Sumber foto: Marhum |
Sebagai
pengangguran yang hakiki, mendapat ajakan ngopi untuk sekadar cerita yang remeh-temeh
adalah suatu keberuntungan. Betapa tidak, saya seperti orang rumahan yang
jarang kemana-mana. Paling, sekali sebulan untuk keluar ngopi di warkop. Itu
pun kalau ada sahabat-sahabat. Maklum, sahabat-sahabat saya memiliki kesibukan,
dibandingkan saya yang hanya seorang pengangguran.
**
Pagi itu,
hp saya berdering. Saat kuangkat, terdengar suara yang begitu familiyar.
Rasanya, saya begitu mengenal suaranya. Benar saja. Mereka adalah sahabatku
dulu di kampus Universitas Halu Oleo. Mereka adalah Marhum yang memakai baju
putih dari Muna, pertama dari kanan bernama Alfian Mudo dari Menui, sementara
kedua dari kanan bernama Laode Zainudin dari Buton Utara. Mereka hendak
mengajak saya untuk ngopi-ngopi di tempat kosnya.
Saat tiba
di kamar kos Marhum, kami bercerita panjang lebar. Kami cerita tentang
kesibukan saat ini, kelucuan di masa lalu ketika jadi mahasiswa juga bercerita
bagaimana menghadapi masa depan yang kian rumit. Saya begitu antusias ketika mendengar
cerita mereka. Zae dan Marhum begitu saya memanggilnya, sedang melanjutkan kuliah
magister di kampus pasca sarjana Universitas Halu Oleo. Sementara Alfian, integrasi
dan memilih kuliah di kampus Unsultra. Dia tak selesai di FEB UHO.
Ketika
mereka menanyakan kesibukanku, saya mengatakan, saya sedang menganggur. Tak ada
pekerjaan. Bahkan kukatakan, saya terkatung-katung mencari pekerjaan di Kendari.
Tak ada hasil. Pulang kampung pun, saya tak laku untuk jadi sekadar menjadi ketua
RT. Berbisnis konau, sudah terlalu banyak saingan. Mereka terlihat geleng-geleng
kepala, serasa tak percaya. Saya pun hanya tersenyum.
Cerita persahabatan
kami adalah cerita tentang kebersamaan. Di Kendari kami punya tujuan yang sama,
memenuhi mimpi menempuh pendidikan di kampus UHO. Sahabat saya, Marhum, bercerita
bahwa ia hampir saja tidak bisa memenuhi impiannya untuk kuliah di UHO. Katanya,
jika tidak ada gelombang keempat yang di buka di FEB maka dirinya tak bisa
kuliah dan memilih untuk pulang kampung saja.
Kami ternyata
mengalami hal yang sama. Sama-sama lulus gelombang keempat yang di buka di FEB
UHO. Saat itu, FEB masih kekurangan mahasiswa sehingga membuka jalur untuk
gelombang keempat. Dengan bercanda, saya kemudian menyebutnya “Jalur Buangan”
untuk menampung kami yang tidak lolos seleksi sampai gelombang ketiga.
Saat kami
bercerita bagaimana memulai persahabatan, semua kebingungan. Tak ada yang benar-benar
mengingat. Persahabatan mengalir begitu saja. Yang jelas, kursi yang paling
belakang itu sudah menjadi langganan kami. “Kita sering duduk di kursi
belakang. Rasanya dari situ kita memulai persahabatan,” kata Alfian sambil terkekeh.
Diantara
sahabat yang paling lucu adalah Marhum. Ia mengingat curhatannya ke saya
tentang perempuan yang ia sukai di kelas. Waktu itu, saya menjadi pendengar
yang baik. Saya bilang, jika kamu menyukai perempuan tersebut ungkapkan saja,
jangan memendam perasaan begitu. Anehnya, perempuan itu juga orang yang saya
sukai. Dan kami berdua selama itu ternyata menyukai perempuan yang sama. “Saya
curhat ke kamu tentang dia, ternyata kamu duluan yang suka. Setelah itu, ada
lagi teman yang curhat ke saya bahwa dia menyukai perempuan yang kita sukai. Kejadian
itu benar-benar lucu,” ujar Marhum sambil tertawa lepas.
**
Yang
paling berkesan dari cerita mereka adalah bagaimana menyusun langkah-langkah
untuk menghadapi masa depan yang kian rumit. Ada banyak pelajaran dan hikmah
yang saya petik dari mereka. Mereka adalah orang-orang yang haus tantangan
serta punya kepedulian terhadap masyarakat sekitar. Mereka ingin benar-benar menghadirkan
embun, ditengah kondisi masyarakat yang serba susah. Dengan ilmu yang dipelajari
di Universitas, timbul keinginan mereka ingin berkontribusi terhadap daerahnya
masing-masing.
Zainudin
memilih untuk fokus membangun desanya di Buton Utara setelah ia menyelesaikan
magisternya. Katanya, ada Dana Desa yang membuatnya optimis untuk bisa membangun
kampungnya. Dengan keilmuannya saat ini, ia hendak memanfaatkan Dana Desa untuk
memperbaiki kondisi masyarakat di desanya. Misalnya memanfaatkan BUM-Desa dengan
mengelola dan mengembangkan pertanian terpadu. Zaenudin melihat, BUM-Desa di
desanya saat ini tidak terkelolah dengan baik.
Alfian
juga punya rencana yang menarik, bagaimana dia ingin berkontribusi terhadap
kampungnya. Dia memang gagal menyelesaikan kuliahnya di FEB UHO. Tapi demi
merengkuh pendidikan sarjana, kegagalan tak membuatnya patah semangat. Katanya,
ia malu saat pulang di Menui ketika tidak bergelar sarjana. Pada hal tujuannya
datang di Kendari adalah untuk kuliah. Saat ini di kampus Unsultra, Alfian
hendak menyusun skripsinya.
Dari
cerita Alfian saya menemukan banyak pelajaran yang bisa saya catat. Katanya, di
Menui pekerjaan masyarakat (selain PNS) hanya dua yakni nelayan dan bertani. Masyarakat
di kampungnya kadang tinggal menyesuaikan pekerjaannya. Jika cuaca di laut
sedang tidak bagus maka warga memilih untuk merawat cengkeh atau menanam
tanaman lain. Namun jika panen cengkeh telah tiba, mereka fokus untuk memanen
cengkeh berhari-hari. Setelah panen usai, warga akan sibuk mencari penghidupan
kembali di lautan lepas.
Di Menui
kata Alfian, bisnis cengkeh sangat menjanjikan. Dia tak begitu berharap untuk
jadi PNS. Katanya, jika ia tak bisa jadi PNS maka bertani cengkeh bisa menjadi
solusi untuk kehidupannya. Dengan bertani cengkeh, dia punya harapan kedepan
bisa menciptakan lapangan kerja. “Saya tak begitu berharap jadi PNS. Jika tak
bisa jadi PNS saya memilih berbisnis cengkeh saja. Kan saya bisa menciptakan
lapangan kerja. Iya kan,” ujar Alfian.
Saya
cukup mengapresiasi idenya. Sebab, menciptakan lapangan kerja dengan berbisnis
cengkeh adalah salah satu kontribusi yang berharga terhadap kampung. Allfian, begitu
cerdas melihat potensi SDA yang hendak dikembangkan di kampungnya. Setelah
selesai sekolah sarjananya, opsi berbisnis cengkeh menjadi salah satu pilihan
dikampung halamanya.
Hidup
jadi PNS memang menjadi harapan banyak orang. Tak sedikit yang berjuang untuk
jadi PNS, namun tak sedikit juga yang gagal. Di kampung saya, banyak sarjana
yang berkeinginan untuk jadi PNS. Jika gagal jadi PNS, mereka memilih merantau
di daerah lain. Tak ada pilihan lain selain merantau. Berbisnis tak punya dana
juga bingung hendak berbisnis apa.
Sementara
Marhum, ia juga berpikir hendak menata kampungnya. Mungkin ia hendak
mencalonkan diri sebagai kepala desa. Entahlah. Sebagai sahabat, saya sangat
mendukung langkah-langkahnya. Tapi saat ini, katanya, ia masih memikirkan untuk
menyelesaikan pendidikan magisternya dan ingin menikah.
Saat rintik
hujan mulai jatuh membasahi rerumputan di depan kamar, saya kemudian memandangi
diri. Rasanya, saya perlu menyusun strategi baru agar bisa bersaing dalam
bisnis konau. Jika berhasil, emak-emak sudah pasti memilihku untuk jadi ketua
RT. Iya kan.
Laode
Halaidin
Kendari,
20 Juli 2019
0 komentar:
Posting Komentar