Foto: Laode Halaidin |
SAAT
bertemu Guru di Fakultas Ekonomi dan Bisnis
sekitar sebulan yang lalu, dia tak pernah lupa memberi saran agar saya mengambil
jenjang magister di UGM atau IPB. Dengan cepat saya mengangguk bahwa sebenarnya
keinginan untuk lanjut kuliah ke jenjang magister sangatlah besar. Apalagi di
kampus ternama di Indonesia seperti UGM dan IPB tak terkecuali juga UI.
Guru
itu adalah Samsul Anam Illahi. Bagi saya, dia layaknya obor, pemikir yang
menjadi penerang saat sebagian mahasiswa menemui jalan redup kemana hendak
mengalirkan diri. Dia adalah orang yang cukup rendah hati, selalu menyapa dan tak
pernah membangun jarak dengan mahasiswanya. Bukan cuman saya. Yang saya lihat,
ada banyak mahasiswa yang suka diskusi dengannya, entah konsultasi terkait
penelitian atau hal yang reme temeh. Dia jugalah yang mengajarkan bagaimana
saya memulai belajar menulis di blog lalu diperkenalkan dengan nama penulis
terkenal dan tampan seperti Yusran Darmawan.
Yang
saya ingat, saran yang dia berikan bukan cuman sekali tapi berkali-kali. Waktu
saya jadi mahasiswa, dia adalah orang pertama yang mendukung agar saya kuliah
ke jenjang magister. Bahkan dia tak pernah bosan terus mengingatkan dan
menyarankan orang kampung seperti saya. Di setiap ucapannya, dia selalu
menghadirkan embun yang setiap tetesannya bisa memberi harapan bahwa ada
selaksa kehidupan diujung sana. Dia hendak menunjukan jalan bahwa disana ada
samudra pengetahuan. Tak ada yang tak pasti jika ada keinginan untuk menujunya.
Termasuk orang kampung seperti saya yang tak punya uang untuk lanjut magister
di UGM, IPB atau UI.
Namun, sampai
saat ini saya belum menjalankan saran-saran itu, meskipun sebenarnya dalam hati
ingin cepat melanjutkan kuliah magister. Keinginan setahun lalu untuk ke UGM harus
saya tunda karena ada kewajiban yang harus saya penuhi, merawat Bapak. Setelah
beberapa bulan saya rawat, sang pemilik kehidupan berkehendak lain dengan
memanggilnya. Kini, saya mulai menata, merancang kembali keinginan untuk pergi
ke kota impian itu, Jogja dan Bogor.
**
Masih tersimpan
diingatan perkataan sang guru itu , “Kamu harus ke UGM atau IPB ya. Tahun depan
kamu bisa sama-sama Yusdin.” Saran itu masih terngiang-ngiang di kepalaku.
Apakah ini benar-benar akan terjadi? Apa yang perlu saya persiapkan sebelum
bergelut dengan kehidupan kota impian itu? Pertanyaan-pertanyaan itu bergentayangan
dalam pikiran, sekaligus ada ketidaksabaran agar secepatnya menginjakan kaki di
kota Jogja dan Bogor.
Bagi
saya, Jogja dan Bogor adalah salah satu kota impian. Jogja adalah kota yang
penuh dengan atmosfir intelektual dan kreatifitas yang sangat tinggi.
Ruang-ruang diskusi terbuka lebar. Juga kajian-kajian keilmuan selalu
mendapatkan tempat. Kata sahabat, bahkan di perempatan dan di jalan-jalan
sekalipun ada diskusi, kajian dan pameran seni.
Saya
begitu mendambakan untuk bisa ke kota-kota seperti itu. Sebagai orang kampung,
bisa ke Jogja adalah sebuah impian. Bukan saja untuk menikmati objek wisata
yang memanjakan mata dan kuliner, tapi yang paling utama dan terutama sekali adalah
ingin memperdalam ilmu pengetahuan saya di kampus UGM.
Ada
banyak hal mengapa kota Jogja layak saya tempati untuk menuntut ilmu. Selain banyak
pendatang untuk mengenal kebudayaan daerah lain, juga warganya yang sangat
ramah dan penuh keterbukaan. Satu lagi yang membuat layak bagi orang kampung
seperti saya dan ini penting yaitu makanannya cukup murah meriah.
Kota
hujan (julukan kota Bogor) juga menjadi kota impian saya. Tentu bukan untuk
menikmati hujannya (sebab Kendari dan Muna juga sering hujan) tapi untuk
memperdalam ilmu pengetahuan di kampus ternama, IPB.
Selain kampusnya
yang terbaik, Bogor juga memiliki banyak hal yang menarik. Ada kebun raya
Bogor, Gunung Salak dan Istana Bogor. Bogor yang dikenal sebagai Buitenzorg
pada masa kolonial Belanda ini, dikenal sebagai tempat yang nyaman dan sejuk. Bagi
saya, disinilah menariknya mengapa Bogor sangat saya sukai.
Di Bogor,
lalulintas informasi terus berseliweran. Kebijakan ekonomi maupun politik yang
dilakukan oleh pemerintah, selalu dirapatkan di istana Bogor. Di Bogor saya
bisa belajar banyak hal dengan orang-orang hebat, intelektual, para pakar
ekonomi maupun politik. Satu yang membuat pertimbangan, biaya hidup di Bogor
lebih mahal daripada di Jogja.
**
Mewujudkan
impian untuk melanjutkan kuliah magister di kampus terbaik seperti UGM, IPB dan
UI memang tak mudah. Ada banyak kerikil yang menghadang di depan. Saya juga
tahu kalau saya tak punya uang. Kejadian ini sama sewaktu saya ingin kuliah S1
di Kendari. Tak punya uang telah menjadi duri-duri dalam merawat impianku. Bahkan
waktu menempuh kuliah S1, banyak yang mencemooh, saya tak bisa menyelesaikan
kuliahku.
Namun
segala sesuatu harus di coba. Sebagaimana waktu kuliah S1 hanya butuh kenekatan,
saat ini saya juga hanya bermodalkan kenekatan. Tak ada yang lain. Saya hanya
butuh doa ke dua orang tua untuk bisa melanjutkan kuliah ke jenjang magister. Begitulah
saya memenuhi ambisiku yang tengah bergejolak. Tak harus patah semangat dengan
keterbatasan yang ada.
Bersahabat
denga resiko adalah cara terbaik saya untuk menjalani kehidupan. Bahwa tak ada hidup
yang tak diperjuangkan. Juga sebuah ambisi untuk kuliah ke jenjang magister. Semua
harus butuh perjuangan dan penuh resiko.
Demikianlah
jalan hidup. Saya harus berjudi dengan resiko. Itu adalah tantangan buat saya. Orang-orang
hebat bukan lahir dan bergelut di zona nyaman tapi mereka yang berani mengambil
resiko. Dan saya harus memutuskan bahwa tahun depan saya harus keluar dari
Kendari untuk menuju Jogja dan Bogor. Kata-kata Muhammad Ali selalu mengingatkanku
“He who is not courageous enough to take risks will accomplish nothing in life.”
Di sini,
saya hanya perlu mempersiapkan diri dengan terus belajar. Juga membangun
jejaring di dua kota dan kampus tersebut. Rasa-rasanya, keinginanku untuk
sekolah mulai tak terbendung lagi. Ada semangat yang menggebu-gebu di dalam
diriku. Sudah saatnya saya mulai menata impianku dengan baik. Semoga Allah Swt
memberikan jalan yang lapang agar saya dapat memenuhi segala impianku. Aminn.
Laode
Halaidin
Kendari,
15 Juli 2019
0 komentar:
Posting Komentar