Sumber Gambar: Pixabay.com |
Pergeseran makna demokrasi dalam politik akhir-akhir ini sangat terasa. Sejak pilpres tahun 2014 silam, hingga pilkada beberapa bulan yang lalu, demokrasi sepertinya dimaknai hanyalah sebuah “pesta”. Melalui kata-kata, ucapan, informasi serta tulisan-tulisan di media sosial atau televisi banyak kita temukan—demokrasi dimaknai dalam arti sempit—pesta pemungutan suara dibilik pemilihan. Pergeseran makna ini kemudian mempengaruhi partai politik dan mesin politiknya bahwa pertarungan politik hanya mencari suara rakyat sebanyak-banyaknya.
Dalam
pandangan Coen Husain Pontoh, pada tahap ini yang mengemuka adalah demokrasi
prosedural yang kemudian merubah makna dari pemerintahan rakyat (government of the people) menjadi pemerintahan
para politisi (government of the
politicians). Rakyat
melakukan pemilihan, namun bukan lagi
memilih karena program tetapi
memilih karena figur—popularitas elit. Sementara itu, partai dan mesin politiknya disibukan
dengan menjual program, melakukan marketing politik yang seringkali tak
dipahami oleh warga.
Dari
situ, Coen Husain Pontoh menyimpulkan bahwa demokrasi yang demikian dapat
memberikan fakta, bahwa elit
seperti itu berwatak oligarkis. Pertarungan
elit hanya untuk merebut kekuasaan semata, bukan dalam kerangka untuk dapat
memberdayakan masyarakat kecil. Dalam konteks ini, makna demokrasi tersandera
oleh kepentingan elit yang kemudian berusaha membelokan makna demokrasi itu
sendiri. Demokrasi bagi
mereka bukan lagi berarti kekuasaan, kehendak rakyat, tetapi kekuasaan elit—para oligarkis itu sendiri.
Tetapi, tak bisa dipungkiri, didalam demokrasi semua elit
maupun pemilih terbagi dalam kelompok-kelompok atau sekat-sekat. Masing-masing
kelompok itu mempunyai atau mempertaruhkan apa yang menjadi keinginan dan kepentingannya.
Josep A. Schumpeter dalam bukunya mengenai Kapitalisme, Sosialisme dan Demokrasi
tampaknya dapat menganalisa hal tersebut. Schumpeter mengatakan, dalam
demokrasi politik seringakli muncul dalam berbagai macam kelompok-kelompok dan
semua itu merupakan sifat alamia manusia dalam politik. Mereka merupakan
kelompok yang teridiri dari politikus profesional atau eksponen dari suatu
kepentingan ekonomi, para idealis atau sekedar kelompok masyarakat yang
tertarik dalam pementasan serta pengelolaan pertunjukan politik.
Mereka kelompok-kelompok itu, menurut Schumpeter, umumnya
mempunyai keinginan untuk menjadi apa, dan didalam batas-batas yang sangat luas
mereka mampu untuk menciptakan kehendak rakyat. Pada titik ini, partai dan
mesin politiknya seringkali mencoba membombardir rakyat dengan memproduksi
berbagai keinginan—apa yang menjadi keinginan rakyatnya.
Mereka mengklaim mampu untuk mewujdukan keinginan rakyat itu, meskipun hanya
sekedar tutur kata seperti para penjual obat—manis
tapi seringkali tak berefek. Dengan demikian, Schumpeter mengemukakan, jika
demikian adanya, maka apa yang menjadi kehendak rakyat hanyalah produk dan
bukan kekuatan motif dari proses politik.
Sumber Gambar: Pixabay.com |
Namun di dalam demokrasi, segala perbedaan-perbedaan keinginan itu dikehendaki. Keberagaman merupakan sesuatu yang universal untuk dapat menjaga sebuah keutuhan bangsa. Perbedaan keinginan itu perlu ada. Tetapi bukan kemudian perbedaan itu dimanfaatkan untuk kepentingan politik diri sendiri dan kelompok. Segala perbedaan keinginan didalam demokrasi harus dikelola untuk kepentingan bersama bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan lainnya.
Inilah esensi dalam hidup berdemokrasi. Dan penyempitan
makna demokrasi, bukan saja dapat membawa bangsa dalam sekat-sekat, permusuhan,
tetapi terjadinya degradasi sosial yang kemudian berujung pada chaos kekuasaan.
Ini semua tentu akan mengancam kedaulatan bangsa. Olehnya itu, perlu pedalaman
makna demokrasi itu sendiri secara komprehensif, agar negara-bangsa berada pada
tataran yang seimbang, damai.
Dalam tulisan Kristian Ginting di koran Suluh Indonesia
dengan judul Demokrasi Mahal Menindas
Rakyat, ia mengutip pendapat sejarawan profesor Ellen Meiksins Wood
mengenai makna demokrasi. Bagi Wood, kita harus tau apa itu demokrasi sejati.
Mengutip tulisan Kristian Ginting, Wood mencoba
memberikan arti apa itu demokrasi sejati. Dalam bahasa Yunani kuno demos adalah rakyat, penduduk—dan tidak hanya pengertian politik yang
mengawang-ngawang, tetapi juga sebagai kategori sosial: orang-orang biasa atau
bahkan orang-orang miskin. Sementara kratos
berarti kekuatan, kekuasaan, pemerintahan.
Dalam hal ini, bagi Wood demokrasi tidak lebih tidak
kurang adalah kekuasaan rakyat, bahkan kekuasaan dari rakyat biasa atau rakyat
jelata. Atau kata Wood lagi, makna asli demokrasi sejati dapat disamakan dengan
apa yang disebut dengan kekuasaan proletariat.
Dengan pengertian ini, kini kian jelas, bahwa dalam
demokrasi kekuasaan ada dipundak rakyat, atau kekuasaan rakyat jelata yang
identik dengan keadilan sosial, sebagaimana yang ditulis oleh Kristian
Ginting. Pemerintah pusat dan daerah
serta wakil-wakil rakyat harus mengambil kebijakan serta membuat Undang-Undang
berdasarkan kepentingan rakyat banyak, bukan golongan. Mereka, presiden beserta
menteri-menterinya, kepala daerah dan wakil rakyat yang terpilih lewat
pemilihan umum, juga harus mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada rakyat.
Karena itulah sesungguhnya, rakyatlah yang memegang kendali kekuasaan dalam
alam demokrasi.
Pelajaran penting yang kita ambil dari pilkada DKI Jakarta
2017 ini adalah adanya perebutan kekuasaan yang kemudian membawa demokrasi pada
sisi gelap, yang dimanfaatkan untuk kepentingan diri dan kelompok. Kepentingan
rakyat sepertinya tergadai yang lalu melahirkan kelompok-kelompok intoleran dan
anarkis. Kelompok-kelompok ini membawa gelombang penegasan identitas keagamaan
dalam berpolitik. Isu-isu keagamaan digoreng sedemikian rupa, untuk kemudian
mendapatkan simpati untuk pemilihnya, sesama muslim. Pro dan kontra pemilih
seringakli berseteru, saling menghujat, mencaci-maki bahkan menyebarkan kebencian
di media sosial internet.
Pada skala ini, para pemilih, tidak lagi berbicara
mengenai calon mana yang mempunyai program yang baik, dimana secara kualitas
terukur. Tetapi, menyibukan diri dengan membincangkan sesuatu yang membuat
energi kita terkuras—sesuatu yang tidak masuk dalam esensi
berpolitik. Demokrasi kita dirong-rong, dimana yang mayoritas selalu merasa bahwa
tafsirannya selalu benar. Merujuk pada pandangan Foucault (1991), bahwa
kehendak manusia yang ingin selalu benar sebenarnya identik dengan kehendak
untuk berkuasa.
Kekalahan dan dipenjaranya Basuki Tjahaja Purnama atau
Ahok yang dianggap telah menista agama Islam, bagi sebagian orang adalah ujian
bagi demokrasi di Indonesia. Politik identitas agama, suku dan ras atau etnik akan
menjadi isu sentral dalam setiap perebutan kekuasaan baik di pusat maupun di daerah.
Tak memungkiri, akan banyak elit-elit politisi yang terus menghembuskan isu-isu
anti-keberagaman ini, sebagai langkah untuk merebut suara-suara para pemilih.
Pada titik nadir inilah ruang sisi gelap demokrasi hadir di Indonesia. Ia akan
kembali muncul, menghadirkan sesuatu yang mengerikan, membuat perut kita mual
setiap saat.
Sementara itu, kita memang tahu dan memahami bahwa
demokrasi bukanlah sistem yang telah selesai. Ia berbenah dan terus berbenah.
Ia adalah sistem yang secara terus menerus dilengkapi dan disempurnakan.
Silahkan saja para elit berkuasa, karena semua itu merupakan nafsu yang terus
bersemayam dalam setiap individu atau kelompok. Tapi, kekuasaan itu harus
dilakukan dengan cara-cara yang sehat, rasional, profesional, dengan tidak
menimbulkan bersitegangnya antar warga-bangsa pemilih.
Apa yang menjadi tugas kita sebagai anak bangsa adalah
mencoba untuk terus meluruskan makna demokrasi sejati itu sendiri. Didalam demokrasi,
kekuasaan merupakan bukan tujuan, tapi ia adalah jembatan untuk mengantarkan
warga-masyarakat pada kesejahteraan dan keadilan sosial. Didalam demokrasi,
tidak ada pemaksaan kehendak untuk benar; semua benar, seperti kata Pramoedya
Ananta Toer, minimal menurut dirinya sendiri.
Maka dari itu, demokrasi menyediakan dialog, untuk
menghindari sifat-sifat intoleran. Setiap individu dan kelompok dituntut untuk
membuka diri bahwa di atas kebenaran sepihak ada kepentingan yang lebih besar,
yaitu kepentingan bangsa. Merujuk pada
Caputo (2001) yang dikutip Acep Iwan Saidi di kompas (18/4/2017), pada akhirnya
yang benar adalah bersatunya semua kebenaran. Dan semua ini akan membawa makna
demokrasi bukan saja perebutan kekuasaan semata, tetapi pengelolaan negara-pemerintahan
yang merujuk pada keadilan sosial yang lebih besar.
Kendari, 19 Mei 2017
L. Halaidin
Kendari, 19 Mei 2017
L. Halaidin
0 komentar:
Posting Komentar