Sumber foto: FB Ulin Maulyd'an Ulhy |
Hawa pagi
di desa terasa begitu dingin. Sudah seminggu, baru kali ini tak mau bergegas
dari tempat tidur. Dinginnya menusuk pori-pori, hingga membuatku menggigil. Saya
menikmati dinginnya pagi dalam selimut. Sesekali membuka ponsel untuk
berselancar di dunia twitter.
“Busyet...cebong
dan kampret masih saja berkelahi. Kapan mereka damai? Buzzer-buzzer Jokowi dan
Prabowo kurasa tak pernah tidur. Mereka mengadu domba masyarakat kecil hingga
saling menyerang dari malam hingga pagi ini. Mereka mau saja diperalat sama
elit politik Jakarta,” kesalku.
Di dapur,
Ibu memanggil-manggil.
“Falah,
ayo cepat bangun. Tehnya sudah jadi, nanti cepat dingin.”
Saat Ibu
terdengar bergegas pergi, saya malah menutup seluruh tubuhku dengan selimut dan
tidur kembali.
Dalam
tidurku, mimpi-mimpi terus berseliweran. Tak punya awal dan ujung. Mimpi tak
karuan, terputus-putus. Terkadang mimpi bertemu mantan lima tahun lalu, kadang
juga memimpikan dunia yang hancur lebur. Hanya ada satu mimpi yang berkesan dan
cukup kuingat.
Di
dalam mimpi itu, dua orang perempuan hendak bertemu denganku. Mereka orang yang
tak ku kenal sama sekali. Juga tujuan kedatangannya tak ku ketahui.
Penampilannya begitu anggun, sangat cantik. Tapi, dua-duanya diselimuti dengan kesedihan.
Senyumku
mengembang mengingat mimpi itu. “Perempuannya begitu menawan seperti Sophia
Latjuba. Tapi mengapa mereka kelihatan sedih?” bisiku dalam hati. Tiba-tiba
saja adik perempuanku menyadarkanku dari lamunan. Adikku hendak mengatakan, ada
dua orang perempuan yang sejak tadi menunggu ingin bertemu.
Saya
bergegas dari kamar lalu mencoba bertemu dua orang perempuan itu. Benar saja,
dua orang perempuan yang sedang menunggu. Namun mereka terlihat kebingungan,
seperti tersesat dalam hutan belantara. Yang dikunjunginya begitu asing. Tak
tau arah mereka ingin hendak kemana. Sementara saya terlihat kucek, berantakan.
Muka pun belum dicuci. Saya kemudian mencoba pamit untuk mencuci muka sebentar.
Dari
tempat duduknya, kulihat gerak-geriknya agak lain. Mereka nampak cemas juga
sedih. Perempuan yang memakai baju putih hendak ingin bicara tapi berat.
Mulutnya seperti terkunci tak bisa mengatakan sesuatu. Entah mengapa.
“Maaf,
ini dengan siapa dan dari mana? Apakah ada yang bisa kubantu?” tanyaku dengan
pelan.
Mereka terdiam
cukup lama. Masih duduk dengan perasaan yang masih mengadu. Namun tak satu kata
pun bahasa keluar dari mulutnya. Sementara saya dalam hati berbisik-bisik. “Mengapa
dua perempuan cantik ini masih saja diam. Apa yang hendak ia sampaikan padaku.
Apa ia mengira aku mirip kekasihnya yang ia cari?.
Perempuan
yang satu mencoba memberanikan diri untuk berbicara. Yang satu atas nama Hani, satunya
lagi bernama Serum.
"Saya
Hani dan ini temanku Serum. Kami dari Kendari. Sebenarnya kami kesini mendapat
petunjuk dari alumni kampus kuning Kendari, atas nama Jamal. Mungkin Kakak
kenal. Katanya ia pernah ke rumah Kakak,” tutur Hani.
Saya
mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri. “Saya Falahi. Panggil saja Falah.”
Kucoba
mengingat kembali memori lama, sahabat-sahabat yang pernah jalan dan sering
diskusi denganku. Hanya ada satu nama Jamal yang dulu pernah ke rumah, Jamal
anak FISIP. Dia adalah teman debat dan diskusiku. Sejak menjadi mahasiswa, ia lebih
banyak aktif diorganisasi luar kampus seperti HMI. Orangnya cukup berani dan
cerdas. Sementara saya aktif diorganisasi internal dan eksternal kampus.
“Iya
saya kenal Jamal. Dia dulu mahasiswa FISIP. Orang yang sering ku debat dulu.
Waktu kuliah, kami makan tidak makan tetap bersama. Memang Jamal pernah ke
rumah, kalau tidak salah ingat tahun 2012 saat ada kasus lahan disini.”
“Bagaimana
bisa, kamu mengenal Jamal?” tanyaku pada Hani.
“Kak Jamal
itu satu desa denganku. Kami menghubunginya, menanyakan siapa yang di kenal di
Muna. Katanya yang di kenal cukup dekat, hanya Kakak sendiri. Lalu ia memberikan
alamat dan menunjukan foto-foto rumah. Kak Jamal juga membawa pesan agar Kakak
membantu kami,” jelas Hani dengan muka serius.
“Wah,
masalah apalagi yang dibawah si Jamal,” bisiku dalam hati.
Memang sudah
kebiasaan Jamal sejak kami jadi mahasiswa. Jamal sering gonta-ganti pacar. Setiap
malam minggu dia bisa saja membawa perempuan dengan muka yang berbeda. Jamal
sering kusebut seorang play boy kelas kakap. Namanya aktivis, ia punya seribu
satu cara untuk menaklukan hati wanitanya. Tapi ketika ada masalah, dia merengek
meminta bantuan agar saya berhadapan dengan perempuan-perempuannya itu. Saya
diminta untuk menyelesaikan masalahnya. Bangsat kan!!
Hani memberikan
nomor Jamal untuk kuhubungi dan meminta penjelasan. Apa yang menjadi dugaanku
ternyata salah. Jamal sedang tidak membawah masalahnya padaku. Jamal hanya
meminta agar Hani dan Serum dibantu dan diperhatikan selama dikampung.
“Nanti
kamu cerita sendiri sama Hani dan Serum apa masalahnya ya bro. Saya percayakan
sama kamu,” tutup Jamal.
**
“Coba ceritakan
apa yang bisa saya bantu disini,” tanyaku dengan nada halus.
Serum,
sejenak membangunkan mukanya yang tertunduk lesu. Mungkin ia sedang letih karena
menempuh perjalanan cukup jauh atau lelah dalam mengarungi hidup yang begitu
rumit ini. Nafasnya terdengar kempas-kempis. Muka anggunnya tak lagi
menampakkan cahaya. Redup begitu pucat. Serum masih saja terasa berat untuk
berbicara. Lalu Hani mencoba memulai pembicaraan.
“Begini
Kak, sebenarnya kami sedang mencari rumah teman Serum. Serum bilang, rumahnya
di Muna, tapi tak tau persis Muna bagian mana,” ujar Hani dengan sopan.
Mata
Serum terlihat berkaca-kaca. Setelah mendengar penjelasan Hani ia mulai
menemukan nafasnya. Serum mencoba mengatur nafasnya perlahan-lahan. Sesekali ia
memegang rahimnya sambil melihat keluar. Saat pandangannya nampak di depan
mukaku, matanya kelihatan memerah. Ada air mata yang berkumpul bagai awan diantara
bola matanya. Ia sedang menahan sedih dan tangisnya. Air mata itu tak jadi
tumpah merembes ke pipinya. Serum ingin terlihat kuat di depanku.
Sementara
Hani juga ikut dalam kesedihan Serum. Ia coba memegang pundak sahabatnya itu
dan memeluknya. Mencoba menguatkannya lalu menyuruh Serum untuk bercerita
padaku. Serum dengan pelan-pelan bercerita.
Saya
mendengarkan rentetan kisah Serum dengan kekasihnya, Rusdi. Mereka telah
menjalin kasih asmara selama hampir lima tahun. Selama berpacaran, Serum dan
Rusdi tak pernah dihingapi masalah sedikit pun. Kecuali Rusdi sendiri yang bermasalah,
entah dengan Rektor, Dosen dan juga aparat pemerintah. Kata Serum, dimatanya
Rusdi adalah lelaki yang setia dan bertanggungjawab. Tapi dalam waktu setahun
ini, Rusdi tak ada kabar. Rusdi seperti menghilang bak ditelan bumi.
“Sekarang
saya mengandung anaknya. Saya ingin bertemu dengannya. Sudah berbulan-bulan
saya coba menanti kedatangannya. Ayahku sangat menantikan kehadiran Rusdi
dirumah,” kata Serum seraya menangis. Air mata yang tertahan itu akhirnya
tumpah juga, menjadi bulir-bulir yang menetes
lalu membekas di kedua pipinya.
“Saya
tak pernah membayangkan dia bisa berubah secepat ini. Pada hal dia sudah berkomitmen
untuk menikahiku. Setahun yang lalu dia berencana akan melamarku. Enam bulan
setelah pelamaran, baru kami akan menikah. Saya bersedia. Kukatakan saat itu, apapun
keadaannya, saya akan menerimanya apa adanya. Itu janjiku dulu. Saya sangat
mencintainya. Tapi mengapa Rusdi menghilang begitu saja,” lanjut Serum dengan
berlinang air mata.
Air
mata Hani juga ikut meleleh, namun berusaha untuk menahannya. Saya pun
merasakan hal yang sama, ikut dalam kesedihan. Betapa malangnya nasib perempuan
ini. Dia memiliki hati yang tulus, mencintai kekasihnya dengan apa adanya. Dari
jauh, ia datang di desa ini mencari kekasihnya yang sama sekali tak mengenal
seorang pun. Mencari rumahnya yang sama sekali tak ia ketahui dimana rimbahnya.
Berbulan-bulan menanti tak ada kabarnya. Kekasihnya yang ia cintai sudah
benar-benar menghilang. Di asrama teman, dikampus, sahabat-sahabatnya mereka
semua tak mengetahui dimana Rusdi. Juga nomor ponselnya sudah mulai tak aktif
lagi.
Saya
lalu terbayang bagaimana kisahku dulu yang penuh luka dan duka.
“Ah,
Serum yang tak kukenal. Ada apa dengan nasibmu? Tak banyak lagi perempuan yang
setia mendampingi kekasihnya dengan kemelaratan, yang memulai dari nol. Laki-laki
yang mendapatkan kamu adalah laki-laki yang beruntung. Beda denganku ditinggalkan
hanya karena soal pekerjaan yang serabutan. Wanita itu tak bisa menerimaku apa
adanya, sebagaimana kamu menerima kekurangan Rusdi. Perempuan yang saya sayangi
itu pergi, karena tak mau hidup bersama mewujudkan mimpi-mimpiku juga
mimpi-mimpinya. Katanya, saya tak punya masa depan. Dia menginginkan laki-laki
mapan, yang bisa membiayai segala kebutuhan hidupnya saat ini. Sementara saya!!
Ah...saya hanya orang yang numpang di kota dengan menyabung hidup. Kerja yang
penting dapat makan dan beli buku-buku bacaan. Hari demi hari, terus mencoba menghitung
manik-manik nasib.”
Hani
membuyarkanku dari lamunan yang tiba-tiba memulai ceritanya. Hani bercerita
bahwa Rusdi adalah teman satu asramanya di kampus kuning. Dari cerita Hani,
sosok Rusdi teridentifikasi. Rusdi pernah berorganisasi di HMI juga sebagai
Sekjen Badan Eksekutif Kampus (BEM) Fisip. Terakhir Hani bertemu Rusdi di
asrama, tapi tak berlangsung lama. Rusdi saat itu terkesan buru-buru ingin
keluar. Dia meminta agar keberadaannya dirahasiakan.
Sosok
Rusdi kata Hani, sangat kontroversial dan disegani dikalangan aktivis. Dia dan
teman-temannya berhasil mengorganisir warga untuk menolak penggusuran
asrama-asrama di depan kampus. Yang ia hadapi saat itu adalah seorang petugas
keamanan negara yang mengklaim bahwa tanah tersebut hak miliknya. Di balik sosok
demo besar yang menuntut agar seorang kepala daerah ditangkap karena dugaan kasus
korupsi perizinan tambang adalah seorang Rusdi. Dia berhasil menggerakan seluruh
elemen masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam demonstrasi, baik di daerah
maupun di depan kantor KPK, Jakarta. Rusdi juga pernah mengorganisir mahasiswa
untuk menuntut kasus dugaan korupsi seorang Rektor.
“Setelah
demo besar penuntutan kasus dugaan kasus korupsi seorang Rektor, Rusdi tak ada
kabar lagi. Dari informasi teman-temannya, Rusdi sudah dikeluarkan dari kampus
kuning karena demo tersebut. Di asrama juga sering ada orang yang tak dikenal
mencari Rusdi. Itu terjadi, semenjak demo tuntutan dugaan kasus korupsi izin
tambang seorang kepala daerah,” tutur Hani.
Saya
terdiam sejenak, menimbang-nimbang pikiran apa yang dihadapi Rusdi. “Sekarang
saya sudah paham duduk perkaranya. Rusdi menjauh karena sedang menyembunyikan
diri. Dia sedang mendapat teror dari preman-preman bayaran. Jika kedapatan ia
bisa saja diculik lalu dibunuh. Bukankah begitu Hani.”
Hani
merespon dengan cepat “Iya, saya sepakat dengan pendapat Kakak. Mereka
sepertinya merasa terganggu dengan gerakan Rusdi.”
Serum
yang dari tadi menjadi pendengar yang baik kini ikut berkomentar. Ada
kekhawatiran yang tersembunyi dibalik raut wajahnya. Ia kembali mengatur
nafasnya lalu bertanya.
“Mengapa
harus Rusdi yang mendapat teror? Mengapa harus Rusdi orang yang pertama di cari?.”
“Karena
dia otak dibalik setiap demonstrasi itu. Mereka punya banyak uang untuk melakukan
apapun demi membungkam Rusdi. Seperti yang saya jelaskan tadi, membayar preman
untuk menculik lalu membunuh Rusdi itu bukan suatu kemustahilan. Bisa saja
terjadi. Untuk itu, Rusdi untuk sementara memilih bersembunyi,” jelasku.
Serum
kembali menarik nafas panjang lalu menatapku juga sesekali ia melirik Hani. “Tapi
ayahku tidak melakukan demikian. Setiap ada warga atau mahasiswa yang demonstrasi,
ayah selalu mengajak mereka untuk berkomunikasi. Berbicara dari hati ke hati.”
“Setiap
karakter seorang pemimpin itu beda-beda. Ayahmu sebagai seorang Bupati mungkin
menerima demonstrasi warga dan mahasiswa sebagai kritikan atau masukan yang
baik. Itu untuk kebaikan pemerintahannya. Ayahmu tidak anti-kritik, makanya
menerimanya dan berdiskusi. Tapi yang dihadapi Rusdi ini beda. Mereka sepertinya
anti-kritik dan merasa terganggu dengan apa yang di suarakan oleh Rusdi,” Hani
menjelaskan.
“Apa
yang perlu kita lakukan sekarang Kak. Apa mungkin Rusdi telah dibunuh?” tanya
Serum dengan nada rendah padaku.
“Saya
akan coba hubungi teman-teman yang pernah berorganisasi di HMI dan alumni Fisip
teman-teman Jamal yang menetap di Kendari. Siapa tau mereka mengenal atau
melihat Rusdi.”
Dari
nama-nama yang saya hubungi, hanya nama Gatot yang punya bayangan tentang sosok
Rusdi. Sementara Suhartono, Joko Hih, Bowo Subrianto, La Ode Beye, Wa Mega, Habib
Kiri, Wir Anton, Hendro, Moel Duku, Luhut Bimbar, La Palo, Haimin Kardos, La
Ohak, Budi Guniwan, Budiman Sujatmoko, Adian, Makruf, Fadli dan Fahri, semua
tak ada yang mengenal Rusdi. Gatot, hanya mendengar nama Rusdi dari cerita-cerita
La Bima. Gatot lalu memintaku untuk menghubungi La Bima dan Semar. Dari
penjelasan La Bima dan Semar, hanya Yudistira yang tahu keberadaan Rusdi.
“Yah,
kita sudah punya bayangan. Yang tahu keberadaan Rusdi hanya Yudistira, junior
saya dikampus kuning. Tiga tahun lalu dia juga pernah ke rumah. Saya akan
memintanya untuk menunjukan tempat tinggalnya. Tapi tak mungkin hari ini karena
sudah sore. Bagaimana kalau besok pagi kita ke tempat Yudistira?,” tanyaku.
Serum
dan Hani bersedia agar besok pagi saja ke tempat Yudistira. “Rum, besok pagi
saja ya, baru ke tempat Rusdi,” kata Hani. Serum pun manggut-manggut pertanda
setuju. Dari raut mukanya, Serum seperti menemukan kembali hidupnya yang selama
ini redup. Saya lalu mengantar mereka berdua untuk mencari penginapan.
**
Subuh
sekali saat ayam belum turun dari rumah-rumahnya, kucoba menghubungi Yudistira.
Saya menanyakan apakah ia sudah cerita ke Rusdi bahwa Serum, pacarnya berada
dikampung! Dan yang mengejutkan, Yudistira telah menceritakannya. Muncul rasa
amarah dalam diri, bagaimana jika Rusdi pergi jauh menghindar. Dugaan saya,
Rusdi tak akan menerima Serum karena nasibnya benar-benar sudah berantakan, dikeluarkan
dari kampus, pergi tanpa kabar dan dia sudah tak berani muncul di kota.
“Rusdi
malah senang disini ada Serum bang. Rusdi meminta agar diantar ke rumah pagi
ini untuk menemui Serum,” kata Yudistira.
Yang kurasakan
adalah rasa haru, penuh kebahagiaan. Bahagia karena masalah ini sudah menemui
titik terang. Bahagia karena Serum akan bertemu dengan kekasihnya yang ia nantikan
berbulan-bulan. Bahagia karena anak yang dikandungnya kini akan memiliki ayah. Saya
seperti ayah Serum, yang begitu senang melihat kebahagiaan anaknya.
“Baik.
Saya akan tunggu kedatangan kalian berdua.”
Serum
dan Hani tiba lebih pagi. Kali ini tentu dengan membawa perasaan yang berbeda.
Kesedihan tampak sudah menjauh dari dalam dirinya. Ada seberkas cahaya yang
nampak dari raut wajahnya. Itu terlihat saat mereka tiba menyapaku dengan
senyum manisnya.
“Pagi,
Kak Falah” sapa Serum dan Hani dengan senyum.
Mereka
tiba saat saya masih menikmati kopi dan rokok putihku diteras rumah. “Pagi juga
Serum, Hani,” sambutku dengan senyum. Kupersilahkan saja mereka masuk dan
menunggu sebentar.
Saat
keluar kamar, tiba-tiba Hani berani memprotesku.
“Kak,
kok senyum-senyum sendiri. Ada apa? Ada yang salah dengan penampilanku atau
Serum?.”
“Tidak.
Tidak ada. Justru saya sebaliknya ingin memuji kecantikan kalian berdua pagi
ini. Soalnya, saya belum pernah dikunjungi perempuan secantik kalian. Bangga
saja, pagi-pagi ada dua orang bidadari di dalam rumah,” candaku dengan tertawa.
Hani dan
Serum pun tertawa lepas. “Ah, kakak bisa saja. Saya jadi malu nih,” sambut
Serum.
Kedatangan
Rusdi bersama Yudistira tetap kurahasiakan. Tak kuceritakan sama sekali.
Biarkan ini menjadi kejutan buat Serum. Saya ingin melihat rasa haru dan rindu
Serum puas dan terobati dengan kemunculan Rusdi secara tiba-tiba. Saya tau
Serum tak sabar untuk bertemu Rusdi, kekasih yang ia sangat cintai itu.
Pesan WhatsApp
terus masuk di ponselku. Kulirik pelan-pelan agar tak diketahui oleh Serum dan
Hani. Rusdi sedang memberi pesan, dia lagi dalam perjalanan menuju ke rumah.
Jaraknya tak jauh lagi. Sambil menunggu, saya memperbanyak cerita agar mereka lupa
dan mengulur-ngulur waktu.
“Serum.”
Suara itu terdengar dari luar pintu. Saya berpura-pura tak mendengar. Sementara
Hani mulai meliriku hendak mengatakan sesuatu, tapi tak bisa. Hani tahu persis
bagaimana suara Rusdi. Serum pun demikian, ia perlahan-lahan mengenali suara
ramah dan familiar itu memanggilnya.
“Rusdi,”
panggil Serum lalu bergegas dari tempat duduknya, menemui Rusdi. Serum beranjak
keluar lalu menyambut Rusdi dengan pelukan tangis. Tangis itu telah berubah,
bukan lagi tangis sedih tapi tangis bahagia. Bagaimanapun, Serum sangat
menantikan Rusdi hadir disampingnya. Apalagi dengan bayi yang dikandungnya
sudah memasuki dua bulan. Serum sangat membutuhkan Rusdi saat ia akan
melahirkan. Bayi mungil itu butuh seorang ayah sebelum melihat dunia.
Kupersilahkan
Rusdi, Serum dan Yudistira untuk masuk. Hani masih menatap kedua sahabatnya itu
penuh haru dan bahagia.
“Mengapa
kamu menghilang tanpa kabar, Rusdi? Mengapa kamu hilang? Saya sangat
mencintaimu Rusdi,” kata Serum masih sesunggukan menangis dipelukan Rusdi.
“Saya
harus merahasiakan identitasku dari siapapun, termasuk kamu Rum. Preman-preman
itu tahu kamu kekasihku. Bisa saja mereka akan menginterogasimu, menanyakan
keberadaanku. Saya juga takut kehilangan kamu, Rum,” tutur Rusdi sambil
menghapus air mata Serum yang bercucuran jatuh dipipihnya.
Serum
lalu menatap kekasihnya itu dalam-dalam. Ternyata sifatnya tak ada yang berubah
sedikit pun. Ia masih Rusdi yang dulu. Rusdi yang pertama kali bertemu di teluk
Kendari. Seorang penyayang dan penuh ketulusan. Yang berubah hanya bentuk
fisiknya yang tampak kekurusan. Sekarang berwajah agak sedikit bersih dan
wangi. Beda dengan dulu yang urakan, gondrong dan terlihat tidak pernah
disentuh air disekujur tubuhnya.
Kekurusannya
karena pikirannya selalu dihantui masalahnya di Kendari. Memikirkan kuliahnya
tidak selesai karena dikeluarkan dari kampus kuning, nyawa yang terancam saat
hendak mau ke kota juga kurus karena memikirkan Serum yang disayanginya. Rusdi
merasa bersalah tak memberi kabar berbulan-bulan.
“Maafkan
saya Rum. Saya telah pergi dan tak memberimu kabar berbulan-bulan. Tapi bukan
untuk menjauhimu. Tidak. Itu bukan sikap saya yang sebenarnya. Saya dipaksa
oleh keadaan yang mengancam nyawaku,” lanjut Rusdi.
Serum terlihat
percaya dengan kata-kata Rusdi, sambil memeluknya.
“Saya
percaya sama kamu Rusdi. Saya percaya kamu masih menyayangiku. Sekarang kamu
tidak sedang membawa dirimu untuk bertemu denganku, meminta maaf lalu pergi
lagi kan!.”
“Tidak.
Saya tidak akan pergi,” kata Rusdi.
“Tapi.... ”
Tiba-tiba
suara Rusdi terhenti. Rusdi sedang menimbang-nimbang isi pikirannya. Sekarang
masalah yang paling berat bukan soal Serum atau diteror, tapi ayahnya yang akan
menolak hubungan mereka. Ayah Serum seorang Bupati itu tak akan tega melihat
anaknya sengsara dan menikah dengan seorang buruh tani. Rusdi kini hanya jadi seorang
buruh tani di desa.
“Tapi
apa?” sambut Serum.
“Saya
tak akan mengikutimu di Kendari. Bukan takut karena preman itu lagi. Tapi takut
ayahmu tak akan menerima keadaanku saat ini. Saya sudah dikeluarkan dari kampus
dan disini saya hanya jadi buruh tani, Rum. Ayahmu pasti akan menolakku dengan
terang-terangan,” ujar Rusdi.
Serum
kembali menangis dan melepas pelukannya di tubuh Rusdi. Hani berusaha
menenangkan Serum dengan menghampirinya lalu berusaha memeluknya. Hani menatap
Rusdi dalam-dalam dengan penuh kekesalan.
“Di!! Mengapa
kamu bersikap seperti itu terhadap Serum. Sekarang kamu sudah berubah, beda
dengan dulu yang begitu penyayang. Saya masih ingat dulu setiap teman-teman
punya masalah, kamu berusaha mencarikan jalan keluar. Sekarang masalahmu
sendiri tak bisa kamu pecahkan. Dimana otak cerdasmu dulu Di? Apakah jawabanmu
itu adalah solusi? Bukan. Yang barusan kudengar itu alasan konyol yang keluar
dari mulutmu,” kesal Hani yang mulai hilang keseimbangan emosi.
Rusdi
berusaha mengimbangi kekesalan Hani dengan tenang.
“Tidak
Han, saya tidak pernah berubah. Justru itu alasan saya yang paling rasional.”
“Hah,
rasional!! Seperti itukah jawaban rasional seorang Rusdi. Bagaimana bisa tau,
kamu akan ditolak oleh ayah Serum!? Atau selama ini memang kamu tak benar-benar
mengenal ayah Serum. Saya curiga kualitas pikiranmu kini sudah menurun.”
Hani lalu
berdiri mengambil botol Aqua dan meminumnya. Nafasnya masih berkejar-kejaran.
Emosinya belum saja meredah. Hani mulai terlihat menceramai Rusdi.
“Rusdi!
Asal kamu tau, kami berada disini atas izin ayah Serum. Beliau mengizinkan kami
mencari dan menemuimu. Beliau tak peduli apa status sosial keluargamu. Lagian,
beliau sudah lama tau bahwa keluargamu hanyalah buruh tani. Jika beliau
membencimu, mengapa tidak sejak dulu ayah Serum tidak merestui hubungan kalian.
Beliau rela berbuat apa saja yang penting anaknya, Serum bahagia,” lanjut Hani.
Rusdi
kembali menatap Serum dan mengelus-elus tangannya. Rusdi kini tak berani
berbicara pada Serum, juga tak menjawab Hani. Dia tak tahu harus merespon
dengan apa. Pikirannya sedang berada dititik terendah, buntuh tak tahu apa yang
harus diucapkan. Sementara Serum hanya menangis dalam pelukan Hani. Tak ada yang
keluar kata-kata dari mulutnya.
Hani
kembali mengambil alih pembicaraan. Menatap Rusdi. Tapi kali ini dengan nada
halus.
“Di, Rusdi.
Serum sedang hamil mengandung anakmu. Usia kandungannya sudah mau memasuki dua
bulan.”
Rusdi
terkejut dan muncul rasa tidak percaya. Dengan sedikit awas, Rusdi menanyai
Serum.
“Benarkah
Rum. Kamu, kamu sedang hamil!”
Serum
mengangguk, “Iya Rusdi. Saya sedang hamil, mengandung anakmu.”
Tanpa
izin, Rusdi langsung memegang perut pacarnya itu. Betapa bahagianya ia
mendengar Serum hamil. Rasanya sebentar lagi ia akan jadi seorang ayah.
“Benar.... Kamu sedang hamil Rum...” kata Rusdi.
Rusdi
memeluk Serum dengan erat. Ada rona bahagia yang tampak diraut mukanya. Sepertinya
ia tak mau lagi meninggalkan pacarnya itu untuk kedua kalinya. Rusdi berjanji
akan menemui ayah Serum untuk meminta restu. Dalam pelukan Rusdi, terdengar
suara Serum.
“Saya
sangat mencintaimu Rusdi. Sangat mencintaimu. Ayah sedang menunggu
kedatanganmu. Ayah tak pernah membenci kamu. Bahkan sebelum saya hamil, ayah
sering menanyakan keberadaanmu padaku.”
Rusdi mengusap
wajah dengan kedua telapak tangannya. Mencoba menghapus air mata yang jatuh di
kedua belah pipinya. Namun air mata itu tak bisa ia tahan. Masih saja jatuh.
Bahkan semakin deras.
“Baiklah.
Secepatnya kita akan ke Kendari menemui ayahmu. Saya akan meminta restu untuk
menikahimu,” ujar Rusdi.
Saya, Hani
dan Yudistira saling bertatapan, tak percaya dengan apa yang terjadi. Dari
penjelasan Hani, Rusdi sosok yang keras dan tak mau mengalah. Yang muncul di
pikiranku, bagaimana jika Rusdi tak mengakui bahwa anak yang dikandung Serum itu
anaknya. Benar-benar tak menyangkah Rusdi secair itu. Hani hanya terdiam, masih
mengembalikan emosinya seperti semula. Begitu pula Yudistira, hanya diam sambil
memandangi Serum dan Rusdi.
**
Esok
harinya mereka bertiga, Serum, Hani dan Rusdi berpamitan untuk berangkat di
Kendari. Yudistira memilih menunggu di mobil. Tidak seperti biasanya, kali ini penampilan
Serum semakin anggun. Muka pucatnya mulai berwarna. Rasanya ia sudah tak ada
beban lagi dalam hidupnya. Rusdi yang di cintainya itu sudah berada dalam pelukannya.
Penantian demi penantian, telah berbulan-bulan hingga ia mengandung, Rusdi tak pernah
kembali. Namun, atas keyakinannya bahwa Rusdi masih mencintainya, Serum mencari
keberadaan Rusdi. Benar saja, Rusdi tidak sedang menjauh karena ingin meninggalkan
Serum tapi akibat nyawanya yang terancam. Maka Rusdi memilih menyembunyikan
identitasnya.
Sementara
Hani, tiba dengan senyum seperti biasanya. Terlihat lucu tapi tegas.
Ketegasannya membuat siapa pun tak berani berkutik. Dia akan mendebatmu dan
menjatuhkan mentalmu. Tapi dari aura itu, Hani tetap kelihatan cantik.
Percampuran yang serasi, tegas, pintar dan cantik.
Saat
Hani semakin dekat di depanku, saya semakin memujinya. “Ah, cantik juga si Hani
ini.” Lamunanku buyar ketika Hani hendak menyampaikan akan mengabarkan jika
Serum dan Rusdi menikah. Dan Rusdi dengan perasaan yang mengharu biru, siap
berangkat di Kendari.
Baru
beberapa meter mereka bertiga beranjak dari teras rumah, Hani tiba-tiba
berhenti dan menoleh. Dari gerak-gerik bibirnya, Hani terlihat mengucapkan sesuatu,
tak bersuara hanya seperti bisikan.
“Nanti
kamu datang ya. Supaya saya punya pasangan,” bisik Hani dari jauh sambil
tersenyum manis.
Saya hanya
mengangguk dan membalas senyum Hani dengan senyuman.
Kusaksikan
mereka bertiga berangkat. Semakin cepat mobil itu melaju, mereka semakin
menjauh. Terus kupandangi mobil yang ditumpangi Serum, Hani dan Rusdi hingga benar-benar
menghilang dari pandangan.
Laode
Halaidin
Di tulis di Kendari,
1 Juli 2019
0 komentar:
Posting Komentar