan-adegan dalam
film atau drama tersebut tak mempunyai sesuatu makna yang dalam. Seperti yang
terdapat dalam drama Korea Love Rain.
Didalamnya hanya ada adegan tentang persoalan cinta yang sangat hambar. Selama saya menontoninya adegannya
kahilangan makna. Tak ada keseruan tentang drama cinta yang dipertunjukannya.
Ketertularan
kita akan dunia hiburan yang berbaur Asia maupun Barat membawah sesuatu yang
negative terhadap masyarakat. Masyarakat terkadang mendewakan sosok-sosok yang
ada dalam film atau drama tersebut. Mengidolakan apa yang menjadi penilaian
mereka pantas untuk di idolakan. Mereka menjadi fans terberatnya ketika melihat
sosok yang cantik dan ganteng bermata sipit atau bertubuh kekar. Tak melihat
apakah sosok tersebut mempunyai bakat yang luar biasa, kecerdasan, atau hal-hal
yang tidak dimiliki oleh orang lain. Semuanya hanya dilihat dari satu segi
yaitu kecantikan.
Di
Indonesia sendiri banyak yang menilai sosok yang dikagumi atau menjadi fans
terberatnya hanya melihat dari segi kecantikan tersebut. Najwa Sihab pernah
mewawancarai salahsatu fans terberat JKT 48 dalam programnya Mata Najwa di
Metro TV. Yang membuat saya tercengang adalah ketika masyarakat rela
mengeluarkan isi dompetnya puluhan juta hanya sekedar bertemu, berkenalan, bersapa
kata dan menontoni mereka. Mereka mengunjungi member JKT 48 biasa tiga sampai
empat kali dalam seminggu. Member-member JKT 48 sangat mempunyai daya magnet
atau sihir yang kuat untuk memikat kaum laki-laki.
Foto dari salahsatu personil JKT 48.
Kecantikan ini seringkali membuat saya tak bisa tidur.
Kecantikan
member JKT 48 ibarat sang ratu dari Asia, karena semua membernya bermata sipit
dan salahsatunya merupakan orang Jepang. Menurut saya munculnya JKT 48
merupakan bagian dari pengaruh budaya Asia yang sering dipertontonkan dilayar
kaca. Manajemen JKT 48 memang suda memikirkan bahwa masyarakat Indonesia sedang
keteranjingan dengan sosok-sosok bermata sipit sehingga tak memungkiri dia
mengumpulkan member-member yang seperti sosok-sosok Asia tersebut. Tak
tanggung-tanggung fans-fansnya sangat banyak terutama laki-laki dan tak kenal
tua dan muda. Inilah pengaruh dari sebuah drama atau film-film yang
dipertontonkan selama ini yang merupakan kerja dari sebuah industri kebudayaan yang
liberal-kapitalis.
Ini
semua hanya demi sebuah bisnis untuk meraup keuntungan bukan kemudian mencari
dan mengumpulkan orang-orang berbakat yang ada di Indonesia seperti yang
diungkapkan oleh manajemennya.
Max
Horkheimer dan Theodor W. Adorno suda menjelaskan hal ini bahwa kekuatan
masyarakat industrial kebudayaan selalu tersangkut dalam pemikiran manusia.
Lebih lanjut dia menegaskan bahwa para produsen hiburan-hiburan mengetahui
bahwa produk-produk mereka akan dikonsumsi dengan segera bahkan ketika mereka
bingung sekali, karena masing-masing dari mereka adalah sebuah model dari
permesinan ekonomi raksasa yang selalu menyokong massa.
Dalam
industri kebudayaan masyarakat yang suka doyan mengkonsumsi film atau drama tak
lebih hanyalah bagian dari mesin ekonomi, yang hanya meningkatkan bisnis
hiburan para kapitalistik. Masyarakat diibaratkan seperti robot yang terus
bekerja dan mengikuti apa yang diarahkan oleh produsen hiburan.
Ketika badai
hiburan tengah melanda dunia lalu kemana kita akan terdampar?. Jawabannya hanya
tiga yaitu Asia, Barat atau Indonesia sendiri.
Kita
hanya tinggal memilih mana yang lebih bermanfaat untuk kita!
Kendari,
11 Agustus 2015
0 komentar:
Posting Komentar