Beberapa hasil kreatif warga desa Kabupaten Muna: Foto Laode Halaidin |
Dari perjalanan sejarah yang panjang itu, sampai hari ini kemiskinan belum mampu untuk dientaskan ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Kemiskinan muncul dan terus muncul dengan berbagai macam karikatur. Pengemis, pengangguran, pemungut sampah, banyaknya anak putus sekolah/pendidikan serta kejahatan-kejahatan seperti begal, jambret, pencurian, serta premanisme merupakan bagian dari karikatur masalah kemiskinan itu sendiri.
Indonesia dalam angka yang dihimpun oleh Katadata
menunjukan, tahun 2016 angka garis kemiskinan semakin tinggi. Meskipun angka
kemiskinan menurun sebesar 250 ribu jiwa menjadi 27,76 juta penduduk, namun
masyarakat yang berada digaris kemiskinan semakin meningkat rata-rata sekitar
2,15 persen. Ini terlihat dari rata-rata pengeluaran per kapita per bulan,
dimana sumbangan kemiskinan dari komoditas makanan sangat besar berada
dikisaran 73,19 %.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang selama ini
menjadi target utama pemerintah ternyata tidak dapat mengatasi persoalan kemiskinan.
Banyak masyarakat yang mulai merasakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi selalu
tidak disertai dengan pemerataan pendapatan. Ketimpangan antara kelompok kaya
dan miskin bagaikan bumi dan langit. Penguasaan kue ekonomi tidak merata, hanya
terkonsentrasi pada segelintir orang dan korporasi-korporasi besar.
Seperti yang ditulis Katadata, dari hasil survei
lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, 1 persen orang terkaya di Indonesia
menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Diantara beberapa negara yang disurvei
lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, Indonesia menempati urutan keempat
dengan disparitas kekayaan tertinggi, disusul negara Thailand, India dan Rusia.
Berikut ekonografiknya;
Katadata.co.id |
Hal yang sama juga terjadi pada sektor perbankan. Kesenjangan yang terjadi menjadi sangat nampak ketika orang-orang kaya menguasai sektor perbankan. Data statistik yang dihimpun oleh Katadata menunjukan, dana Bank Indonesia didominasi oleh mereka yang memiliki rekening diatas RP 2-5 miliar. Masyarakat yang memiliki simpanan dibawah 100 juta pada bulan Agustus 2016 hanya mencapai RP 672,85 triliun. Sementara itu, simpanan dengan nominal diatas 2-5 miliar mencapai RP 2.136,7 triliun. Artinya, orang kaya masih mendominasi simpanan pada sektor perbankan, terutama oleh para pemodal—pengusaha-pengusaha besar.
Kesenjangan ini memperkuat bukti bahwa kemakmuran
hanya dinikmati oleh segelintir orang, bukan kemakmuran bersama dalam arti yang
riil. Resiko besar dengan adanya ketimpangan dan kesenjangan tersebut, bukan
hanya memperlambat pertumbuhan ekonomi, tetapi memperlambat pengentasan rakyat
untuk keluar dari kemiskinan.
***
Pembangunan yang selama ini diadopsi oleh pemerintah, juga
banyak menimbulkan ketimpangan antar daerah yang berakumulasi pada rendahnya
kesejahteraan masyarakat kecil, baik yang ada dipedesaan maupun dipinggiran perkotaan.
Hasil laporan Word Economic Forum (WEF) yang tertuang dalam peringkat Inclusive
Development Indeks (IDI), yang dihimpun oleh Katadata menunjukan, dari 79
negara berkembang Indonesia menempati peringkat ke-22 dari indeks pemerataan
pembangunan. Indonesia masih tertinggal dikawasan Asia Tenggara, dimana indeks
pemerataan pembangunannya berada diskor 4,29, masih di bawah negara Malaysia
dan Thailand dengan skor 4,39 dan 4,42.
Menurut laporan ketimpangan Indonesia, yang
diterbitkan oleh Internasional NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan
Oxfam, penyebab memburuknya ketimpangan di Indonesia sangat kompleks dan
berlapis, mulai dari fakor struktural hingga pilihan-pilihan kebijakan (Kompas,
24 Februari 2017).
Juru bicara Oxfam Dini Widiastuti di (Kompas, 24 Februari
2017) mengatakan, fundamentalisme pasar atau kuasa pasar lebih membuka peluang
pada mekanisme pasar dan korporasi. Inilah yang melahirkan memburuknya ketimpangan
pendapatan di Indonesia. Pintu masuknya terbuka melalui resep penyehatan
ekonomi yang diinisiasi oleh IMF dan Bank Dunia pada tahun 1997, seperti
privatisasi pelayanan publik, liberalisasi sektor keuangan, liberalisasi tenaga
kerja dan penghapusan subsidi untuk komoditas mendasar.
Penyebab ketimpangan pendapatan memburuk lainnya, masih menurut
Dini Widiastuti karena meningkatnya kuasa politik, ketidaksetaraan gender,
ketimpangan akses layanan kesehatan dan kualitas pendidikan, ketimpangan akses
terhadap infrastruktur dan lahan, pasar tenaga kerja dan upah buruh murah serta
sistem pajak yang tidak adil. Semua ini berkelindan dengan adanya kuasa pasar,
yang memungkinkan banyak kepentingan kelompok tertentu untuk meraup keuntungan
yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi.
Lalu, solusi apakah yang tersisa untuk bisa
mengentaskan kemiskinan? Adakah pilihan-pilihan lain yang lebih ampuh untuk
bisa mengangkat kualitas kehidupan masyarakat?
***
Di setiap pemerintahan, baik pusat hingga pemerintah
daerah, dengan segala upaya selalu memunculkan program kebijakan untuk
mengentaskan kemiskinan. Program-program dan kebijakan yang mereka canangkan
tersebut, ada yang berhasil tapi tidak sedikit juga yang gagal. Kegagalan
program serta kebijakan tersebut, tak pernah luput dari intervensinya yang juga
gagal, hingga menimbulkan birokrasi korup dan tidak efisien.
Dengan kata lain, dalam mengentaskan kemiskinan perlu
keterlibatan pihak-pihak seperti swasta, organisasi-organisasi non
pemerintah, yayasan-yayasan sosial, gerakan-gerakan sosial (social ventures) dan
penggalangan tanggung jawab sosial perusahaan-perusahaan besar (Supratikno,
2011). Pemerintah perlu bergandengan tangan dengan pihak-pihak swasta untuk
mengurai adanya kemskinan dan ketimpangan pendapatan.
Dalam hal ini, ada sebersik harapan yang menurut Prof.
Hendrawan Supratikno, dapat memadukan insentif pasar dengan upaya untuk
mengatasi kemiskinan. Dalam pandangan CK Prahalad (2005:4) bahwa membangun
kewirausahaan sosial yang luas dan menyebar merupakan jantung pemecahan masalah
kemiskinan. Dengan demikian, negara-negara yang sedang berkembang seperti
Indonesia, titik berat usaha yang perlu ditekankan adalah memindahkan
pertumbuhan ekonomi tinggi menuju pada usaha-usaha yang lebih mengangkat
kualitas kehidupan masyarakat.
Fokus utama yang perlu dibangun yaitu usaha-usaha yang
secara khusus menitiberatkan pada masalah mempercepat target pertumbuhan
penghasilan kelompok masyarakat yang rentan dengan kemiskinan. Biasanya,
kelompok-kelompok masyarakat miskin ini, terdapat di daerah pedesaan dan
dipinggiran perkotaan. Mereka perlu dirangkul dengan baik. Mereka bisa menghasilkan
karya ekonomi kreatif, mengembangkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), jika ada topangan
dana pembiayaan yang lebih murah serta perhatian untuk dapat menyalurkan daya
kreatifnya.
Kita bisa mengambil contoh klasik seperti Grameen Bank atau Bank Desa di
Bangladesh yang mempolopori pembiayaan mikro (micro finance) dan dapat menjangkau sekitar 8,54 juta pengguna
kredit pada tahun 2013. Langkah ini sangat progresif dan mampu mengatasi
kemiskinan yang sangat besar dipedesaan Bangladesh. Dengan bantuan dana kredit
macet di bawah 1,5 persen, para wanita pedesaan Bangladesh mampu mendirikan
usaha-usaha atau menghasilkan produk-produk yang bernilai jual untuk
dipasarkan.
Contoh lainnya seperti Hindustan Unilever Limited (HUL). Jaringan penyalur produk ini
telah mampu menciptakan kewirausahaan lokal secara massal dengan melahirkan
“Shakti Amma” (empowered mother) bagi
wanita pedesaan India dengan pendapatan antara USD60-150 per bulan. Daya
ekonomi kreatif mereka tertopang, sehingga banyak menghasilkan produk-produk
kewirausahaan yang mampu mengangkat kualitas kehidupan mereka.
Di Indonesia, untuk dapat mengembangkan kewirausahaan
lokal, pemerintah pusat dan daerah juga perlu bekerjasama dengan pihak swasta,
organisasi non-pemerintah, perusahaan besar yang memiliki tanggung jawab sosial,
yayasan sosial dan gerakan sosial untuk dapat memacu Usaha Kecil dan
Menengah (UMKM) dan ekonomi kreatif lainnya. Langka ini bukan saja untuk menyerap
tenaga kerja, namun bisa mengurangi tingkat kemiskinan di daerah-daerah
pedesaan dan perkotaan.
***
Saya melihat dibeberapa daerah di Indonesia khususnya
di Sulawesi Tenggara, banyak masyarakat desa yang memiliki daya ekonomi kreatif
untuk menciptakan produk-produk lokal. Mereka bisa mengembangkan kewirausahaan lokal
yang kemudian dapat menyumbang terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dan
nasional
Kain Tenun Kabupaten Muna: Foto Laode Halaidin |
Talak Koghaghe (Bahasa Muna): Foto Laode Halaidin |
Hal ini dapat terlihat pada acara Halo Sultra, ulang
tahun Sulawesi Tenggara yang ke-53 tahun ini. Dalam setiap stand Kabupaten/Kota
banyak produk-produk lokal yang ditampilkan, untuk kemudian dipertunjukan
kepada pengunjung. Semua hasil ekonomi kreatif tersebut berasal dari desa-desa,
baik dibuat dalam bentuk kelompok maupun secara perseorangan.
Dari hasil wawancara saya dengan penjaga stand
Kabupaten Muna, Ibu Mariati mengatakan, semua produk yang didatangkan merupakan
hasil kreatif masyarakat dari pedesaan. Misalnya kain tenun khas Muna dari desa
Masalili, ukiran asbak dan kuda dari Tampo, dan Talak koghaghe (dalam bahasa
daerah Muna) dari desa Korihi. Sama halnya dengan daerah Kabupaten Buton, yang
juga memiliki hasil produk UKM kreatif dari warga desa. Seperti produk olahan
teri asap (kaholeo, dalam bahasa daerah Buton dan Muna), rumput laut, kerupuk
udang, teri nasi dan ketan hitam.
Daerah Kabupaten Muna Barat dan Kolaka juga memiliki produk
yang melimpa dari hasil alam. Semua dikembangkan berdasarkan kelompok,
perseorangan dan juga atas bantuan pemerintah daerah setempat. Daerah Muna
Barat warga desanya bisa menghasilkan produk kerupuk udang dari desa Wanseriwu,
rumput laut dari desa Galai, dan pilus rumput laut yang dikembangkan bersama
darma wanita dinas kelautan dan perikanan Kabupaten Muna Barat.
Sementara itu, daerah Kolaka juga bisa menghasilkan
produk lokal yang bisa dikembangkan melalui kewirausahaan. Ibu Maharani salah
satu yang melayani stand Kabupaten Kolaka mengatakan, Kolaka memiliki sumber
daya yang mumpuni untuk menghasilkan produk-produk lokal yang bernilai jual. Dari
hasil pengamatan saya, warga desa di daerah Kolaka bisa menghasilkan berbagai
macam produk. Produk-produk tersebut seperti Bagea kangkung, Bagea kacang hijau,
Dodol coklat mente, Sambal Aoila, Abon ikan pari dari desa Laloeya, gula dan
asbak dari bambu dari desa Kali.
Artinya, di setiap desa banyak tersimpan sumber daya
yang perlu untuk dikembangkan, baik sumber daya alam, maupun sumber daya
manusianya. Kita tidak bisa lagi mengabaikan desa, yang selama ini hanya
dijadikan sebagai sumber penyedia tenaga kerja murah dan pangan. Warga Desa perlu diberdayakan--mereka punya keterampilan yang memadai untuk menghasilkan Usaha Kecil Menengah (UKM). Daya ekonomi kratif perlu didorong yang kemudian disediakan dengan dana pembiayaan yang lebih murah. Inilah satu-satunya usaha untuk bisa mengangkat kualitas kehidupan masyarakat desa. Di sisi lain, daya kreatif tersebut bisa menyumbang terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional.
Hasil produk lokal warga desa di Kab. Buton: Foto Laode Halaidin |
Hasil olahan warga desa Kab. Muna Barat: Foto Laode Halaidin |
Membangun kewirausahaan sosial bukanlah solusi yang paling utama
untuk bisa mengatasi kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Masih banyak langkah-langkah
lain yang perlu diambil oleh pemerintah baik pusat maupun daerah. Begitupun pihak swasta, yayasan dan organisasi sosial lainnya. Kewirausahaan
sosial hanyalah gerbang untuk memberikan harapan bagi lahirnya transformasi
sosial (Supratikno, 2011).
Dengan demikian, membangun kewirausahaan sosial, itu hanya lebih dari sekedar mengurangi kemiskinan. Tapi ini perlu dan perlu untuk terus digemahkan di nusantara.
Refrensi Utama
Akhir
2016, Angka Garis Kemiskinan Semakin Tinggi; http://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/01/20/akhir-2016-angka-garis-kemiskinan-semakin-tinggi.
Ketimpangan Ekonomi Indonesia Peringkat 4; http://katadata.co.id/infografik/2017/01/15/ketimpangan-ekonomi-indonesia-peringkat-4.
98% Rekening Masyarakat di Bawah RP 100 Juta; http://databoks.katadata.co.id/datapublish/2016/11/22/98-rekening-masyarakat-di-bawah-rp-100-juta.
Pemerataan Pembangunan Indonesia di Bawah Malaysia dan
Thailand; http://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/01/23/pemerataan-pembangunan-indonesia-di-bawah-malaysia-dan-thailand.
Provinsi dengan Jumlah Usaha
Mikro Kecil Terbanyak 2015; http://databoks.katadata.co.id/datapublish/2016/08/08/provinsi-dengan-jumlah-usaha-mikro-kecil-terbanyak-2015.
Refrensi Tambahan
Supratikno Hendrawan, 2011. “Ekonomi Nurani vs Ekonomi
Naluri”. Cetakan pertama. Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta.
Ketimpangan Masih Lebar. Kompas, 24 Februari 2017.
0 komentar:
Posting Komentar