Sumber gambar: wartanasional.com |
BERITA terkait DPR membentuk pansus hak angket yang dialamatkan pada lembaga anti-rasuah KPK beberapa bulan lalu, berhembus dengan kencang dilini sosial media. Serangan yang bertubi-tubi, baik yang dihadapi oleh KPK maupun DPR, mengambarkan banyak pihak yang menaruh perhatian terhadap pansus tersebut. Saling serang, mencaci dan menghujat, seolah tak pernah terhenti―sangat menguras tenaga dan semangat anak bangsa. Setelah selesai Pilpres, dilanjutkan dengan Pilkada DKI, lalu kini pansus hak angket. Selanjutnya, entah apa lagi.
Sejak
pengetukan palu di DPR dalam sidang paripurna, banyak pihak yang menilai, pembentukan
pansus hak angket KPK sangat bermasalah. KPK dinilai bukan lembaga eksekutif,
sehingga pengguliran hak angket dianggap salah alamat. Bahkan
baru-baru ini, komentar Mahfud MD, bisa membuat kuping panas anggota pansus DPR.
“Karena ini politik kita harus memahaminya secara politik. Bagi saya ia biarin
saja diperpanjang, besok diperpanjang lagi. Toh nanti produknya juga bisa
disikapi secara politik bahwa itu tidak ada gunanya, itu sampah saja” kata
Prof. Mahfud MD saat menilai perpanjangan pansus hak angket KPK (Kompas.com).
Namun
DPR tetap bergeming dan mengklaim punya kewenangan untuk membentuk pansus hak
angket kepada KPK. Undang-undang menurut anggota pansus hak angket, telah
memberi mereka kewenangan sesuai dengan UU No 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR,
DPRD dan DPD (MD3). Tetapi bagi Mahfud MD, langka yang diambil oleh anggota pansus
DPR dalam mengangket KPK telah menabrak hukum yang ada alias cacat hukum.
Menurut
Mahfud MD, ada tiga alasan mengapa pansus hak angket dianggap cacat hukum.
Pertama, subjek pansus seharusnya pemerintah, bukan lembaga KPK. Kedua, objek
yang keliru, karena pansus dibentuk atas dasar pengakuan Miryam S Haryani. Ketiga, prosedurnya diduga salah karena tidak ada
persetujuan dari semua fraksi. Lain halnya dengan pendapat Prof. Yusril Ihza
Mahendra. Yusril menilai, langka DPR membentuk hak angket kepada KPK sudah
tepat. “DPR dapat melakukan hak angket terhadap KPK karena KPK dibentuk dengan
Undang-undang” kata Yusril (Katadata.co.id).
Pengguliran
pansus hak angket terhadap KPK berawal saat Miryam S Haryani dalam proses penyidikan menyebut beberapa anggota DPR yang ikut menikmati bagi-bagi
duit megaproyek E-KTP senilai 5,9 triliun. Kerugian negara ditaksir 2,3 triliun
yang diduga ikut dinikmati beberapa anggota DPR. Seolah mereka tak terima
nama-nama mereka disebut, lalu sebagian anggota DPR dianggap melakukan
perlawanan dengan mengangket KPK. Mereka mencoba mengintervensi agar KPK
membuka rekaman pemeriksaan politikus partai Hanura, Miryam S Haryani. Namun,
sebagai lembaga Non-pemerintah yang independen, KPK tetap menolak karena itu
masuk ranah pro justitia.
Kita
masyarakat, dibuat bertanya-tanya, apakah pansus hak angket yang ditujuhkan
pada KPK bukanlah bentuk pelemahan? Bagi banyak pihak, pansus hak angket
dinilai bagian dari pelemahan lembaga anti-rasuah, KPK. Suara para anggota DPR
yang menentang KPK selalu bergemuruh, “bubarkan saja KPK” kata mereka.
Kelakuan
para anggota DPR yang terhormat itu terlihat jelas saat sebagian anggotanya,
ramai-ramai menyerang KPK lewat hak angket, yang dianggap membela teman-teman
sejawat,
“teman bela teman” sesama anggota DPR. Itu juga
terlihat saat anggota pansus hak angket mengunjungi lapas Sukamiskin, meminta
informasi kepada para koruptor terkait dengan
langka KPK selama ini. DPR dinilai, sengaja melakukan itu untuk mencari-cari
kesalahan yang dilakukan KPK.
Apa
yang dilakukan sebagian anggota DPR dalam mengangket KPK bertentangan dengan yang diharapkan publik.
Masyarakat jelas-jelas dengan tegas menolak hak angket tersebut, karena
dianggap melemahkan bukan menguatkan. DPR sebagai wakil rakyat, seharusnya bekerja sesuai tugas dan wewenangnya; menyerap,
menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat bukan sebaliknya. Selain itu, DPR juga harus
menguatkan lembaga KPK dalam
memberantas korupsi di Indonesia.
Namun, apakah mungkin
dilakukan, mengingat banyak anggota DPR selama ini menjadi pasien KPK! Kepercayaan publik sudah tercoreng pada anggota DPR, karena
banyak para politikus disenayan yang tertangkap korupsi. Hasil survey yang
dirilis Global Corruption Barometer (GCB) 2017 yang diterbitkan Transparency International
Indonesia (TII), menempatkan DPR sebagai lembaga terkorup. Ada sekitar 54 persen menilai, lembaga DPR yang mewakili rakyat disenayan
dianggap sebagai lembaga terkorup dimata publik.
Polemik pansus hak angket yang digulirkan DPR kepada
KPK sangat menguras tenaga dan pikiran anak bangsa untuk saling menghujat, yang
sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan kehidupan rakyat. Belum selesai
pansus, polemik baru muncul lagi―terkait dengan pembentukan densus tipikor
yang dianggap terburu-buru. Untuk apa
dibentuk densus tipikor, selama kinerja KPK dalam memberantas korupsi masih
dipercaya publik. Apakah ini bukan bentuk pembunuhan baru, kepada lembaga anti-rasuah
tersebut!
Pembentukan
densus tipikor diwacanakan saat “ribut-ribut” DPR dengan KPK, terkait dengan
pansus hak angket. Sebagian anggota DPR Komisi III mempertanyakan peran Polri
dalam pemberantasan korupsi. Alasannya, KPK selama ini dinilai anggota pansus
hak angket sebagai lembaga yang banyak melakukan pelanggaran dalam proses
penyidikan, penyalahgunaan wewenang, hingga praktik korupsi. Dari hal itu, beberapa
anggota DPR terlihat ngotot agar densus tipikor segera dibentuk. Mereka seperti ingin
menyingkirkan peran KPK secara pelan-pelan dalam
membasmi koruptor.
Inilah
yang dikhawatirkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). Wakil Koordinator ICW
Agus Sunaryanto menduga, pembentukan densus tipikor hanyalah bagian dari
skenario DPR untuk melemahkan KPK, lalu pada akhirnya dapat dimanfaatkan untuk
membubarkan KPK (Kompas.com). Ludwig Von Mises pernah menulis dalam bukunya, Liberalism:
In the Classical Tradition; katanya, biasanya
kalau orang-orang Perancis biasa berbicara tentang “membunuh
dengan ejekan.”
Memang
kelihatannya, kita sedang menyaksikan sebuah parodi pertunjukan, bagaimana agar
KPK itu dibunuh, ‘dibubarkan dengan cara halus’. Mereka terlihat gagap, seolah tak terima, lalu dilingkupi oleh rasa kecemasan, karena KPK telah banyak
melakukan OTT pada para pejabat di negeri ini. Para anggota DPR itu terlihat
frustasi, bahkan dengan mulut berbusa mengatakan, KPK telah gagal memberantas
korupsi karena masifnya penangkapan koruptor. Apakah itu bisa dikatakan gagal?
Atau para DPR yang terhormat itu yang gagal paham!
Kompleks Fourier
Apa itu kompleks
Fourier?
Kompleks Fourier pertama kali diperkenalkan oleh
Ludwig Von Mises, pemikir liberalisme dalam bukunya berjudul Liberalism: In the Classical Tradition.
Fourier diambil dari nama seorang pemikir sosialis Perancis bernama Francois Marie
Charles Fourier.
Charle Fourier (1772-1837) merupakan filsuf Perancis
dan pemikir sosialis yang berpengaruh dan dikenal paling utopis. Wikipedia
mencatat, sebagian pandangan sosial dan moralnya, dianggap radikal pada masanya
dan menjadi arus utama pemikiran dalam masyarakat modern. Ia dikenal sebagai
pemikir sosialisme utopis―dimana semua pandangan dan pemikirannya bersifat
angan-angan dan terlalu naif. Idealisme pemikiran sosialisme utopianya dianggap terlalu tinggi, dan secara teoritis-praktis tidak bisa direalisasikan atau bisa tapi selalu layu sebelum berkembang.
Fourier adalah orang yang paling getol menolak semua
tentang revolusi industri. Ia mencoba membuat berbagai pendapat fantastis
tentang dunia yang ideal diimpikan selama hidupnya. Dalam pemikirannya, ia
mencoba menganjurkan agar berdirinya unit-unit produksi “falansteires” yang mengedepankan semangat kebersamaan baik
kepemilikan kapital, mengupayakan kebutuhan sendiri dan kepemilikan alat-alat
produksi secara bersama-sama. Namun, bagi pemikir
liberalisme
pandangan-pandangan itu hanya menghayalkan bentuk suatu komunitas ideal―sebuah
pandangan yang berada dalam angan-angan yang sulit untuk diwujudkan.
Dalam konteks Ludwig, pandangan-pandangan pemikiran
yang dibangun oleh para pemikir sosialisme didasari atas oposisi terhadap
liberalisme. Bagi Ludwig, oposisi yang dibangun itu tidak lahir dari nalar,
tetapi dari sikap mental patologis―dari kebencian dan kondisi neurasthenia.
Neurasthenia adalah istilah psiko-patologis yang digunakan George Miller 1869,
yang mengambarkan kondisi yang ditandai oleh kelelahan, kecemasan, sakit
kepala, neuralgia (sakit saraf dan depresi) sebagai bagian dari kompleks Fourier.
DPR Yang Neurotik
Kegencaran
sebagian
anggota DPR menggulirkan pansus hak angket pada KPK terlihat sebagai upaya
pelemahan bukan penguatan. Pansus tersebut sebagai bentuk upaya perlawanan,
setelah Miryam S Haryani menyebut nama-nama mereka. Ada ketakutan dan kecemasan
yang dialami anggota DPR. Wacana penguatan yang mereka lontarkan sering tidak
masuk akal atau berkelainan dengan apa yang mereka lakukan. Yang terlihat
justru ketidaksukaan terhadap lembaga KPK, lalu membangun oposisi dengan
mendesak Polri untuk membentuk densus anti-korupsi.
Opini
yang dibangun oleh DPR untuk menguatkan lembaga KPK selama
ini hanyalah,
meminjam Ludwig, sebuah perlindungan
dibawah “kebohongan yang menyelamatkan.” Pandangan mereka terlihat tidak lahir
dari nalar tapi lebih kepada adanya sikap mental patologis dan kebencian
terhadap peran lembaga KPK. Kadang yang mereka tawarkan tidak rasional dan
relaistis. Mereka seperti terlihat sedang dilanda kecemasan, ketakutan, terserang neurotik (sakit saraf dan depresi) alias
terkena kompleks Fourier.
Ludwig
menggambarkan dengan jelas bagaimana perilaku kehidupan seseorang yang
terserang neurotik. Ludwig menulis, para penderita neurotik tidak dapat
menghadapi kenyataan hidup, yang terlalu liar, kasar dan dangkal. Berbeda
dengan orang sehat, orang yang terserang neurotik, tidak memiliki kemampuan
untuk melanjutkan hidup terlepas dari apa pun agar hidup mereka menjadi
tertahankan. Mereka selalu berlindung di balik delusi, dimana menurut Freud;
delusi merupakan sesuatu kehidupan yang didambakan, semacam hiburan yang
memiliki ciri-ciri penolakan terhadap serangan logika dan realitas.
Tidak
jauh berbeda, apa yang di alami sebagian anggota DPR dengan apa yang
digambarkan oleh Ludwig. Disaat lembaga KPK dengan masif menangkap para
penculik uang negara, DPR seolah tidak menerima kenyataan itu, yang lalu
diliputi kecemasan dan ketakutan bahwa langkah KPK dapat menganggu kehidupan
mereka. Mereka selalu berlindung dibalik delusi, apa yang dilakukan KPK adalah
ancaman dan serangan. Yang mereka inginkan selama ini, sebuah kehidupan di
negeri Cockaigne; negeri dongeng pada
abad pertengahan, tempat yang penuh dengan segala macam kemewahan, dimana
kenyamanan dan kesenangan selalu tersedia.
Dalam
kehidupan para penderita neurotik yang berlindung dibawah“kebohongan yang
menyelamatkan” itu tidak pernah melihat atau mengintropeksi diri tentang
kegagalannya, apa yang telah mereka kerjakan, tetapi mendakwai seseorang
tentang keberhasilan atau menawarkan kesuksesan dimasa depan. Dalam kasus DPR, mereka
tak pernah melihat, bagaimana pekerjaan mereka selama ini; sudah berapa
Undang-undang yang mereka buat, bagaimana pengawasan mereka, apakah janji
mereka sudah dipenuhi pada masa kampanye atau tidak.
Yang
terlihat menyerang lembaga lain, memberikan keyakinan tentang perbaikan KPK
dimasa depan. Dan bagi DPR, penangkapan masif para koruptor yang dilakukan KPK
bukan keberhasilan, tetapi bentuk dari kegagalan dari pemberantasan korupsi.
Bagi orang-orang yang terhormat itu, seharusnya yang terjadi, para maling uang
negara lebih sedikit, bukan malah tambah banyak.
Hal ini
tentu bertentangan dengan logika, sama sekali tidak rasional dan realistis.
Apakah KPK yang perlu disalahkan atau seharusnya sistem pemilu kita yang perlu
dibenahi! Mengapa bukan partai yang harus mendapat perbaikan, karena selama ini
kader-kadernya banyak yang korup. Mengapa bukan moral mereka yang harus
didakwahi, karena apa yang mereka perbuat merugikan para petani, buruh dan para
nelayan! Mereka miskin bukan karena malas, tetapi akibat perbuatan korup para
pejabat negara.
Sangat
sulit memang, untuk mengobati orang-orang yang terserang neurotik. Berbeda
halnya dengan orang-orang yang terserang oleh rasa tidak suka dengan lembaga
KPK, tentu ini bisa diatasi dengan argumen rasional. Tidak sulit untuk
menjelaskan pada orang yang terserang rasa kebencian, bahwa yang mereka lakukan
seharusnya bukan menyerang atau memperburuk lembaga lain, tetapi memperbaiki
lembaga diri sendiri. Sementara untuk mengobati penyakit neurotik, harus lahir
dari kesadaran lembaga, bukan mencari kambing hitam, tetapi harus memahami
hukum dan dasar kerjasama yang ada.
Dan pada
akhirnya memang, semua akibat ulah manusia yang selalu terobsesi dengan kuasa.
Kekuasaan DPR untuk melakukan pansus hak angket, tidak bisa di intervensi
meskipun itu harus menabrak hukum. Itu kuasa mereka. Itu wewenang mereka.
Tapi,
dengan kekuasaan yang tak terkontrol itu, justru akan mengarah pada kejahatan
yang masif─yang akan menimbulkan kesengsaraan bagi banyak pihak. Mengutip Jacob
Burckhard “ bahwa kekuasaan adalah kejahatan itu sendiri, tidak penting siapa
yang menggunakannya.” Demokrasi yang dipercaya memegang kekuasaan tertinggi
atas pemerintahan dengan mudah akan terdorong ke arah ekes berlebihan. Inilah
yang dikhawatirkan.
Kedepan,
kita akan melihat, bagaimana jika densus tipikor akan terbentuk. Apakah ini
akan terjadi pergesekan dalam hal pemberantasan korupsi, yang lalu akan
melemahkan peran KPK bahkan membubarkannya? Entahlah. Semoga lembaga lain tidak
terserang penyakit aneh, yang lalu menyerang dan membunuh KPK dengan cara
pelan-pelan.
Laode Halaidin
Kendari, 14 Oktober 2017
Laode Halaidin
Kendari, 14 Oktober 2017
0 komentar:
Posting Komentar