15 Juli 2019

Jalan Sepi Merawat Impian

Foto: Laode Halaidin
SAAT bertemu Guru  di Fakultas Ekonomi dan Bisnis sekitar sebulan yang lalu, dia tak pernah lupa memberi saran agar saya mengambil jenjang magister di UGM atau IPB. Dengan cepat saya mengangguk bahwa sebenarnya keinginan untuk lanjut kuliah ke jenjang magister sangatlah besar. Apalagi di kampus ternama di Indonesia seperti UGM dan IPB tak terkecuali juga UI.
Guru itu adalah Samsul Anam Illahi. Bagi saya, dia layaknya obor, pemikir yang menjadi penerang saat sebagian mahasiswa menemui jalan redup kemana hendak mengalirkan diri. Dia adalah orang yang cukup rendah hati, selalu menyapa dan tak pernah membangun jarak dengan mahasiswanya. Bukan cuman saya. Yang saya lihat, ada banyak mahasiswa yang suka diskusi dengannya, entah konsultasi terkait penelitian atau hal yang reme temeh. Dia jugalah yang mengajarkan bagaimana saya memulai belajar menulis di blog lalu diperkenalkan dengan nama penulis terkenal dan tampan seperti Yusran Darmawan.
Yang saya ingat, saran yang dia berikan bukan cuman sekali tapi berkali-kali. Waktu saya jadi mahasiswa, dia adalah orang pertama yang mendukung agar saya kuliah ke jenjang magister. Bahkan dia tak pernah bosan terus mengingatkan dan menyarankan orang kampung seperti saya. Di setiap ucapannya, dia selalu menghadirkan embun yang setiap tetesannya bisa memberi harapan bahwa ada selaksa kehidupan diujung sana. Dia hendak menunjukan jalan bahwa disana ada samudra pengetahuan. Tak ada yang tak pasti jika ada keinginan untuk menujunya. Termasuk orang kampung seperti saya yang tak punya uang untuk lanjut magister di UGM, IPB atau UI.
Namun, sampai saat ini saya belum menjalankan saran-saran itu, meskipun sebenarnya dalam hati ingin cepat melanjutkan kuliah magister. Keinginan setahun lalu untuk ke UGM harus saya tunda karena ada kewajiban yang harus saya penuhi, merawat Bapak. Setelah beberapa bulan saya rawat, sang pemilik kehidupan berkehendak lain dengan memanggilnya. Kini, saya mulai menata, merancang kembali keinginan untuk pergi ke kota impian itu, Jogja dan Bogor.
**
Masih tersimpan diingatan perkataan sang guru itu , “Kamu harus ke UGM atau IPB ya. Tahun depan kamu bisa sama-sama Yusdin.” Saran itu masih terngiang-ngiang di kepalaku. Apakah ini benar-benar akan terjadi? Apa yang perlu saya persiapkan sebelum bergelut dengan kehidupan kota impian itu? Pertanyaan-pertanyaan itu bergentayangan dalam pikiran, sekaligus ada ketidaksabaran agar secepatnya menginjakan kaki di kota Jogja dan Bogor.
Bagi saya, Jogja dan Bogor adalah salah satu kota impian. Jogja adalah kota yang penuh dengan atmosfir intelektual dan kreatifitas yang sangat tinggi. Ruang-ruang diskusi terbuka lebar. Juga kajian-kajian keilmuan selalu mendapatkan tempat. Kata sahabat, bahkan di perempatan dan di jalan-jalan sekalipun ada diskusi, kajian dan pameran seni.
Saya begitu mendambakan untuk bisa ke kota-kota seperti itu. Sebagai orang kampung, bisa ke Jogja adalah sebuah impian. Bukan saja untuk menikmati objek wisata yang memanjakan mata dan kuliner, tapi yang paling utama dan terutama sekali adalah ingin memperdalam ilmu pengetahuan saya di kampus UGM.
Ada banyak hal mengapa kota Jogja layak saya tempati untuk menuntut ilmu. Selain banyak pendatang untuk mengenal kebudayaan daerah lain, juga warganya yang sangat ramah dan penuh keterbukaan. Satu lagi yang membuat layak bagi orang kampung seperti saya dan ini penting yaitu makanannya cukup murah meriah.
Kota hujan (julukan kota Bogor) juga menjadi kota impian saya. Tentu bukan untuk menikmati hujannya (sebab Kendari dan Muna juga sering hujan) tapi untuk memperdalam ilmu pengetahuan di kampus ternama, IPB.
Selain kampusnya yang terbaik, Bogor juga memiliki banyak hal yang menarik. Ada kebun raya Bogor, Gunung Salak dan Istana Bogor. Bogor yang dikenal sebagai Buitenzorg pada masa kolonial Belanda ini, dikenal sebagai tempat yang nyaman dan sejuk. Bagi saya, disinilah menariknya mengapa Bogor sangat saya sukai.
Di Bogor, lalulintas informasi terus berseliweran. Kebijakan ekonomi maupun politik yang dilakukan oleh pemerintah, selalu dirapatkan di istana Bogor. Di Bogor saya bisa belajar banyak hal dengan orang-orang hebat, intelektual, para pakar ekonomi maupun politik. Satu yang membuat pertimbangan, biaya hidup di Bogor lebih mahal daripada di Jogja.
**
Mewujudkan impian untuk melanjutkan kuliah magister di kampus terbaik seperti UGM, IPB dan UI memang tak mudah. Ada banyak kerikil yang menghadang di depan. Saya juga tahu kalau saya tak punya uang. Kejadian ini sama sewaktu saya ingin kuliah S1 di Kendari. Tak punya uang telah menjadi duri-duri dalam merawat impianku. Bahkan waktu menempuh kuliah S1, banyak yang mencemooh, saya tak bisa menyelesaikan kuliahku.
Namun segala sesuatu harus di coba. Sebagaimana waktu kuliah S1 hanya butuh kenekatan, saat ini saya juga hanya bermodalkan kenekatan. Tak ada yang lain. Saya hanya butuh doa ke dua orang tua untuk bisa melanjutkan kuliah ke jenjang magister. Begitulah saya memenuhi ambisiku yang tengah bergejolak. Tak harus patah semangat dengan keterbatasan yang ada.
Bersahabat denga resiko adalah cara terbaik saya untuk menjalani kehidupan. Bahwa tak ada hidup yang tak diperjuangkan. Juga sebuah ambisi untuk kuliah ke jenjang magister. Semua harus butuh perjuangan dan penuh resiko.  
Demikianlah jalan hidup. Saya harus berjudi dengan resiko. Itu adalah tantangan buat saya. Orang-orang hebat bukan lahir dan bergelut di zona nyaman tapi mereka yang berani mengambil resiko. Dan saya harus memutuskan bahwa tahun depan saya harus keluar dari Kendari untuk menuju Jogja dan Bogor. Kata-kata Muhammad Ali selalu mengingatkanku “He who is not courageous enough to take risks will accomplish nothing in life.”
Di sini, saya hanya perlu mempersiapkan diri dengan terus belajar. Juga membangun jejaring di dua kota dan kampus tersebut. Rasa-rasanya, keinginanku untuk sekolah mulai tak terbendung lagi. Ada semangat yang menggebu-gebu di dalam diriku. Sudah saatnya saya mulai menata impianku dengan baik. Semoga Allah Swt memberikan jalan yang lapang agar saya dapat memenuhi segala impianku. Aminn.

                                                                                 Laode Halaidin

                                                                                 Kendari, 15 Juli 2019

0 komentar:

Posting Komentar