11 April 2017

Dari Desa Lakarinta, Menuju Desa Lohia: Menapaki Jejak Kemiskinan dan Potensi Wisata di Pulau Muna

La Ida dan Istrinya
Terik matahari panas menyengat, menembusi kulit para nelayan itu. Seketika mereka tetap beraktivitas, berlalu lalang dengan perahu kecil. Saat mengambil gambar, para nelayan itu sesekali menyunggingkan senyum. Ronah senyum dimukanya terlihat, mereka sedang menikmati pertualangannya dalam mencari penghidupan di tengah laut.
Namun, cuaca siapa yang bisa menebak. Jika saat ini langit terlihat terang dan matahari menyinari begitu panas hingga kulit terlihat lebam, sejam atau dua jam kemudian awan bisa berubah jadi hitam keganasan. Itu pertanda bahwa hujan akan segera turun. Angin segera bertiup kencang. Para nelayan pun siagap.
Saat perahu kecil itu sandar di dermaga, saya mencoba bertanya pada seorang nelayan bernama La Ida. Dari mana Pak? Kami habis melaut, sekalian tadi singgah ke kebun di seberang mengambil kayu, tuturnya. Di dalam perahu kecil itu memang terlihat seikat kayu dan beberapa jenis ikan tangkapan.
La Ida bersama istrinya saat saya temui terlihat basah kuyup. Mereka diterpa angin kencang disertai hujan, saat jarak perahunya tinggal beberapa ratus meter dengan dermaga. Hasil tangkapannya hanya ini saja pak, tanyaku. Hari ini saya lihat kebun saya diseberang, sekalian mencari ikan untuk makan malam nanti, tutur La Ida.
Sejenak saya melihat di perahunya ada tulisan Dana Desa. Ternayata di desa Lakarinta dana desa dimanfaatkan dengan baik. Ada 23 perahu bantuan dari Anggaran Dana Desa untuk para nelayan, kata La Ida. Kami sangat bersyukur bisa mendapatkan bantuan ini. Perahu saya ada dua, satunya bukan bantuan, digunakan oleh keluarga untuk mengambil pasir, satunya lagi bantuan. Perahu bantuan ini, saya gunakan untuk mencari ikan dan berkebun diseberang, ungkap La Ida.

La Ida beserta Istri dan Warga Yang Sedang Mengangkut Pasir: Foto Laode Halaidin
Dari Desa Lakarinta saya menemukan pelajaran-pelajaran baru. Desa ini tergolong bebatuan, dataran tinggi dan berjurang-jurang. Maka tak heran sebagian masyarakatnya memilih berkebun diseberang daripada di desa Lakarinta. Saat menyusuri jalan, kemiskinan terpampang didepan mata. Rumah-rumah panggung masih mendominasi. Sebagian rumah masih beratap alang-alang, yang dibuat seperti atap rumbia. Dinding rumah masih ada yang terbuat dari bambu-bambu.
Pekerjaan masyarakatnya selain sebagai nelayan, juga mereka berkebun. Seorang teman lama bernama La Madi menuturkan, bahwa kebun-kebun petani sangat jauh, ada dibalik puncak itu. Ada yang berkebun jagung, ubi kayu, ubi jalar dan kacang. Dibawah bukit itu, ada Danau Motonuno yang biasa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari oleh masyarakat. Biasanya digunakan untuk memasak, mandi dan mencuci, kata La Madi.

Danau Motonuno, di desa Lakarinta: Foto Laode Halaidin
Selain itu, di desa Lakarinta akan dibangun pabrik semen. Di bukit itu ada potensi pertambangan batu gamping dan karst yang bisa diproduksi sebagai semen. Sudah dirapatkan, tapi sampai sekarang masih bermasaalah. Lahan ada disini, yang punya lahan juga orang-orang disini. Tapi ditanda tangani dan disetujui oleh desa sebelah, dari desa sebelah. Ini akan menjadi masaalah kedepannya, kata La Madi.
Jika pabrik semen tersebut akan dibangun, tentu akan merusak Danau Motonuno dan perkebunan masyarakat yang ada dibawah bukit. Ini tentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat Lakarinta. Danau Motonuno dan juga hutan yang ada dibawah bukit itu seharusnya dijaga dan dilestarikan, bukan dihancurkan. Para petani sangat menggantungkan hidupnya dihutan-hutan itu dan Danau Motonuno.
Kehidupan masyarakat Muna memang mayoritas bergelut pada sektor pertanian dan nelayan. Pemerintah daerah perlu serius menangani dua sektor ini. Para petani dan nelayan butuh uluran tangan dari pemerintah, bukan pengabaian, diabaikan. Mereka tak bisa dibiarkan sendiri dalam mengarungi hidup.
Keberhasilan mereka, bukan saja tersaji dalam bentuk data-data statistik yang dianggap sukses, berhasil, tumbuh, berkembang dan lain sebagainya. Tetapi penyajiannya perlu dalam bentuk fakta-fakta dilapangan. Kehidupan petani dan nelayan yang sejahterah dalam bentuk data, biasanya berbeda jika kita mencoba telusuri fakta dilapangan. Selama ini, kita kerap disajikan dengan data-data yang kebenarannya masih perlu dipertanyakan.
Desa Lakarinta bagi saya tidak terlepas dari itu. Yang perlu dilakukan adalah merevolusi desa, mengembangkan dan menata segala potensi yang tersedia untuk kepentingan dan kesejahteraan warga desa. Potensi sumber daya perlu untuk dieskplorasi, tapi tidak untuk dieksploitasi yang sifatnya menghancurkan ekosistem yang ada didalamnya.
***
Setelah saya berkeliling dan berdiskusi dengan warga desa, ada yang menarik perhatian saya di desa Lakarinta. Disini terdapat potensi ekowisata yang perlu dikembangkan. Ada Pantai Maleura, yang panoramanya sangat memanjakan mata. Pemandangannya indah, diapit oleh bukit-bukit dan hutan. Airnya jernih dan terdapat batu karang-batu karang besar.
Bagi warga sekitar, Pantai Maleura memiliki keunikan tersendiri. Banyak masyarakat yang berkunjung bahkan dari mancanegara. Jika kita menyewa kapal dan keliling disamping pantai, kita akan dimanjakan dengan pemandangan gua-gua.
Sejenak saya melihat ada masyarakat yang sedang melakukan pemotretan untuk wedding, pernikahan. Kalau hari-hari biasa itu memang kadang sepi. Pengunjungnya hanya seperti ini, kecuali hari sesuda lebaran pengunjungnya banyak bahkan kendaraan padat, mengantri hingga sekitar satu kilo, kata La Ida.

Salah Satu Pengunjung, sedang Melakukan Pemotretan Wedding: Foto Laode Halaidin
Gadis Pantai Maleura: Foto Laode Halaidin

Pemandangan Pantai Maleura: Foto Laode Halaidin
Salah Satu Pengunjung, Adin: Foto Laode Halaidin
Pantai Maleura memang sungguh indah. Di dekat pantai ada rumah-rumah permukiman wargah. Jika kita ingin bercerita mengenal Maleura lebih banyak lagi, kita bisa mengunjungi rumah warga sekitar. Maleura juga sudah menjadi favorit kunjungan warga Kabupaten Muna. Buat apa kita memotret ditempat lain, Pantai Maleura itu sudah begitu indah, pemandangannya bagus, kata Ari yang sedang melakukan pemotretan wedding.
Tapi sungguh sayang, keindahan tidak disertai dengan pengelolaan yang memadai. Pantai Maleura perlu dikembangkan dengan baik, untuk menarik perhatian pengunjung. Infrastrukturnya perlu di tata, diperbaiki. Ini bisa menjadi salah satu ikon Kab. Muna, tinggal bagaimana pemerintah mengelolanya, memberinya perhatian.
***
Berjarak sekitar lima kilo meter, saya kemudian mengunjungi Danau Napabale. Danau Napabale terletak di desa Lohia. Saat saya menyusuri jalan, tampak kemiskinan juga sangat nampak didepan mata. Tak jauh beda dengan gambaran masyarakat desa Lakarinta.
Bahkan, saya menemukan rumah seorang nenek yang sudah mau roboh, papan berlubang-lubang dan atap sudah sangat banyak yang kebocoran. Rumah nenek itu, bukan lagi tempat tinggal kategori layak. Ia sudah sepatutnya mendapatkan perhatian pemerintah daerah, merenovasi rumah yang ia tinggali. Saya merenung sesaat, lalu berkata, dimanakah pemerinta? Mengapa mereka tidak hadir, saat mereka sangat membutuhkan?
Saat tiba di Danau Napabale, kita langsung disuguhkan dengan pemandangan yang sangat indah, airnya warna ke biru-biruan dan terletak di kaki bukit. Ada juga terowongan alami yang bisa menembus tengah laut. Jika air sedang surut, maka silahkan anda berselancar menuju terowongan. Namun jika air sedang pasang, maka terowongan tak dapat terlihat , ditembus karena ditutupi dengan air. Inilah yang menjadi daya tarik Danau Napabale.

Danau Napabale: Foto Laode Halaidin
Anak gadis Belajar Berenang: Foto Laode Halaidin
Anak Kecil yang Membawa Perahu: Foto Laode Halaidin
Jasa Perahu Untuk Mengantar Pengunjung Danau Napabale: Foto Laode Halaidin
Danau Napabale sudah dikenal luas oleh masyarakat Muna sebagai tempat wisata. Biasanya penuh sesak pengunjung saat sesudah lebaran. Untuk hari-hari biasa, pengunjungnya juga tidak terlalu banyak. Bisanya didominasi oleh masyarakat sekitar dan bagian Kota Raha.
Saya melihat, ada berbagai jasa yang ditawarkan disini. Ada jasa perahu yang bisa disewa berkeliling untuk menuju terowongan atau hanya sekedar melihat gua-gua dipinggir laut, di bawah bukit. Sewanya pun sangat murah, 10 sampai 15 ribu rupiah.
Tapi sayang, saya tak bisa bercerita banyak dengan masyarakat. Danau Napabale tak berpenghuni seperti di Pantai Maleura. Saya tak banyak mendapatkan mutiara disini. Jauhnya lokasi dengan tempat tinggal warga, membuat Danau ini tampak seperti sepih. Kita hanya bertemu dengan sesama pengunjung, yang sama-sama asing tentang Danau.
***
Mengenai tempat wisata, di Pulau Muna terdapat beberapa tempat wisata yang harus mendapatkan perhatian serius, termasuk Danau Napabale, Pantai Maleura,  Danau Moko, Danau Ubur-ubur dan Danau yang baru ditemukan seperti Danau Randano Ghaghe, Danau Wawomata dan masih banyak lagi.

Intinya, semua perlu dukungan dari pemerintah daerah berupa infrastruktur yang memadai, guna dapat meningkatkan pendapatan desa sekitar. Sebagai daerah kepulauan, maka sudah saatnya Pulau Muna perlu perbaikan serius. Ia tak bisa lagi dibiarkan tertidur pulas, sementara apa yang menjadi sumber potensi kekayaan alamnya selalu meminta untuk dibangunkan.


                                                               Laode Halaidin
                                                               Kendari, 12 April 2017

0 komentar:

Posting Komentar