Tugu Religi Sultra di kota Kendari |
Kekuasaan dinasti banyak
menimbulkan tanya dibenak masyarakat. Apakah kekuasaan seperti itu bisa menjadi
pelayan masyarakat yang baik atau tidak. Pasalnya, di Indonesia kekuasaan
dinasti banyak yang berakhir dijeruji besi, menjadi pasien KPK karena
tersangkut korupsi atau menyalahgunakan wewenang.
Membangun dinasti memang tidak
dilarang dalam konstitusi. Para Walikota, Bupati maupun Gubernur bisa saja,
jika jabatannya selesai kemudian dapat mencalonkan anaknya, istrinya, omnya, iparnya,
adiknya, ponakannya atau mungkin kerabat-kerabatnya. Intinya, semua itu
merupakan hak konstitusi mereka dalam berpolitik. Tidak dibatasi sama sekali
dalam Undang-undang.
Namun, kekuasaan dinasti tak
ubahnya seperti kerajaan, yang diutus secara turun-temurun oleh nenek moyang. Habis
orang tua, kemudian istri, lalu anak dan seterusnya dan seterusnya. Semua
kekuasaan berada pada lingkaran mereka.
Memang, mereka bersaing dalam
perlombaan untuk menjadi kepala daerah, bersama dengan lawan politiknya yang
kemudian dipilih oleh rakyat. Tetapi pemilihan itu sama halnya melawan tuan
raja sendiri yang sudah tertanam bertahun-tahun dalam kekuasaan. Mereka punya
segala hal, termasuk kuasa ekonomi dan kuasa basis.
Sebenarnya saya bukan tidak
setujuh dengan kekuasaan dinasti, selama mereka masih memikirkan nasib
masyarakat kecil yang terpinggirkan. Ketika mereka mempunyai prestasi yang baik
dalam memajukan daerah dan kota, bersih, jujur dan tegas, mengapa kita tidak
harus memilih mereka.
Bukankah, kita mencari pelayan
masyarakat seperti itu; jujur, punya ketegasan, tidak terpengaruh dengan
korupsi dan mau bekerja!
Tetapi, apa yang kita saksikan
sekarang, kekuasaan dinasti justru banyak menimbulkan luka yang sangat membekas
dimata masyarakat. Kita sebut saja misalnya di Banten, Ciamis, Bangkalan dan
beberapa daerah yang terkait dengan kekuasaan dinasti. Mereka seringkali
berurusan dengan KPK, karena tersangkut korupsi, memanfaatkan jabatan untuk memperkaya
diri dan keluarganya.
Di Kendari, kekuasaan dinasti
juga mulai tampak dan berkuasa. Ia secara perlahan-lahan mulai berdiri tegak
dan akan terus berlanjut untuk beberapa puluh tahun ke depan. Kekuasaan dinasti
ini diawali dari menjabatnya Asrun sebagai Walikota Kendari. Pada tahun 2014,
anaknya Adriatma Dwi Putra menjadi anggota DPRD di Kota Kendari.
Terpilihnya anak walikota
Kendari, Adriatma Dwi Putra, sebagai anggota DPRD Kota Kendari menimbulkan
berbagai macam wacana. Salahsatunya, Asrun menggunakan mesin birokrasi untuk
menempatkan anaknya di kursi DPRD Kota Kendari. Hal ini memang tak bisa
disangkal karena walikota bisa menekan birokrasinya lewat kekuasaan yang
dijabatnya. Seperti itulah yang terjadi diberbagai daerah.
Senjata seperti itu sangat
ampuh, yang dipakai oleh penguasa untuk kemudian melanggengkan kekuasaan
dinasti politiknya kedepan. Dan hari ini, anak emas tersebut suda menjamah pada
tingkat yang lebih tinggi, yaitu memenangkan pertarungan walikota Kendari, lalu
menggantikan sang paduka, Ayahnya.
Sumber: imc news.id |
Terpilihnya anak walikota
Kendari, Adriatma Dwi Putra sebagai pengganti ayahnya, bagi saya tidak akan
memberi perubahan besar bagi Kota Kendari. Dalam mengeluarkan kebijakannya,
sang anak tidak akan keluar dari ide-ide sang ayah. Ia akan meminta restu,
tanggapan dan ide-ide dari ayahnya. Bahkan boleh dibilang, sang ayah-lah yang
akan menyetir pemerintahan walikota Kendari.
Sementara itu, prestasi ayahnya
selama ini biasa-biasa saja. Tidak terlalu menonjol, jika dibandingkan dengan
walikota Bandung dan Surabaya. Saya punya spekulasi, yang akan dikerjakan malah
hanya proyek-proyek besar dan tidak akan memperhatikan hal-hal yang kecil.
Inilah yang terjadi semasa ayahnya.
Walikota Kendari saat ini,
selama 1o tahun menjabat, saya melihatnya hanya bisa menorehkan piala Adipura,
menata sungai yang bersih dan ruang terbuka hijau. Piala ini pun masih
meragukan. Sungai masih kotor, sementara ruang terbuka hijau hanya satu, itupun
tidak terawat. Mungkin saya menilai hanya dari satu sisi karena untuk prestasi
yang lainnya saya sama sekali tidak pernah mendengar.
Saya hanya warga biasa di kota
Kendari, yang seringkali mencari sesuap nasi ditengah kesibukan kota. Saya
bukan birokrasi, apalagi sangat dekat dan mengetahui bagaimana kinerja walikota
Kendari. Tapi, saya cukup bersahabat dan bergaul dengan baik, dengan hasil
kinerjanya.
Ketika saya mendengarkan
keluhan masyarakat yang ada dipinggiran kota Kendari, karena tidak mendapatkan
bantuan listrik dan malah sering salah sasaran, ketika saya menyaksikan
genangan air di jalan raya, ketika saya menyaksikan jalan berlubang dilorong-lorong
dan tidak beraspalnya jalan di Pulonggida dan ketika saya masih menyaksikan anak-anak
dilampu merah masih saja berjejer.
Ketika saya menyaksikan air
PDAM yang berwarna kuning ke hitaman, ketika saya masih menyaksikan para
pengemis, ketika saya menyaksikan seorang Ibu yang menggendong anaknya sambil
mendorong gerobak sampah, ketika saya menyaksikan banyak tukang parkir ilegal,
ketika listrik padam berjam-jam, ketika pasar Korem terlihat becek dan tidak
teratur dengan baik, disitulah saya berinteraksi dengan kinerja-kinerja beliau.
Warga seperti saya sebenarnya
tidak mempedulikan ia dari kekuasaan dinasti atau bukan. Juga tidak
mempermasalahkan ia dari ras mana, suku mana, agama apa dan golongan apa. Semua
bagi saya akan baik jika ia pelayan yang bersih, jujur, tidak korupsi dan
betul-betul bekerja untuk masyarakat kecil.
Saat melihat air PDAM mulai
terlihat jernih dan bersih, disitulah saya melihat bahwa ia bekerja. Saat
seorang ibu-ibu tak terlihat lagi ditengah-tengah kota dengan mendorong gerobaknya,
maka disitulah saya melihat bahwa ia betul-betul bekerja. Saat parkir ilegal
tidak membuat masyarakat risau di depan pasar maupun tokoh atau mall, disitulah
saya melihat bahwa ia betul-betul bekerja.
Saat masyarakat yang kurang
mampu bisa menikmati penerangan lampu sambil tertawa ria menonton tivi,
disitulah ia benar-benar bekerja. Tetapi jika hal itu masih saja terjadi,
meskipun masyarakat terjerat dalam kemiskinan yang akut, saya akan
mempertanyakan komitmennya sebagai pelayan masyarakat.
Kemenangan anak walikota
Kendari (menurut hasil Quick Qount) tanggal 15 Februari kemarin banyak
menimbulkan kecurigaan. Banyak pihak yang mengatakan bahwa timnya melakukan
politik uang, membagi-bagikan uang kepada para pemilih. Dari informasi tivi
swasta, suda tiga orang yang ditahan oleh kepolisian terkait politik uang dari tim
anak walikota Kendari itu.
Ini tentu membuat kekhawatiran.
Saya pesimis, ia tidak akan memerintah dengan baik untuk masyarakat kota
Kendari. Pasalnya, dalam pemilihan saja banyak kecurangan yang dilakukan oleh
timnya, dengan melakukan politik uang. Ia menang dengan curang. Dan butuh
pengembalian.
Lalu, bagaimanakah saat ia akan
memerintah. Apakah ia akan curang lalu akan menjadi pasien KPK! Kita tunggu
saja, sampai dimana sang anak akan bertahan dengan godaan-godaan yang
menggiurkan itu.
Habis Ayah, berkuasalah Anak.
La
Ode Halaidin
Kendari,
19 Februari 2017
Jangan terlalu berharap penguasa akan mensejahterahkan rakyat karena dengan keterbelakangan dan kebodohan masyarakat maka kekuasaan dinasty politiknya akan semakin kokoh.
BalasHapusIa. Masyarakat harus kita buat pintar. Mereka perlu tau apa yang akan menjadi program kerja walikota terpilih. Kita perlu mengawal ini.
Hapus