07 Agustus 2019

Bahagianya Ibu, Saat Adekku Nini Diwisuda

Akhirnya, saya kembali melihat wajah bahagia Ibu untuk kedua kalinya. Setelah Ibuku bangga melihat saya berhasil diwisuda, kini, Ibu kembali tersenyum bahagia saat Nini adikku juga diwisuda. Saya melihat raut muka Ibu yang mengembang, melukiskan senyum bak mentari pagi bersinar kala melihat anaknya berhasil dia sekolahkan. Semua Ibu lalui dengan tak mudah. Dengan tubuhnya yang rentan sakit dan kurus, Ibu terus berusaha agar anak-anaknya punya pendidikan agar kelak kehidupannya jauh lebih baik.
Masih tersimpan di ingatan ucapan Ibu sewaktu saya menelponya, lima tahun yang lalu, saat adikku Nini akan menamatkan sekolah SMA-nya. Di ujung telfon itu, suara Ibu terdengar pasrah, tak bisa berbuat apa-apa. Ibu bilang, adikku Nini tak bisa kuliah karena tak ada biaya. Ibu sudah tak kuat lagi untuk mencari uang. Bapak agak tak peduli dengan pendidikan kami. Sementara saya, belum juga mendapatkan pekerjaan untuk membiayai adikku kuliah.
“Hala, Nini tak bisa kuliah. Biarkan dia hanya sampai tamat SMA. Saya sudah tak ada uang lagi untuk membiayainya. Saya juga sudah tak kuat untuk cari uang. Kamu tahu sendiri, semenjak kamu kuliah bapakmu sudah tak peduli dengan pendidikan kalian berdua”, ucap Ibu kala itu. Mendengar ucapan Ibu, tak terasa ada air mata jatuh dan membekas di ujung mataku. Saya begitu sedih juga merasa ringkih karena belum bisa berbuat apa-apa untuk Ibu.
Saya mengingat usia Ibu dikampung yang kian sepuh. Rambutnya mulai memutih. Ibu sudah nampak tua. Waktu saya kuliah, bukan sekali atau dua kali mendengar Ibu sakit-sakitan. Sering. Bahkan saya sering pulang demi merawat Ibu dan membantu mengelola kebun yang ada.
Dengan suara datar, saya mencoba menguatkan Ibu. Saya mencoba memberi semangat kepada Ibu bahwa semua masalah pasti ada jalan keluar. Saya katakan, Nini harus kuliah. Saya akan membicarakannya sama Kakak pertama sampai kelima untuk membantu Nini kuliah. Dengan begitu, Ibu tidak akan merasa terbebani. Saya juga akan berusaha mencari uang lalu membantu membiayai untuk kuliahnya.
Mendengar penjelasanku, Ibu mengangguk dan menyetujuinya. Ibu kembali menemukan semangatnya. Ibu begitu paham, bahwa keluarga kami begitu miskin. Diantara 7 bersaudara, hanya saya sendiri yang sarjana. Ibu tidak ingin melihat saya dan adikku seperti Kakaku yang lain. Untuk sedikit memperbaiki kehidupan kami, salah satu cara yang juga Ibu pahami, adikku harus kuliah.
Sama seperti semenjak saya kuliah, Ibu terus membanting tulang untuk membiayai adikku. Alasan Ibu, ia tak ingin melihat anaknya putus kuliah. Tak mungkin berharap secara penuh pada Kakak yang lain, sebab mereka sudah menikah dan punya anak. Dengan keterbatasan itu, Ibu mengakali dengan menanam cabai dan sayur-mayur. Kadang Ibu menjual kelapa, jagung, kacang tanah, keladi dan terong.
Sebagai petani, yang Ibu lakukan hanya berjualan karena merupakan sumber pendapatan satu-satunya. Hasil pertanian kecil-kecilan itu, Ibu jual lalu uangnya dikumpul sedikit demi sedikit dengan baik. Itulah Ibuku yang sangat ahli menata keuangan. Saat saya dan Kakaku yang lain memberikan adikku sedikit uang, Ibu juga ikut mengirimkannya. Kata Ibu, ada sedikit rejeki dari hasil jualannya dan harus dikirimkan kepadanya. Betapa bangganya saya punya Ibu yang sepintar itu. Ibuku sangat luar biasa.
Saya dan adikku memang menjalani kuliah yang tak muda. Orang tua kami bukan pegawai negeri. Bapak dan Ibu juga tak punya lahan kebun yang cukup luas. Mereka bertani secara tradisional dan berpindah-pindah tempat. Penghasilan tak tentu tiap bulannya. Kadang ada uang penghasilan dari kebun untuk disimpan, kadang juga tidak ada sama sekali. Dari situlah Bapak menolak jika saya dan adikku untuk kuliah. Bapak merasa tak akan mampu membiayai kami untuk kuliah. Tapi Ibu selalu menyimpan rasa optimis bahwa segala kesulitan itu bisa ia lewati. Ibu selalu bersikeras agar saya dan adikku tetap menempuh pendidikan S1.
Ditengah situasi sulit seperti itu, saya dan adikkku tetap menyayangi Bapak. Saya rasa, Bapak juga wajar jika tidak menyetujui ketika saya dan adikku mengutarakan keinginan untuk kuliah. Bapak memahami dirinya yang sudah sepuh, tidak kuat lagi untuk berkebun. Bapak sudah tak bisa lagi menghasilkan sedikit demi sedikit uang. Saya dan adikku cukup memahaminya. Bapak juga kala itu sudah mulai sakit-sakitan.
Berkat Ibu yang kerja membanting tulang, saya dan adikku berhasil menjadi sarjana. Juga tak terlepas atas bantuan Kakak, yang dengan rela dan ikhlas ikut memberikan rezekinya untuk kami. Ibu dan Kakak-Kakakku adalah orang-orang hebat. Ibuku adalah mata air, yang selalu melimpahkan kasih sayangnya pada saya dan adikku yang tak pernah putus. Ibuku adalah titisan sang pencipta yang telah melahirkan dan membesarkanku dengan segala upaya, meski penuh dengan keterbatasan. Ibu telah mengajarkan bagaimana memaknai arti cinta yang sesungguhnya, tanpa menuntut balas. Ibu adalah seseorang yang penuh cinta. Ia telah memanifestasikan hidupnya untuk kami dengan penuh cinta.
Ibu sangat berbahagia dengan keberhasilannya karena telah mengantarkan saya dan adikku menyelesaikan pendidikan. Ia telah melakukan banyak hal untuk kami. Kadang orang-orang dikampung merasa tidak percaya, bagaimana Ibu yang hanya seorang petani bisa membiayai kami untuk kuliah. Uang tak ada. Biaya kuliah hanya bersumber dari hasil kebun yang tak seberapa. Itulah kehebatan seorang Ibu. Do’anya bisa menembus lapis-lapis langit, hingga sang pemberi rezeki selalu membukakan jalan.
Ditengah melihat kebahagian Ibu saat Nini diwisuda, saya mengingat diriku yang kian kerdil. Semenjak diwisuda, saya belum bisa memberikan apa-apa untuk Ibu. Saya masih merasa ringkih, belum bisa berbuat banyak untuk kembali melukiskan senyum di wajah Ibu. Tapi saya berjanji, kelak saya akan kembali melukis senyum itu lebih bahagia dari pada sebelumnya. Saya tak ingin melihat Ibu kembali bekerja membanting tulang, meneteskan keringat peluh di badan dan juga air mata. Cukuplah segala kesedihan itu Ibu tanggung. Kini, saatnya anakmu akan membahagiakanmu.

                                                                         Kendari, 7 Agustus 2019

0 komentar:

Posting Komentar