11 Agustus 2015

Kecantikan

                                                                          Ilustrasi
 
Kecantikan dalam industri kebudayaan merupakan bagian dari konsumsi masyarakat. Iklan, film-film serta drama yang dipertotonkan dihadapan kita merupakan kerja sang produser, yang kemudian di buat semenarik mungkin untuk menarik para konsumtifnya. Tak memungkiri, kita dapat menyaksikan berbagai film-film, drama atau adegan panas persetubuhan didepan layar dengan pemeran-pemeran utama yang cantik  nan seksi atau laki-laki yang berotot dan bermata sipit yang bergincu merah. Namun semua itu tak banyak juga dari para konsumen film dan drama serta iklan tidak dapat menangkap makna sejati dari semua adegan-adegan yang dipertunjukan itu.

Banyak hal yang menjadi gambaran kita, bagaimana kerja sang produser dalam merekayasa semua adegan perfilman, misalnya dalam film-film Holiwood, drama korea dll. Misalnya saja dalam film Holiwood banyak sekali film-film yang dipertontonkan dengan memamerkan kecanggihan teknologi, senjata-senjata yang berteknologi tinggi, pesawat tempur, serta adegan-adegan pertunjukan yang melawan mahluk luar angkasa. Itu semua pertanda bagian dari kekuasaan dan kemajuannya dalam bidang teknologi dan mempunyai kekuatan dan dominasi atas semua industri hiburan dunia.

Sesuatu yang ironis bagi kita ketika melihat adegan-adegan pertunjukan itu. Mata kita terbelalak ketika kita menyaksikannya, terdiam dan mengagguminya. Kita seakan-akan terhipnotis oleh sihir dengan mantra-mantra kecantikannya dengan lekuk tubuh yang indah, bermata sipit, berotot,dan muka bersih. Dengan semua itu kita hanya bertanya-tanya betapa hebatnya film-film atau drama tersebut dibuat, tanpa memperdalam pertanyaan kita berapa keuntungan yang diraup dari pembuatan film-film dan drama tersebut? Film-film dan drama tersebut dibuat karena merupakan salahsatu ladang bisnis dalam dunia hiburan yang terus menjadi ikon kapitalisme.

Produser merupakan seseorang yang ahli dan Industri hiburan seperti film-film atau drama merupakan ladang bisnisnya. Bisnis suda menjadi bagian dari ideologi mereka. Mereka dapat berbuat apa saja untuk meningkatkan bisnis industri hiburanya. Tak tanggung-tanggung mereka akan mengeluarkan dengan jumlah uang yang sangat besar untuk membayar pemeran-pemeran film atau drama yang cantik nan seksi dan laki-laki yang bersih, berambut rapi atau seperti yang sering didefenisikan banyak orang yakni laki-laki yang tampan. Karena kecantikan nan seksi atau tampan merupakan tontonan para konsumstif film dan drama maka sang produser bekerja dengan mengelaborasikan dari kedua hal tersebut. Cantik nan seksi, tinggi agak kurusan sedikit atau bermata sipit untuk perempuan dan untuk laki-laki bertubuh kekar, tinggi besar berotot, plontos atau laki-laki tampan yang sering memakai gincu merah serta bermata sipit yang mempunyai budaya di negaranya, laki-laki yang harus melakukan bedah plastik. Itulah dambaan dari para konsumtif film dan drama yang mereka inginkan.

Film-film atau drama Asia baik Korea ataupun yang mulai muncul sekarang Thailand yang sering dipertontonkan dilayar kaca suda menjadi selerah masyarakat. Masyarakat seakan keteranjingan, meskipun tak banyak menangkap makna dari setiap adegan yang dipertunjukan dalam film dan drama tersebut. Menurut Theodor W. Adorno  dan Max Horkheimer bahwa masyarakat yang selalu menjadi konsumen film dan iklan adalah pekerja dan buruh, petani dan kelas menengah rendah.

Namun jika kita melihat realitas dikehidupan masyarakat sekarang ini, konsumen film dan drama suda menyentuh berbagai kalangan masyarakat. Tak kenal kelas, berpendidikan atau status sosial. Seakan-akan masyarakat hidup terkungkung dengan apa yang dipertunjukan oleh film-film dan drama. Masyarakat kadang sering terkecoh dengan hal-hal tersebut bahwa apa yang terjadi di film-film dan drama juga terjadi dengan realitas kehidupan.

Suda banyak saya melihat seseorang yang keteranjingan dengan film-film dan drama Korea atau yang baru muncul sekarang ini drama Thailand. Ketika saya menyempatkan diri untuk menontoni adegan-adegan film atau drama tersebut, tak satupun dibenak saya untuk melanjutkan menontoninya. Menurut saya adegan-adegan dalam film atau drama tersebut tak mempunyai sesuatu makna yang dalam. Seperti yang terdapat dalam drama Korea Love Rain. Didalamnya hanya ada adegan tentang persoalan cinta yang sangat hambar. Selama saya menontoninya adegannya kahilangan makna. Tak ada keseruan tentang drama cinta yang dipertunjukannya.

Ketertularan kita akan dunia hiburan yang berbaur Asia maupun Barat membawah sesuatu yang negative terhadap masyarakat. Masyarakat terkadang mendewakan sosok-sosok yang ada dalam film atau drama tersebut. Mengidolakan apa yang menjadi penilaian mereka pantas untuk di idolakan. Mereka menjadi fans terberatnya ketika melihat sosok yang cantik dan ganteng bermata sipit atau bertubuh kekar. Tak melihat apakah sosok tersebut mempunyai bakat yang luar biasa, kecerdasan, atau hal-hal yang tidak dimiliki oleh orang lain. Semuanya hanya dilihat dari satu segi yaitu kecantikan.

Di Indonesia sendiri banyak yang menilai sosok yang dikagumi atau menjadi fans terberatnya hanya melihat dari segi kecantikan tersebut. Najwa Sihab pernah mewawancarai salahsatu fans terberat JKT 48 dalam programnya Mata Najwa di Metro TV. Yang membuat saya tercengang adalah ketika masyarakat rela mengeluarkan isi dompetnya puluhan juta hanya sekedar bertemu, berkenalan, bersapa kata dan menontoni mereka. Mereka mengunjungi member JKT 48 biasa tiga sampai empat kali dalam seminggu. Member-member JKT 48 sangat mempunyai daya magnet atau sihir yang kuat untuk memikat kaum laki-laki. 


                                                    Foto dari salahsatu personil JKT 48.
                                            Kecantikan ini seringkali membuat saya tak bisa tidur.

Kecantikan member JKT 48 ibarat sang ratu dari Asia, karena semua membernya bermata sipit dan salahsatunya merupakan orang Jepang. Menurut saya munculnya JKT 48 merupakan bagian dari pengaruh budaya Asia yang sering dipertontonkan dilayar kaca. Manajemen JKT 48 memang suda memikirkan bahwa masyarakat Indonesia sedang keteranjingan dengan sosok-sosok bermata sipit sehingga tak memungkiri dia mengumpulkan member-member yang seperti sosok-sosok Asia tersebut. Tak tanggung-tanggung fans-fansnya sangat banyak terutama laki-laki dan tak kenal tua dan muda. Inilah pengaruh dari sebuah drama atau film-film yang dipertontonkan selama ini yang merupakan kerja dari sebuah industri kebudayaan yang liberal-kapitalis.

Ini semua hanya demi sebuah bisnis untuk meraup keuntungan bukan kemudian mencari dan mengumpulkan orang-orang berbakat yang ada di Indonesia seperti yang diungkapkan oleh manajemennya.

Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno suda menjelaskan hal ini bahwa kekuatan masyarakat industrial kebudayaan selalu tersangkut dalam pemikiran manusia. Lebih lanjut dia menegaskan bahwa para produsen hiburan-hiburan mengetahui bahwa produk-produk mereka akan dikonsumsi dengan segera bahkan ketika mereka bingung sekali, karena masing-masing dari mereka adalah sebuah model dari permesinan ekonomi raksasa yang selalu menyokong massa.

Dalam industri kebudayaan masyarakat yang suka doyan mengkonsumsi film atau drama tak lebih hanyalah bagian dari mesin ekonomi, yang hanya meningkatkan bisnis hiburan para kapitalistik. Masyarakat diibaratkan seperti robot yang terus bekerja dan mengikuti apa yang diarahkan oleh produsen hiburan.
Ketika badai hiburan tengah melanda dunia lalu kemana kita akan terdampar?. Jawabannya hanya tiga yaitu Asia, Barat atau Indonesia sendiri.

Kita hanya tinggal memilih mana yang lebih bermanfaat untuk kita!


                                                                                                Kendari, 11 Agustus 2015
 



0 komentar:

Posting Komentar