18 Februari 2017

Habis Ayah, Berkuasalah Anak

Tugu Religi Sultra di kota Kendari
Kekuasaan dinasti banyak menimbulkan tanya dibenak masyarakat. Apakah kekuasaan seperti itu bisa menjadi pelayan masyarakat yang baik atau tidak. Pasalnya, di Indonesia kekuasaan dinasti banyak yang berakhir dijeruji besi, menjadi pasien KPK karena tersangkut korupsi atau menyalahgunakan wewenang.
Membangun dinasti memang tidak dilarang dalam konstitusi. Para Walikota, Bupati maupun Gubernur bisa saja, jika jabatannya selesai kemudian dapat mencalonkan anaknya, istrinya, omnya, iparnya, adiknya, ponakannya atau mungkin kerabat-kerabatnya. Intinya, semua itu merupakan hak konstitusi mereka dalam berpolitik. Tidak dibatasi sama sekali dalam Undang-undang.
Namun, kekuasaan dinasti tak ubahnya seperti kerajaan, yang diutus secara turun-temurun oleh nenek moyang. Habis orang tua, kemudian istri, lalu anak dan seterusnya dan seterusnya. Semua kekuasaan berada pada lingkaran mereka.
Memang, mereka bersaing dalam perlombaan untuk menjadi kepala daerah, bersama dengan lawan politiknya yang kemudian dipilih oleh rakyat. Tetapi pemilihan itu sama halnya melawan tuan raja sendiri yang sudah tertanam bertahun-tahun dalam kekuasaan. Mereka punya segala hal, termasuk kuasa ekonomi dan kuasa basis.
Sebenarnya saya bukan tidak setujuh dengan kekuasaan dinasti, selama mereka masih memikirkan nasib masyarakat kecil yang terpinggirkan. Ketika mereka mempunyai prestasi yang baik dalam memajukan daerah dan kota, bersih, jujur dan tegas, mengapa kita tidak harus memilih mereka.
Bukankah, kita mencari pelayan masyarakat seperti itu; jujur, punya ketegasan, tidak terpengaruh dengan korupsi dan mau bekerja!
Tetapi, apa yang kita saksikan sekarang, kekuasaan dinasti justru banyak menimbulkan luka yang sangat membekas dimata masyarakat. Kita sebut saja misalnya di Banten, Ciamis, Bangkalan dan beberapa daerah yang terkait dengan kekuasaan dinasti. Mereka seringkali berurusan dengan KPK, karena tersangkut korupsi, memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri dan keluarganya.
Di Kendari, kekuasaan dinasti juga mulai tampak dan berkuasa. Ia secara perlahan-lahan mulai berdiri tegak dan akan terus berlanjut untuk beberapa puluh tahun ke depan. Kekuasaan dinasti ini diawali dari menjabatnya Asrun sebagai Walikota Kendari. Pada tahun 2014, anaknya Adriatma Dwi Putra menjadi anggota DPRD di Kota Kendari.
Terpilihnya anak walikota Kendari, Adriatma Dwi Putra, sebagai anggota DPRD Kota Kendari menimbulkan berbagai macam wacana. Salahsatunya, Asrun menggunakan mesin birokrasi untuk menempatkan anaknya di kursi DPRD Kota Kendari. Hal ini memang tak bisa disangkal karena walikota bisa menekan birokrasinya lewat kekuasaan yang dijabatnya. Seperti itulah yang terjadi diberbagai daerah.
Senjata seperti itu sangat ampuh, yang dipakai oleh penguasa untuk kemudian melanggengkan kekuasaan dinasti politiknya kedepan. Dan hari ini, anak emas tersebut suda menjamah pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu memenangkan pertarungan walikota Kendari, lalu menggantikan sang paduka, Ayahnya.
Sumber: imc news.id
Terpilihnya anak walikota Kendari, Adriatma Dwi Putra sebagai pengganti ayahnya, bagi saya tidak akan memberi perubahan besar bagi Kota Kendari. Dalam mengeluarkan kebijakannya, sang anak tidak akan keluar dari ide-ide sang ayah. Ia akan meminta restu, tanggapan dan ide-ide dari ayahnya. Bahkan boleh dibilang, sang ayah-lah yang akan menyetir pemerintahan walikota Kendari.
Sementara itu, prestasi ayahnya selama ini biasa-biasa saja. Tidak terlalu menonjol, jika dibandingkan dengan walikota Bandung dan Surabaya. Saya punya spekulasi, yang akan dikerjakan malah hanya proyek-proyek besar dan tidak akan memperhatikan hal-hal yang kecil. Inilah yang terjadi semasa ayahnya.
Walikota Kendari saat ini, selama 1o tahun menjabat, saya melihatnya hanya bisa menorehkan piala Adipura, menata sungai yang bersih dan ruang terbuka hijau. Piala ini pun masih meragukan. Sungai masih kotor, sementara ruang terbuka hijau hanya satu, itupun tidak terawat. Mungkin saya menilai hanya dari satu sisi karena untuk prestasi yang lainnya saya sama sekali tidak pernah mendengar.
Saya hanya warga biasa di kota Kendari, yang seringkali mencari sesuap nasi ditengah kesibukan kota. Saya bukan birokrasi, apalagi sangat dekat dan mengetahui bagaimana kinerja walikota Kendari. Tapi, saya cukup bersahabat dan bergaul dengan baik, dengan hasil kinerjanya.
Ketika saya mendengarkan keluhan masyarakat yang ada dipinggiran kota Kendari, karena tidak mendapatkan bantuan listrik dan malah sering salah sasaran, ketika saya menyaksikan genangan air di jalan raya, ketika saya menyaksikan jalan berlubang dilorong-lorong dan tidak beraspalnya jalan di Pulonggida dan ketika saya masih menyaksikan anak-anak dilampu merah masih saja berjejer.
Ketika saya menyaksikan air PDAM yang berwarna kuning ke hitaman, ketika saya masih menyaksikan para pengemis, ketika saya menyaksikan seorang Ibu yang menggendong anaknya sambil mendorong gerobak sampah, ketika saya menyaksikan banyak tukang parkir ilegal, ketika listrik padam berjam-jam, ketika pasar Korem terlihat becek dan tidak teratur dengan baik, disitulah saya berinteraksi dengan kinerja-kinerja beliau.
Warga seperti saya sebenarnya tidak mempedulikan ia dari kekuasaan dinasti atau bukan. Juga tidak mempermasalahkan ia dari ras mana, suku mana, agama apa dan golongan apa. Semua bagi saya akan baik jika ia pelayan yang bersih, jujur, tidak korupsi dan betul-betul bekerja untuk masyarakat kecil.
Saat melihat air PDAM mulai terlihat jernih dan bersih, disitulah saya melihat bahwa ia bekerja. Saat seorang ibu-ibu tak terlihat lagi ditengah-tengah kota dengan mendorong gerobaknya, maka disitulah saya melihat bahwa ia betul-betul bekerja. Saat parkir ilegal tidak membuat masyarakat risau di depan pasar maupun tokoh atau mall, disitulah saya melihat bahwa ia betul-betul bekerja.
Saat masyarakat yang kurang mampu bisa menikmati penerangan lampu sambil tertawa ria menonton tivi, disitulah ia benar-benar bekerja. Tetapi jika hal itu masih saja terjadi, meskipun masyarakat terjerat dalam kemiskinan yang akut, saya akan mempertanyakan komitmennya sebagai pelayan masyarakat.
Kemenangan anak walikota Kendari (menurut hasil Quick Qount) tanggal 15 Februari kemarin banyak menimbulkan kecurigaan. Banyak pihak yang mengatakan bahwa timnya melakukan politik uang, membagi-bagikan uang kepada para pemilih. Dari informasi tivi swasta, suda tiga orang yang ditahan oleh kepolisian terkait politik uang dari tim anak walikota Kendari itu.
Ini tentu membuat kekhawatiran. Saya pesimis, ia tidak akan memerintah dengan baik untuk masyarakat kota Kendari. Pasalnya, dalam pemilihan saja banyak kecurangan yang dilakukan oleh timnya, dengan melakukan politik uang. Ia menang dengan curang. Dan butuh pengembalian.
Lalu, bagaimanakah saat ia akan memerintah. Apakah ia akan curang lalu akan menjadi pasien KPK! Kita tunggu saja, sampai dimana sang anak akan bertahan dengan godaan-godaan yang menggiurkan itu.
Habis Ayah, berkuasalah Anak.
                                                                       
                                                                                                La Ode Halaidin
                                                                                                Kendari, 19 Februari 2017

2 komentar:

  1. Jangan terlalu berharap penguasa akan mensejahterahkan rakyat karena dengan keterbelakangan dan kebodohan masyarakat maka kekuasaan dinasty politiknya akan semakin kokoh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ia. Masyarakat harus kita buat pintar. Mereka perlu tau apa yang akan menjadi program kerja walikota terpilih. Kita perlu mengawal ini.

      Hapus