24 Oktober 2017

DPR dan Kompleks Fourier

Sumber gambar: wartanasional.com

BERITA terkait DPR membentuk pansus hak angket yang dialamatkan pada lembaga anti-rasuah KPK beberapa bulan lalu, berhembus dengan kencang dilini
sosial media. Serangan yang bertubi-tubi, baik yang dihadapi oleh KPK maupun DPR, mengambarkan banyak pihak yang menaruh perhatian terhadap pansus tersebut. Saling serang, mencaci dan menghujat, seolah tak pernah terhenti―sangat menguras tenaga dan semangat anak bangsa. Setelah selesai Pilpres, dilanjutkan dengan Pilkada DKI, lalu kini pansus hak angket. Selanjutnya, entah apa lagi.
Sejak pengetukan palu di DPR dalam sidang paripurna, banyak pihak yang menilai, pembentukan pansus hak angket KPK sangat bermasalah. KPK dinilai bukan lembaga eksekutif, sehingga pengguliran hak angket dianggap salah alamat. Bahkan baru-baru ini, komentar Mahfud MD, bisa membuat kuping panas anggota pansus DPR. “Karena ini politik kita harus memahaminya secara politik. Bagi saya ia biarin saja diperpanjang, besok diperpanjang lagi. Toh nanti produknya juga bisa disikapi secara politik bahwa itu tidak ada gunanya, itu sampah saja” kata Prof. Mahfud MD saat menilai perpanjangan pansus hak angket KPK (Kompas.com).
Namun DPR tetap bergeming dan mengklaim punya kewenangan untuk membentuk pansus hak angket kepada KPK. Undang-undang menurut anggota pansus hak angket, telah memberi mereka kewenangan sesuai dengan UU No 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3). Tetapi bagi Mahfud MD, langka yang diambil oleh anggota pansus DPR dalam mengangket KPK telah menabrak hukum yang ada alias cacat hukum.
Menurut Mahfud MD, ada tiga alasan mengapa pansus hak angket dianggap cacat hukum. Pertama, subjek pansus seharusnya pemerintah, bukan lembaga KPK. Kedua, objek yang keliru, karena pansus dibentuk atas dasar pengakuan Miryam S Haryani. Ketiga, prosedurnya diduga salah karena tidak ada persetujuan dari semua fraksi. Lain halnya dengan pendapat Prof. Yusril Ihza Mahendra. Yusril menilai, langka DPR membentuk hak angket kepada KPK sudah tepat. “DPR dapat melakukan hak angket terhadap KPK karena KPK dibentuk dengan Undang-undang” kata Yusril (Katadata.co.id).
Pengguliran pansus hak angket terhadap KPK berawal saat Miryam S Haryani dalam proses penyidikan menyebut beberapa anggota DPR yang ikut menikmati bagi-bagi duit megaproyek E-KTP senilai 5,9 triliun. Kerugian negara ditaksir 2,3 triliun yang diduga ikut dinikmati beberapa anggota DPR. Seolah mereka tak terima nama-nama mereka disebut, lalu sebagian anggota DPR dianggap melakukan perlawanan dengan mengangket KPK. Mereka mencoba mengintervensi agar KPK membuka rekaman pemeriksaan politikus partai Hanura, Miryam S Haryani. Namun, sebagai lembaga Non-pemerintah yang independen, KPK tetap menolak karena itu masuk ranah pro justitia.
Kita masyarakat, dibuat bertanya-tanya, apakah pansus hak angket yang ditujuhkan pada KPK bukanlah bentuk pelemahan? Bagi banyak pihak, pansus hak angket dinilai bagian dari pelemahan lembaga anti-rasuah, KPK. Suara para anggota DPR yang menentang KPK selalu bergemuruh, “bubarkan saja KPK” kata mereka.
Kelakuan para anggota DPR yang terhormat itu terlihat jelas saat sebagian anggotanya, ramai-ramai menyerang KPK lewat hak angket, yang dianggap membela teman-teman sejawat, “teman bela teman” sesama anggota DPR. Itu juga terlihat saat anggota pansus hak angket mengunjungi lapas Sukamiskin, meminta informasi kepada para koruptor terkait dengan langka KPK selama ini. DPR dinilai, sengaja melakukan itu untuk mencari-cari kesalahan yang dilakukan KPK.
Apa yang dilakukan sebagian anggota DPR dalam mengangket KPK bertentangan dengan yang diharapkan publik. Masyarakat jelas-jelas dengan tegas menolak hak angket tersebut, karena dianggap melemahkan bukan menguatkan. DPR sebagai wakil rakyat, seharusnya bekerja sesuai tugas dan wewenangnya; menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat bukan sebaliknya. Selain itu, DPR juga harus menguatkan lembaga KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia.
Namun, apakah mungkin dilakukan, mengingat banyak anggota DPR selama ini menjadi pasien KPK! Kepercayaan publik sudah tercoreng pada anggota DPR, karena banyak para politikus disenayan yang tertangkap korupsi. Hasil survey yang dirilis Global Corruption Barometer (GCB) 2017 yang diterbitkan Transparency International Indonesia (TII), menempatkan DPR sebagai lembaga terkorup. Ada sekitar 54 persen menilai, lembaga DPR yang mewakili rakyat disenayan dianggap sebagai lembaga terkorup dimata publik.
Polemik pansus hak angket yang digulirkan DPR kepada KPK sangat menguras tenaga dan pikiran anak bangsa untuk saling menghujat, yang sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan kehidupan rakyat. Belum selesai pansus, polemik baru muncul lagi―terkait dengan pembentukan densus tipikor yang  dianggap terburu-buru. Untuk apa dibentuk densus tipikor, selama kinerja KPK dalam memberantas korupsi masih dipercaya publik. Apakah ini bukan bentuk pembunuhan baru, kepada lembaga anti-rasuah tersebut!
Pembentukan densus tipikor diwacanakan saat “ribut-ribut” DPR dengan KPK, terkait dengan pansus hak angket. Sebagian anggota DPR Komisi III mempertanyakan peran Polri dalam pemberantasan korupsi. Alasannya, KPK selama ini dinilai anggota pansus hak angket sebagai lembaga yang banyak melakukan pelanggaran dalam proses penyidikan, penyalahgunaan wewenang, hingga praktik korupsi. Dari hal itu, beberapa anggota DPR terlihat ngotot agar densus tipikor segera dibentuk. Mereka seperti ingin menyingkirkan peran KPK secara pelan-pelan dalam membasmi koruptor.
Inilah yang dikhawatirkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). Wakil Koordinator ICW Agus Sunaryanto menduga, pembentukan densus tipikor hanyalah bagian dari skenario DPR untuk melemahkan KPK, lalu pada akhirnya dapat dimanfaatkan untuk membubarkan KPK (Kompas.com). Ludwig Von Mises pernah menulis dalam bukunya, Liberalism: In the Classical Tradition; katanya, biasanya kalau orang-orang Perancis biasa berbicara tentang “membunuh dengan ejekan.”
Memang kelihatannya, kita sedang menyaksikan sebuah parodi pertunjukan, bagaimana agar KPK itu dibunuh, ‘dibubarkan dengan cara halus’. Mereka terlihat gagap, seolah tak terima, lalu dilingkupi oleh rasa kecemasan, karena KPK telah banyak melakukan OTT pada para pejabat di negeri ini. Para anggota DPR itu terlihat frustasi, bahkan dengan mulut berbusa mengatakan, KPK telah gagal memberantas korupsi karena masifnya penangkapan koruptor. Apakah itu bisa dikatakan gagal? Atau para DPR yang terhormat itu yang gagal paham!
Kompleks Fourier
Apa itu kompleks Fourier?
Kompleks Fourier pertama kali diperkenalkan oleh Ludwig Von Mises, pemikir liberalisme dalam bukunya berjudul Liberalism: In the Classical Tradition. Fourier diambil dari nama seorang pemikir sosialis Perancis bernama Francois Marie Charles Fourier.
Charle Fourier (1772-1837) merupakan filsuf Perancis dan pemikir sosialis yang berpengaruh dan dikenal paling utopis. Wikipedia mencatat, sebagian pandangan sosial dan moralnya, dianggap radikal pada masanya dan menjadi arus utama pemikiran dalam masyarakat modern. Ia dikenal sebagai pemikir sosialisme utopis―dimana semua pandangan dan pemikirannya bersifat angan-angan dan terlalu naif. Idealisme pemikiran sosialisme utopianya dianggap terlalu tinggi, dan secara teoritis-praktis tidak bisa direalisasikan atau bisa tapi selalu layu sebelum berkembang.
Fourier adalah orang yang paling getol menolak semua tentang revolusi industri. Ia mencoba membuat berbagai pendapat fantastis tentang dunia yang ideal diimpikan selama hidupnya. Dalam pemikirannya, ia mencoba menganjurkan agar berdirinya unit-unit produksi “falansteires” yang mengedepankan semangat kebersamaan baik kepemilikan kapital, mengupayakan kebutuhan sendiri dan kepemilikan alat-alat produksi secara bersama-sama. Namun, bagi pemikir liberalisme pandangan-pandangan itu hanya menghayalkan bentuk suatu komunitas ideal―sebuah pandangan yang berada dalam angan-angan yang sulit untuk diwujudkan.
Dalam konteks Ludwig, pandangan-pandangan pemikiran yang dibangun oleh para pemikir sosialisme didasari atas oposisi terhadap liberalisme. Bagi Ludwig, oposisi yang dibangun itu tidak lahir dari nalar, tetapi dari sikap mental patologis―dari kebencian dan kondisi neurasthenia. Neurasthenia adalah istilah psiko-patologis yang digunakan George Miller 1869, yang mengambarkan kondisi yang ditandai oleh kelelahan, kecemasan, sakit kepala, neuralgia (sakit saraf dan depresi) sebagai bagian dari kompleks Fourier.
DPR Yang Neurotik
Kegencaran sebagian anggota DPR menggulirkan pansus hak angket pada KPK terlihat sebagai upaya pelemahan bukan penguatan. Pansus tersebut sebagai bentuk upaya perlawanan, setelah Miryam S Haryani menyebut nama-nama mereka. Ada ketakutan dan kecemasan yang dialami anggota DPR. Wacana penguatan yang mereka lontarkan sering tidak masuk akal atau berkelainan dengan apa yang mereka lakukan. Yang terlihat justru ketidaksukaan terhadap lembaga KPK, lalu membangun oposisi dengan mendesak Polri untuk membentuk densus anti-korupsi.
Opini yang dibangun oleh DPR untuk menguatkan lembaga KPK selama ini hanyalah, meminjam Ludwig, sebuah perlindungan dibawah “kebohongan yang menyelamatkan.” Pandangan mereka terlihat tidak lahir dari nalar tapi lebih kepada adanya sikap mental patologis dan kebencian terhadap peran lembaga KPK. Kadang yang mereka tawarkan tidak rasional dan relaistis. Mereka seperti terlihat sedang dilanda kecemasan, ketakutan, terserang neurotik (sakit saraf dan depresi) alias terkena kompleks Fourier.
Ludwig menggambarkan dengan jelas bagaimana perilaku kehidupan seseorang yang terserang neurotik. Ludwig menulis, para penderita neurotik tidak dapat menghadapi kenyataan hidup, yang terlalu liar, kasar dan dangkal. Berbeda dengan orang sehat, orang yang terserang neurotik, tidak memiliki kemampuan untuk melanjutkan hidup terlepas dari apa pun agar hidup mereka menjadi tertahankan. Mereka selalu berlindung di balik delusi, dimana menurut Freud; delusi merupakan sesuatu kehidupan yang didambakan, semacam hiburan yang memiliki ciri-ciri penolakan terhadap serangan logika dan realitas.
Tidak jauh berbeda, apa yang di alami sebagian anggota DPR dengan apa yang digambarkan oleh Ludwig. Disaat lembaga KPK dengan masif menangkap para penculik uang negara, DPR seolah tidak menerima kenyataan itu, yang lalu diliputi kecemasan dan ketakutan bahwa langkah KPK dapat menganggu kehidupan mereka. Mereka selalu berlindung dibalik delusi, apa yang dilakukan KPK adalah ancaman dan serangan. Yang mereka inginkan selama ini, sebuah kehidupan di negeri Cockaigne; negeri dongeng pada abad pertengahan, tempat yang penuh dengan segala macam kemewahan, dimana kenyamanan dan kesenangan selalu tersedia.
Dalam kehidupan para penderita neurotik yang berlindung dibawah“kebohongan yang menyelamatkan” itu tidak pernah melihat atau mengintropeksi diri tentang kegagalannya, apa yang telah mereka kerjakan, tetapi mendakwai seseorang tentang keberhasilan atau menawarkan kesuksesan dimasa depan. Dalam kasus DPR, mereka tak pernah melihat, bagaimana pekerjaan mereka selama ini; sudah berapa Undang-undang yang mereka buat, bagaimana pengawasan mereka, apakah janji mereka sudah dipenuhi pada masa kampanye atau tidak.
Yang terlihat menyerang lembaga lain, memberikan keyakinan tentang perbaikan KPK dimasa depan. Dan bagi DPR, penangkapan masif para koruptor yang dilakukan KPK bukan keberhasilan, tetapi bentuk dari kegagalan dari pemberantasan korupsi. Bagi orang-orang yang terhormat itu, seharusnya yang terjadi, para maling uang negara lebih sedikit, bukan malah tambah banyak. 
Hal ini tentu bertentangan dengan logika, sama sekali tidak rasional dan realistis. Apakah KPK yang perlu disalahkan atau seharusnya sistem pemilu kita yang perlu dibenahi! Mengapa bukan partai yang harus mendapat perbaikan, karena selama ini kader-kadernya banyak yang korup. Mengapa bukan moral mereka yang harus didakwahi, karena apa yang mereka perbuat merugikan para petani, buruh dan para nelayan! Mereka miskin bukan karena malas, tetapi akibat perbuatan korup para pejabat negara.
Sangat sulit memang, untuk mengobati orang-orang yang terserang neurotik. Berbeda halnya dengan orang-orang yang terserang oleh rasa tidak suka dengan lembaga KPK, tentu ini bisa diatasi dengan argumen rasional. Tidak sulit untuk menjelaskan pada orang yang terserang rasa kebencian, bahwa yang mereka lakukan seharusnya bukan menyerang atau memperburuk lembaga lain, tetapi memperbaiki lembaga diri sendiri. Sementara untuk mengobati penyakit neurotik, harus lahir dari kesadaran lembaga, bukan mencari kambing hitam, tetapi harus memahami hukum dan dasar kerjasama yang ada.
Dan pada akhirnya memang, semua akibat ulah manusia yang selalu terobsesi dengan kuasa. Kekuasaan DPR untuk melakukan pansus hak angket, tidak bisa di intervensi meskipun itu harus menabrak hukum. Itu kuasa mereka. Itu wewenang mereka.
Tapi, dengan kekuasaan yang tak terkontrol itu, justru akan mengarah pada kejahatan yang masif─yang akan menimbulkan kesengsaraan bagi banyak pihak. Mengutip Jacob Burckhard “ bahwa kekuasaan adalah kejahatan itu sendiri, tidak penting siapa yang menggunakannya.” Demokrasi yang dipercaya memegang kekuasaan tertinggi atas pemerintahan dengan mudah akan terdorong ke arah ekes berlebihan. Inilah yang dikhawatirkan.
Kedepan, kita akan melihat, bagaimana jika densus tipikor akan terbentuk. Apakah ini akan terjadi pergesekan dalam hal pemberantasan korupsi, yang lalu akan melemahkan peran KPK bahkan membubarkannya? Entahlah. Semoga lembaga lain tidak terserang penyakit aneh, yang lalu menyerang dan membunuh KPK dengan cara pelan-pelan.

                                                                                Laode Halaidin
                                                                                Kendari, 14 Oktober 2017

0 komentar:

Posting Komentar