19 Juli 2019

Cerita Tentang Tiga Sahabat

Sumber foto: Marhum
Sebagai pengangguran yang hakiki, mendapat ajakan ngopi untuk sekadar cerita yang remeh-temeh adalah suatu keberuntungan. Betapa tidak, saya seperti orang rumahan yang jarang kemana-mana. Paling, sekali sebulan untuk keluar ngopi di warkop. Itu pun kalau ada sahabat-sahabat. Maklum, sahabat-sahabat saya memiliki kesibukan, dibandingkan saya yang hanya seorang pengangguran.
**
Pagi itu, hp saya berdering. Saat kuangkat, terdengar suara yang begitu familiyar. Rasanya, saya begitu mengenal suaranya. Benar saja. Mereka adalah sahabatku dulu di kampus Universitas Halu Oleo. Mereka adalah Marhum yang memakai baju putih dari Muna, pertama dari kanan bernama Alfian Mudo dari Menui, sementara kedua dari kanan bernama Laode Zainudin dari Buton Utara. Mereka hendak mengajak saya untuk ngopi-ngopi di tempat kosnya.
Saat tiba di kamar kos Marhum, kami bercerita panjang lebar. Kami cerita tentang kesibukan saat ini, kelucuan di masa lalu ketika jadi mahasiswa juga bercerita bagaimana menghadapi masa depan yang kian rumit. Saya begitu antusias ketika mendengar cerita mereka. Zae dan Marhum begitu saya memanggilnya, sedang melanjutkan kuliah magister di kampus pasca sarjana Universitas Halu Oleo. Sementara Alfian, integrasi dan memilih kuliah di kampus Unsultra. Dia tak selesai di FEB UHO.
Ketika mereka menanyakan kesibukanku, saya mengatakan, saya sedang menganggur. Tak ada pekerjaan. Bahkan kukatakan, saya terkatung-katung mencari pekerjaan di Kendari. Tak ada hasil. Pulang kampung pun, saya tak laku untuk jadi sekadar menjadi ketua RT. Berbisnis konau, sudah terlalu banyak saingan. Mereka terlihat geleng-geleng kepala, serasa tak percaya. Saya pun hanya tersenyum.
Cerita persahabatan kami adalah cerita tentang kebersamaan. Di Kendari kami punya tujuan yang sama, memenuhi mimpi menempuh pendidikan di kampus UHO. Sahabat saya, Marhum, bercerita bahwa ia hampir saja tidak bisa memenuhi impiannya untuk kuliah di UHO. Katanya, jika tidak ada gelombang keempat yang di buka di FEB maka dirinya tak bisa kuliah dan memilih untuk pulang kampung saja.
Kami ternyata mengalami hal yang sama. Sama-sama lulus gelombang keempat yang di buka di FEB UHO. Saat itu, FEB masih kekurangan mahasiswa sehingga membuka jalur untuk gelombang keempat. Dengan bercanda, saya kemudian menyebutnya “Jalur Buangan” untuk menampung kami yang tidak lolos seleksi sampai gelombang ketiga.
Saat kami bercerita bagaimana memulai persahabatan, semua kebingungan. Tak ada yang benar-benar mengingat. Persahabatan mengalir begitu saja. Yang jelas, kursi yang paling belakang itu sudah menjadi langganan kami. “Kita sering duduk di kursi belakang. Rasanya dari situ kita memulai persahabatan,” kata Alfian sambil terkekeh.
Diantara sahabat yang paling lucu adalah Marhum. Ia mengingat curhatannya ke saya tentang perempuan yang ia sukai di kelas. Waktu itu, saya menjadi pendengar yang baik. Saya bilang, jika kamu menyukai perempuan tersebut ungkapkan saja, jangan memendam perasaan begitu. Anehnya, perempuan itu juga orang yang saya sukai. Dan kami berdua selama itu ternyata menyukai perempuan yang sama. “Saya curhat ke kamu tentang dia, ternyata kamu duluan yang suka. Setelah itu, ada lagi teman yang curhat ke saya bahwa dia menyukai perempuan yang kita sukai. Kejadian itu benar-benar lucu,” ujar Marhum sambil tertawa lepas.
**
Yang paling berkesan dari cerita mereka adalah bagaimana menyusun langkah-langkah untuk menghadapi masa depan yang kian rumit. Ada banyak pelajaran dan hikmah yang saya petik dari mereka. Mereka adalah orang-orang yang haus tantangan serta punya kepedulian terhadap masyarakat sekitar. Mereka ingin benar-benar menghadirkan embun, ditengah kondisi masyarakat yang serba susah. Dengan ilmu yang dipelajari di Universitas, timbul keinginan mereka ingin berkontribusi terhadap daerahnya masing-masing.
Zainudin memilih untuk fokus membangun desanya di Buton Utara setelah ia menyelesaikan magisternya. Katanya, ada Dana Desa yang membuatnya optimis untuk bisa membangun kampungnya. Dengan keilmuannya saat ini, ia hendak memanfaatkan Dana Desa untuk memperbaiki kondisi masyarakat di desanya. Misalnya memanfaatkan BUM-Desa dengan mengelola dan mengembangkan pertanian terpadu. Zaenudin melihat, BUM-Desa di desanya saat ini tidak terkelolah dengan baik.
Alfian juga punya rencana yang menarik, bagaimana dia ingin berkontribusi terhadap kampungnya. Dia memang gagal menyelesaikan kuliahnya di FEB UHO. Tapi demi merengkuh pendidikan sarjana, kegagalan tak membuatnya patah semangat. Katanya, ia malu saat pulang di Menui ketika tidak bergelar sarjana. Pada hal tujuannya datang di Kendari adalah untuk kuliah. Saat ini di kampus Unsultra, Alfian hendak menyusun skripsinya.
Dari cerita Alfian saya menemukan banyak pelajaran yang bisa saya catat. Katanya, di Menui pekerjaan masyarakat (selain PNS) hanya dua yakni nelayan dan bertani. Masyarakat di kampungnya kadang tinggal menyesuaikan pekerjaannya. Jika cuaca di laut sedang tidak bagus maka warga memilih untuk merawat cengkeh atau menanam tanaman lain. Namun jika panen cengkeh telah tiba, mereka fokus untuk memanen cengkeh berhari-hari. Setelah panen usai, warga akan sibuk mencari penghidupan kembali di lautan lepas.
Di Menui kata Alfian, bisnis cengkeh sangat menjanjikan. Dia tak begitu berharap untuk jadi PNS. Katanya, jika ia tak bisa jadi PNS maka bertani cengkeh bisa menjadi solusi untuk kehidupannya. Dengan bertani cengkeh, dia punya harapan kedepan bisa menciptakan lapangan kerja. “Saya tak begitu berharap jadi PNS. Jika tak bisa jadi PNS saya memilih berbisnis cengkeh saja. Kan saya bisa menciptakan lapangan kerja. Iya kan,” ujar Alfian.
Saya cukup mengapresiasi idenya. Sebab, menciptakan lapangan kerja dengan berbisnis cengkeh adalah salah satu kontribusi yang berharga terhadap kampung. Allfian, begitu cerdas melihat potensi SDA yang hendak dikembangkan di kampungnya. Setelah selesai sekolah sarjananya, opsi berbisnis cengkeh menjadi salah satu pilihan dikampung halamanya.
Hidup jadi PNS memang menjadi harapan banyak orang. Tak sedikit yang berjuang untuk jadi PNS, namun tak sedikit juga yang gagal. Di kampung saya, banyak sarjana yang berkeinginan untuk jadi PNS. Jika gagal jadi PNS, mereka memilih merantau di daerah lain. Tak ada pilihan lain selain merantau. Berbisnis tak punya dana juga bingung hendak berbisnis apa.
Sementara Marhum, ia juga berpikir hendak menata kampungnya. Mungkin ia hendak mencalonkan diri sebagai kepala desa. Entahlah. Sebagai sahabat, saya sangat mendukung langkah-langkahnya. Tapi saat ini, katanya, ia masih memikirkan untuk menyelesaikan pendidikan magisternya dan ingin menikah.
Saat rintik hujan mulai jatuh membasahi rerumputan di depan kamar, saya kemudian memandangi diri. Rasanya, saya perlu menyusun strategi baru agar bisa bersaing dalam bisnis konau. Jika berhasil, emak-emak sudah pasti memilihku untuk jadi ketua RT. Iya kan.
                                                                                  Laode Halaidin

                                                                                  Kendari, 20 Juli 2019

0 komentar:

Posting Komentar