06 Juli 2019

Perempuan, Bernama Serum

Sumber foto: FB Ulin Maulyd'an Ulhy
Hawa pagi di desa terasa begitu dingin. Sudah seminggu, baru kali ini tak mau bergegas dari tempat tidur. Dinginnya menusuk pori-pori, hingga membuatku menggigil. Saya menikmati dinginnya pagi dalam selimut. Sesekali membuka ponsel untuk berselancar di dunia twitter.
“Busyet...cebong dan kampret masih saja berkelahi. Kapan mereka damai? Buzzer-buzzer Jokowi dan Prabowo kurasa tak pernah tidur. Mereka mengadu domba masyarakat kecil hingga saling menyerang dari malam hingga pagi ini. Mereka mau saja diperalat sama elit politik Jakarta,” kesalku.
Di dapur, Ibu memanggil-manggil.
“Falah, ayo cepat bangun. Tehnya sudah jadi, nanti cepat dingin.”
Saat Ibu terdengar bergegas pergi, saya malah menutup seluruh tubuhku dengan selimut dan tidur kembali.
Dalam tidurku, mimpi-mimpi terus berseliweran. Tak punya awal dan ujung. Mimpi tak karuan, terputus-putus. Terkadang mimpi bertemu mantan lima tahun lalu, kadang juga memimpikan dunia yang hancur lebur. Hanya ada satu mimpi yang berkesan dan cukup kuingat.
Di dalam mimpi itu, dua orang perempuan hendak bertemu denganku. Mereka orang yang tak ku kenal sama sekali. Juga tujuan kedatangannya tak ku ketahui. Penampilannya begitu anggun, sangat cantik. Tapi, dua-duanya diselimuti dengan kesedihan.
Senyumku mengembang mengingat mimpi itu. “Perempuannya begitu menawan seperti Sophia Latjuba. Tapi mengapa mereka kelihatan sedih?” bisiku dalam hati. Tiba-tiba saja adik perempuanku menyadarkanku dari lamunan. Adikku hendak mengatakan, ada dua orang perempuan yang sejak tadi menunggu ingin bertemu.
Saya bergegas dari kamar lalu mencoba bertemu dua orang perempuan itu. Benar saja, dua orang perempuan yang sedang menunggu. Namun mereka terlihat kebingungan, seperti tersesat dalam hutan belantara. Yang dikunjunginya begitu asing. Tak tau arah mereka ingin hendak kemana. Sementara saya terlihat kucek, berantakan. Muka pun belum dicuci. Saya kemudian mencoba pamit untuk mencuci muka sebentar.
Dari tempat duduknya, kulihat gerak-geriknya agak lain. Mereka nampak cemas juga sedih. Perempuan yang memakai baju putih hendak ingin bicara tapi berat. Mulutnya seperti terkunci tak bisa mengatakan sesuatu. Entah mengapa.
“Maaf, ini dengan siapa dan dari mana? Apakah ada yang bisa kubantu?” tanyaku dengan pelan.
Mereka terdiam cukup lama. Masih duduk dengan perasaan yang masih mengadu. Namun tak satu kata pun bahasa keluar dari mulutnya. Sementara saya dalam hati berbisik-bisik. “Mengapa dua perempuan cantik ini masih saja diam. Apa yang hendak ia sampaikan padaku. Apa ia mengira aku mirip kekasihnya yang ia cari?.
Perempuan yang satu mencoba memberanikan diri untuk berbicara. Yang satu atas nama Hani, satunya lagi bernama Serum.
"Saya Hani dan ini temanku Serum. Kami dari Kendari. Sebenarnya kami kesini mendapat petunjuk dari alumni kampus kuning Kendari, atas nama Jamal. Mungkin Kakak kenal. Katanya ia pernah ke rumah Kakak,” tutur Hani.
Saya mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri. “Saya Falahi. Panggil saja Falah.”
Kucoba mengingat kembali memori lama, sahabat-sahabat yang pernah jalan dan sering diskusi denganku. Hanya ada satu nama Jamal yang dulu pernah ke rumah, Jamal anak FISIP. Dia adalah teman debat dan diskusiku. Sejak menjadi mahasiswa, ia lebih banyak aktif diorganisasi luar kampus seperti HMI. Orangnya cukup berani dan cerdas. Sementara saya aktif diorganisasi internal dan eksternal kampus.
“Iya saya kenal Jamal. Dia dulu mahasiswa FISIP. Orang yang sering ku debat dulu. Waktu kuliah, kami makan tidak makan tetap bersama. Memang Jamal pernah ke rumah, kalau tidak salah ingat tahun 2012 saat ada kasus lahan disini.”
“Bagaimana bisa, kamu mengenal Jamal?” tanyaku pada Hani.
“Kak Jamal itu satu desa denganku. Kami menghubunginya, menanyakan siapa yang di kenal di Muna. Katanya yang di kenal cukup dekat, hanya Kakak sendiri. Lalu ia memberikan alamat dan menunjukan foto-foto rumah. Kak Jamal juga membawa pesan agar Kakak membantu kami,” jelas Hani dengan muka serius.
“Wah, masalah apalagi yang dibawah si Jamal,” bisiku dalam hati.
Memang sudah kebiasaan Jamal sejak kami jadi mahasiswa. Jamal sering gonta-ganti pacar. Setiap malam minggu dia bisa saja membawa perempuan dengan muka yang berbeda. Jamal sering kusebut seorang play boy kelas kakap. Namanya aktivis, ia punya seribu satu cara untuk menaklukan hati wanitanya. Tapi ketika ada masalah, dia merengek meminta bantuan agar saya berhadapan dengan perempuan-perempuannya itu. Saya diminta untuk menyelesaikan masalahnya. Bangsat kan!!
Hani memberikan nomor Jamal untuk kuhubungi dan meminta penjelasan. Apa yang menjadi dugaanku ternyata salah. Jamal sedang tidak membawah masalahnya padaku. Jamal hanya meminta agar Hani dan Serum dibantu dan diperhatikan selama dikampung.
“Nanti kamu cerita sendiri sama Hani dan Serum apa masalahnya ya bro. Saya percayakan sama kamu,” tutup Jamal.
**
“Coba ceritakan apa yang bisa saya bantu disini,” tanyaku dengan nada halus.
Serum, sejenak membangunkan mukanya yang tertunduk lesu. Mungkin ia sedang letih karena menempuh perjalanan cukup jauh atau lelah dalam mengarungi hidup yang begitu rumit ini. Nafasnya terdengar kempas-kempis. Muka anggunnya tak lagi menampakkan cahaya. Redup begitu pucat. Serum masih saja terasa berat untuk berbicara. Lalu Hani mencoba memulai pembicaraan.
“Begini Kak, sebenarnya kami sedang mencari rumah teman Serum. Serum bilang, rumahnya di Muna, tapi tak tau persis Muna bagian mana,” ujar Hani dengan sopan.
Mata Serum terlihat berkaca-kaca. Setelah mendengar penjelasan Hani ia mulai menemukan nafasnya. Serum mencoba mengatur nafasnya perlahan-lahan. Sesekali ia memegang rahimnya sambil melihat keluar. Saat pandangannya nampak di depan mukaku, matanya kelihatan memerah. Ada air mata yang berkumpul bagai awan diantara bola matanya. Ia sedang menahan sedih dan tangisnya. Air mata itu tak jadi tumpah merembes ke pipinya. Serum ingin terlihat kuat di depanku.
Sementara Hani juga ikut dalam kesedihan Serum. Ia coba memegang pundak sahabatnya itu dan memeluknya. Mencoba menguatkannya lalu menyuruh Serum untuk bercerita padaku. Serum dengan pelan-pelan bercerita.
Saya mendengarkan rentetan kisah Serum dengan kekasihnya, Rusdi. Mereka telah menjalin kasih asmara selama hampir lima tahun. Selama berpacaran, Serum dan Rusdi tak pernah dihingapi masalah sedikit pun. Kecuali Rusdi sendiri yang bermasalah, entah dengan Rektor, Dosen dan juga aparat pemerintah. Kata Serum, dimatanya Rusdi adalah lelaki yang setia dan bertanggungjawab. Tapi dalam waktu setahun ini, Rusdi tak ada kabar. Rusdi seperti menghilang bak ditelan bumi.
“Sekarang saya mengandung anaknya. Saya ingin bertemu dengannya. Sudah berbulan-bulan saya coba menanti kedatangannya. Ayahku sangat menantikan kehadiran Rusdi dirumah,” kata Serum seraya menangis. Air mata yang tertahan itu akhirnya tumpah juga, menjadi bulir-bulir  yang menetes lalu membekas di kedua pipinya.
“Saya tak pernah membayangkan dia bisa berubah secepat ini. Pada hal dia sudah berkomitmen untuk menikahiku. Setahun yang lalu dia berencana akan melamarku. Enam bulan setelah pelamaran, baru kami akan menikah. Saya bersedia. Kukatakan saat itu, apapun keadaannya, saya akan menerimanya apa adanya. Itu janjiku dulu. Saya sangat mencintainya. Tapi mengapa Rusdi menghilang begitu saja,” lanjut Serum dengan berlinang air mata.
Air mata Hani juga ikut meleleh, namun berusaha untuk menahannya. Saya pun merasakan hal yang sama, ikut dalam kesedihan. Betapa malangnya nasib perempuan ini. Dia memiliki hati yang tulus, mencintai kekasihnya dengan apa adanya. Dari jauh, ia datang di desa ini mencari kekasihnya yang sama sekali tak mengenal seorang pun. Mencari rumahnya yang sama sekali tak ia ketahui dimana rimbahnya. Berbulan-bulan menanti tak ada kabarnya. Kekasihnya yang ia cintai sudah benar-benar menghilang. Di asrama teman, dikampus, sahabat-sahabatnya mereka semua tak mengetahui dimana Rusdi. Juga nomor ponselnya sudah mulai tak aktif lagi.
Saya lalu terbayang bagaimana kisahku dulu yang penuh luka dan duka.
“Ah, Serum yang tak kukenal. Ada apa dengan nasibmu? Tak banyak lagi perempuan yang setia mendampingi kekasihnya dengan kemelaratan, yang memulai dari nol. Laki-laki yang mendapatkan kamu adalah laki-laki yang beruntung. Beda denganku ditinggalkan hanya karena soal pekerjaan yang serabutan. Wanita itu tak bisa menerimaku apa adanya, sebagaimana kamu menerima kekurangan Rusdi. Perempuan yang saya sayangi itu pergi, karena tak mau hidup bersama mewujudkan mimpi-mimpiku juga mimpi-mimpinya. Katanya, saya tak punya masa depan. Dia menginginkan laki-laki mapan, yang bisa membiayai segala kebutuhan hidupnya saat ini. Sementara saya!! Ah...saya hanya orang yang numpang di kota dengan menyabung hidup. Kerja yang penting dapat makan dan beli buku-buku bacaan. Hari demi hari, terus mencoba menghitung manik-manik nasib.”
Hani membuyarkanku dari lamunan yang tiba-tiba memulai ceritanya. Hani bercerita bahwa Rusdi adalah teman satu asramanya di kampus kuning. Dari cerita Hani, sosok Rusdi teridentifikasi. Rusdi pernah berorganisasi di HMI juga sebagai Sekjen Badan Eksekutif Kampus (BEM) Fisip. Terakhir Hani bertemu Rusdi di asrama, tapi tak berlangsung lama. Rusdi saat itu terkesan buru-buru ingin keluar. Dia meminta agar keberadaannya dirahasiakan.
Sosok Rusdi kata Hani, sangat kontroversial dan disegani dikalangan aktivis. Dia dan teman-temannya berhasil mengorganisir warga untuk menolak penggusuran asrama-asrama di depan kampus. Yang ia hadapi saat itu adalah seorang petugas keamanan negara yang mengklaim bahwa tanah tersebut hak miliknya. Di balik sosok demo besar yang menuntut agar seorang kepala daerah ditangkap karena dugaan kasus korupsi perizinan tambang adalah seorang Rusdi. Dia berhasil menggerakan seluruh elemen masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam demonstrasi, baik di daerah maupun di depan kantor KPK, Jakarta. Rusdi juga pernah mengorganisir mahasiswa untuk menuntut kasus dugaan korupsi seorang Rektor.
“Setelah demo besar penuntutan kasus dugaan kasus korupsi seorang Rektor, Rusdi tak ada kabar lagi. Dari informasi teman-temannya, Rusdi sudah dikeluarkan dari kampus kuning karena demo tersebut. Di asrama juga sering ada orang yang tak dikenal mencari Rusdi. Itu terjadi, semenjak demo tuntutan dugaan kasus korupsi izin tambang seorang kepala daerah,” tutur Hani.
Saya terdiam sejenak, menimbang-nimbang pikiran apa yang dihadapi Rusdi. “Sekarang saya sudah paham duduk perkaranya. Rusdi menjauh karena sedang menyembunyikan diri. Dia sedang mendapat teror dari preman-preman bayaran. Jika kedapatan ia bisa saja diculik lalu dibunuh. Bukankah begitu Hani.”
Hani merespon dengan cepat “Iya, saya sepakat dengan pendapat Kakak. Mereka sepertinya merasa terganggu dengan gerakan Rusdi.”
Serum yang dari tadi menjadi pendengar yang baik kini ikut berkomentar. Ada kekhawatiran yang tersembunyi dibalik raut wajahnya. Ia kembali mengatur nafasnya lalu bertanya.
“Mengapa harus Rusdi yang mendapat teror? Mengapa harus Rusdi orang yang pertama di cari?.”
“Karena dia otak dibalik setiap demonstrasi itu. Mereka punya banyak uang untuk melakukan apapun demi membungkam Rusdi. Seperti yang saya jelaskan tadi, membayar preman untuk menculik lalu membunuh Rusdi itu bukan suatu kemustahilan. Bisa saja terjadi. Untuk itu, Rusdi untuk sementara memilih bersembunyi,” jelasku.
Serum kembali menarik nafas panjang lalu menatapku juga sesekali ia melirik Hani. “Tapi ayahku tidak melakukan demikian. Setiap ada warga atau mahasiswa yang demonstrasi, ayah selalu mengajak mereka untuk berkomunikasi. Berbicara dari hati ke hati.”
“Setiap karakter seorang pemimpin itu beda-beda. Ayahmu sebagai seorang Bupati mungkin menerima demonstrasi warga dan mahasiswa sebagai kritikan atau masukan yang baik. Itu untuk kebaikan pemerintahannya. Ayahmu tidak anti-kritik, makanya menerimanya dan berdiskusi. Tapi yang dihadapi Rusdi ini beda. Mereka sepertinya anti-kritik dan merasa terganggu dengan apa yang di suarakan oleh Rusdi,” Hani menjelaskan.
“Apa yang perlu kita lakukan sekarang Kak. Apa mungkin Rusdi telah dibunuh?” tanya Serum dengan nada rendah padaku.
“Saya akan coba hubungi teman-teman yang pernah berorganisasi di HMI dan alumni Fisip teman-teman Jamal yang menetap di Kendari. Siapa tau mereka mengenal atau melihat Rusdi.”
Dari nama-nama yang saya hubungi, hanya nama Gatot yang punya bayangan tentang sosok Rusdi. Sementara Suhartono, Joko Hih, Bowo Subrianto, La Ode Beye, Wa Mega, Habib Kiri, Wir Anton, Hendro, Moel Duku, Luhut Bimbar, La Palo, Haimin Kardos, La Ohak, Budi Guniwan, Budiman Sujatmoko, Adian, Makruf, Fadli dan Fahri, semua tak ada yang mengenal Rusdi. Gatot, hanya mendengar nama Rusdi dari cerita-cerita La Bima. Gatot lalu memintaku untuk menghubungi La Bima dan Semar. Dari penjelasan La Bima dan Semar, hanya Yudistira yang tahu keberadaan Rusdi.
“Yah, kita sudah punya bayangan. Yang tahu keberadaan Rusdi hanya Yudistira, junior saya dikampus kuning. Tiga tahun lalu dia juga pernah ke rumah. Saya akan memintanya untuk menunjukan tempat tinggalnya. Tapi tak mungkin hari ini karena sudah sore. Bagaimana kalau besok pagi kita ke tempat Yudistira?,” tanyaku.
Serum dan Hani bersedia agar besok pagi saja ke tempat Yudistira. “Rum, besok pagi saja ya, baru ke tempat Rusdi,” kata Hani. Serum pun manggut-manggut pertanda setuju. Dari raut mukanya, Serum seperti menemukan kembali hidupnya yang selama ini redup. Saya lalu mengantar mereka berdua untuk mencari penginapan.
**
Subuh sekali saat ayam belum turun dari rumah-rumahnya, kucoba menghubungi Yudistira. Saya menanyakan apakah ia sudah cerita ke Rusdi bahwa Serum, pacarnya berada dikampung! Dan yang mengejutkan, Yudistira telah menceritakannya. Muncul rasa amarah dalam diri, bagaimana jika Rusdi pergi jauh menghindar. Dugaan saya, Rusdi tak akan menerima Serum karena nasibnya benar-benar sudah berantakan, dikeluarkan dari kampus, pergi tanpa kabar dan dia sudah tak berani muncul di kota.
“Rusdi malah senang disini ada Serum bang. Rusdi meminta agar diantar ke rumah pagi ini untuk menemui Serum,” kata Yudistira.
Yang kurasakan adalah rasa haru, penuh kebahagiaan. Bahagia karena masalah ini sudah menemui titik terang. Bahagia karena Serum akan bertemu dengan kekasihnya yang ia nantikan berbulan-bulan. Bahagia karena anak yang dikandungnya kini akan memiliki ayah. Saya seperti ayah Serum, yang begitu senang melihat kebahagiaan anaknya.
“Baik. Saya akan tunggu kedatangan kalian berdua.”
Serum dan Hani tiba lebih pagi. Kali ini tentu dengan membawa perasaan yang berbeda. Kesedihan tampak sudah menjauh dari dalam dirinya. Ada seberkas cahaya yang nampak dari raut wajahnya. Itu terlihat saat mereka tiba menyapaku dengan senyum manisnya.
“Pagi, Kak Falah” sapa Serum dan Hani dengan senyum.
Mereka tiba saat saya masih menikmati kopi dan rokok putihku diteras rumah. “Pagi juga Serum, Hani,” sambutku dengan senyum. Kupersilahkan saja mereka masuk dan menunggu sebentar.
Saat keluar kamar, tiba-tiba Hani berani memprotesku.
“Kak, kok senyum-senyum sendiri. Ada apa? Ada yang salah dengan penampilanku atau Serum?.”
“Tidak. Tidak ada. Justru saya sebaliknya ingin memuji kecantikan kalian berdua pagi ini. Soalnya, saya belum pernah dikunjungi perempuan secantik kalian. Bangga saja, pagi-pagi ada dua orang bidadari di dalam rumah,” candaku dengan tertawa.
Hani dan Serum pun tertawa lepas. “Ah, kakak bisa saja. Saya jadi malu nih,” sambut Serum.
Kedatangan Rusdi bersama Yudistira tetap kurahasiakan. Tak kuceritakan sama sekali. Biarkan ini menjadi kejutan buat Serum. Saya ingin melihat rasa haru dan rindu Serum puas dan terobati dengan kemunculan Rusdi secara tiba-tiba. Saya tau Serum tak sabar untuk bertemu Rusdi, kekasih yang ia sangat cintai itu.
Pesan WhatsApp terus masuk di ponselku. Kulirik pelan-pelan agar tak diketahui oleh Serum dan Hani. Rusdi sedang memberi pesan, dia lagi dalam perjalanan menuju ke rumah. Jaraknya tak jauh lagi. Sambil menunggu, saya memperbanyak cerita agar mereka lupa dan mengulur-ngulur waktu.
“Serum.” Suara itu terdengar dari luar pintu. Saya berpura-pura tak mendengar. Sementara Hani mulai meliriku hendak mengatakan sesuatu, tapi tak bisa. Hani tahu persis bagaimana suara Rusdi. Serum pun demikian, ia perlahan-lahan mengenali suara ramah dan familiar itu memanggilnya.
“Rusdi,” panggil Serum lalu bergegas dari tempat duduknya, menemui Rusdi. Serum beranjak keluar lalu menyambut Rusdi dengan pelukan tangis. Tangis itu telah berubah, bukan lagi tangis sedih tapi tangis bahagia. Bagaimanapun, Serum sangat menantikan Rusdi hadir disampingnya. Apalagi dengan bayi yang dikandungnya sudah memasuki dua bulan. Serum sangat membutuhkan Rusdi saat ia akan melahirkan. Bayi mungil itu butuh seorang ayah sebelum melihat dunia.
Kupersilahkan Rusdi, Serum dan Yudistira untuk masuk. Hani masih menatap kedua sahabatnya itu penuh haru dan bahagia.
“Mengapa kamu menghilang tanpa kabar, Rusdi? Mengapa kamu hilang? Saya sangat mencintaimu Rusdi,” kata Serum masih sesunggukan menangis dipelukan Rusdi.
“Saya harus merahasiakan identitasku dari siapapun, termasuk kamu Rum. Preman-preman itu tahu kamu kekasihku. Bisa saja mereka akan menginterogasimu, menanyakan keberadaanku. Saya juga takut kehilangan kamu, Rum,” tutur Rusdi sambil menghapus air mata Serum yang bercucuran jatuh dipipihnya.
Serum lalu menatap kekasihnya itu dalam-dalam. Ternyata sifatnya tak ada yang berubah sedikit pun. Ia masih Rusdi yang dulu. Rusdi yang pertama kali bertemu di teluk Kendari. Seorang penyayang dan penuh ketulusan. Yang berubah hanya bentuk fisiknya yang tampak kekurusan. Sekarang berwajah agak sedikit bersih dan wangi. Beda dengan dulu yang urakan, gondrong dan terlihat tidak pernah disentuh air disekujur tubuhnya.
Kekurusannya karena pikirannya selalu dihantui masalahnya di Kendari. Memikirkan kuliahnya tidak selesai karena dikeluarkan dari kampus kuning, nyawa yang terancam saat hendak mau ke kota juga kurus karena memikirkan Serum yang disayanginya. Rusdi merasa bersalah tak memberi kabar berbulan-bulan.
“Maafkan saya Rum. Saya telah pergi dan tak memberimu kabar berbulan-bulan. Tapi bukan untuk menjauhimu. Tidak. Itu bukan sikap saya yang sebenarnya. Saya dipaksa oleh keadaan yang mengancam nyawaku,” lanjut Rusdi.
Serum terlihat percaya dengan kata-kata Rusdi, sambil memeluknya.
“Saya percaya sama kamu Rusdi. Saya percaya kamu masih menyayangiku. Sekarang kamu tidak sedang membawa dirimu untuk bertemu denganku, meminta maaf lalu pergi lagi kan!.”
“Tidak. Saya tidak akan pergi,” kata Rusdi.
Tapi....
Tiba-tiba suara Rusdi terhenti. Rusdi sedang menimbang-nimbang isi pikirannya. Sekarang masalah yang paling berat bukan soal Serum atau diteror, tapi ayahnya yang akan menolak hubungan mereka. Ayah Serum seorang Bupati itu tak akan tega melihat anaknya sengsara dan menikah dengan seorang buruh tani. Rusdi kini hanya jadi seorang buruh tani di desa.
“Tapi apa?” sambut Serum.
“Saya tak akan mengikutimu di Kendari. Bukan takut karena preman itu lagi. Tapi takut ayahmu tak akan menerima keadaanku saat ini. Saya sudah dikeluarkan dari kampus dan disini saya hanya jadi buruh tani, Rum. Ayahmu pasti akan menolakku dengan terang-terangan,” ujar Rusdi.
Serum kembali menangis dan melepas pelukannya di tubuh Rusdi. Hani berusaha menenangkan Serum dengan menghampirinya lalu berusaha memeluknya. Hani menatap Rusdi dalam-dalam dengan penuh kekesalan.
“Di!! Mengapa kamu bersikap seperti itu terhadap Serum. Sekarang kamu sudah berubah, beda dengan dulu yang begitu penyayang. Saya masih ingat dulu setiap teman-teman punya masalah, kamu berusaha mencarikan jalan keluar. Sekarang masalahmu sendiri tak bisa kamu pecahkan. Dimana otak cerdasmu dulu Di? Apakah jawabanmu itu adalah solusi? Bukan. Yang barusan kudengar itu alasan konyol yang keluar dari mulutmu,” kesal Hani yang mulai hilang keseimbangan emosi.
Rusdi berusaha mengimbangi kekesalan Hani dengan tenang.
“Tidak Han, saya tidak pernah berubah. Justru itu alasan saya yang paling rasional.”
“Hah, rasional!! Seperti itukah jawaban rasional seorang Rusdi. Bagaimana bisa tau, kamu akan ditolak oleh ayah Serum!? Atau selama ini memang kamu tak benar-benar mengenal ayah Serum. Saya curiga kualitas pikiranmu kini sudah menurun.”
Hani lalu berdiri mengambil botol Aqua dan meminumnya. Nafasnya masih berkejar-kejaran. Emosinya belum saja meredah. Hani mulai terlihat menceramai Rusdi.
“Rusdi! Asal kamu tau, kami berada disini atas izin ayah Serum. Beliau mengizinkan kami mencari dan menemuimu. Beliau tak peduli apa status sosial keluargamu. Lagian, beliau sudah lama tau bahwa keluargamu hanyalah buruh tani. Jika beliau membencimu, mengapa tidak sejak dulu ayah Serum tidak merestui hubungan kalian. Beliau rela berbuat apa saja yang penting anaknya, Serum bahagia,” lanjut Hani.
Rusdi kembali menatap Serum dan mengelus-elus tangannya. Rusdi kini tak berani berbicara pada Serum, juga tak menjawab Hani. Dia tak tahu harus merespon dengan apa. Pikirannya sedang berada dititik terendah, buntuh tak tahu apa yang harus diucapkan. Sementara Serum hanya menangis dalam pelukan Hani. Tak ada yang keluar kata-kata dari mulutnya.
Hani kembali mengambil alih pembicaraan. Menatap Rusdi. Tapi kali ini dengan nada halus.
“Di, Rusdi. Serum sedang hamil mengandung anakmu. Usia kandungannya sudah mau memasuki dua bulan.”
Rusdi terkejut dan muncul rasa tidak percaya. Dengan sedikit awas, Rusdi menanyai Serum.
“Benarkah Rum. Kamu, kamu sedang hamil!”
Serum mengangguk, “Iya Rusdi. Saya sedang hamil, mengandung anakmu.”
Tanpa izin, Rusdi langsung memegang perut pacarnya itu. Betapa bahagianya ia mendengar Serum hamil. Rasanya sebentar lagi ia akan jadi seorang ayah.
“Benar.... Kamu sedang hamil Rum...” kata Rusdi.
Rusdi memeluk Serum dengan erat. Ada rona bahagia yang tampak diraut mukanya. Sepertinya ia tak mau lagi meninggalkan pacarnya itu untuk kedua kalinya. Rusdi berjanji akan menemui ayah Serum untuk meminta restu. Dalam pelukan Rusdi, terdengar suara Serum.
“Saya sangat mencintaimu Rusdi. Sangat mencintaimu. Ayah sedang menunggu kedatanganmu. Ayah tak pernah membenci kamu. Bahkan sebelum saya hamil, ayah sering menanyakan keberadaanmu padaku.”
Rusdi mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Mencoba menghapus air mata yang jatuh di kedua belah pipinya. Namun air mata itu tak bisa ia tahan. Masih saja jatuh. Bahkan semakin deras.
“Baiklah. Secepatnya kita akan ke Kendari menemui ayahmu. Saya akan meminta restu untuk menikahimu,” ujar Rusdi.
Saya, Hani dan Yudistira saling bertatapan, tak percaya dengan apa yang terjadi. Dari penjelasan Hani, Rusdi sosok yang keras dan tak mau mengalah. Yang muncul di pikiranku, bagaimana jika Rusdi tak mengakui bahwa anak yang dikandung Serum itu anaknya. Benar-benar tak menyangkah Rusdi secair itu. Hani hanya terdiam, masih mengembalikan emosinya seperti semula. Begitu pula Yudistira, hanya diam sambil memandangi Serum dan Rusdi.
**
Esok harinya mereka bertiga, Serum, Hani dan Rusdi berpamitan untuk berangkat di Kendari. Yudistira memilih menunggu di mobil. Tidak seperti biasanya, kali ini penampilan Serum semakin anggun. Muka pucatnya mulai berwarna. Rasanya ia sudah tak ada beban lagi dalam hidupnya. Rusdi yang di cintainya itu sudah berada dalam pelukannya. Penantian demi penantian, telah berbulan-bulan hingga ia mengandung, Rusdi tak pernah kembali. Namun, atas keyakinannya bahwa Rusdi masih mencintainya, Serum mencari keberadaan Rusdi. Benar saja, Rusdi tidak sedang menjauh karena ingin meninggalkan Serum tapi akibat nyawanya yang terancam. Maka Rusdi memilih menyembunyikan identitasnya.
Sementara Hani, tiba dengan senyum seperti biasanya. Terlihat lucu tapi tegas. Ketegasannya membuat siapa pun tak berani berkutik. Dia akan mendebatmu dan menjatuhkan mentalmu. Tapi dari aura itu, Hani tetap kelihatan cantik. Percampuran yang serasi, tegas, pintar dan cantik.
Saat Hani semakin dekat di depanku, saya semakin memujinya. “Ah, cantik juga si Hani ini.” Lamunanku buyar ketika Hani hendak menyampaikan akan mengabarkan jika Serum dan Rusdi menikah. Dan Rusdi dengan perasaan yang mengharu biru, siap berangkat di Kendari.
Baru beberapa meter mereka bertiga beranjak dari teras rumah, Hani tiba-tiba berhenti dan menoleh. Dari gerak-gerik bibirnya, Hani terlihat mengucapkan sesuatu, tak bersuara hanya seperti bisikan.
“Nanti kamu datang ya. Supaya saya punya pasangan,” bisik Hani dari jauh sambil tersenyum manis.
Saya hanya mengangguk dan membalas senyum Hani dengan senyuman.
Kusaksikan mereka bertiga berangkat. Semakin cepat mobil itu melaju, mereka semakin menjauh. Terus kupandangi mobil yang ditumpangi Serum, Hani dan Rusdi hingga benar-benar menghilang dari pandangan.


                                                                                  Laode Halaidin
                                                                                  Di tulis di Kendari, 1 Juli 2019

0 komentar:

Posting Komentar