01 Mei 2017

Membangun Kewirausahaan Sosial; Lebih dari Sekadar Mengurangi Kemiskinan

Beberapa hasil kreatif  warga desa Kabupaten Muna: Foto Laode Halaidin
Kemiskinan bukanlah masalah baru di negeri ini. Kemiskinan merupakan masalah klasik yang sudah tertanam mengakar, sebelum Indonesia menjadi negara. Setelah bangsa Indonesia merdeka dan beralih kepemerintahan Orde Lama, Orde Baru hingga massa reformasi, banyak pihak-pihak yang menyumbangkan gagasannya untuk mengatasi kemiskinan bangsa.

Dari perjalanan sejarah yang panjang itu, sampai hari ini kemiskinan belum mampu untuk dientaskan ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Kemiskinan muncul dan terus muncul dengan berbagai macam karikatur. Pengemis, pengangguran, pemungut sampah, banyaknya anak putus sekolah/pendidikan serta kejahatan-kejahatan seperti begal, jambret, pencurian, serta premanisme merupakan bagian dari karikatur masalah kemiskinan itu sendiri.
Indonesia dalam angka yang dihimpun oleh Katadata menunjukan, tahun 2016 angka garis kemiskinan semakin tinggi. Meskipun angka kemiskinan menurun sebesar 250 ribu jiwa menjadi 27,76 juta penduduk, namun masyarakat yang berada digaris kemiskinan semakin meningkat rata-rata sekitar 2,15 persen. Ini terlihat dari rata-rata pengeluaran per kapita per bulan, dimana sumbangan kemiskinan dari komoditas makanan sangat besar berada dikisaran 73,19 %.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang selama ini menjadi target utama pemerintah ternyata tidak dapat mengatasi persoalan kemiskinan. Banyak masyarakat yang mulai merasakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi selalu tidak disertai dengan pemerataan pendapatan. Ketimpangan antara kelompok kaya dan miskin bagaikan bumi dan langit. Penguasaan kue ekonomi tidak merata, hanya terkonsentrasi pada segelintir orang dan korporasi-korporasi besar.
Seperti yang ditulis Katadata, dari hasil survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Diantara beberapa negara yang disurvei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, Indonesia menempati urutan keempat dengan disparitas kekayaan tertinggi, disusul negara Thailand, India dan Rusia. Berikut ekonografiknya;
Katadata.co.id
Berdasarkan rasio gini, yang dapat dijadikan sebagai indikator untuk mengukur ketimpangan pendapatan menunjukan trend tersebut. Data statistik merilis, rasio gini selama tahun 2007-2011 terus  mengalami peningkatan yang signifikan, berkisar antara 0,35-0,38. Sementara itu, selama tahun 2012 terus merangkak naik dan stagnan hingga mencapai 0,4 sampai dengan September tahun 2015. Penurunan rasio gini terjadi baru pada bulan Maret-September 2016 yang berada dikisaran 0,397-0,394. Itu artinya, jurang ketimpangan pendapatan antara kelompok kaya dan miskin di tanah air masih cukup tinggi.

Hal yang sama juga terjadi pada sektor perbankan. Kesenjangan yang terjadi menjadi sangat nampak ketika orang-orang kaya menguasai sektor perbankan. Data statistik yang dihimpun oleh Katadata menunjukan, dana Bank Indonesia didominasi oleh mereka yang memiliki rekening diatas RP 2-5 miliar. Masyarakat yang memiliki simpanan dibawah 100 juta pada bulan Agustus 2016 hanya mencapai RP 672,85 triliun. Sementara itu, simpanan dengan nominal diatas 2-5 miliar mencapai RP 2.136,7 triliun. Artinya, orang kaya masih mendominasi simpanan pada sektor perbankan, terutama oleh para pemodal—pengusaha-pengusaha besar.
Kesenjangan ini memperkuat bukti bahwa kemakmuran hanya dinikmati oleh segelintir orang, bukan kemakmuran bersama dalam arti yang riil. Resiko besar dengan adanya ketimpangan dan kesenjangan tersebut, bukan hanya memperlambat pertumbuhan ekonomi, tetapi memperlambat pengentasan rakyat untuk keluar dari kemiskinan.
***
Pembangunan yang selama ini diadopsi oleh pemerintah, juga banyak menimbulkan ketimpangan antar daerah yang berakumulasi pada rendahnya kesejahteraan masyarakat kecil, baik yang ada dipedesaan maupun dipinggiran perkotaan. Hasil laporan Word Economic Forum (WEF) yang tertuang dalam peringkat Inclusive Development Indeks (IDI), yang dihimpun oleh Katadata menunjukan, dari 79 negara berkembang Indonesia menempati peringkat ke-22 dari indeks pemerataan pembangunan. Indonesia masih tertinggal dikawasan Asia Tenggara, dimana indeks pemerataan pembangunannya berada diskor 4,29, masih di bawah negara Malaysia dan Thailand dengan skor 4,39 dan 4,42.
Menurut laporan ketimpangan Indonesia, yang diterbitkan oleh Internasional NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan Oxfam, penyebab memburuknya ketimpangan di Indonesia sangat kompleks dan berlapis, mulai dari fakor struktural hingga pilihan-pilihan kebijakan (Kompas, 24 Februari 2017).
Juru bicara Oxfam Dini Widiastuti di (Kompas, 24 Februari 2017) mengatakan, fundamentalisme pasar atau kuasa pasar lebih membuka peluang pada mekanisme pasar dan korporasi. Inilah yang melahirkan memburuknya ketimpangan pendapatan di Indonesia. Pintu masuknya terbuka melalui resep penyehatan ekonomi yang diinisiasi oleh IMF dan Bank Dunia pada tahun 1997, seperti privatisasi pelayanan publik, liberalisasi sektor keuangan, liberalisasi tenaga kerja dan penghapusan subsidi untuk komoditas mendasar.
Penyebab ketimpangan pendapatan memburuk lainnya, masih menurut Dini Widiastuti karena meningkatnya kuasa politik, ketidaksetaraan gender, ketimpangan akses layanan kesehatan dan kualitas pendidikan, ketimpangan akses terhadap infrastruktur dan lahan, pasar tenaga kerja dan upah buruh murah serta sistem pajak yang tidak adil. Semua ini berkelindan dengan adanya kuasa pasar, yang memungkinkan banyak kepentingan kelompok tertentu untuk meraup keuntungan yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi.
Lalu, solusi apakah yang tersisa untuk bisa mengentaskan kemiskinan? Adakah pilihan-pilihan lain yang lebih ampuh untuk bisa mengangkat kualitas kehidupan masyarakat?
***
Di setiap pemerintahan, baik pusat hingga pemerintah daerah, dengan segala upaya selalu memunculkan program kebijakan untuk mengentaskan kemiskinan. Program-program dan kebijakan yang mereka canangkan tersebut, ada yang berhasil tapi tidak sedikit juga yang gagal. Kegagalan program serta kebijakan tersebut, tak pernah luput dari intervensinya yang juga gagal, hingga menimbulkan birokrasi korup dan tidak efisien.
Dengan kata lain, dalam mengentaskan kemiskinan perlu keterlibatan pihak-pihak seperti swasta, organisasi-organisasi non pemerintah, yayasan-yayasan sosial, gerakan-gerakan sosial (social ventures) dan penggalangan tanggung jawab sosial perusahaan-perusahaan besar (Supratikno, 2011). Pemerintah perlu bergandengan tangan dengan pihak-pihak swasta untuk mengurai adanya kemskinan dan ketimpangan pendapatan.
Dalam hal ini, ada sebersik harapan yang menurut Prof. Hendrawan Supratikno, dapat memadukan insentif pasar dengan upaya untuk mengatasi kemiskinan. Dalam pandangan CK Prahalad (2005:4) bahwa membangun kewirausahaan sosial yang luas dan menyebar merupakan jantung pemecahan masalah kemiskinan. Dengan demikian, negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, titik berat usaha yang perlu ditekankan adalah memindahkan pertumbuhan ekonomi tinggi menuju pada usaha-usaha yang lebih mengangkat kualitas kehidupan masyarakat.
Fokus utama yang perlu dibangun yaitu usaha-usaha yang secara khusus menitiberatkan pada masalah mempercepat target pertumbuhan penghasilan kelompok masyarakat yang rentan dengan kemiskinan. Biasanya, kelompok-kelompok masyarakat miskin ini, terdapat di daerah pedesaan dan dipinggiran perkotaan. Mereka perlu dirangkul dengan baik. Mereka bisa menghasilkan karya ekonomi kreatif, mengembangkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), jika ada topangan dana pembiayaan yang lebih murah serta perhatian untuk dapat menyalurkan daya kreatifnya.
Kita bisa mengambil contoh klasik seperti Grameen Bank atau Bank Desa di Bangladesh yang mempolopori pembiayaan mikro (micro finance) dan dapat menjangkau sekitar 8,54 juta pengguna kredit pada tahun 2013. Langkah ini sangat progresif dan mampu mengatasi kemiskinan yang sangat besar dipedesaan Bangladesh. Dengan bantuan dana kredit macet di bawah 1,5 persen, para wanita pedesaan Bangladesh mampu mendirikan usaha-usaha atau menghasilkan produk-produk yang bernilai jual untuk dipasarkan.
Contoh lainnya seperti Hindustan Unilever Limited (HUL). Jaringan penyalur produk ini telah mampu menciptakan kewirausahaan lokal secara massal dengan melahirkan “Shakti Amma” (empowered mother) bagi wanita pedesaan India dengan pendapatan antara USD60-150 per bulan. Daya ekonomi kreatif mereka tertopang, sehingga banyak menghasilkan produk-produk kewirausahaan yang mampu mengangkat kualitas kehidupan mereka.
Di Indonesia, untuk dapat mengembangkan kewirausahaan lokal, pemerintah pusat dan daerah juga perlu bekerjasama dengan pihak swasta, organisasi non-pemerintah, perusahaan besar yang memiliki tanggung jawab sosial, yayasan sosial dan gerakan sosial untuk dapat memacu Usaha Kecil dan Menengah (UMKM) dan ekonomi kreatif lainnya. Langka ini bukan saja untuk menyerap tenaga kerja, namun bisa mengurangi tingkat kemiskinan di daerah-daerah pedesaan dan perkotaan.
***
Saya melihat dibeberapa daerah di Indonesia khususnya di Sulawesi Tenggara, banyak masyarakat desa yang memiliki daya ekonomi kreatif untuk menciptakan produk-produk lokal. Mereka bisa mengembangkan kewirausahaan lokal yang kemudian dapat menyumbang terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional
Kain Tenun Kabupaten Muna: Foto Laode Halaidin
Talak Koghaghe (Bahasa Muna): Foto Laode Halaidin
Hal ini dapat terlihat pada acara Halo Sultra, ulang tahun Sulawesi Tenggara yang ke-53 tahun ini. Dalam setiap stand Kabupaten/Kota banyak produk-produk lokal yang ditampilkan, untuk kemudian dipertunjukan kepada pengunjung. Semua hasil ekonomi kreatif tersebut berasal dari desa-desa, baik dibuat dalam bentuk kelompok maupun secara perseorangan.
Dari hasil wawancara saya dengan penjaga stand Kabupaten Muna, Ibu Mariati mengatakan, semua produk yang didatangkan merupakan hasil kreatif masyarakat dari pedesaan. Misalnya kain tenun khas Muna dari desa Masalili, ukiran asbak dan kuda dari Tampo, dan Talak koghaghe (dalam bahasa daerah Muna) dari desa Korihi. Sama halnya dengan daerah Kabupaten Buton, yang juga memiliki hasil produk UKM kreatif dari warga desa. Seperti produk olahan teri asap (kaholeo, dalam bahasa daerah Buton dan Muna), rumput laut, kerupuk udang, teri nasi dan ketan hitam.
Hasil ukiran kuda dari Kabupaten Muna: Foto Laode Halaidin
Produk lokal hasil UKM kreatif warga desa Kolaka: Foto Laode Halaidin
Daerah Kabupaten Muna Barat dan Kolaka juga memiliki produk yang melimpa dari hasil alam. Semua dikembangkan berdasarkan kelompok, perseorangan dan juga atas bantuan pemerintah daerah setempat. Daerah Muna Barat warga desanya bisa menghasilkan produk kerupuk udang dari desa Wanseriwu, rumput laut dari desa Galai, dan pilus rumput laut yang dikembangkan bersama darma wanita dinas kelautan dan perikanan Kabupaten Muna Barat.
Sementara itu, daerah Kolaka juga bisa menghasilkan produk lokal yang bisa dikembangkan melalui kewirausahaan. Ibu Maharani salah satu yang melayani stand Kabupaten Kolaka mengatakan, Kolaka memiliki sumber daya yang mumpuni untuk menghasilkan produk-produk lokal yang bernilai jual. Dari hasil pengamatan saya, warga desa di daerah Kolaka bisa menghasilkan berbagai macam produk. Produk-produk tersebut seperti Bagea kangkung, Bagea kacang hijau, Dodol coklat mente, Sambal Aoila, Abon ikan pari dari desa Laloeya, gula dan asbak dari bambu dari desa Kali.
Artinya, di setiap desa banyak tersimpan sumber daya yang perlu untuk dikembangkan, baik sumber daya alam, maupun sumber daya manusianya. Kita tidak bisa lagi mengabaikan desa, yang selama ini hanya dijadikan sebagai sumber penyedia tenaga kerja murah dan pangan. Warga Desa perlu diberdayakan--mereka punya keterampilan yang memadai untuk menghasilkan Usaha Kecil Menengah (UKM). Daya ekonomi kratif perlu didorong yang kemudian disediakan dengan dana pembiayaan yang lebih murah. Inilah satu-satunya usaha untuk bisa mengangkat kualitas kehidupan masyarakat desa. Di sisi lain, daya kreatif tersebut bisa menyumbang terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional.
Hasil produk lokal warga desa di Kab. Buton: Foto Laode Halaidin
Hasil olahan warga desa Kab. Muna Barat: Foto Laode Halaidin
Maka dari itu, sudah saatnya penyebaran kewirausahaan lokal perlu didorong dengan massif, agar kemiskinan dan ketimpangan dapat teratasi dengan baik di semua desa dan daerah. Seperti yang dihimpun oleh Katadata, selama tahun 2015 jumlah usaha mikro kecil selama ini hanya terpusat di Jawa, terutama Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat, antara sekitar 480-1 juta usaha. Sementara daerah Sulawesi Selatan 118 ribu usaha, Bali 103 ribu usaha dan NTB hanya 94 ribu usaha. Artinya, kewirausahaan lokal belum tersebar dengan luas dan menyebar tetapi masih terfokus dibeberapa daerah. Selama ini masih terjadi, maka kesenjangan dan kemiskinan masih akan sulit untuk dientaskan.
Membangun kewirausahaan sosial bukanlah solusi yang paling utama untuk bisa mengatasi kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Masih banyak langkah-langkah lain yang perlu diambil oleh pemerintah baik pusat maupun daerah. Begitupun pihak swasta, yayasan dan organisasi sosial lainnya. Kewirausahaan sosial hanyalah gerbang untuk memberikan harapan bagi lahirnya transformasi sosial (Supratikno, 2011).
Dengan demikian, membangun kewirausahaan sosial, itu hanya lebih dari sekedar mengurangi kemiskinan. Tapi ini perlu dan perlu untuk terus digemahkan di nusantara.

Refrensi Utama






Refrensi Tambahan

Supratikno Hendrawan, 2011. “Ekonomi Nurani vs Ekonomi Naluri”. Cetakan pertama. Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta.
Ketimpangan Masih Lebar. Kompas, 24 Februari 2017.

0 komentar:

Posting Komentar