Ki
Hajar Dewantoro pernah menyarankan begini: “Jadikan setiap orang sebagai guru
dan jadikan rumah sebagai sekolah.” Saran ini sangat mengena buat saya. Sebagai
orang kampung yang boleh dibilang ndeso, berguru pada orang-orang hebat dan
berwawasan luas adalah suatu keharusan. Dengan mereka, saya dapat menyerap
banyak hikmah dan mutiara-mutiara sebagai bekal untuk menempuh perjalanan hidup.
Berguru pada mereka dapat membuatku terus merasa seperti daun yang hijau. Terus
bertahan ditangkai, tahan oleh tiupan angin dan tak akan membusuk.
Di
media sosial, ada sosok yang saya kagumi, yang selama ini seringkali banyak kubaca
tulisan-tulisannya. Orangnya sangat berwawasan luas, rendah hati, serta seorang
pencinta buku. Dia adalah orang yang bertangan dingin, dimana setiap tulisannya
dapat menggugah banyak orang. Kata-katanya sangat bernyawa. Dia adalah seorang jenius.
Selain melahirkan banyak tulisan di blognya juga telah menerbitkan beberapa
buku seperti Kopi Sumatera Di Amerika, Politik 3.0, Naskah Buton, Naskah Dunia
dan beberapa buku lainnya. Dia adalah seorang penulis, yang menulis dengan
hati.
Namanya
Yusran Darmawan. Dia adalah sosok yang pandai menulis, menggali informasi
setiap yang singgahi lalu menuliskannya dengan apik. Dia seperti penyihir kata,
yang setiap ulasannya mengalir dengan lembut namun kadang juga sangat tajam. Dalam
setiap kunjungannya, dia selalu berusaha memotret kehidupan disekelilingnya, lalu
berusaha merangkumnya dengan tulisan yang sangat bernas.
Pada sosok
Yusran Darmawan, jangan bilang, bagaimana saya mengagumi penulis hebat ini. Sebelum
bertemu dengannya tahun 2013 di sebuah kantin FEB UHO saya sudah menaruh kagum
padanya. Pada kesempatan itu, saya melihat sosok yang sangat santai, pendiam namun
sangat bersahaja. Tatapannya menggambarkan dia seorang intelektual dengan
kecerdasan tinggi. Dia adalah seorang antropolog bengawan, yang dikagumi oleh
banyak pihak.
Saat saya
menelisik blognya timur-angin.com, saya menemukan kepingan perjalanan hidupnya
yang penuh perjuangan. Dia punya ambisi besar untuk memenuhi impiannya yang
selalu bergejolak yakni mendaftar untuk kuliah magister di Universitas Indonesia.
Dia sadar, dia tak punya uang untuk melanjutkan ke jenjang magister UI. Langkahnya
hanya di dorong oleh sebuah kenekatan.
Meskipun
banyak rintangan, kerikil-kerikil yang menghadang setiap langkahnya, dia tetap
berjalan untuk menembus kepahitan itu. Dia pernah kehabisan uang, hinggah mengalami
hari-hari yang paling sulit. Namun dalam kesulitan itu, selalu saja ada
keajaiban yang di dapatnya seperti mendapat bantuan kiriman dari pacarnya, Dwi
(sekarang istrinya) atau pekerjaan lainnya. Pada akhirnya, ia berhasil
merengkuh sekolah magisternya di UI dan melanjutkannya di kampus Ohio
University Amerika Serikat.
Yang saya
lihat adalah optimismenya yang begitu tinggi. Bahwa dengan keterbatasan apapun,
jika punya kemauan untuk menujunya, pasti bisa direngkuh. Tentu harus di barengi
dengan perencanaan yang matang dan kerja keras. Dia juga menyarankan agar tak
selalu takut dengan pesimis. Sebab pesismis bagi dia adalah senjata agar kita
selalu waspada dengan langkah-langkah yang dipilih untuk siap menghadapi segala
konsekuensi.
Saya sangat
terinspirasi dengan perjalanan hidupnya. Bagaimana dia melalui kehidupan yang
begitu keras di Jakarta. Sebagai orang yang sama-sama berasal dari kampung,
saya dapat merasakan bagaimana dia berada dalam situasi itu. Kesusahan, jenuh
yang melingkupinya, dia jadikan sebagai energi untuk menerawang menuju
impiannya.
Pada titik
itu, saya ingin sekali berguru dengannya. Bagaimana dia berhasil menghadapi
situasi persaingan kehidupan di kota-kota besar yang sangat sengit. Setahun lagi
saya akan mencoba menginjakan kaki di kota besar, untuk memenuhi hasrat dalam
diriku yang juga terus bergejolak. Saya ingin melanjutkan sekolah magister di
UGM. Sama dengannya, saya juga tak punya uang untuk melanjutkan magister. Saya juga
hanya bermodalkan kenekatan.
Jika
saja saya pantas untuk masuk sebagai muridnya, maka saya dengan senang hati
sangat bersedia. Tapi mungkin saya tak akan pantas sebab masih ndeso. Atau untuk
sekadar membuatkannya kopi saja tidak apa-apa. Begitulah namanya murid yang
ingin berguru. Saya selalu bersedia menjadikanku kucing yang ia latih.
Kemarin
di facebook tanpa merasa malu, saya mengatakan itu. Sudah lama, ada keinginan
untuk berguru dengannya. Beberapa kali kami bertemu, saya tak bisa mengatakan
itu, sebab pertemuan kami sangat singkat. Dia selalu punya kesibukan yang harus
dia selesaikan saat berkunjung di Kendari.
Meskipun
tak bisa menjadi muridnya, kisah yang dia tulis di blognya beserta
tulisan-tulisan lainnya telah menjadi acuan saya untuk terus bergerak demi
merengkuh impianku selama ini. Perjalanannya dari kampung di Buton sana, hingga
menuju kota besar dan berhasil di Jakarta juga menjadi cermin buat orang
kampung seperti saya. Saya juga akan selalu berusaha merawat optimisme dan tak
pernah takut dengan pesimisme.
0 komentar:
Posting Komentar