31 Juli 2019

Ingin Menjadi Murid Yusran Darmawan

Ki Hajar Dewantoro pernah menyarankan begini: “Jadikan setiap orang sebagai guru dan jadikan rumah sebagai sekolah.” Saran ini sangat mengena buat saya. Sebagai orang kampung yang boleh dibilang ndeso, berguru pada orang-orang hebat dan berwawasan luas adalah suatu keharusan. Dengan mereka, saya dapat menyerap banyak hikmah dan mutiara-mutiara sebagai bekal untuk menempuh perjalanan hidup. Berguru pada mereka dapat membuatku terus merasa seperti daun yang hijau. Terus bertahan ditangkai, tahan oleh tiupan angin dan tak akan membusuk.
Di media sosial, ada sosok yang saya kagumi, yang selama ini seringkali banyak kubaca tulisan-tulisannya. Orangnya sangat berwawasan luas, rendah hati, serta seorang pencinta buku. Dia adalah orang yang bertangan dingin, dimana setiap tulisannya dapat menggugah banyak orang. Kata-katanya sangat bernyawa. Dia adalah seorang jenius. Selain melahirkan banyak tulisan di blognya juga telah menerbitkan beberapa buku seperti Kopi Sumatera Di Amerika, Politik 3.0, Naskah Buton, Naskah Dunia dan beberapa buku lainnya. Dia adalah seorang penulis, yang menulis dengan hati.
Namanya Yusran Darmawan. Dia adalah sosok yang pandai menulis, menggali informasi setiap yang singgahi lalu menuliskannya dengan apik. Dia seperti penyihir kata, yang setiap ulasannya mengalir dengan lembut namun kadang juga sangat tajam. Dalam setiap kunjungannya, dia selalu berusaha memotret kehidupan disekelilingnya, lalu berusaha merangkumnya dengan tulisan yang sangat bernas.
Pada sosok Yusran Darmawan, jangan bilang, bagaimana saya mengagumi penulis hebat ini. Sebelum bertemu dengannya tahun 2013 di sebuah kantin FEB UHO saya sudah menaruh kagum padanya. Pada kesempatan itu, saya melihat sosok yang sangat santai, pendiam namun sangat bersahaja. Tatapannya menggambarkan dia seorang intelektual dengan kecerdasan tinggi. Dia adalah seorang antropolog bengawan, yang dikagumi oleh banyak pihak.
Saat saya menelisik blognya timur-angin.com, saya menemukan kepingan perjalanan hidupnya yang penuh perjuangan. Dia punya ambisi besar untuk memenuhi impiannya yang selalu bergejolak yakni mendaftar untuk kuliah magister di Universitas Indonesia. Dia sadar, dia tak punya uang untuk melanjutkan ke jenjang magister UI. Langkahnya hanya di dorong oleh sebuah kenekatan.
Meskipun banyak rintangan, kerikil-kerikil yang menghadang setiap langkahnya, dia tetap berjalan untuk menembus kepahitan itu. Dia pernah kehabisan uang, hinggah mengalami hari-hari yang paling sulit. Namun dalam kesulitan itu, selalu saja ada keajaiban yang di dapatnya seperti mendapat bantuan kiriman dari pacarnya, Dwi (sekarang istrinya) atau pekerjaan lainnya. Pada akhirnya, ia berhasil merengkuh sekolah magisternya di UI dan melanjutkannya di kampus Ohio University Amerika Serikat.
Yang saya lihat adalah optimismenya yang begitu tinggi. Bahwa dengan keterbatasan apapun, jika punya kemauan untuk menujunya, pasti bisa direngkuh. Tentu harus di barengi dengan perencanaan yang matang dan kerja keras. Dia juga menyarankan agar tak selalu takut dengan pesimis. Sebab pesismis bagi dia adalah senjata agar kita selalu waspada dengan langkah-langkah yang dipilih untuk siap menghadapi segala konsekuensi.
Saya sangat terinspirasi dengan perjalanan hidupnya. Bagaimana dia melalui kehidupan yang begitu keras di Jakarta. Sebagai orang yang sama-sama berasal dari kampung, saya dapat merasakan bagaimana dia berada dalam situasi itu. Kesusahan, jenuh yang melingkupinya, dia jadikan sebagai energi untuk menerawang menuju impiannya.
Pada titik itu, saya ingin sekali berguru dengannya. Bagaimana dia berhasil menghadapi situasi persaingan kehidupan di kota-kota besar yang sangat sengit. Setahun lagi saya akan mencoba menginjakan kaki di kota besar, untuk memenuhi hasrat dalam diriku yang juga terus bergejolak. Saya ingin melanjutkan sekolah magister di UGM. Sama dengannya, saya juga tak punya uang untuk melanjutkan magister. Saya juga hanya bermodalkan kenekatan.
Jika saja saya pantas untuk masuk sebagai muridnya, maka saya dengan senang hati sangat bersedia. Tapi mungkin saya tak akan pantas sebab masih ndeso. Atau untuk sekadar membuatkannya kopi saja tidak apa-apa. Begitulah namanya murid yang ingin berguru. Saya selalu bersedia menjadikanku kucing yang ia latih.
Kemarin di facebook tanpa merasa malu, saya mengatakan itu. Sudah lama, ada keinginan untuk berguru dengannya. Beberapa kali kami bertemu, saya tak bisa mengatakan itu, sebab pertemuan kami sangat singkat. Dia selalu punya kesibukan yang harus dia selesaikan saat berkunjung di Kendari.
Meskipun tak bisa menjadi muridnya, kisah yang dia tulis di blognya beserta tulisan-tulisan lainnya telah menjadi acuan saya untuk terus bergerak demi merengkuh impianku selama ini. Perjalanannya dari kampung di Buton sana, hingga menuju kota besar dan berhasil di Jakarta juga menjadi cermin buat orang kampung seperti saya. Saya juga akan selalu berusaha merawat optimisme dan tak pernah takut dengan pesimisme.

                                                                   Kendari, 31 Juli 2019

0 komentar:

Posting Komentar